Tag: Abdul Wahid

  • Gaya Preman Gubernur Riau Abdul Wahid Palak Anak Buah Demi Jalan-Jalan ke Luar Negeri

    Gaya Preman Gubernur Riau Abdul Wahid Palak Anak Buah Demi Jalan-Jalan ke Luar Negeri

     

    Liputan6.com, Jakarta – Kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Gubernur Riau Abdul Wahid akhirnya terbongkar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta mengejutkan soal para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas PUPR PKPP dipaksa menyetor uang untuk sang gubernur. 

    Disepakati besaran fee untuk gubernur seperti yang diminta yakni 5 persen atau sekitar Rp7 miliar. Setelah ada kesepakatan tersebut, terjadilah tiga kali setoran fee jatah untuk Abdul Wahid terhitung sejak Juni-November 2025. Totalnya mencapai Rp 4,05 miliar. 

    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, uang yang disetor ke Abdul Wahid bukan berasal dari proyek ataupun pihak swasta, melainkan hasil pinjaman. 

    “Informasi yang kami terima dari para kepala UPT bahwa mereka uang itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain. Ada yang dari ini sertifikat dan lain-lain itulah,” kata Asep Guntur di Gedung KPK, Rabu (5/11/2025).

    Situasi ini makin ironis karena terjadi saat APBD Riau tengah defisit. Berdasarkan penelusuran KPK, pada Maret 2025 Abdul Wahid sendiri pernah mengumumkan bahwa keuangan daerah defisit hingga Rp 3,5 triliun. 

    “Bayangkan. Artinya bahwa APBD-nya itu kan defisit,” ujar dia.

    Dengan kondisi itu, seharusnya kepala daerah tidak menambah beban bawahannya. Namun kenyataannya, anak buah justru dipaksa mencari uang sendiri demi memenuhi ‘jatah’ setoran ke Gubernur Riau.

    “Seharusnya dengan tidak adanya uang, orang kan ini lagi susah nih, enggak ada uang, jangan dong minta, gitu. Jangan membebani pegawainya. Jangan membebani bawahannya,” ucap dia.

    KPK sendiri telah menetapkan tiga orang tersangka kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) di Provinsi Riau. Salah satu tersangka adalah Abdul Wahid, gubernur Riau yang baru menjabat Februari 2025 lalu.

    Pimpinan KPK, Johanis Tanak, menyebut tangkap tangan terhadap Abdul Wahid bermula setelah pihaknya mendapat pengaduan dari masyarakat. Tim KPK kemudian melakukan penelusuran.

    Informasi awal yang diterima KPK, pada Mei 2025 lalu terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara FRY, selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP. Pertemuan itu untuk membahas kesanggupanpemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid selaku Gubernur Riau, yakni sebesar 2,5 persen.

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp 106 miliar),” katanya. 

    Minta Jatah Preman Rp 7 Miliar

    Hasil pertemuan itu disampaikan FRY ke MAS selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau. MAS yang merepresentasikan gubernur meminta besaran fee ditambah jadi 5 persen atau Rp 7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” ujarnya.

    Mendapat tawaran itu, Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali. Disepakatilah besaran fee untuk gubernur seperti yang diminta yakni 5 persen. Hasilp ertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada MAS dengan kode ‘7 batang’

    Setelah ada kesepakatan tersebut, terjadilah tiga kali setoran fee jatah untuk Abdul Wahid terhitung sejak Juni-November 2025. Totalnya mencapai Rp 4,05 miliar lebih dari jatah preman yang disepakati Rp 7 miliar.

    Adapun rincian setoran fee jatah AW yakni:

    Pada setoran pertama FRY sebagai pengepul uang dari Kepala UPT, mengumpulkan total Rp 1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah MAS sebagai representasi AW, bahwa FRY mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada AW melalui perantara DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. Kemudian, FRY juga memberikan uang sejumlah Rp600 juta kepada kerabat MAS.

    Atas perintah DAN sebagai representasi AW, melalui MAS, FRY kembali mengepul uang dari para kepala UPT, dengan uang terkumpul sejumlah Rp1,2 miliar. Atas perintah MAS, uang tersebut, di antaranya didistribusikan untuk driver MAS sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh FRY senilai Rp300juta.

    Kali ini tugas pengepul dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar, yang di antaranya dialirkan untuk AW melalui MAS senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada AW.

    “Pada pemberian ketiga ini, Senin (3 November 2025), Tim KPK melakukan kegiatan tangkap tangan,” ujar Johanis.

    Tiga orang yang terciduk dalam OTT tersebut adalah MAS, FRY dan lima Kepala Unit Kepala Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I III, IV, V, VI Dinas PUPR PKPP yakni KA, EI, LH, BS, RA.

    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp800 juta,” ujarnya.

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 November 2025

    SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK Regional 6 November 2025

    SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
    Tim Redaksi
    PEKANBARU, KOMPAS.com
    – Hubungan antara Gubernur Riau, Abdul Wahid, dan Wakil Gubernur, SF Hariyanto, diisukan retak sebelum penangkapan Abdul Wahid dalam OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Isu tersebut diperkuat oleh fakta bahwa keduanya jarang muncul bersama di publik setelah dilantik pada Februari 2025.
    SF Hariyanto
    , yang jarang terlihat dalam agenda penting pemerintahan, baru-baru ini muncul dalam sebuah video pertemuan dengan
    Abdul Wahid
    .
    Pertemuan tersebut berlangsung di kediaman
    Gubernur Riau
    di Jalan Diponegoro, Kota Pekanbaru, pada Kamis, 30 Oktober 2025.
    Dalam video tersebut, tampak juga Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, yang sedang melakukan video call dengan Ustadz Abdul Somad.
    Abdul Wahid dan Hariyanto terlihat saling menyapa, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada keretakan di antara mereka.
    Namun, hanya tiga hari setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada Senin (3/11/2025), Abdul Wahid ditangkap
    KPK
    dalam operasi tangkap tangan (OTT).
    Selain Abdul Wahid, KPK juga menangkap Kadis PUPR Riau, M Arief Setiawan, dan Staf Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.
    Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.
    Menanggapi isu hubungan retak tersebut, SF Hariyanto membantahnya.
    “Ada yang tanya kenapa saya tidak tampil sejak dilantik. Saya tampil. Saya selalu bersama Pak Gubernur, kemarin kami ngopi, sudah salam-salaman,” kata Hariyanto saat pertemuan dengan media di Kantor Gubernur Riau, Kamis (6/11/2025).
    Ia menegaskan, tidak ada masalah antara dirinya dan Abdul Wahid.
    “Tidak ada masalah. Dia itu adik saya, tak ada masalah,” jelas Hariyanto.
    Menyangkut penangkapan Abdul Wahid oleh KPK, Hariyanto mengaku tidak mengetahui peristiwa tersebut.
    Ia menjelaskan bahwa sebelum penangkapan, ia sedang ngopi bersama Abdul Wahid dan Bupati Siak, Afni Zulkifli.
    “Saya tidak mengetahui (penangkapan) itu. Memang kebetulan pada saat itu saya sedang ngopi dengan Pak Gubernur dan Bupati Siak. Tiba-tiba ada ramai-ramai orang di luar. Setelah itu saya keluar dan pulang untuk shalat ashar. Setelah itulah banyak informasi penangkapan KPK,” ungkap Hariyanto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Usai Tahan Abdul Wahid dkk  

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Usai Tahan Abdul Wahid dkk  

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah sejumlah lokasi setelah menetapkan tiga tersangka kasus pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Salah satunya adalah rumah dinas Gubernur Riau.

    “Dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada wartawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 6 Oktober.

    Budi belum memerinci soal penggeledahan itu. Ia hanya memastikan segala temuan bakal disampaikan ke publik.

    Selain itu, semua pihak diminta kooperatif terhadap proses hukum yang berjalan. “KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan ini, agar dapat berjalan efektif,” tegas Budi.

    “Kami akan sampaikan perkembangannya secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini,” sambung dia.

    Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan tiga tersangka dugaan pemerasan terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mereka adalah Gubernur Riau Abdul Wahid; M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; serta Dani M. Nursalam selaku tenaga ahli Gubernur Riau.

    Adapun penetapan tersangka ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November. Mereka sudah dilakukan penahanan selama 20 hari pertama hingga 23 November 2025.

    Kasus ini bermula saat adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Diduga ada kesanggupan pemberian fee yang sebesar 2,5 persen yang kemudian dibahas di sebuah kafe di kawasan Kota Pekanbaru, Riau. Pembahasan dilakukan antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP bersama enam UPT.

    Kemudian Ferry menyampaikan hasil pertemuan itu kepada M. Arief selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dan representatif Abdul Wahid. Tapi, Arief justru minta sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar dan mengancam akan mencopot Kepala UPT yang tak menyetor.

    Akibat perbuatannya, para tersangka melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • KPK Beberkan Alasan Jerat Gubernur Riau dengan Pasal Pemerasan

    KPK Beberkan Alasan Jerat Gubernur Riau dengan Pasal Pemerasan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyangkakan pasal untuk Gubernur Riau Abdul Wahid beserta 2 tersangka lainnya terkait dengan gratifikasi dan pemerasan, bukan pasal suap.

    Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan Abdul Wahid dalam perkara ini merupakan gubernur yang memiliki jabatan tertinggi dalam struktur pemerintah provinsi. Namun, jabatan tersebut justru disalahgunakan untuk memperoleh uang dari anak buahnya.

    “Kenapa bukan suap ini kan sudah dijelaskan tadi bahwa ada permintaan gubernur. Jadi kalau pemerasan itu yang aktif ini adalah pejabatnya. Orang yang punya peran, orang yang punya jabatan tertentu yang kemudian bisa dimanfaatkan jabatan itu sehingga kemudian dia bisa meminta sesuatu,” kata Tanak, dikutip Kamis (6/11/2025).

    Tanak menambahkan, permintaan dari gubernur disertai ancaman berupa pencopotan jabatan bagi pejabat yang tidak mematuhi perkataannya. Menurutnya, jika seseorang tidak memiliki kekuasaan, maka tidak mungkin melakukan hal tersebut.

    “Karena yang aktif adalah gubernur meminta berarti ini pemerasan. Bukannya nyuap. Kalau nyuap orang yang tidak berkuasa memberikan sesuatu kepada penguasa,” ujar Tanak.

    Tanak mengatakan, suap bertujuan agar penerima suap dapat memenuhi permintaan dari penyuap. Dalam perkara ini, kata Tanak, tidak mungkin kepala dinas meminta kepada gubernur dalam bentuk uang.

    Pada Rabu (5/11/2025), KPK menetapkan tiga tersangka karena diduga melakukan pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Ketiganya meminta para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP membagikan fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5% atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar atau terjadi kenaikan Rp106 miliar.

    Namun, fee naik menjadi 5% atau Rp7 miliar dari total penambahan anggaran. Meski begitu, uang yang baru diserahkan mencapai Rp4,05 miliar.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Wagub Riau Bantah Laporkan Gubernur Abdul Wahid ke KPK

    Wagub Riau Bantah Laporkan Gubernur Abdul Wahid ke KPK

     

    Liputan6.com, Pekanbarui – Terkait dugaan korupsi pemerasan yang menyeret Gubernur Riau Abdul Wahid, Pelaksana Tugas Gubernur Riau SF Hariyanto membantah dirinya diperiksa bahkan disebut menjadi saksi pelapor kasus korupsi tersebut.

    SF Hariyanto yang sebelumnya merupakan Wakil Gubernur Riau dan saat ini ditunjuk menteri dalam negeri sebagai Plt Gubernur Riau itu mengaku bingung dengan tuduhan tersebut.

    Untuk itu dia menegaskan bahwa dirinya tidak tahu dengan kasus tersebut meskipun mengetahui ketika Abdul Wahid ditangkap.

    “Saya bersumpah, saksi pelapor apa? Itu di sana semua anak buah saya semua, apa mungkin saya masukkan semua ke penjara. Saya tak tahu, saya tak ada melapor-lapor, jadi saya katakan itu fitnah,” katanya di Pekanbaru, Kamis (6/11/2025).

    Dia mengakui memang mengetahui adanya penangkapan Abdul Wahid karena dirinya memang bersama yang bersangkutan.

    “Memang saat itu, kebetulan, saya bersama Abdul Wahid dan Bupati Siak Afni Zulkifli duduk bersama di kafe yang jadi lokasi penangkapan Abdul Wahid, tetapi saya hanya tahu ramai ada orang di luar dan setelah itu pun langsung pulang,” katanya.

    “Kami lagi ngopi lalu pada ramai tamu di luar jadi memang Wagub tahu kami di dalam kafe belakang. Ada Bupati Siak, saya lihat keluar sudah ramai. Jadi kalau saya tahu memang saya tahu, setelah itu saya langsung pulang, sholat, dan tak tahu lagi kejadian,” ungkapnya.

    “Saya dengan gubernur saat itu ngopi barang dan ibu Bupati Siak dan Faisal berempat ngopi, tahu tahu ketangkap. Kalau tahu gitu gak ke situ saya. Setelah ramai saya pulang, barang itu datang ke situ, saya kabur juga nanti saya diangkut pula,” tambahnya.

    Meski demikian dia berharap semoga gubernur dilancarkan dipermudah, diringankan bebannya. Dia pun memastikan roda pemerintahan dan pelayanan publik tetap berjalan.

    “Saya ada, sekda ada, asisten I II dan III, semua OPD siap tak ada satupun lumpuh dan tidak bekerja,” ujarnya.

  • KPK Ungkap Gubernur Riau Peras Anak Buah Sejak Awal Menjabat

    KPK Ungkap Gubernur Riau Peras Anak Buah Sejak Awal Menjabat

    Bisnis.com, JAKARTA — Tindakan pemerasan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid telah dilakukan sejak awal menjabat. Dia menyebut bahwa matahari hanya ada satu.

    Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Brigjen Asep Guntur Rahayu, mengatakan pada awal menjabat, Abdul mengumpulkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk merencanakan pemerasan.

    “Jadi awal-awal menjabat dia sudah mengumpulkan seluruh SKPD, seluruh dinas dikumpulkan termasuk juga dengan kepala-kepalanya yang dibawahnya dia, staff-staffnya salah satu yang dikumpulkan itu salah satu dinasnya adalah dinas PUPR dengan kepala UPT yang kepala UPT 1, 2, 3 sampai 6 ini khusus UPT jalan dan jembatan,” kata Asep, dikutip Kamis (6/11/2025).

    Pada momen itu, Abdul Wahid menyebut bahwa matahari hanya satu yang diartikan setiap kepala dinas harus tegak lurus kepada gubernur, di mana kepala dinas merupakan representasi dari gubernur.

    “Artinya ada gubernur dan kepala dinas ini adalah kepanjangan tangan dari gubernur sehingga apapun yang disampaikan kepala dinas itu adalah perintahnya gubernur, disampaikan demikian dan kalau yang tidak ikut atau tidak nurut akan dievaluasi,” ujarnya.

    Pernyataan evaluasi dianggap oleh kepala UPT sebagai sinyal jika tidak menuruti perintah gubernur, maka akan dicopot atau dimutasi dari jabatannya. 

    Sampai pada Maret 2025, Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau mengumpulkan 6 Kepala UPT untuk memberikan fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5%. 

    Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar atau terjadi kenaikan Rp106 miliar. 

    Namun, saat Ferry melaporkan kepada M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, Arief meminta kenaikan fee sebesar 5% atau Rp7 miliar. Hasil kenaikan disampaikan dengan kode “7 batang.”

    Meski begitu, uang yang baru diserahkan sebesar Rp4,05 miliar dari kesepakatan Rp7 miliar. Selama proses pengepulan uang, Ferry selalu diinstruksikan oleh Arief dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Bisnis.com, JAKARTA — Abdul Wahid kini resmi menjadi Gubernur Riau yang keempat tersandung kasus korupsi. Hal ini menambah daftar kasus rasuah yang dilakukan Kepala Daerah Provinsi Riau.

    Abdul Wahid bersama Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M.Nursalam ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (5/11/2025) terkait kasus pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “Kami menyampaikan rasa keprihatinan kita bersama. Sebab, upaya penindakan atas dugaan tindak pidana korupsi ini merupakan kali keempat yang terjadi di wilayah Provinsi Riau, ” kata Wakil Ketua Johanis Tanak dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Sebelum Abdul Wahid, KPK juga mencatat tiga Gubernur Riau yang melakukan tindak pidana korupsi, berikut rinciannya:

    1. Saleh Djasit 

    Saleh merupakan Gubernur Riau periode 1998-2003 yang perdana melakukan tindak pidana korupsi terkait mark-up pengadaan 20 mobil pemadam kebakaran menjadi Rp15,2 miliar. Uang tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2003.

    Proses hukum berlangsung pada tahun 2007 sampai 2008. Politikus Golkar itu terbukti merugikan negara sebesar Rp5,6 miliar. Dia divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan.

    Dia merupakan purnawirawan perwira TNI AD dengan pangkat akhir Letnan Jenderal. Dia juga pernah menjadi Danrem dan Pangkostrad.

    2. Rusli Zainal

    Rusli Zainal menjabat dua kali periode sejak 2003 hingga 2013. Kader Partai Golkar ini melakukan korupsi terkait gratifikasi untuk menerbitkan izin pemanfaatan hutan tanaman industri kepada 12 perusahaan.

    Kasus kedua adalah suap proyek pembangunan infrastruktur untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau. Dia divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, adapun atas kedua perkara tersebut negara rugi Rp265 miliar.

    Sebelum menjadi gubernur, Rusli pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Indragiri Hilir (1991-2001) dan setelahnya menjadi Bupati hingga 2003.

    3. Annas Maamun

    Gubernur Riau periode 2014-2019 melakukan korupsi suap dan gratifikasi terkait alih fungsi lahan hutan di Provinsi Riau. Dia menerima suap dari pengusaha agar merubah kebijakan status lahan perusahaan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau.

    Kasus yang terjadi pada 2014 tak lama dari dirinya dilantik sebagai Kepala Provinsi Riau. Pada tahun 2015, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta (subsider 6 bulan kurungan). Lalu, Mahkamah Agung memperberat hukuman menjadi 7 tahun penjara setelah jaksa mengajukan kasasi.

    Namun Annas memperoleh Grasi dari Presiden ke-7 Jokowi pada tahun 2019. Meski begitu, pada 2022, Annas kembali terjerat ditangkap KPK karena kasus suap anggota DPRD Riau terkait pengesahan APBD 2014-2015. Dia divonis 1 tahun penjara. 

    Annas pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Rokan Hilir periode 1999-2004 kemudian menjadi Bupati Rokan Hilir sampai 2014.

  • PKB Minta KPK Usut Tuntas Perkara Dugaan Pemerasan yang Jerat Gubernur Riau

    PKB Minta KPK Usut Tuntas Perkara Dugaan Pemerasan yang Jerat Gubernur Riau

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cucun Ahmad Syamsurijal meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas perkara yang membuat Gubernur Riau Abdul Wahid menjadi tersangka.

    Dia mendesak agar KPK mencari pihak-pihak lainnya yang terjerat di kasus ini sehingga perkara terbuka secara terang benderang.

    “Nanti tolong dibuka seterang-terangnya siapa saja, misalkan ini kan jangan sampai karena kader kami misalkan sekarang tidak punya kekuatan apa-apa, sehingga bisa terjadi seperti ini, itu siapa yang di balik itu atau di belakang itu,” katanya kepada jurnalis, dikutip Kamis (6/11/2025).

    Sebagai informasi, Abdul Wahid merupakan kader PKB di Provinsi Riau. Lebih lanjut, Cucun mengatakan internal PKB akan melakukan komunikasi untuk memutuskan nasib Abdul Wahid di partai tersebut, termasuk bantuan hukum yang diberikan.

    “Saya juga nanti di pimpinan-pimpinan para wakil ketua umum kita akan bicarakan seperti apa langkah-langkah yang diambil,” ucap Cucun.

    Namun, dia tetap menghormati putusan yang diberikan lembaga antirasuah. Meskipun dirinya heran karena kader partainya tersandung kasus korupsi. 

    Wakil Ketua DPR itu juga mengimbau kepada seluruh pihak mulai dari legislatif hingga eksekutif agar tidak melakukan korupsi karena telah diberikan kepercayaan oleh rakyat mengemban jabatan. 

    “Mengingatkan kepada seluruh kader yang menjadi kepala daerah atau juga yang sekarang menjadi baik eksekutif maupun legislatif di bawah, diberikan kepercayaan semua untuk melihat satu gambaran seperti ini menjadi catatan jangan sampai terjadi lagi,” tutur Cucun.

    Pada Rabu (5/11/2025), KPK menetapkan tiga tersangka karena diduga melakukan pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Ketiganya meminta para kepala UPT Dinas PUPR PKPP membagikan fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5% atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar atau terjadi kenaikan Rp106 miliar.

    Namun, fee naik menjadi 5% atau Rp7 miliar dari total penambahan anggaran. Meski begitu, uang yang baru diserahkan mencapai Rp4,05 miliar.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • KPK Ungkap Gubernur Riau Gunakan Uang Hasil Pemerasan untuk Plesiran ke Malaysia, Brasil, hingga Inggris

    KPK Ungkap Gubernur Riau Gunakan Uang Hasil Pemerasan untuk Plesiran ke Malaysia, Brasil, hingga Inggris

    GELORA.CO  – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan fakta kasus dugaan pemerasan yang menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid. Lembaga antirasuah menyebut, uang hasil pungutan atau pemerasan yang dikumpulkan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP Riau digunakan untuk kepentingan pribadi sang gubernur, termasuk membiayai perjalanan ke luar negeri.

    Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan uang tersebut bersumber dari pungutan terhadap para pejabat di lingkungan Dinas PUPR PKPP Riau. 

    “Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya, Dani M. Nursalam,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

    Asep mengungkap, dana yang terkumpul dari pemerasan tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan operasional di dalam negeri, tetapi juga membiayai perjalanan Abdul Wahid ke sejumlah negara. 

    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris,” ujarnya.

    Selain perjalanan ke Inggris, Abdul Wahid disebut juga menggunakan sebagian uang hasil pemerasan itu untuk kunjungan ke Brasil. Menurutnya, perjalanan tersebut bukan bagian dari kegiatan resmi pemerintahan, melainkan agenda pribadi sang gubernur.

    “Selain ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tegasnya.

    Sebelumnya, KPK resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan/penerimaan hadiah atau janji di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Tahun Anggaran 2025. Penetapan tersangka ini terhadap Abdul Wahid setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Senin (3/11).

    Selain Abdul Wahid, KPK juga menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) M. Arief Setiawan; serta Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam yang merupakan kader PKB sebagai tersangka.

    Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menjelaskan, kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti melalui kegiatan penyelidikan hingga berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Riau.

    Tanak memaparkan, praktik suap itu bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yunanda, menggelar pertemuan dengan enam Kepala UPT Wilayah I–VI di salah satu kafe di Pekanbaru. 

    Dalam pertemuan tersebut, para peserta membahas kesanggupan memberikan fee yang akan disetorkan kepada Abdul Wahid sebagai imbalan atas penambahan anggaran tahun 2025. 

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP,” ucap Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

    Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan bahwa anggaran program pembangunan jalan dan jembatan itu mengalami lonjakan signifikan sebesar 147 persen, dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Setelah pertemuan awal, Ferry kemudian melapor kepada Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan, mengenai kesanggupan memberikan fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek

    Namun, Arief yang diduga mewakili Abdul Wahid menolak besaran tersebut dan meminta peningkatan menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

    “MAS (Muhammad Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid) meminta fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar,” ungkap Tanak. 

    Menurutnya, Abdul Wahid juga menggunakan tekanan jabatan untuk memastikan permintaan tersebut dipenuhi. Melalui Arief, Abdul Wahid mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak bersedia menyetujui permintaan tersebut. 

    “Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,