Tag: Abdul Wahid

  • OTT & Komitmen Antikorupsi Kepala Daerah

    OTT & Komitmen Antikorupsi Kepala Daerah

    Bisnis.com, JAKARTA – Operasi Tangkap Tangan (OTT) kembali mengguncang panggung politik daerah. Setelah publik dikejutkan oleh penangkapan Gubernur Riau, Abdul Wahid, kini giliran Bupati Ponorogo, Sugiri San coko, yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua kasus yang berdekatan ini menegaskan bahwa korupsi di tingkat daerah masih menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan.

    Kasus yang menimpa Bupati Ponorogo bukanlah anomali, melainkan bagian dari pola berulang korupsi di pemerintahan daerah, khususnya praktik jual beli jabatan. Fenomena ini memperlihatkan bahwa kekuasaan di tingkat daerah masih sering diperlakukan sebagai komoditas politik, bukan amanah publik. Ketika jabatan dijadikan alat transaksi, nilai profesionalisme birokrasi pun tergerus, dan pelayanan publik kehilangan arah moralnya.

    Akar persoalan ini tidak le pas dari sistem patronase politik yang melemahkan tata kelola pemerintahan daerah. Desentralisasi yang seharusnya memperkuat akun tabilitas dan inovasi, justru membuka ruang kom-promi antara elite politik dan birokrasi. Reformasi kelembagaan yang digagas selama ini sering terjebak dalam praktik clientelism dan kooptasi politik lokal, di mana loyalitas personal lebih diutamakan daripada kompetensi.

    Selain itu, dinamika politik daerah yang didominasi oleh koalisi mayoritas dan praktik politik dinasti semakin mempersempit ruang bagi reformasi antikorupsi. Manipulasi anggaran untuk kepentingan elektoral, terutama menjelang pemilu, kerap dikemas dalam bentuk program pemerintah daerah untuk menarik simpati pemilih. Fenomena ini menunjukkan bahwa politik anggaran masih dijadikan instrumen kekuasaan, bukan untuk menyejahterakan masyarakat.

    Padahal, lebih dari dua dekade sejak KPK berdiri, pemerintah telah meluncurkan berbagai inisiatif pencegahan korupsi seperti Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas-PK) dan Monitoring Center for Prevention (MCP). Stranas-PK menyediakan kerangka kerja nasional dalam upaya pencegahan korupsi lintas sektor.

    Sedangkan, MCP secara khusus menyoroti potensi korupsi di pemerintah daerah yang mencakup 8 area intervensi utama, yaitu perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pelayanan publik, pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), pengelolaan barang milik daerah (BMD), serta optimalisasi pajak daerah.

    Namun, efektivitas kedua program tersebut masih terbatas. Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menimbulkan tumpang tindih kebijakan serta inefisiensi pelaksanaan. Sisi lain, rapuhnya peran APIP dalam mengawasi pengelolaan keuangan daerah membuat pencegahan korupsi hanya berhenti di tingkat administratif, tanpa menyentuh akar masalah lebih dalam.

    Pengawasan eksternal seperti audit profesional sebe-narnya mampu menekan pe nyalahgunaan dana publik, tetapi efektivitasnya sering terhambat oleh rendahnya penegakan hukum. Sementara itu, pengawasan berbasis masyarakat masih menghadapi tantangan besar karena keterbatasan perlindungan terhadap pelapor (whistleblower).

    Oleh karena itu, reformasi antikorupsi tidak cukup mengandalkan instrumen hukum semata, melainkan harus dibangun di atas budaya integritas yang tumbuh dari dalam birokrasi. APIP perlu diperkuat dengan rencana aksi yang lebih terarah, pembentukan satuan tugas khusus, serta peningkatan kapasitas SDM agar dapat menjadi mitra strategis KPK dalam upaya pencegahan korupsi.

    Selain fungsi pengawasan, APIP juga perlu berperan sebagai konsultan dan penyedia jaminan mutu tata kelola pemerintahan daerah. Penguatan peran ini penting untuk meningkatkan disiplin anggaran, memperbaiki pelayanan publik, mengoptimalkan pengelolaan aset daerah, serta menumbuhkan sistem meritokrasi di lingkungan birokrasi.

    Pemerintah daerah juga perlu memperkuat mekanisme au dit publik dengan meningkatkan sanksi hukum dan memperketat rotasi auditor guna meminimalkan risiko kolusi. Program pendidikan antikorupsi bagi ASN harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan disesuaikan dengan konteks daerah untuk menumbuhkan budaya integritas di lingkungan kerja. Selain itu, perlindungan hukum bagi whistleblower perlu diperkuat melalui regulasi yang menjamin keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda dari ancaman atau tekanan. Reformasi antiko rupsi juga harus mencakup pembenahan struktur politik yang memungkinkan praktik korupsi terus bertahan. Transparansi dalam pendanaan politik serta penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menjadi langkah kru sial untuk mengurangi insentif korupsi di tingkat daerah.

    Reformasi kelembagaan, peningkatan kapasitas birokrasi, dan partisipasi masyarakat juga harus diperkuat untuk menciptakan ekosistem pemberantasan korupsi lebih tangguh dan berkelanjutan.

    Kasus OTT Bupati Ponorogo harus menjadi alarm keras bagi seluruh pemerintah daerah untuk menata ulang sis-tem kekuasaan yang koruptif. Dengan langkah-langkah konkret itu, diharapkan kebijakan antikorupsi dapat menjadi lebih efektif, sehingga memperkuat tata kelola pemerintahan daerah yang bersih dan akuntabel

  • Minibus Tabrak Truk Parkir di Jalur Pantura Tongas, Satu Penumpang Tewas

    Minibus Tabrak Truk Parkir di Jalur Pantura Tongas, Satu Penumpang Tewas

    Probolinggo (beritajatim.com) – Kecelakaan tragis terjadi di jalur Pantura Probolinggo pada Jumat (14/11) sekitar pukul 01.30 WIB. Sebuah minibus Kia bernomor polisi L-1716-P menabrak truk Mitsubishi P-8819-UL yang sedang terparkir di bahu jalan di Desa Bayeman, Kecamatan Tongas.

    Peristiwa itu bermula ketika minibus yang dikemudikan Kusdiarto Putro melaju dari arah timur membawa enam penumpang. Di lokasi kejadian, sebuah truk yang dikemudikan Puput Darmawan diketahui sedang berhenti untuk mengganti ban.

    Kanit Gakkum Satlantas Polres Probolinggo Kota, Ipda Muhammad Taufik Rahardian, menjelaskan bahwa pengemudi minibus diduga kurang fokus saat melintas. “Konsentrasi pengendara minim dan jaraknya terlalu dekat sehingga tabrakan tidak bisa dihindari,” ujarnya.

    Benturan keras membuat bagian depan minibus ringsek dan seluruh penumpang mengalami luka serius. Petugas yang datang ke lokasi langsung melakukan evakuasi ke RSUD Tongas.

    Beberapa penumpang yang terluka antara lain Abdul Wahid, Solehah, Dewi Qomariyah Hidayati, Mutmainah, dan Marhamah. Mereka berasal dari wilayah Rogojampi, Singojuruh, dan sekitarnya.

    Namun, kondisi Marhamah ternyata paling parah dan korban tidak dapat diselamatkan. Ia meninggal dunia akibat luka berat yang dialaminya.

    Sementara penumpang lainnya masih mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Petugas medis menyebut kondisi beberapa korban masih membutuhkan pengawasan ketat.

    Pihak kepolisian telah melakukan olah tempat kejadian perkara untuk memastikan kronologi lengkap kecelakaan. Kedua kendaraan yang terlibat juga telah diamankan sebagai barang bukti.

    Ipda Taufik menegaskan bahwa penyelidikan lanjutan akan tetap dilakukan. “Kami masih mendalami penyebab kecelakaan dan memeriksa saksi-saksi,” katanya.

    Polisi juga mengimbau para pengemudi agar meningkatkan kewaspadaan saat melintas di jalur Pantura, terutama pada malam hari. Kewaspadaan dinilai penting mengingat jalur tersebut kerap menjadi lokasi kecelakaan.  [ada/aje]

  • Gus Dur Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Pemkab Jombang Gelar Tasyakuran

    Gus Dur Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Pemkab Jombang Gelar Tasyakuran

    Jombang (beritajatim.com) – Suasana khidmat menyelimuti Pendopo Kabupaten Jombang saat acara tasyakuran digelar untuk merayakan penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Kamis malam (13/11/2025).

    Penganugerahan gelar ini, yang berlangsung pada 10 November 2025 di Istana Negara Jakarta, merupakan penghargaan negara atas perjuangan luar biasa Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan pendidikan Islam.

    Acara tasyakuran dihadiri oleh berbagai tokoh penting, mulai dari Bupati Jombang Warsubi, Forkopimda, jajaran Kepala OPD, alim ulama, tokoh agama, hingga pimpinan pondok pesantren.

    Dalam sambutannya, Bupati Warsubi mengungkapkan rasa syukur yang mendalam atas pengakuan negara terhadap jasa-jasa Gus Dur. “Syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT,” ujar Warsubi.

    Lebih lanjut, Warsubi menekankan bahwa gelar Pahlawan Nasional ini bukan hanya kebahagiaan bagi keluarga besar Gus Dur dan para Gusdurian, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Jombang, Jawa Timur, dan bangsa Indonesia.

    “Kita semua patut bersyukur dan berbangga, karena Kabupaten Jombang memiliki tokoh penting seperti beliau, yang telah berkontribusi besar bagi bangsa dan negara ini,” ungkapnya.

    Sebagai tokoh utama dalam memperjuangkan keterbukaan pemahaman keagamaan umat Islam dan sebagai pelopor pluralisme, Gus Dur diakui secara luas sebagai pemimpin yang tak hanya memberikan dampak besar di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional.

    Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini menambah daftar panjang pengakuan atas perjuangannya yang tak kenal lelah.

    Acara tasyakuran tersebut juga dihadiri oleh sepupu Gus Dur, KH Fahmi Amrullah Hadziq atau Gus Fahmi, Ketua PCNU Jombang, yang dalam sambutannya mengenang sosok Gus Dur yang ikhlas dan penuh manfaat.

    KH Fahmi Amrullah Hadziq, sepupu Gus Dur, saat sambutan

    Gus Fahmi mengungkapkan bahwa meskipun Gus Dur telah wafat, perjuangannya tetap memberi dampak positif. “Ketika beliau masih hidup, beliau memberikan manfaat kepada bangsa dan negara, bahkan setelah beliau wafat pun masih bisa memberikan manfaat dan menghidupi banyak orang, yaitu warga di sekitar makam,” tuturnya.

    Doa bersama ditutup dengan harapan agar seluruh amal jariyah Gus Dur terus mengalir, dan ditempatkan di tempat yang mulia oleh Allah SWT. Gus Fahmi juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden yang telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur, serta kepada Bupati Jombang dan seluruh jajaran pemerintahan yang turut mendukung pengakuan ini.

    Dengan penganugerahan ini, masyarakat Jombang kembali mengingat dan menghargai perjuangan Gus Dur sebagai pahlawan yang menginspirasi. Tasyakuran yang penuh haru ini menandai sebuah babak baru dalam pengakuan terhadap jasa-jasa besar Gus Dur, yang akan terus dikenang oleh generasi mendatang.

    Dengan penganugerahan Gus Dur sebagai Pahlawan Nasional, berarti ada empat Pahlawan Nasional asal Kota Santri. Karena sudah ada tiga Pahlawan Nasional. Mereka adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah, serta KH Abdul Wahid Hasyim. [suf]

  • Usut Kasus Pemerasan Gubernur Riau, KPK Geledah Kantor BPKAD dan Dinas Pendidikan

    Usut Kasus Pemerasan Gubernur Riau, KPK Geledah Kantor BPKAD dan Dinas Pendidikan

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) pada Rabu (12/11/2025). 

    Dari penggeledahan itu KPK menyita sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE) terkait pergeseran anggaran di Provinsi Riau.

    “Dalam lanjutan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah Provinsi Riau, Penyidik secara maraton melanjutkan giat penggeledahan di kantor BPKAD dan beberapa rumah pada Rabu (12/11),” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Kamis (13/11/2025).

    Pada hari ini, kata Budi, penyidik lembaga antirasuah akan mengeledah kantor Dinas Pendidikan

    “Tim akan melanjutkan giat penggeledahan di Dinas Pendidikan,” ujar Budi.

    Pada perkara ini, Gubernur Riau Abdul Wahid meminta ‘jatah preman’ sebesar Rp7 miliar. Fee berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP dari awalnya Rp71,6 miliar, menjadi Rp177,4 miliar. Ada kenaikan Rp106 miliar.

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry selaku Sekda PUPR PKPP Riau mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. 

    Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan melalui Arief, agar Ferry mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300juta.

    KPK juga menetapkan tersangka dan menahan Gubernur Riau Abdul Wahid, M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

  • Masih Kasus Gubernur Abdul Wahid, KPK Geledah Kantor BPKAD hingga Dinas Pendidikan Riau

    Masih Kasus Gubernur Abdul Wahid, KPK Geledah Kantor BPKAD hingga Dinas Pendidikan Riau

    Masih Kasus Gubernur Abdul Wahid, KPK Geledah Kantor BPKAD hingga Dinas Pendidikan Riau
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Setelah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Riau dan beberapa rumah lainnya pada Rabu (12/11/2025).
    Penggeledahan itu masih berkaitan dengan pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap
    Gubernur Riau
    , Abdul Wahid.
    “Penyidik secara maraton melanjutkan giat penggeledahan di kantor BPKAD dan beberapa rumah pada Rabu (kemarin),” kata Juru Bicara
    KPK
    , Budi Prasetyo, kepada wartawan, Kamis (13/11/2025).
    Dari penggeledahan tersebut, penyidik KPK menyita dokumen dan barang bukti elektronik terkait pergeseran anggaran di Provinsi Riau.
    “Hari ini, Kamis, melanjutkan giat penggeledahan di Dinas Pendidikan,” tegas dia.
    KPK menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh masyarakat, khususnya di wilayah Riau, yang terus mendukung penuh penegakan hukum ini.
    “Mengingat, masyarakatlah sebagai pihak yang paling dirugikan akibat korupsi yang secara nyata telah mendegradasi kualitas pembangunan dan pelayanan publik,” jelas dia.
    Sebelumnya, KPK menangkap 10 orang dalam operasi senyap di Riau pada Senin (3/11/2025).
    Mereka di antaranya Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda, dan Tata Maulana yang merupakan orang kepercayaan Abdul Wahid.
    Kemudian, satu orang lain atas nama Dani M. Nursalam yang merupakan Tenaga Ahli Gubernur Riau Abdul Wahid menyerahkan diri pada Selasa (4/11/2025) petang.
    Menurut hasil pemeriksaan, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Istri Abdul Wahid Curhat ke UAS , Ngaku Uang Dolar Sitaan KPK Tabungan untuk Berobat Anak

    Istri Abdul Wahid Curhat ke UAS , Ngaku Uang Dolar Sitaan KPK Tabungan untuk Berobat Anak

    GELORA.CO – Uang Sitaan KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan di Provinsi terhadap Gubernur Riau dan Kepala Dinas PUPR, memunculkan sejumlah fakta baru, setelah orang dekat Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid buka suara.

    Henny Sasmita istri Gubernur Riau Nonaktif, Abdul Wahid menceritakan perihal sebenarnya kepada Ustadz Abdul Somad (UAS) dan Ustadz Alnofiandri Dinar sebagai sahabat dekat suaminya sebelum ia berangkat ke Jakarta, pasca penetapan suaminya sebagai tersangka.

    Selasa (4/11/2025) pagi setelah Abdul Wahid dibawa ke Jakarta, istri Abdul Wahid datang ke pesantren Az Zahra, pesantren milik UAS di Rimbo Panjang. Ia curhat dan minta doa ke Ustadz Abdul Somad agar diberi kekuatan menghadapi persoalan tersebut.

    Sebab Henny begitu terpukul dengan peristiwa OTT yang menurutnya tidak mungkin dilakukan suaminya dan yakin suaminya tidak melakukan itu.

    Pada saat di Pesantren menurut cerita Ustadz Alnofiandri Dinar, Henny menyampaikan apa perasaannya saat itu. Dia terpukul dengan kejadian itu. Sangat syok serta kaget sekali dengan kejadian ini.

    “Karena sebelumnya tidak pernah informasi terkait ini, kemudian beliau rasanya sangat yakin dengan suaminya, selama di dunia politik sudah lebih 20 tahun, belum pernah ada track record informasi miring terhadap Abdul Wahid,” ujar Alnofiandri .

    Henny Sasmita juga menyampaikan isi hatinya dengan meyakini itu dan selama menjadi Gubernur sering mengingatkan suaminya untuk bekerja lurus dan menjaga nama UAS serta jaga nama Riau, sehingga ia sangat kaget dengan informasi penangkapan suaminya ini.

    Namun ada kejanggalan yang diceritakan Henny Sasmita dari OTT tersebut, terutama uang berbentuk Poundsterling dan Dolar yang disita di kediaman pribadinya di Jakarta, uang tersebut merupakan tabungan untuk anak.

    “Dari informasi beliau, uang itu sengaja ditabung, yang ditargetkan untuk berobat anak beliau, kemudian uang itu sebagian merupakan SPPD dan dana yang sisa dulu, disimpan dalam bentuk valuta asing, sehingga uang itu berasal dari kerja beliau, sebelumnya yang disimpan di Jakarta, dan tidak perlu dibawa ke Pekanbaru karena masih bolak balik ke Jakarta,” ujar Alnofiandri menceritakan.

    Karena lanjut Alnofiandri, Abdul Wahid, selain politikus juga dikenal seorang pengusaha, oleh karena itu, kepentingan terhadap valuta asing itu adalah sebuah kepentingan yang lumrah.

    “Jumlahnya juga tidak besar 800 juta untuk seorang pengusaha dan politikus yang sudah panjang perjalanannya menurut kami jumlah yang sangat lumrah. Oleh karena itu, uang itu adalah dana simpanan bukan sebagai uang setoran,” ujarnya.

    Saat ini istri Abdul Wahid menurut Alnofiandri, karena status Gubernur sudah nonaktif maka sudah kembali pada tugas awal, tugas sebagai pegawai di Badan Penghubung Riau di Jakarta.

    “Begitu suaminya tersangka maka langsung balik ke Jakarta dan menjalankan tugas dinasnya ditengah kondisinya yang masih syok terpukul mental,” jelasnya.

    “Saya harus kuat dan saya harus kuatkan anak saya dan saya harus kembali bekerja. Saya tidak akan peduli apa nanti cakap orang, mau diapakan orang terserah. Yang jelas saya berusaha lagi masuk ke kantor sebagai ASN,” ujar Alnofiandri menirukan pernyataan Henny sebelum berangkat ke Jakarta.

    Saat diskusi dengan istri Abdul Wahid, menurutnya semua tuduhan yang dituduhkan mulai dari Jatah preman dan setoran soal jabatan semuanya dibantah politisi PKB tersebut.

    “Saya diskusi dengan istri Wahid, dibantahnya semua tuduhan itu. Mulai dari Japrem proyek dan Japrem soal jabatan serta tuduhan lainnya,” tegas Alnofiandri.

    Pihaknya berharap masyarakat Riau berbaik sangka dengan Abdul Wahid, dengan hormati hukum ini berjalan. Kemudian meminta sesama orang Riau jangan saling menghakimi dan jangan saling framing sesama.

    “Kita mendoakan agar ini berjalan baik, hasilnya untuk kebaikan negeri dan mudah-mudahan Abdul Wahid bebas tidak ditetapkan sebagai terpidana. Beliau punya niat baik dan membuat program yang baik untuk masyarakat, sampai saat ini berbagai program,” ujarnya.

    Tribunpekanbaru.com mencoba melakukan komunikasi langsung dengan Henny Sasmita namun belum bersedia untuk diwawancarai langsung, karena kondisinya juga masih syok dan trauma berat.

    KPK Sita Rp 1,6 Miliar

    Sebelumya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita uang Rp 1,6 miliar dalam pecahan Dollar AS, Pound Sterling, dan Rupiah saat operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan Gubernur Riau, Abdul Wahid.

     Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, uang-uang dalam pecahan Dollar AS dan Pound Sterling disita di rumah Abdul Wahid di Jakarta.

    “Dan untuk uang-uang dalam bentuk Dollar AS dan Pound Sterling diamankan di Jakarta. Di salah satu rumah milik saudara AW (Abdul Wahid),” kata Budi di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

    “Untuk uang-uang yang diamankan dalam bentuk Rupiah itu diamankan di Riau,” sambungnya.

    Budi mengatakan, uang sebesar Rp 1,6 miliar yang disita bukan penyerahan pertama.

    KPK menduga Abdul Wahid sebelumnya sudah pernah menerima penyerahan-penyerahan lainnya.

    “Artinya kegiatan tangkap tangan ini adalah bagian dari beberapa atau dari sekian penyerahan sebelumnya. Jadi sebelum kegiatan tangkap tangan ini diduga sudah ada penyerahan-penyerahan lainnya,” ujarnya.

    Geledah Sejumlah Tempat di Pekanbaru

    Setelah melakukan operasi tangkap tangan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengembangkan perkara tersebut.

    Penyidik KPK telah menggeledah kantor Gubernur Riau Abdul Wahid pada Senin (10/11/2025).

    Sebagai informasi, sebelumnya KPK sudah menggeledah Kantor Dinas PUPR PKPP Riau, rumah dinas hingga rumah pribadi.

    Saat menyambangi kantor Gubernur, tim penyidik KPK datang menggunakan delapan unit mobil dan langsung memasuki kantor berlantai tiga itu, dengan pengawalan personel Brimob Polda Riau bersenjata. 

    Hari ini Rabu (12/11/2025), KPK terlihat mendatangi kantor Dinas BPKAD Riau.

    Setelah enam jam lebih melakukan penggeledahan, tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya meninggalkan Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Riau, Rabu (12/11/2025) sore.

    Pantauan di lokasi, tim KPK keluar dari gedung yang berlokasi di Jalan Cut Nyak Dien, Pekanbaru itu sekitar pukul 15.14 WIB. Berbeda dari penggeledahan sebelumnya, kali ini penyidik tampak tidak membawa koper yang berkas seperti penggeledahan di beberapa lokasi sebelumnya.

    Terlihat hanya satu kotak karton air mineral saja yang dibawa oleh petugas KPK. Kotak itu kemudian dimasukkan ke bagasi salah satu mobil yang ditumpangi tim KPK.

    Menurut keterangan seorang pegawai yang bertugas di Kantor BPKAD Riau, petugas KPK tiba di lokasi sejak pagi.

    “Iya dari pagi bang, sekitar jam 9 lah, lama juga mondar-mandir sampai sore ni baru keluar,” ujar seorang pegawai yang meminta namanya tidak ditulis.

  • KPK Geledak Kantor BPKAD Terkait Kasus Dugaan Korupsi Gubernur Riau

    KPK Geledak Kantor BPKAD Terkait Kasus Dugaan Korupsi Gubernur Riau

    Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan menyita dokumen pergeseran anggaran saat menggeledah Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Dinas PUPR-PKPP) Riau pada Selasa 11 November 2025.

    “Dalam penggeledahan tersebut, penyidik menyita dokumen terkait pergeseran anggaran di Dinas PUPRPKPP,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, melansir Antara, Rabu (12/11/2025).

    Selain itu, Budi mengatakan, penyidik KPK menyita barang bukti elektronik saat menggeledah kantor dinas tersebut.

    Sebelumnya, pada 3 November 2025, KPK mengonfirmasi penangkapan Abdul Wahid selaku Gubernur Riau dan delapan orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT).

    Pada 4 November 2025, KPK mengumumkan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam menyerahkan diri kepada lembaga antirasuah tersebut.

    Selain itu, KPK pada tanggal yang sama, mengonfirmasi sudah menetapkan tersangka pasca-OTT tersebut. Namun, belum dapat memberitahukan secara detail kepada publik.

    Pada 5 November 2025, KPK mengumumkan menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid (AW), Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau M. Arief Setiawan (MAS), serta Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam (DAN) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.

     

  • Bongkar Pemerasan di Pemprov Riau, KPK Sita Dokumen Anggaran Dinas PUPR

    Bongkar Pemerasan di Pemprov Riau, KPK Sita Dokumen Anggaran Dinas PUPR

    Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik KPK kembali melakukan penggeledahan untuk mengusut dugaan pemerasan di Lingkungan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Riau. Penggeledahan menyasar kantor Dinas PUPR Pemprov Riau

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan penggeledahan dilakukan pada hari Selasa (11/11/2025). Tim KPK menyita beberapa barang bukti, salah satunya dokumen anggaran Dinas PUPR 

    “Penyidik kembali melanjutkan giat penggeledahan di Dinas PUPR Prov Riau. Dalam penggeledahan tersebut, Penyidik menyita dokumen dan BBE terkait pergeseran anggaran di Dinas PUPR,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Rabu (12/11/2025).

    Pada perkara ini, Gubernur Riau Abdul Wahid meminta ‘jatah preman’ sebesar Rp7 miliar. Fee berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP dari awalnya Rp71,6 miliar, menjadi Rp177,4 miliar. Ada kenaikan Rp106 miliar.

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry selaku Sekda PUPR PKPP Riau mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. 

    Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan melalui Arief, agar Ferry mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300juta.

    KPK juga menetapkan tersangka dan menahan Gubernur Riau Abdul Wahid, M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah 

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan

    Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan

    Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    KETIKA
    rakyat berjuang menegakkan keadilan, sebagian pejabat menjadikannya komoditas. Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi hukum, korupsi terus berulang, seperti upacara tahunan.
    Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sejatinya hanyalah cermin dari wajah kekuasaan yang lama: jabatan diperjualbelikan, tanggung jawab publik digadaikan.
    Dalam lanskap politik yang penuh retorika moral, terbentuk sebuah tatanan baru—Republik Tikus Berdasi.
    Tikus berdasi bukan sosok pencuri kelas bawah. Mereka berjas, berpidato tentang integritas, menandatangani pakta antikorupsi, bahkan mengutip ayat moralitas di depan publik.
    Namun, di balik dasi dan pidato, berlangsung perampokan uang rakyat secara sistematis. Lubang gelap tidak lagi berada di gudang beras, tetapi di proyek infrastruktur, anggaran daerah, dan mutasi jabatan.
    Ketika kekuasaan berubah menjadi sarana perampasan,
    korupsi
    menjelma pelanggaran terhadap
    hak asasi
    manusia.
    Korupsi sejatinya bukan sekadar penggelapan keuangan negara. Tindakan tersebut merampas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.
    Setiap rupiah yang disedot dari kas publik berarti hilangnya kesempatan anak untuk belajar, pasien untuk sembuh, dan warga miskin untuk hidup bermartabat.
    Korupsi menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak menumpahkan darah, tetapi mematikan harapan dan martabat manusia secara perlahan.
    Fenomena korupsi di republik ini telah melampaui batas penyimpangan moral. Praktik tersebut telah bertransformasi menjadi budaya kekuasaan: dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga birokrasi kecil. Pergantian pejabat hanya mengganti wajah, bukan sistem.
    Ketika hukum kehilangan wibawa dan pengawasan menjadi seremonial, republik ini hanya menukar pelaku, bukan menghentikan kejahatan.
    Dalam tatanan semacam itu, tikus berdasi bukan lagi pengecualian, melainkan representasi paling jujur dari kekuasaan yang gagal menjaga amanat rakyat.
    Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga merusak sendi-sendi kemanusiaan. Tindakan tersebut meniadakan kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.
    Dalam perspektif hukum internasional, korupsi digolongkan sebagai salah satu penghalang utama bagi penikmatan hak-hak dasar warga negara, sebagaimana ditegaskan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
    Bahkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit mengaitkan praktik korupsi dengan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
    Kasus operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah di wilayah Sumatra menunjukkan bahwa kekuasaan publik telah berubah menjadi instrumen rente.
    Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian publik justru dimanfaatkan untuk menekan bawahan dan mengutip “jatah” dari anggaran pembangunan infrastruktur.
    Praktik tersebut mengakibatkan hak masyarakat atas pembangunan, mobilitas, dan kesejahteraan sosial dirampas oleh struktur kekuasaan yang korup.
    Korupsi semacam ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghambat pemenuhan hak ekonomi dan sosial warga secara langsung.
    Kasus lain di daerah Jawa Timur mengungkap pola serupa. Operasi tangkap tangan yang melibatkan kepala daerah di wilayah tersebut menyingkap praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan.
    Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi dan keadilan administratif, tetapi juga mengingkari hak warga negara atas pemerintahan yang bersih dan adil.
    Ketika jabatan diperdagangkan, sistem pelayanan publik kehilangan nilai moralnya, dan hukum kehilangan kemampuan korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
    Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024, dari skor 34 menjadi 37, sering dijadikan penanda keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun, di balik kenaikan itu, terdapat catatan penting yang tidak dapat diabaikan.
    Laporan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan penurunan skor pada indikator penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik lintas cabang kekuasaan, serta penyuapan dalam pengadaan dan bisnis publik.
    Sementara itu, kajian lembaga masyarakat sipil mengungkap bahwa selama tahun 2024 hingga awal 2025, tidak ada kebijakan antikorupsi yang diimplementasikan secara sistematis.
    Kenaikan skor IPK tidak dapat dibaca sebagai tanda pulihnya integritas bangsa. Skor tersebut lebih merefleksikan persepsi global yang fluktuatif ketimbang kemajuan substantif dalam penegakan hukum.
    Indikator kuantitatif tidak mampu menutupi kenyataan bahwa praktik korupsi di tingkat pemerintahan pusat dan daerah masih berulang.
    Ketika angka persepsi dijadikan ukuran keberhasilan, pemberantasan korupsi berisiko terjebak pada simbolisme statistik tanpa reformasi yang nyata.
    Dalam kerangka hak asasi manusia, korupsi memenuhi unsur pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimuat dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diaksesi oleh Indonesia.
    Setiap penyalahgunaan anggaran publik berarti meniadakan hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
    Korupsi dalam pelayanan publik mengakibatkan keterlantaran sosial yang bersifat sistematis, di mana hak hidup layak dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
    Oleh karena itu, korupsi pantas disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar pelanggaran hukum administratif.
    Negara hukum kehilangan maknanya ketika hukum berhenti menjadi instrumen keadilan dan berubah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang korup.
    Dalam situasi seperti ini, pelanggaran terhadap hukum bukan lagi tindakan menyimpang, melainkan bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri.
    Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya “mengabdi kepada manusia,” bukan kepada struktur kekuasaan yang menindas.
    Namun, ketika kepentingan politik dan ekonomi mendominasi, hukum kehilangan jiwa sosialnya, dan negara hukum berubah menjadi sekadar negara peraturan tanpa keadilan.
    Kondisi tersebut menggambarkan regresi moral yang serius dalam politik hukum pemberantasan korupsi.
    Reformasi hukum yang diharapkan mampu menegakkan akuntabilitas justru stagnan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa pada tahun 2024 tidak ada langkah strategis yang menunjukkan kemauan politik kuat dalam memperkuat sistem antikorupsi.
    Ketiadaan kemauan politik ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeremy Pope sebagai “the politics of tolerance toward corruption”—politik yang secara diam-diam menoleransi korupsi demi stabilitas kekuasaan.
    Korupsi yang dibiarkan tanpa perbaikan sistemik menggerus legitimasi negara di mata rakyat. Seperti dikemukakan Robert Klitgaard, korupsi tumbuh subur ketika terdapat
    monopoly of power, discretion, and absence of accountability.
    Ketiga unsur tersebut masih menjadi karakter utama birokrasi dan politik Indonesia. Ketika pengawasan internal hanya bersifat administratif dan lembaga penegak hukum terjebak dalam kompromi politik, pengendalian terhadap korupsi hanya menjadi formalitas.
    Dalam keadaan semacam ini, hukum kehilangan daya korektifnya, dan aparat penegak hukum kehilangan otoritas moral di hadapan publik.
    Fenomena ini menegaskan pandangan Eko Riyadi bahwa korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM struktural karena melibatkan relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan warga.
    Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menihilkan hak atas pemerintahan yang bersih dan partisipatif.
    Ketika korupsi merasuk ke dalam sistem politik dan birokrasi, pelanggaran HAM tidak lagi bersifat insidental, melainkan sistemik.
    Dalam hal ini, pemberantasan korupsi tidak cukup berhenti pada penegakan hukum pidana, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari agenda kemanusiaan untuk memulihkan keadilan sosial.
    Negara hukum sejatinya berdiri di atas dua fondasi: legitimasi moral dan integritas kelembagaan. Tanpa keduanya, hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan yang menindas, bukan yang membebaskan.
    Negara yang gagal menegakkan hukum terhadap korupsi sesungguhnya telah gagal menegakkan hak asasi manusia.
    Karena itu, pertarungan melawan korupsi bukan semata perang terhadap pencurian uang negara, melainkan perjuangan mempertahankan kemanusiaan dalam wajah negara yang telah lama kehilangan moralnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Geledah Kantor Gubernur Riau, KPK Sita Dokumen Anggaran Pemprov

    Geledah Kantor Gubernur Riau, KPK Sita Dokumen Anggaran Pemprov

    Bisnis.com, JAKARTA – KPK melakukan penggeledahan di kantor Gubernur Riau terkait kasus dugaan pemerasan, pemotongan anggaran, dan gratifikasi, pada Senin (10/11/2025).

    Tim lembaga antirasuah KPK menyita barang bukti elektronik dan sejumlah dokumen, salah satunya dokumen anggaran Pemerintah Provinsi Riau. 

    “Dalam penggeledahan tersebut, penyidik mengamankan sejumlah dokumen dan barang bukti elektronik (BBE), diantaranya yang terkait dengan dokumen anggaran pemprov Riau,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Selasa (11/11/2025).

    Tim juga meminta keterangan kepada Sekretaris Daerah (Sekda) dan Kepala Bagian (Kabag) Protokol. Namun dirinya belum dapat menyampaikan materi pemeriksaan terhadap dua pejabat penyelengara negara tersebut.

    Budi mengatakan penggeledahan bertujuan agar penyidik dapat mengungkapkan fakta-fakta lainnya. Dia mengimbau kepada pihak-pihak terkait untuk bersikap kooperatif.

    Penggeledahan berkaitan dengan kasus dugaan korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau yang menjerat sang Gubernur, Abdul Wahid. Dia sebagai pihak penerima, meminta anak buah memberikan fee atas kenaikan anggaran UPT di Dinas PUPR Riau.

    Selain Abdul, KPK juga menetapkan tersangka dan menahan M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.

    Fee berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP dari awalnya Rp71,6 miliar, menjadi Rp177,4 miliar. Ada kenaikan Rp106 miliar.

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry selaku Sekda PUPR PKPP Riau mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. 

    Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan melalui Arief, agar Ferry mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.