OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi
Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
LAGI
dan lagi, pejabat daerah ditangkap karena korupsi. Kali ini, publik dikejutkan tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengikuti pendahulunya, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, Wahid menorehkan namanya dalam rapor merah Gubernur Riau sejak era otonomi daerah yang berhadapan dengan hukum akibat kasus rasuah.
Sebagai orang yang pernah tinggal lama dan tumbuh berkembang di daerah itu, penulis merasa malu dengan rentetan praktik korupsi yang tak kunjung hilang.
Provinsi yang dikenal kaya minyak itu kembali menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi pembangunan, melainkan karena keberhasilannya mempertahankan reputasi sebagai daerah dengan kepala daerah terbanyak yang ditangkap KPK.
Prestasi ini melampaui Sumatea Utara yang sebelumnya bersaing ketat dalam urusan “maling uang rakyat”.
Khusus untuk daerah Riau, praktik ini bukan hanya domain tingkat provinsi. Di kabupaten dan kota, cerita serupa berulang: belasan atau bahkan lebih dari dua puluh bupati, wali kota, dan wakilnya di Riau terseret kasus korupsi sejak otonomi daerah diberlakukan.
Korupsi di Indonesia bukan hal alamiah. Ia tumbuh sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang panjang dan berlapis.
Pada masa kolonial Belanda, praktik
culturstelsel
dan sistem pajak tanah melahirkan lapisan pejabat pribumi yang disebut pangreh praja (projo). Mereka diberi kewenangan untuk menarik pajak dan mengatur rakyat, tetapi minim pengawasan.
Di banyak catatan kolonial, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat lokal dianggap biasa, bahkan dilegalkan sepanjang setoran ke pusat tetap mengalir. Inilah akar awal dari relasi kekuasaan dan rente yang terus membekas hingga era negara modern.
Pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno memang menolak praktik korupsi. Dalam pidatonya, Soekarno bahkan mengakui adanya “mental korupsi”.
Namun, lemahnya institusi dan konflik politik menjadikan praktik tersebut terbiarkan, terlebih lagi para penyintas dapat juga membantu eksistensi kekuasannya.
Korupsi mencapai tingkat paling sistematik ketika Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
Orde Baru menciptakan apa yang disebut Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) sebagai
state corporatism
, yakni negara yang bekerja sama dengan perusahaan dan militer untuk menguasai sumber daya ekonomi. Korupsi dalam rezim ini bersifat tersentralisasi.
Soeharto dan keluarganya mengendalikan konsesi hutan, migas, hingga monopoli perdagangan melalui kroni-kroni dekatnya dan kaum konglomerat.
Birokrasi dan aparat daerah ikut menikmati remah kekuasaan itu melalui sistem setoran vertikal. Korupsi menjadi hierarkis: ada tarif untuk mengamankan jabatan camat, bupati, gubernur hingga menteri; semua berjalan dalam logika patron-klien.
Samuel P. Huntington dalam
Political Order in Changing Societies
(1968) mengingatkan bahwa korupsi sering kali bukan sekadar degradasi moral, tetapi tanda bahwa lembaga politik tidak berkembang secepat mobilisasi sosial.
Indonesia kala itu mengalami gejala itu: modernisasi ekonomi berjalan cepat, tetapi institusi pengawasan tetap lemah dan personalistik.
Pada 1998, Orde Baru runtuh. Publik berharap reformasi akan memutus mata rantai kekuasaan dan korupsi.
Salah satu jawaban politis terhadap krisis legitimasi adalah mengubah struktur negara dari sentralistik menjadi desentralistik.
Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Semangatnya sederhana: kekuasaan dan anggaran harus turun ke daerah agar kesejahteraan lebih merata, dan rakyat lebih dekat dengan penguasa sehingga lebih mudah mengawasi.
Namun, harapan itu berbelok arah. Kekuasaan memang diturunkan, tetapi tidak disertai pengawasan yang kuat.
Bupati, wali kota, dan gubernur diberi kewenangan mengelola Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan perizinan investasi, tetapi mekanisme etik, hukum, dan politik lokal belum siap mengawasi. Desentralisasi membentuk apa yang disebut banyak ilmuwan sebagai “raja-raja kecil”.
Namun, desentralisasi itu melahirkan ironi. Kekuasaan memang berpindah, tetapi pengawasan tidak ikut menguat.
Banyak kepala daerah justru berubah menjadi raja kecil (
little kings
). Fenomena ini dikaji tajam oleh Vedi R. Hadiz dalam bukunya
Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
(2010).
Hadiz menyimpulkan bahwa desentralisasi tidak membongkar oligarki Orde Baru; ia hanya “memindahkannya” dari Jakarta ke daerah-daerah.
Oligarki lama menemukan wajah baru: gubernur, bupati, wali kota, DPRD, dan jaringan bisnis lokal. Korupsi tidak menghilang, hanya berganti alamat.
Penelitian Edward Aspinall dan Mietzner (2010) menunjukkan bahwa biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur meningkat drastis pascapilkada langsung yang dimulai tahun 2005 (UU No. 32/2004).
Untuk memenangkan pilkada, kandidat harus mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Setelah menang, mereka “memulihkan modal” lewat proyek APBD, pendapatan asli daerah, hingga jual beli jabatan.
Robert Klitgaard (1988), memberi rumus klasik korupsi:
corruption
=
monopoly
+
discretion
–
accountability
. Kepala daerah memiliki monopoli kewenangan atas anggaran dan perizinan, bebas menentukan keputusan (diskresi), dan minim pengawasan karena DPRD sering ikut bermain.
Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) menyebut ini sebagai “demokrasi kriminal”, di mana pemilu berjalan, tetapi tujuannya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk mengakses rente.
Otonomi daerah yang dulu diharapkan menjadi jalan keluar, justru melahirkan jalan buntu. Transparansi tidak tumbuh secepat kekuasaan. Demokrasi berjalan, tetapi substansinya kosong. Negara mengalami desentralisasi, tetapi korupsi juga ikut serta.
Perang melawan korupsi tidak dapat semata-mata mengandalkan operasi tangkap tangan. Tindakan hukum memang penting, tetapi ia hanya menyentuh permukaan persoalan.
Korupsi adalah penyakit struktural dan kultural sekaligus. Karena itu, melawannya membutuhkan dua kekuatan: reformasi sistem politik, dan penguatan nilai budaya.
Di tanah Melayu nilai itu dikenal dengan istilah marwah. Budayawan Melayu asal Riau, Tenas Effendy (1994) mendefinisikan marwah sebagai “harga diri dan kehormatan yang tak boleh dijual, meski dengan emas segunung.”
Marwah bukan sekadar kebanggaan etnis, tetapi kesadaran moral, martabat, dan tanggung jawab sosial.
Dalam adat Melayu, kekuasaan bukan dipandang sebagai kepemilikan, melainkan amanah. Karena itu, pepatah lama menegaskan: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.”
Pepatah ini tidak muncul dari ruang kosong, tetapi tercatat dalam naskah hukum Undang-Undang Melaka (abad ke-15, disusun kembali 1520-an) dan diwariskan melalui tambo dan hikayat kerajaan Melayu.
Sikap tersebut tercermin pula dalam literatur klasik seperti “Hikayat Hang Tuah” (ditulis sekitar abad ke-17, diterbitkan kembali oleh Kassim Ahmad, 1964).
Dalam hikayat itu, Hang Tuah — laksamana Melaka, bukan hanya simbol keberanian, tetapi perwujudan manusia Melayu yang menjunjung marwah, taat pada keadilan, bukan pada kekuasaan yang lalim.
Sumpahnya yang termasyhur, “Takkan Melayu hilang di bumi,” sering dipahami sekadar sebagai pernyataan kebangsaan. Padahal makna terdalamnya adalah: selama marwah dijaga, selama keadilan ditegakkan, orang Melayu tidak akan runtuh martabatnya.
Ungkapan lain mempertegas etos resistensi itu: “Saat layar terkembang, tak surut biduk ke pantai; esa hilang dua terbilang”. Ini menandakan keteguhan moral: jika perjuangan telah dimulai demi kebenaran, mundur adalah bentuk pengkhianatan.
Karena itu, budaya Melayu tidak pernah mengajarkan korupsi. Budaya ini mengajarkan wibawa dan rasa malu (malu kepada adat, malu kepada Tuhan, malu kepada anak cucu).
Korupsi adalah antitesis dari marwah. Seorang pejabat yang mencuri uang rakyat tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi sekaligus mempermalukan adat dan mencoreng kehormatan leluhur.
Di masa lalu, menurut William R. Roff dalam “The Origins of Malay Nationalism” (1967), pemimpin dalam masyarakat Melayu dihormati bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena budi, amanah, dan takzim.
Kekuasaan yang tidak adil dianggap mencederai marwah, dan karenanya boleh dikritik, bahkan dilawan.
Maka pemberantasan korupsi di Riau dan tanah Melayu tidak bisa berhenti pada ranah hukum. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan untuk memulihkan marwah.
Surau, balai adat, sekolah, kampus, dan ruang publik perlu menjadi tempat tumbuhnya kembali etika ini. Generasi muda Melayu harus mewarisi bukan hanya syair dan pantun, tetapi keberanian moral untuk mengatakan tidak terhadap kekuasaan yang mengkhianati rakyat.
Kasus Abdul Wahid hanyalah satu bab dalam cerita panjang relasi antara kekuasaan, uang, dan lemahnya tanggung jawab publik.
Namun, ia juga adalah alarm, menandakan bahwa otonomi daerah tanpa marwah hanya melahirkan tirani baru. Jika sistem politik tidak diperbaiki dan nilai budaya tidak dihidupkan kembali, maka sejarah akan terus berulang.
Namun, bila hukum ditegakkan, politik dibersihkan dari transaksi, dan budaya Melayu dikembalikan pada martabatnya, maka sumpah Hang Tuah akan menjadi nyata: Melayu tak akan hilang, juga tak akan tunduk pada korupsi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.