JAKARTA – Pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 masih mengulang persoalan yang sama seperti di tahun-tahun sebelumnya. Perubahan yang terjadi hanya sebatas teknis soal penamaan dan jumlah persentase tiap jalur.
SPMB 2025 resmi dibuka sejak pekan lalu. Namun meski berganti nama, masalah yang dihadapi para orang tua dan calon siswa masih tetap sama.
Ajang rebutan kursi di sekolah negeri masih terjadi dengan sistem yang baru ini. Dan, hal tersebut justru membuka celah semakin maraknya praktik pungutan liar serta jual beli kursi.
“Sudah masuk ke kami beberapa keluhan dari orang tua. Misalnya, sistemnya online tapi kenyataannya mereka tetap harus antre dari sebelum subuh. Ini terjadi di banyak daerah,” kata Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI).
Terjebak Masalah Klasik
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) resmi mengganti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun ajaran 2025/2026.
Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengatakan penggantian PPDB menjadi SPMB tahun ini karena pemerintah ingin memberikan layanan pendidikan yang terbaik untuk semua. Abdul Mu’ti mengakui perubahan sistem ini dilakukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan pada sistem pendidikan sebelumnya.
Dalam SPMB, terdapat empat jalur penerimaan murid baru, yaitu jalur domisili, jalur afirmasi, jalur mutasi, dan jalur prestasi. Sebagai informasi, jalur domisili merupakan penyempurnaan jalur zonasi yang dipakai PPDB sejak 2017.
Kala itu, jalur zonasi kerap menimbulkan kericuhan di hampir setiap penyelenggaraan PPDB.
Pendaftaran SPMB jenjang SMA/SMK Jawa Timur. (ANTARA/HO-Dinas Pendidikan Jatim)
Namun sayangnya, meski Kemendikdasmen telah meniadakan PPDB dan menggantinya dengan SPMB, keluhan dalam proses penerimaan siswa baru tetap terjadi.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti bahwa SPMB 2025 masih terjebak dalam masalah klasik, yaitu perebutan kursi di sekolah negeri tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menuturkan, hal ini berpotensi membuat praktik pungli dan jual beli kursi di sekolah negeri semakin menguat.
“Ada permintaan (demand) yang sangat tinggi, sementara penyediaan (supply) yang sangat minim,” ujar Ubaid Matraji kepada VOI.
Kasus jual beli kursi ini, dikatakan Ubaid, terjadi mengikuti hukum pasar supply and demand. Semakin tinggi permintaan karena barang yang langka, maka semakin tinggi harga jual.
Ia mencontohkan SPMB tingkat SMA, yang di hampir berbagai provinsi daya tampungnya hanya sekitar 30 persen. Alih-alih hanya sibuk mengurusi yang 30 persen, Ubaid mendesak pemerintah untuk fokus ke 70 persen anak yang tidak tertampung di sekolah negeri.
“Ibarat naik bus (sekolah negeri), ini kapasitas bus sudah jelas-jelas tidak muat, mengapa pemerintah hanya sibuk urus seleksi calon penumpang yang ingin naik bus? Padahal penumpang (calon murid) yang tidak tertampung jauh lebih banyak?” tegasnya.
Kondisi ini berpotensi meningkatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah.
Tidak Melindungi Hak Anak
Satu hal lain yang juga menjadi sorotan adalah pelibatan sekolah swasta dalam SPMB tahun ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Pelibatan ini, kata Ubaid, hanya bersifat opsional, kalah boleh dibilang tidak dilibatkan.
Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tafsir Pasal 34 ayat 2 UU Sisdiknas menyatakan bahwa negara wajib menjamin pendidikan dasar gratis, termasuk di sekolah swasta.
Artinya, SPMB 2025 seharusnya mengatur skema pembiayaan full gratis bagi calon siswa yang tidak lolos di sekolah negeri dan akhirnya masuk ke sekolah swasta.
“Kalau sekadar memberikan bantuan, periode lalu juga sudah, dan itu jelas dianggap inkonstitusional oleh MK, jadi harus dibiayai total kebutuhannya bukan sekadar bantuan parsial,” Ubaid menerangkan.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (26/11/2024). (ANTARA/Mentari Dwi Gayati/am)
“Berdasarkan UUD 1945 Ayat 2, kewajiban pemerintah adalah membiayai (full cover), bukan hanya memberikan bantuan, sehingga amanat Pasal 34 Ayat 2 UU Sisdiknas pada frasa ‘tanpa dipungut biaya’ dapat benar-benar ditunaikan,” imbuhnya.
Melihat sengkarut proses SPMB yang terjadi tahun ini, Ubaid menilai sistem yang ada sekarang masih jauh dari kata adil dan belum mampu melindungi hak anak atas pendidikan. Bahkan slogan “pendidikan bermutu untuk semua” yang digelorakan Kemendikdasmen tampaknya hanya sebatas retorika. Ia pun yakin, huru-hara musiman penerimaan calon murid baru akan selalu terulang.
“Sistem SPMB 2025 masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan hak semua anak atas pendidikan,” ucapnya.
“Kenapa harus semua anak? Jelas ini adalah hak dasar setiap warga negara dan dijamin pula oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Dipertegas lagi oleh ayat 2, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya,” pungkasnya.

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4927315/original/073348800_1724570367-IMG-20240825-WA0209.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)







