Tag: Abdul Fikri Faqih

  • Anggota DPR minta pemerintah perhatikan juga penerimaan mahasiswa PTS

    Anggota DPR minta pemerintah perhatikan juga penerimaan mahasiswa PTS

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih meminta pemerintah memperhatikan juga penerimaan calon mahasiswa di perguruan tinggi swasta (PTS) karena adanya ketimpangan penerimaan mahasiswa dengan perguruan tinggi negeri (PTN).

    Menurut dia, semakin banyak jalur penerimaan mandiri yang dibuka PTN membuat peluang PTS untuk menampung mahasiswa semakin kecil.

    “Ini saya kira menjadi perhatian penting dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dikti Saintek, agar bagaimana tetap serapan atau angka partisipasi masyarakat untuk pendidikan tinggi ini tetap tinggi, tetapi juga tidak kemudian meninggalkan peran masyarakat,” kata Fikri di Jakarta, Jumat.

    Dia mengungkapkan, banyak keluhan dari PTS yang merasa tersisih karena PTN membuka hingga empat kali jalur mandiri. Kondisi tersebut, kata dia, membuat kesempatan bagi PTS untuk menampung mahasiswa semakin berkurang.

    “PTS itu jumlahnya lebih banyak dari PTN. Maka jangan sampai mereka semakin terpinggirkan. Pemerintah harus mencari skema yang adil agar peran PTS tetap diakui,” katanya.

    Selain itu, dia menilai perlu ada keadilan dalam pemberian bantuan operasional perguruan tinggi. Jika selama ini terdapat Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), ia pun mendorong agar pemerintah juga mengkaji Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Swasta (BOPTS) untuk menjaga keseimbangan.

    “Mengapa tidak dipikirkan juga BOPTS? Ini masukan yang sudah berulang kali kami sampaikan dalam rapat bersama Komisi X DPR RI,” kata dia.

    Selain itu, dia juga menyarankan agar reposisi Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga (PTKL) agar tidak bersaing langsung dengan PTN dan PTS. Menurut dia, PTKL sebaiknya berfokus pada program studi yang sesuai dengan kebutuhan kementerian pengampunya.

    “Kalau prodi ekonomi ya cukup PT ekonomi, kalau kesehatan ya PT kesehatan. Jangan sampai PTKL justru membuka prodi umum yang sudah ada di PTN maupun PTS. Ini jadi tidak sehat,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anggota DPR sebut pembangunan daerah tetap jalan walau TKD dipotong

    Anggota DPR sebut pembangunan daerah tetap jalan walau TKD dipotong

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Abdul Fikri Faqih memastikan pembangunan daerah tetap berjalan walaupun anggaran Transfer ke Daerah (TKD) dipotong sebesar Rp269 triliun dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Pasalnya, dia mengatakan bahwa pemerintah pusat telah menyiapkan total dana sebesar Rp1.376,9 triliun melalui program-program prioritas yang akan langsung menyentuh masyarakat.

    “Memang dana transfer daerahnya turun, tetapi kementerian dan lembaga akan menggelontorkan program yang sasarannya langsung yang punya masyarakat di daerah,” kata Fikri di Jakarta, Kamis.

    Alih-alih mengalir melalui kas daerah, menurut dia, dana pembangunan kini dialokasikan ke berbagai program strategis yang dikelola langsung oleh kementerian dan lembaga di pusat. Langkah ini diambil untuk menjaga kesejahteraan masyarakat tetap aman.

    Dia menjelaskan beberapa program prioritas yang akan dijalankan. Di sektor bantuan sosial, tersedia alokasi besar untuk Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp28,7 triliun, Kartu Sembako (BPNT) Rp43,8 triliun, dan Bantuan luran Jaminan Kesehatan Rp69 triliun.

    Sektor pendidikan dan kesejahteraan, menurut dia, juga mendapat perhatian serius, termasuk Program Makan Bergizi Gratis senilai Rp335 triliun, PIP/KIP Kuliah/beasiswa lainnya Rp63,6 triliun, serta Dana Pembangunan Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggul Garuda Rp27,9 triliun.

    Selain itu, dia mengatakan sektor infrastruktur dan pemerataan juga tidak luput dari perhatian. Pemerintah mengalokasikan dana untuk Preservasi Jalan dan Jembatan sebesar Rp24,3 triliun, Perumahan Rp48,7 triliun, dan Bendungan serta Irigasi senilai Rp12 triliun.

    Bantuan lainnya juga disiapkan, seperti Subsidi Energi dan Kompensasi Rp381,3 triliun, Subsidi Non Energi termasuk pupuk dan KUR Rp108,8 triliun, serta program Lumbung Pangan Rp22,4 triliun.

    Menurut dia, program-program ini akan memastikan masyarakat tidak merasakan dampak langsung dari penurunan anggaran TKD, la juga menyoroti adanya upaya pemerataan yang lebih adil. Berdasarkan data yang dihitung, unit cost per kapita di Papua jauh lebih tinggi dibanding di Jawa.

    “Tadi sudah dihitung angkanya per kapita. Jadi setiap orang, kalau ada kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, bahkan tadi saya lihat satu orang di Jawa itu sampai Rp5 juta, nah kalau di Papua Rp12 juta,” katanya.

    Untuk itu, dia mengimbau pemerintah daerah untuk bersikap bijak dalam mengelola fiskal daerah.

    Fikri menyarankan agar kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak membebani masyarakat.

    la juga mendorong Pemda untuk aktif mencari informasi detail program kementerian dan lembaga yang bisa diakses untuk masyarakat di daerahnya.

    “Silakan Pemda untuk menaikkan celah fiskal daerah dengan cara menaikkan PAD. Namun Jangan melalui pendapatan yang membebani masyarakat seperti pajak dan retribusi daerah, tapi silakan dari dua unsur lain, yakni dari laba BUMD dan lain-lain PAD yang sah,” katanya.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Apakah Komisi X Dilibatkan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia?

    Apakah Komisi X Dilibatkan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia?

    Jakarta, Beritasatu.com – Wacana pemerintah untuk menyusun ulang sejarah Indonesia memicu perdebatan publik. Di tengah dinamika tersebut, Komisi X DPR memainkan peran penting dalam proses penulisan sejarah ini.

    Keterlibatan Komisi X DPR menjadi penyeimbang agar sejarah yang ditulis tidak berat sebelah dan benar-benar mencerminkan keragaman pengalaman bangsa.

    Fungsi Pengawasan Komisi X

    Komisi X DPR tidak hanya diberi informasi, tetapi aktif menjalankan fungsi pengawasan atas proyek penulisan sejarah nasional.

    Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, menegaskan bahwa pihaknya telah meminta penjelasan dari Kementerian Kebudayaan mengenai strategi, tahapan, serta para pemangku kepentingan yang dilibatkan.

    “Penulisan ini bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi menjadi panduan masa depan. Kami juga ingin memastikan tidak ada bias, termasuk mendorong sejarah yang lebih adil dan inklusif, terutama dalam hal representasi perempuan,” ujar Hetifah, dikutip dari laman Media DPR RI.

    Hetifah juga menyoroti pentingnya transparansi dan pendekatan ilmiah dalam setiap proses penulisan sejarah.

    “Penulisan sejarah bukan pekerjaan sembarangan. Proses ini harus melibatkan para ahli yang kredibel, serta mempertimbangkan perspektif kelompok yang selama ini terpinggirkan-perempuan, masyarakat adat, korban peristiwa masa lampau, serta tokoh-tokoh lokal di berbagai daerah,” jelas Hetifah.

    Menurutnya sejarah yang ditulis ulang atau dimutakhirkan tidak boleh menjadi alat ideologis semata. Komisi X mendorong agar narasi sejarah yang baru tetap terbuka terhadap berbagai pandangan dan tidak menutup ruang dialog akademik.

    Penolakan Istilah “Penulisan Ulang”

    Wakil Ketua Komisi X DPR Lalu Hadrian Irfani, mengkritisi penggunaan istilah “penulisan ulang sejarah”. Menurutnya, diksi tersebut menimbulkan kekhawatiran publik bahwa narasi lama akan dihapuskan.

    “Kami di Komisi X sudah menggarisbawahi, jangan menggunakan diksi penulisan ulang sejarah. Karena kalau penulisan ulang berarti ada potongan-potongan sejarah yang akan dihilangkan,” ujar Lalu Hadrian.

    Ia lebih memilih istilah “pemutakhiran sejarah” yang menekankan penambahan perspektif baru tanpa menghilangkan narasi sebelumnya.

    “Kami berpandangan, penulisan sejarah ini beradaptasi dengan perkembangan zaman. Istilah yang kami usulkan ke Kementerian Kebudayaan adalah pemutakhiran sejarah Indonesia,” kata Lalu Hadrian.

    Sikap ini menunjukkan kehati-hatian Komisi X dalam menjaga integritas dan kontinuitas sejarah nasional.

    Selain itu, anggota Komisi X lainnya Abdul Fikri Faqih, menyatakan bahwa sejarah bersifat dinamis dan harus terus diperbarui agar relevan dengan konteks sosial-politik masa kini. Karena itu, pemutakhiran menjadi langkah yang tepat, bukan penghapusan sejarah lama.

    Desakan atas Partisipasi Publik dan Inklusi

    Komisi X DPR juga menyoroti belum adanya draf sejarah resmi yang disampaikan oleh Kementerian Kebudayaan.

    Mereka mendesak agar proses penulisan dilakukan secara terbuka, melibatkan akademisi, sejarawan independen, organisasi masyarakat sipil, dan tentunya masyarakat luas. 

    Mekanisme uji publik juga perlu dirancang agar tidak menimbulkan tafsir ambigu yang membingungkan masyarakat.

    Kekhawatiran lain yang disampaikan Komisi X DPR adalah dominasi narasi sejarah oleh penguasa.

    Mereka mengingatkan agar penulisan sejarah tidak melupakan suara-suara kelompok minoritas, korban peristiwa kelam, serta masyarakat di wilayah terpencil. Sejarah harus inklusif dan mencerminkan keberagaman pengalaman bangsa.

    Penegasan atas Fakta dan Keadilan Sejarah

    Komisi X menolak penghilangan fakta-fakta penting dalam sejarah Indonesia, seperti kerusuhan Mei 1998 dan kekerasan terhadap perempuan.

    Lalu Hadrian Irfani menegaskan bahwa penghapusan peristiwa penting tersebut berpotensi menjadi bentuk historical denialism, yang melemahkan keadilan dan mengaburkan pembelajaran sejarah bagi generasi mendatang.

    Selain itu, DPR melalui Komisi X juga menolak pelabelan “sejarah resmi” karena dapat mengesankan eksklusivitas. Menurut mereka, sejarah adalah ilmu terbuka yang selalu berkembang dan harus bisa dikritisi serta diteliti kembali oleh siapa saja.

    Keterlibatan Komisi X DPR dalam penulisan atau pemutakhiran sejarah Indonesia menjadi penanda penting bahwa proses ini diawasi secara ketat demi menjaga objektivitas, inklusivitas, dan akurasi.

  • Kabar Gembira! Australia Perbanyak Akses Beasiswa Pendidikan

    Kabar Gembira! Australia Perbanyak Akses Beasiswa Pendidikan

    Liputan6.com, Yogyakarta – Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bertemu dengan Duta Besar Australia untuk Indonesia, Roderick Brazier. Pertemuan bertujuan untuk memperkuat kerja sama di bidang pendidikan antara kedua negara. Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani, dan Anggota Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih.

    Abdul Fikri Faqih menyebut agenda utama pertemuan ini adalah penjajakan dan pembahasan program-program pendidikan yang ditawarkan Australia di Indonesia. “Kami membahas program-program Australia terkait pendidikan di Indonesia,” kata Abdul Fikri Faqih melalui siaran pers. 

    Lebih lanjut Fikri menekankan pentingnya penguatan kerja sama di sektor pendidikan. Salah satu poin penting yang dibahas adalah ketersediaan beasiswa. Dalam pertemuan itu, dibahas peluang lebih banyak kesempatan bagi pelajar Indonesia untuk menempuh pendidikan di Australia, sekaligus meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui akses beasiswa yang lebih luas. “Banyak beasiswa Australia untuk mahasiswa Indonesia yang nanti bisa diakses. Semoga banyak putra-putri Indonesia yang memanfaatkan peluang,” katanya.

  • Pemerintah Diminta Turun Tangan soal Calon Jemaah Haji Furoda Gagal Berangkat

    Pemerintah Diminta Turun Tangan soal Calon Jemaah Haji Furoda Gagal Berangkat

    Jakarta (beritajatim.com) – Lebih dari seribu calon jemaah haji Indonesia yang menggunakan visa furoda gagal berangkat ke Tanah Suci tahun ini.

    Menurut Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Abdul Fikri Faqih, negara tidak bisa lepas tangan dan harus hadir memberikan perlindungan, kendati visa tersebut bersifat business to business (B2B) antara perusahaan travel dengan pihak di Arab Saudi.

    “Faktanya, visa furoda atau undangan (mujamalah) ini memang ada dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun secara formal tidak dikelola pemerintah, negara tetap memiliki kewajiban untuk hadir dan memastikan adanya perlindungan hukum bagi para jemaah,” tegas Fikri.

    Politisi dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga berpendapat, insiden gagal berangkatnya ribuan calon jemaah haji furoda tahun 2025 menjadi momentum krusial untuk segera merevisi Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

    “Undang-undangnya harus memprioritaskan perlindungan bagi mereka, karena mereka adalah warga negara Indonesia yang haknya wajib dijamin,” tegas Anggota Komisi VIII DPR RI tersebut.

    Fikri mencontohkan pengelolaan umrah mandiri yang kini dibuka luas oleh Arab Saudi. Menurutnya, dalam konteks haji undangan seperti furoda, sudah sepatutnya ada aturan teknis yang jelas serta pengawasan dari pemerintah. Tujuannya agar jemaah mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum yang memadai.

    “Ini bukan semata-mata urusan bisnis, melainkan soal perlindungan hak warga negara. Kehadiran negara mutlak diperlukan agar mereka yang sudah berniat menunaikan ibadah haji dan telah memenuhi kewajiban finansial, tetap terlayani dengan baik dan tidak dirugikan,” kata Fikri.

    Berdasarkan catatan Kementerian Agama RI (Kemenag), lebih dari 1.000 calon jemaah haji furoda tahun 2025 yang batal berangkat akibat visa tidak kunjung diterbitkan oleh pihak Arab Saudi. Sejumlah perusahaan travel penyelenggara haji furoda pun kini telah dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban.

    Kemenag juga mengonfirmasi bahwa revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (UU PHU) tengah intens dibahas bersama DPR RI.

    Dalam revisi tersebut, akan dimasukkan klausul mengenai pengawasan dan mekanisme perlindungan yang lebih komprehensif terhadap jemaah pengguna visa non-kuota, termasuk visa furoda dan mujamalah. [hen/ian]

  • Ribuan Jemaah Haji Furoda RI Batal Berangkat, DPR: Pemerintah Jangan Lepas Tangan

    Ribuan Jemaah Haji Furoda RI Batal Berangkat, DPR: Pemerintah Jangan Lepas Tangan

    Bisnis.com, Jakarta — Pemerintah diminta segera turun tangan membantu ribuan jemaah Haji Furoda yang gagal berangkat ke Arab Saudi atau Tanah Suci pada tahun ini. 

    Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI Abdul Fikri Faqih menegaskan bahwa negara tidak bisa lepas tangan dan harus hadir memberikan perlindungan terhadap ribuan jamaah haji tersebut, meskipun visa Furoda bersifat business to business (B2B) antara perusahaan travel dengan pihak Arab Saudi.

    “Meskipun secara formal tidak dikelola oleh pemerintah, tetapi negara tetap memiliki kewajiban untuk hadir dan memastikan adanya perlindungan hukum bagi para jemaah,” tuturnya di Jakarta, Senin (2/6).

    Menurutnya, insiden gagal berangkat ribuan jamaah Haji Furoda tersebut bisa dijadikan momentum oleh pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU Penyelenggaraan Haji, sehingga peristiwa yang sama tidak terulang lagi di kemudian hari.

    “Undang-undang harus memprioritaskan perlindungan bagi mereka, karena mereka adalah warga negara Indonesia yang haknya wajib dijamin,” katanya.

    Menurutnya, dalam konteks haji undangan seperti Furoda, sudah seharusnya diatur dan memiliki aturan teknis yang jelas baik dari pihak pengawasan maupun pemerintahan, sehingga para jamaah Haji Furoda bisa mendapatkan kepastian hukum.

    “Ini bukan semata-mata urusan bisnis, melainkan soal perlindungan hak warga negara. Kehadiran negara itu mutlak diperlukan agar mereka yang sudah berniat menunaikan ibadah haji dan telah memenuhi kewajiban finansial, tetap terlayani dengan baik dan tidak dirugikan,” ujarnya.

    Berdasarkan catatan Kementerian Agama, ada lebih dari 1.000 orang calon jemaah Haji Furoda tahun 2025 yang batal berangkat akibat visa tidak kunjung diterbitkan oleh pihak Arab Saudi. 

    Sejumlah perusahaan travel penyelenggara Haji Furoda pun kini dipanggil untuk diminta pertanggungjawaban. Kemenag juga mengonfirmasi bahwa revisi Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umrah tengah intens dibahas bersama DPR RI. 

    Dalam revisi tersebut, akan dimasukkan klausul mengenai pengawasan dan mekanisme perlindungan yang lebih komprehensif terhadap jemaah pengguna visa non-kuota, termasuk visa furoda dan mujamalah.

  • Visa Haji Furoda Tak Terbit, DPR Desak Revisi UU Penyelenggaraan Haji

    Visa Haji Furoda Tak Terbit, DPR Desak Revisi UU Penyelenggaraan Haji

    Jakarta, Beritasatu.com – Visa haji furoda tidak terbit, ribuan calon jemaah dipastikan gagal berangkat ke Tanah Suci tahun ini. Menyikapi polemik tersebut, Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR mendesak pemerintah segera merevisi Undang-Undang Penyelenggaraan Haji untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi jemaah nonkuota.

    Anggota Timwas DPR, Abdul Fikri Faqih menilai pemerintah tidak bisa lepas tangan dalam kasus visa haji furoda meskipun prosesnya bersifat business to business (B2B) antara penyelenggara perjalanan dan pihak Arab Saudi.

    “Faktanya, visa furoda atau undangan (mujamalah) ini memang ada dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia. Meskipun secara formal tidak dikelola pemerintah, negara tetap memiliki kewajiban untuk hadir dan memastikan adanya perlindungan hukum bagi para jemaah,” ujar Fikri dalam keterangannya, Senin (2/6/2025).

    Desakan Revisi UU Penyelenggaraan Haji

    Fikri yang juga anggota Komisi VIII DPR dari fraksi PKS menekankan, momentum kegagalan keberangkatan ini harus menjadi dasar untuk merevisi regulasi.

    Fokusnya adalah memperkuat pengawasan, mekanisme perlindungan, dan penindakan terhadap potensi pelanggaran oleh penyelenggara perjalanan ibadah haji nonkuota.

    “Ini bukan semata-mata urusan bisnis, melainkan soal perlindungan hak warga negara,”  tegasnya.

    Ia mencontohkan pengelolaan umrah mandiri yang kini lebih tertata setelah diatur dengan mekanisme akuntabel. Menurutnya, skema tersebut bisa dijadikan tolak ukur bagi pengaturan haji furoda agar jemaah tetap mendapat jaminan perlindungan hukum.

    Dalam revisi UU, Fikri mendorong agar dimasukkan pasal khusus terkait perlindungan terhadap jemaah pengguna visa nonkuota, seperti visa haji furoda dan mujamalah. Hal ini dianggap penting agar tidak ada lagi korban dari praktik biro perjalanan yang tidak bertanggung jawab.

  • DPR Tegaskan Penyelenggaraan Haji Furoda Tak Punya Landasan Hukum

    DPR Tegaskan Penyelenggaraan Haji Furoda Tak Punya Landasan Hukum

    Jakarta (beritajatim.com) – Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa penyelenggaraan haji furoda atau skema haji dengan visa non-reguler tidak memiliki landasan hukum di Indonesia. Ia menyebut sistem penyelenggaraan haji secara formal saat ini hanya mengakomodasi dua jalur, yakni haji reguler dan haji khusus.

    “Dalam penyelenggaraan memang yang diatur formal hanya haji reguler dan haji khusus, tidak ada opsi ketiga atau opsi lainnya,” ujar Fikri yang juga anggota Komisi VIII DPR RI.

    Fikri menjelaskan, ketiadaan regulasi menyebabkan skema haji dengan visa mujamalah atau furoda tidak memiliki payung hukum yang jelas. Akibatnya, negara tidak bisa mengambil langkah hukum atau perlindungan secara langsung terhadap jemaah haji jalur ini jika terjadi persoalan.

    “Sehingga skema haji dengan visa selain haji tidak atau belum ada regulasi yang menaunginya,” tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

    Dalam kondisi ini, kata Fikri, satu-satunya cara untuk melakukan advokasi terhadap jemaah haji furoda adalah melalui jalur diplomasi. Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Agama atau pihak imigrasi, hanya bisa menempuh pendekatan dialog dengan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

    “Yakni dengan cara dialog atau diplomasi dengan pihak Kerajaan Arab Saudi yang punya otoritas menerbitkan visa,” katanya.

    Ia menyebut diplomasi ini sangat penting, karena kewenangan penerbitan visa sepenuhnya berada di tangan otoritas Saudi. DPR, lanjut Fikri, tengah merespons kekosongan hukum ini dengan membahas revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

    “Seiring dengan itu, Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Komisi VIII DPR RI sedang membahas untuk membuka opsi haji dan umrah mandiri agar dilindungi oleh UU,” jelasnya.

    Upaya normatif tersebut, menurutnya, akan membuka jalan bagi legalisasi jalur haji mandiri yang telah lama eksis namun belum diakui dalam sistem hukum Indonesia. Ini juga menyesuaikan dengan kebijakan Kerajaan Arab Saudi yang telah membuka akses visa haji dan umrah mandiri.

    “Begitupun haji yang selama ini dikenal dengan nama haji furoda, KSA juga menerbitkan visa khusus. Dan selama ini belum diatur dalam UU yang ada di Indonesia,” pungkas Fikri. [hen/beq]

  • Visa Furoda Tak Kunjung Terbit, Calon Jemaah Haji Gagal ke Tanah Suci?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        31 Mei 2025

    Visa Furoda Tak Kunjung Terbit, Calon Jemaah Haji Gagal ke Tanah Suci? Nasional 31 Mei 2025

    Visa Furoda Tak Kunjung Terbit, Calon Jemaah Haji Gagal ke Tanah Suci?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Harapan calon jemaah haji untuk dapat menjalankan ibadah haji lewat jalur furoda atau non-kuota terancam pupus.
    Pasalnya, Kerajaan Arab Saudi tidak mengeluarkan visa untuk haji furoda pada tahun ini dan proses pemvisaan jemaah haji pun sudah ditutup.
    “Saya sudah mendapat konfirmasi dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi bahwa proses pemvisaan sudah tutup per 26 Mei 2025, pukul 13.50 waktu Arab Saudi (WAS),” kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief dalam keterangannya, Kamis (29/5/2025).
    Seperti diketahui, haji lewat jalur furoda memang bersifat non-kuota sehingga tidak ada jumlah pasti yang diberikan setiap tahunnya.
    Selain itu, keberangkatan jemaah baru bisa dipastikan setelah visa dan tiket pesawat diterbitkan.
    Menteri Agama Nasaruddin Umar menjelaskan,  wewenang mengeluarkan
    visa haji furoda
    sepenuhnya ada pada Pemerintah Arab Saudi, bukan dari pemerintah Indonesia.
    Kemenag
    masih terus membangun komunikasi dengan otoritas Arab Saudi agar visa haji furoda seluruhnya bisa terbit.
    “Iya, kami lagi menunggu (keputusan) Saudi. Itu kan di luar kewenangan kami,” kata Nasaruddin di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Kamis (29/5/2025).
    Senada, Ketua Komisi Nasional Haji Mustolih Siradj juga menekankan bahwa visa haji furoda  berada di luar tanggung jawab pemerintah dan murni menjadi urusan bisnis antara jemaah haji dan penyelenggara travel.
    Oleh sebab itu, ia meminta publik, khususnya jemaah, tidak menyalahkan pemerintah.

    Visa haji furoda
    belum juga diterbitkan oleh otoritas Arab Saudi sampai batas akhir pelayanan. Ini bukan tanggung jawab pemerintah karena berada di luar kuota resmi,” kata Mustolih dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat (30/5/2025), dikutip dari
    Antaranews.
    Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU), pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap kuota resmi yang terdiri atas 98 persen haji reguler dan delapan persen
    haji khusus
    .
    Sementara itu, visa haji furoda yang dikenal sebagai visa mujamalah merupakan jalur undangan yang diurus langsung oleh travel dan tidak masuk dalam kuota nasional.
    Dia menilai minimnya transparansi informasi terkait risiko dalam haji furoda dan kebijakan otoritas Arab Saudi yang bisa berubah sewaktu-waktu juga patut menjadi perhatian bersama sebagai faktor penyebab kegagalan.
    “Jadi pengaturan lebih lanjut tentang mekanisme, syarat, dan standar pelayanan haji furoda perlu segera dirumuskan agar ada kepastian hukum, dan perlindungan bagi jemaah dari potensi kerugian materiil maupun sosial,” ujar Mustolih.
    Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (
    AMPHURI
    ) menyarankan agar jemaah yang gagal berangkat haji lewat jalur furoda untuk mendaftar haji khusus.
    “PIHK (Penyelenggara Ibadah
    Haji Khusus
    ) sebaiknya menyarankan kepada jemaah untuk beralih mendaftar haji khusus,” dikutip dari surat edaran resmi AMPHURI, Kamis (29/5/2025).
     
    Sementara, anggota Komisi VIII DPR yang juga Panitia Pengawas (Panwas) Haji, Abdul Fikri Faqih, juga mendorong Kemenag dan pihak keimigrasian untuk melakukan diplomasi dengan Kerajaan Arab Saudi. 
    Di samping itu, ia mendorong adanya revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah untuk mengatur ihwal haji mandiri karena haji furoda untuk saat ini belum memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia.
    “Seiring dengan itu, Panitia Kerja revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah Komisi VIII DPR RI sedang membahas untuk membuka opsi haji dan umrah mandiri agar dilindungi oleh UU,” ujar Fikri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Fikri Faqih Dorong Revisi UU Penanggulangan Bencana

    Fikri Faqih Dorong Revisi UU Penanggulangan Bencana


    PIKIRAN RAKYAT –
    Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DIY menyoroti perlunya perhatian lebih serius terhadap pengelolaan bencana yang semakin kompleks di Yogyakarta. Dalam kunjungan kerjanya ke BPBD Provinsi DIY, Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menegaskan bahwa Yogyakarta, yang kerap disebut sebagai “supermarket bencana”, menghadapi beragam ancaman bencana alam, mulai dari gempa bumi hingga erupsi Gunung Merapi yang masih berlangsung.

    “Gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada tahun 2006 menjadi pengingat bahwa daerah ini sangat rentan terhadap bencana. Selain itu, erupsi Gunung Merapi juga tetap menjadi ancaman nyata. Perubahan iklim yang memengaruhi intensitas hujan pun berpotensi meningkatkan risiko banjir,” ujar Fikri usai bertemu dengan Kepala BPBD Provinsi DIY dan jajaran, Jumat (21/3/2025).

    Politisi Fraksi PKS itu menilai perlunya revisi terhadap Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Menurutnya, banyak aspek dalam regulasi tersebut yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.

    “Bencana tidak hanya disebabkan oleh faktor alam seperti gempa atau erupsi gunung. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpatuhan terhadap Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang disusun pemerintah. Banyak pembangunan yang seharusnya tidak dilakukan di kawasan rawan bencana justru terus berjalan,” tegasnya.

    Selain itu, Fikri mengkritik ketidakjelasan standar penanggulangan bencana yang berbeda-beda antar daerah. Misalnya, standar bangunan hotel yang seharusnya tahan gempa, tetapi di lapangan banyak yang tidak diuji kelayakannya.

    “Kami perlu segera menetapkan standar yang jelas dan konsisten di seluruh daerah, termasuk Yogyakarta, agar infrastruktur lebih tahan terhadap bencana,” tambahnya.

    Dalam hal mitigasi, Fikri menekankan pentingnya survei mendalam terkait kebutuhan sistem peringatan dini (early warning system). Saat ini, BPBD DIY hanya memiliki 11 alat peringatan dini, yang dinilai belum cukup untuk mencakup seluruh wilayah.

    “Sebelum menentukan jumlah ideal alat peringatan dini, survei yang komprehensif harus dilakukan terlebih dahulu. Setiap kabupaten/kota di DIY membutuhkan alat yang sesuai dengan karakteristik bencananya masing-masing,” ungkapnya.

    Pendidikan dan program adaptasi juga menjadi sorotan. Fikri menegaskan bahwa masyarakat harus dilatih sejak dini agar siap menghadapi bencana. “Selain mitigasi, adaptasi juga penting. Masyarakat harus diajarkan cara menghadapi bencana sejak dini, termasuk melalui kurikulum pendidikan. Dengan begitu, mereka tidak panik saat bencana terjadi, tetapi dapat merespons dengan lebih terorganisir,” ujarnya.

    Kunjungan kerja ini diharapkan menjadi momentum penting dalam memperkuat upaya penanggulangan bencana di Yogyakarta. Fikri berharap revisi Undang-Undang Penanggulangan Bencana dapat segera dibahas agar lebih sesuai dengan tantangan dan dinamika bencana yang terus berkembang.***

     

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News