Tag: Abdul Chair Ramadhan

  • PEDPHI sebut RUU KUHAP dapat optimalkan sistem peradilan pidana

    PEDPHI sebut RUU KUHAP dapat optimalkan sistem peradilan pidana

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI) Abdul Chair Ramadhan menilai Rancangan Undang Undang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengandung kepastian hukum yang dapat mengoptimalkan sistem peradilan pidana Indonesia.

    “Dalam RUU KUHAP telah mengandung kepastian hukum, keadilan prosedural dan substansial. Demikian itu akan mampu mengoptimalkan bekerjanya sistem peradilan pidana terpadu,” kata Abdul Chair dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.

    Menurut dia, seluruh substansi yang ada di dalam RUU KUHAP sudah melalui proses diskusi dan dialog dengan publik yang dinilai kompeten.

    Setiap pasalnya, lanjut Abdul, dimuat dengan harapan dapat mewakilkan sistem peradilan pidana yang adil dan berpihak kepada masyarakat.

    “Kesemua itu (tahap diskusi) dilakukan guna penyelesaian problematika yuridis dan mengacu pada landasan filosofis, yuridis dan sosiologis,” jelas dia.

    Selain itu, dia juga menilai penundaan pengambilan keputusan mengesahkan RUU dengan alasan RUU KUHAP belum maksimal dan optimal tidak tepat.

    Menurutnya, penundaan tersebut justru akan melahirkan situasi yang tidak menguntungkan masyarakat dari segi keadilan.

    Karenanya, dia berharap legislatif bisa bergegas memproses RUU ini di parlemen agar segera disahkan menjadi UU definitif.

    “Bahwa sesuai dengan hasil Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan pemerintah tentang pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU KUHAP, maka harus segera dilakukan pembicaraan tingkat II guna pengambilan keputusan lebih lanjut pada Paripurna DPR RI,” tegas dia.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Disebut Sudah Berusia Setengah Abad, Perubahan KUHAP Dinilai Perlu Dilakukan

    Disebut Sudah Berusia Setengah Abad, Perubahan KUHAP Dinilai Perlu Dilakukan

    Jakarta: Perubahan Kitab Hukum Acara Pindana (KUHAP) di Indonesia dinilai sudah selayaknya dilakukan karena KUHAP yang ada sudah tidak relevan.

    Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan, mengatakan perubahan perlu dilakukan karena ada banyak problematika serius, seperti adanya praktik intimidasi dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan hingga perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum.

    “Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP oleh Komisi III DPR RI memang sudah selayaknya dilakukan terutama untuk merevisi atas hukum pidana formil setelah setengah abad kita gunakan,” kata Abdul Chair dalam keterangannya, Sabtu, 19 April 2025.

    Dia menjelaskan pembahasan RUU KUHAP yang baru dipandang cukup relevan dilakukan karena adanya urgensitas bagi kepentingan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. 

    “Sejatinya, hukum pidana formil dimaksudkan tak hanya memastikan orang yang bersalah dihukum, namun juga harus melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman,” jelasnya.

    Di sisi lain, menurut Abdul Chair, hukum pidana formil juga harus mampu mengoptimalkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Keadilan prosedural dan keadilan substansial harus dapat dijelmakan dalam setiap jenjang proses hukum. 

    Dia menyatakan ada titik taut antara penyelidikan dan penyidikan dengan penuntutan, dimana pertalian tersebut tak dapat dipisahkan. 

    “Dalam RUU KUHAP ini sudah ada usaha mengantisipasi adanya  rekayasa dalam pemenuhan alat bukti dan dengan unsur-unsur delik yang disesuaikan. Padahal selama ini hak-hak tersangka sangat minimalis, namun kini hak-hak para tersangka telah diatur dengan terperinci seperti hak mendapatkan pendampingan dari advokad sejak awal pemeriksaan,” ungkapnya.

    Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam AS-SYAFIIYAH ini menyatakan peranan advokad juga lebih aktif. RUU KUHAP juga memberikan hak bagi advokad mengajukan keberatan atas penahanan tersangka yang jadi kliennya, selain melakukan permohonan praperadilan.

    “Dalam RUU KUHAP ini juga diatur tentang dimungkinkannya peralihan status tersangka menjadi ‘saksi mahkota’ untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan stategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya sehingga bisa  ditentukan siapa yang jadi pelaku (pleger), siapa yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker) termasuk memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus). Jadi, peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana demikian diperlukan,” ujarnya.

    Jakarta: Perubahan Kitab Hukum Acara Pindana (KUHAP) di Indonesia dinilai sudah selayaknya dilakukan karena KUHAP yang ada sudah tidak relevan.
     
    Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia (PEDPHI), Abdul Chair Ramadhan, mengatakan perubahan perlu dilakukan karena ada banyak problematika serius, seperti adanya praktik intimidasi dalam proses penyelidikan, penyidikan hingga proses peradilan hingga perlakuan diskriminatif oleh aparat penegak hukum.
     
    “Pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP oleh Komisi III DPR RI memang sudah selayaknya dilakukan terutama untuk merevisi atas hukum pidana formil setelah setengah abad kita gunakan,” kata Abdul Chair dalam keterangannya, Sabtu, 19 April 2025.

    Dia menjelaskan pembahasan RUU KUHAP yang baru dipandang cukup relevan dilakukan karena adanya urgensitas bagi kepentingan perlindungan hukum terhadap tersangka dan terdakwa. 
     
    “Sejatinya, hukum pidana formil dimaksudkan tak hanya memastikan orang yang bersalah dihukum, namun juga harus melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman,” jelasnya.
     
    Di sisi lain, menurut Abdul Chair, hukum pidana formil juga harus mampu mengoptimalkan sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Keadilan prosedural dan keadilan substansial harus dapat dijelmakan dalam setiap jenjang proses hukum. 
     
    Dia menyatakan ada titik taut antara penyelidikan dan penyidikan dengan penuntutan, dimana pertalian tersebut tak dapat dipisahkan. 
     
    “Dalam RUU KUHAP ini sudah ada usaha mengantisipasi adanya  rekayasa dalam pemenuhan alat bukti dan dengan unsur-unsur delik yang disesuaikan. Padahal selama ini hak-hak tersangka sangat minimalis, namun kini hak-hak para tersangka telah diatur dengan terperinci seperti hak mendapatkan pendampingan dari advokad sejak awal pemeriksaan,” ungkapnya.
     
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam AS-SYAFIIYAH ini menyatakan peranan advokad juga lebih aktif. RUU KUHAP juga memberikan hak bagi advokad mengajukan keberatan atas penahanan tersangka yang jadi kliennya, selain melakukan permohonan praperadilan.
     
    “Dalam RUU KUHAP ini juga diatur tentang dimungkinkannya peralihan status tersangka menjadi ‘saksi mahkota’ untuk mengungkap keterlibatan pelaku lain. Kepastian kedudukan saksi mahkota ini sangat penting dan stategis guna mengungkap delik penyertaan yang memang cukup sulit dalam pembuktiannya sehingga bisa  ditentukan siapa yang jadi pelaku (pleger), siapa yang menyuruh (doenpleger), turut serta (medepleger), dan penganjur (uitloker) termasuk memastikan adanya kehendak dalam kesengajaan ganda (double opzet) dan permufakatan jahat (dolus premeditatus). Jadi, peranan saksi mahkota dalam mengungkap tindak pidana demikian diperlukan,” ujarnya.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DEN)