Suara Resah Para Buruh: Banyak PHK Tanpa Pesangon Sesuai hingga Larangan Berserikat
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah
buruh
menyuarakan beberapa keresahan mereka terkait kondisi dunia kerja saat ini.
Keresahan itu mereka sampaikan dalam aksi Hari
Buruh
2025 yang berlangsung di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (1/5/2025).
Salah satu buruh wanita bernama Tini (42) merasa prihatin terhadap fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dinilai lebih menguntungkan perusahaan daripada pekerja.
Ia menganggap kebijakan pemerintah saat ini cenderung berpihak kepada perusahaan.
“PHK jangan berpihak ke perusahaan terus. Perusahaan jadi seenaknya,” tegas Tini dalam wawancara dengan
Kompas.com
di depan Gedung DPR/MPR RI, Kamis.
Tini menyoroti soal perlakuan tidak adil yang sering diterima buruh saat mengalami PHK.
Ia mencatat ada banyak pekerja yang telah mengabdi selama 30 tahun pada sebuah perusahaan, tetapi hanya menerima pesangon dua bulan gaji saat terkena PHK.
“Dikasih pesangon karena terpaksa. Misalnya, kata Undang-undang harusnya pesangon enggak dua bulan gaji saja. Tapi, ini justru pesangonnya cuma dua kali gaji pokok, padahal mereka sudah kerja 25 sampai 30 tahun,” ungkap Tini.
Buruh wanita lainnya bernama Tiur (64) membagikan keluh kesahnya kepada
Kompas.com
mengenai pengalamannya bekerja pada usia senja.
Meski usianya sudah lanjut, Tiur tetap bertahan sebagai buruh di sebuah pabrik garmen di Jalan Cakung-Cilincing (Cacing), Jakarta Utara, demi memperoleh hak pesangon yang seharusnya ia terima.
Tiur mengatakan, ia seharusnya sudah pensiun sejak usia 58 tahun. Namun sampai saat ini, ketika usianya memasuki angka 64, pihak perusahaan belum juga memanggilnya untuk pensiun.
“Seharusnya saya sudah dipensiunkan pada usia 58 tahun, tapi sampai sekarang, saya belum dipanggil untuk pensiun,” ujar Tiur.
Tiur dan teman-temannya yang seumuran sudah sering mengajukan protes kepada pihak perusahaan, tetapi keluhan mereka tak juga mendapat perhatian.
Ia berpendapat bahwa pihak perusahaan sengaja mengulur waktu pensiun, dengan harapan para buruh akan mengundurkan diri secara sukarela.
“Mereka menunggu kita untuk mengundurkan diri,” jelas Tiur.
Tiur menjelaskan, pesangon yang akan diterima oleh buruh yang mengundurkan diri nantinya tidak akan sesuai dengan masa kerja yang telah dijalani.
Tiur mengaku seharusnya ia bisa mendapatkan pesangon sekitar Rp 125 juta setelah 25 tahun bekerja di pabrik garmen.
Namun, jika ia mengundurkan diri, Tiur khawatir pesangonnya akan dipotong oleh pihak perusahaan.
Pasalnya, banyak rekan-rekannya yang meminta pensiun pada usia 58 tahun justru menerima pesangon yang tidak sesuai dengan ketentuan.
“Salah seorang teman kami yang meminta pensiun hanya menerima pesangon di bawah Rp 100 juta, tepatnya sekitar Rp 80 juta lebih,” kata Tiur.
Selain soal masa pensiun ditunda, Tiur juga mengkritik tindakan perusahaan yang melarang buruh untuk berserikat.
“Kacau sekarang itu. Kami berorganisasi enggak bisa. Kalau ikut organisasi, (nanti) ditekan,” jelas Tiur.
Ia menambahkan, buruh yang terlibat dalam organisasi sering kali dihadapkan pada tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan melebihi batas target yang ditetapkan.
Tiur berharap agar pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih berpihak kepada buruh, sehingga perusahaan tidak dapat bertindak semena-mena pada masa depan.
(Penulis: Shinta Dwi Ayu | Editor: Larissa Huda)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Suara Resah Para Buruh: Banyak PHK Tanpa Pesangon Sesuai hingga Larangan Berserikat Megapolitan 2 Mei 2025
/data/photo/2025/05/01/68131c94d3839.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)