Suara Mangrove yang Terlupakan dalam Perayaan Hari Mangrove Sedunia

Suara Mangrove yang Terlupakan dalam Perayaan Hari Mangrove Sedunia

Liputan6.com, Jakarta – Suara gitar berpadu dengan nyanyian bertema lingkungan menggema di bawah langit malam Tanjung Piayu, Batam, Jumat (25/7/2025) malam. Di antara denting musik dan tautan gendang para aktivis lingkungan, akademisi, jurnalis, hingga nelayan pesisir duduk bersila dan sebagian duduk di kursi plastik berwarna hitam dengan nuansa ruangan terbuka Selter Akar Bhumi.

Malam itu, mereka tak sekadar memperingati Hari Mangrove Sedunia, tetapi juga khawatir dan cemas akan hilangnya benteng terakhir pesisir Batam, Kepri hutan mangrove.

“Dulu satu kali jaring bisa dapat 5 kilo ikan, sekarang jangankan untuk mendapatkan 2 atau 2 ekor pun payah, bahkan jaring pun kosong,” keluh Syawal (48), dengan nada pasrah.

Ikan, kerang, kepiting khas kapung sini melimpah kini tinggal namanya saja, ungkap sawal, seperti ikan sembilang, kepiting bakai, ketam bakau, gonggong (siput), ikan belanak dan lainnya.

Ia menjadi salah satu wajah dari ribuan masyarakat pesisir yang kini kehilangan penghidupan akibat rusaknya ekosistem mangrove.

Mangrove bukan sekadar pohon bagi masyarakat pesisir. Ia benteng dari abrasi dan sumber ekonomi rakyat kecil.

Namun sayangnya, data Peta Mangrove Nasional 2024 mengungkap fakta menyedihkan, kerusakan dan alih fungsi lahan terus mengancam eksistensi hutan ini, khususnya di Kota Batam.

Rahmat, warga nelayan Kampung Tua Belian, Batam Center menuturkan, kerusakan mangrove akibat reklamasi berdampak besar. Ia berharap ada solusi konkret dari pemerintah terkait dampak kerusakan pesisir akibat pembangunan.

“Seperti halnya pemberdayaan masyarakat nelayan dengan pembinaan pengelolaan ikan, dalam program kampung merah putih, ” Ujarnya.

Batam sendiri tercatat memiliki 13.726,4 hektare hutan mangrove—terbesar kedua di Provinsi Kepulauan Riau. Namun tekanan pembangunan pesisir membuat angka tersebut menjadi rapuh secara ekologis.

“Reklamasi pantai, pembukaan tambak, hingga praktik penebangan liar untuk arang bakau menjadi musuh utama mangrove hari ini,” ungkap Hendrik Hermawan aktivis lingkungan dari Akar Bhumi.

Menurutnya, lemahnya pengawasan dan regulasi yang tidak berpihak mempercepat degradasi.

“Bayangkan, dalam satu tahun Komisi IV DPR RI sampai empat kali datang ke Batam hanya untuk mengurus reklamasi dan arang bakau (Mangrove). Tapi eksekusinya jalan di tempat,” kata Hendrik Hermawan.

Hal yang sama dikatakan Dwi Bagus dari Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS). Ia menyebut bahwa Kepri memiliki 66.943,2 hektare kawasan mangrove, dengan mayoritas berada dalam kawasan hutan.

“Namun yang di luar kawasan—termasuk mangrove lebat seluas 20.168,7 hektare—perlu segera mendapat perhatian dan rehabilitasi. Ini harus melibatkan masyarakat lokal secara aktif,” katanya dalam paparan data.

Rehabilitasi, lanjut Dwi, tak cukup hanya dengan menanam ulang. Ia harus menjadi gerakan sosial, dengan pendekatan ekologis dan ekonomi.

“Bukan hanya menghijaukan pesisir, tapi juga memulihkan hubungan rakyat dengan alamnya,” imbuhnya.