Laporan wartawan Tribunnews.com, Fahmi Ramadhan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Saksi Dede Rahmana mengaku menerima uang Rp 202,5 juta dari eks panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rina Pertiwi terkait kasus suap eksekusi lahan milik PT Pertamina.
Dede menganggap uang tersebut sebagai rezeki untuk anak.
Hakim Anggota Suparman Nyompa awalnya curiga dengan nilai uang yang diterima Dede dari Rina.
Menurut hakim uang Rp 202,5 juta yang diterima Dede cukup besar.
“Kok bisa terlalu besar 200 juta, biasanya orang kalau diberikan, istilahnya cuma buat uang-uang rokok atau apa, ini kok besar sekali 200 juta?” tanya Hakim dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (9/12/2024).
Mendengar pertanyaan tersebut, Dede yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum sebagai saksi untuk terdakwa Rina Pertiwi mengaku tak tahu.
“Ndak tahu Pak,” ucap Dede.
Tak berhenti di situ, Hakim kembali mencecar Dede soal peranya dalam perkara sehingga bisa menerima uang ratusan juta dari Rina.
Hakim bahkan membandingkan uang yang terima Dede dengan jasa makelar tanah yang biasanya mendapatkan fee 2,5 persen.
“Atau memang saudara punya jasa besar untuk urusan ini, karena kalau hitung-hitungan besar sekali loh 200 juta. Kalau hitung-hitungan Rp 1 miliar, berarti 200 juta, 20 persen. Kalau jasa jual tanah saja, misalnya makelar kan 2,5 persen, ini 20 persen besar sekali loh?” tanya Hakim.
Dede menyebut pada saat itu dirinya menganggap uang-uang yang diterimanya merupakan rejeki untuk anak-anaknya.
“Rezeki saja pak. Tak tahu karena saya berdoa mudah-mudahan itu rezeki anak-anak, itu saja mikirnya,” kata dia.
Dede pun menyebut uang tersebut sempat ia belikan mobil meskipun pada akhirnya dijual kembali.
Setelah kasus tersebut mencuat, Dede mengaku telah menyerahkan uang yang diterimanya kepada pihak penyidik Kejaksaan.
Adapun dari total Rp 202.500.000 yang diterimanya, Rp 200 juta di antaranya telah dikembalikan.
“Diserahkan ke penyidik berapa?” tanya Hakim.
“Rp 200 juta,” ucapnya.
Dalam perkara ini sebelumnya, Mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rina Pertiwi didakwa telah menerima suap atau gratifikasi sebesar Rp 1 miliar terkait kepengurusan eksekusi lahan milik PT Pertamina.
Sidang pembacaan dakwaan tersebut digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Adapun dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Rina disebut telah menerima Rp 797,5 juta dari total suap Rp 1 Miliar.
Jaksa menilai Rina selaku Pegawai Negeri Sipil (PN) patut diduga telah menerima suap dan atau gratifikasi disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya.
“Yang bertentangan dengan kewajibannya jika diantara beberapa perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut,” kata Jaksa Arief Setia Nugroho saat bacakan berkas dakwaan Rina di ruang sidang.
Perkara itu bermula atas adanya gugatan secara perdata berupa ganti rugi yang diajukan ahli waris di Pengadilan Negeri Jakarta Timur terhadap PT Pertamina atas lahan yang terletak di Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.
Terkait gugatan ini, ahli waris pun menunjuk kuasa terhadap seseorang bernama Ali Sofyan.
Kemudian gugatan itu pun telah diputus PN Jakarta Timur sampai dengan putusan di tingkat peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Yang pada pokoknya menghukum PT Pertamina Persero membayar ganti rugi sebesar Rp 244.604.172.000,” kata Jaksa.
Setelah ada putusan PK tersebut, Ali Sofyan selaku kuasa ahli waris pada November 2019 menghubungi seseorang bernama Yohanes Jamburmias dan Sareh Wiyono untuk meminta bantuan persoalan tanahnya.
Di mana kata Jaksa, Ali Sofyan meminta bantuan kepada Yohanes untuk menyelesaikan proses eksekusi ganti rugi yang belum dibayarkan PT Pertamina.
Ketiganya pun sempat menggelar pertemuan beberapa kali untuk membicarakan hal tersebut di sebuah hotel di wilayah Bogor, Jawa Barat.
Singkatnya, atas permintaan bantuan Ali Sofyan, Sareh menghubungi Rina yang saat itu menjabat Panitera PN Jakarta Timur untuk turut membantu proses eksekusi putusan PK tersebut.
“Atas permintaan Sareh Wiyono tersebut kemudian terdakwa menyetujuinya,” ucap Jaksa.
Setelah itu Sareh, Ali, dan Rina pun melakukan pertemuan di rumah Sareh di Cibinong, Kabupaten Bogor.
Dari hasil pertemuan tersebut Ali Sofyan pun kemudian membuat surat kuasa di Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk melakukan kepengurusan eksekusi putusan PK.
Ketika memasukkan permohonan surat kuasa itu di PTSP PN Jakarta Timur, Ali Sofyan pun bertemu dengan terdakwa Rina Pertiwi.
Sebelum adanya pertemuan antara Ali dan Rina, Sareh Wiyono kata Jaksa telah menghubungi Rina terlebih dahulu.
“Dan saat itu Sareh Wiyono menyampaikan bahwa yang akan memasukkan permohonan eksekusi putusan PK perkara perdata adalah saksi Ali Sofyan agar dibantu terkait permohonan eksekusi dari saksi Ali Sofyan,” tutur Jaksa.
Surat permohonan eksekusi itu pun kemudian diteruskan ke meja Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan dilakukan disposisi kepada Rina selaku panitera.
Setelah menerima disposisi, Rina kemudian membuat resume nomor 11 di mana salah satu isi dari resume tersebut adalah bahwa PT Pertamina selaku termohon eksekusi merupakan BUMN, maka penyitaan tidak bisa dilakukan.
Hal itu berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara.
“Karena itu, maka pelaksanaan eksekusi tidak didahului dengan sita eksekusi dan pelaksanaan eksekusi membebankan pemenuhan isi putusan tersebut untuk dimasukkan dalam anggaran DIPA Pada para termohon eksekusi tahun anggaran berjalan atau tahun anggaran berikutnya,” jelas Jaksa.
Namun, lanjut Jaksa, pada faktanya Rina selaku Panitera tidak menjalankan aturan yang tertera dalam resume tersebut.
Di mana kata Jaksa Rina tetap melakukan proses eksekusi keputusan PK tersebut dengan menyita rekening sebesar Rp 244.604.172 milik PT Pertamina.
“Bahwa pada tanggal 2 Juni 2020 juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas nama Asmawan mendatangi BRI Jakarta Veteran untuk melakukan sita eksekusi berdasarkan surat tugas Nomor 05 tgl 29 Mei 2020 dan Berdasarkan berita acara eksekusi tgl 2 Juni 2020 nomor 5 Jo Nomor 11 Jo 127 Jo 162 Jo 1774 K Jo Nomor 79 PK telah dilakukan blokir rekening atas nama PT Pertamina Persero yang tersimpan di BRI Cabang Jakarta Veteran Jakarta Pusat sebesar Rp 244.604.172,” terang Jaksa.
Setelah adanya penyitaan, tahap selanjutnya adalah proses pencairan uang ganti rugi yang kemudian diserahkan kepada Ali Sofian.
Usai menerima uang ganti rugi, Ali Sofian kemudian memberikan uang kepada para pihak yang telah membantu proses eksekusi tersebut termasuk Rina.
Adapun dalam dakwaannya, Jaksa menyebut bahwa Rina telah menerima suap total Rp 1 miliar dari Ali Sofyan selaku pemberi hadiah.
“Maka total uang yang diterima terdakwa dari saksi Ali Sofian melalui saksi Dede Rahmana yaitu sebesar Rp 1 miliar dengan rincian sebesar Rp 797.500.000 diterima oleh terdakwa dan sisanya sebesar Rp 202.500.000 diberikan oleh terdakwa kepada saksi Dede Rahmana,” pungkasnya.