Jakarta, Beritasatu.com- Bergosip selama ini identik sebagai salah satu bentuk kegiatan atau aktivitas yang tak bermanfaat. Jangan salah, ternyata menurut studi penelitian dari University of Maryland dan Stanford University bergosip tidak sepenuhnya buruk karena menawarkan berbagai manfaat bagi pelakunya.
Penyebar gosip, tukang ngobrol, orang yang suka ikut campur, atau biasa disebut sebagai penggosip sering mendapat reputasi buruk. Dalam studi teoretis yang dipublikasikan pada 20 Februari 2024 di Proceedings of the National Academy of Sciences, para peneliti menemukan bahwa bergosip yang didefinisikan sebagai pertukaran informasi pribadi tentang pihak ketiga yang tidak hadir justru dapat memberikan manfaat sosial dan membantu individu dalam menjaga kerja sama dalam kelompok.
Tidak hanya itu, bergosip dengan orang lain dinilai peneliti juga sekaligus menghindari diri kita dari orang-orang yang egois.
Dikutip dari laman resmi College of Computer, Mathematical & Natural Sciences University of Maryland, Jumat (21/11/2025), menurut studi penelitian tersebut, bergosip sejatinya membantu orang memperoleh informasi reputasi yang sebelumnya sulit didapatkan, terutama dalam kelompok sosial besar atau ketika seseorang tidak mengenal orang lain dengan baik. Informasi yang didapat tersebut kemudian digunakan untuk menentukan apakah seseorang aman atau layak diajak bekerja sama.
“Ketika orang-orang tertarik untuk mengetahui apakah seseorang adalah orang yang baik untuk diajak berinteraksi, jika mereka bisa mendapatkan informasi dari bergosip (diasumsikan informasi itu jujur) maka aktivitas ini bisa menjadi hal yang sangat berguna,” ujar Dana Nau, rekan penulis studi sekaligus pensiunan profesor di Departemen Ilmu Komputer dan Institut Penelitian Sistem University of Maryland.
Siklus evolusi bergosip – (College of Computer, Mathematical & Natural Sciences University o/-)
Studi penelitian dilakukan oleh para peneliti dengan menggunakan simulasi komputer untuk membantu memecahkan misteri yang telah lama ada dalam psikologi sosial: Bagaimana gosip berevolusi menjadi hobi yang begitu populer yang melampaui gender, usia, budaya, dan latar belakang sosial ekonomi.
Hasilnya, penulis utama studi, Xinyue Pan, mencatat rata-rata seseorang menghabiskan satu jam per hari hanya untuk membicarakan orang lain. Menurutnya, hal ini menjadikan gosip fenomena sosial yang penting untuk dipahami dan merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari manusia modern.
Penelitian sebelumnya menunjukkan, bergosip dapat mempererat hubungan dan mendorong kerja sama. Namun, belum jelas apa manfaat yang diperoleh penggosip atau mengapa pendengar gosip pada umumnya bersedia menyimak informasi tersebut.
Untuk menjawab pertanyaan itu, tim peneliti menggunakan simulasi komputer berbasis teori permainan evolusioner untuk meniru pengambilan keputusan manusia.
“Ini benar-benar teka-teki. Tidak jelas mengapa bergosip, yang membutuhkan banyak waktu dan energi, justru berevolusi menjadi strategi adaptif,” ujar Michele Gelfand, profesor di Stanford Business School dan profesor emeritus di Departemen Psikologi University of Maryland.
Simulasi tersebut mengamati bagaimana “agen” subjek studi virtual memutuskan apakah akan bergosip, bekerja sama, atau mengubah strategi setelah melihat perilaku agen lain. Menariknya, pada akhir simulasi memperlihatkan 90% agen virtual itu memilih menjadi penggosip.
Para peneliti memandang, keberadaan penggosip membuat orang lain lebih cenderung berperilaku baik karena mereka tidak ingin menjadi sasaran dari rumor. Bagi para penggosip, kerja sama yang mereka terima dari orang lain justru bisa menjadi keuntungan tersendiri. Hal itu kemudian menginspirasi orang lain untuk bergosip karena mereka bisa melihat aktivitas memberikan timbal balik yang dinilai menguntungkan.
“Jika orang lain berperilaku baik karena mereka tahu Anda bergosip, kemungkinan besar mereka akan bekerja sama dengan Anda dalam berbagai hal. Fakta bahwa Anda bergosip pada akhirnya memberikan keuntungan untuk diri sendiri sebagai seorang penggosip,” jelas Nau.
Meskipun gosip memiliki konotasi negatif, peneliti menekankan bahwa informasi yang dibagikan oleh para penggosip dapat bersifat saling melengkapi. Terlepas dari apa isinya dan bagaimana gosip itu dikemas, gosip memiliki fungsi yang bermanfaat.
“Gosip positif dan negatif sama-sama penting karena gosip memainkan peran penting dalam berbagi informasi tentang reputasi seseorang,” imbuhnya.
Begitu orang-orang memiliki informasi ini, orang-orang dapat menemukan orang-orang baik lainnya untuk diajak bekerja sama, dan ini sebenarnya bermanfaat bagi kelompok tersebut. Jadi, bergosip tidak selalu buruk. Bisa juga menjadi hal yang positif.
Simulasi dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang membantu atau menghambat penyebaran gosip disebut menyoroti konteks seseorang bisa memperkirakan lebih banyak penggosip akan berkembang.
“Studi ini juga mengonfirmasi temuan penelitian sebelumnya: jaringan sosial kecil dengan konektivitas tinggi dan mobilitas rendah seperti di daerah pedesaan lebih mendukung berkembangnya kebiasaan bergosip,” kata Gelfand.
Meski simulasi memberikan banyak wawasan, para peneliti menekankan bahwa model komputer tidak mampu menangkap kompleksitas manusia secara penuh. Namun, temuan tersebut dapat digunakan untuk merumuskan hipotesis yang kemudian diuji melalui studi perilaku.
“Manusia itu sangat rumit dan kita tidak dapat membuat simulasi yang melakukan semua yang dilakukan manusia,” kata Nau. Namun, kita dapat mengembangkan wawasan yang kemudian mengarah pada hipotesis ilmiah yang dapat kita coba selidiki melalui studi yang melibatkan manusia sebagai partisipan,” papar Nau.
Para peneliti berharap dapat melanjutkan studi lanjutan untuk menguji salah satu prediksi simulasi mereka pada manusia sebagai peserta terkait pemikiran gosip efektif ketika orang tidak memiliki metode lain untuk mengumpulkan informasi tentang reputasi orang lain.
“Bagi saya, itu adalah salah satu bagian yang sangat menarik dari penelitian ini. Jika kita dapat mengembangkan hipotesis dan memverifikasi prediksi model-model tersebut pada studi manusia, maka itulah yang membuat hal semacam ini bisa bermanfaat,” tutup Nau.
Dengan maraknya praktik bergosip dalam simulasi maupun kehidupan nyata, para peneliti menyimpulkan aktivitas ini tampaknya tidak akan hilang dari aktivitas manusia dalam waktu dekat.
