Sri Sulistyani, 25 Tahun Berjuang untuk Perempuan Korban Kekerasan di Jember Surabaya 10 November 2025

Sri Sulistyani, 25 Tahun Berjuang untuk Perempuan Korban Kekerasan di Jember
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        10 November 2025

Sri Sulistyani, 25 Tahun Berjuang untuk Perempuan Korban Kekerasan di Jember
Tim Redaksi
JEMBER, KOMPAS.com
– Di usia yang hampir menginjak masa pensiun, Sri Sulistyani masih sibuk menerima telepon dan pesan dari perempuan-perempuan yang datang mencari pertolongan.
Dari rumahnya di Kelurahan Tegal Besar, Kecamatan Kaliwates,
Jember
, suara lembut nan tegasnya menjadi penguat bagi perempuan yang tengah terluka oleh kekerasan dan ketidakadilan.
Bagi banyak orang di Jember, nama Sri Sulistyani bukan sekadar guru matematika di SMA Negeri Balung, tetapi juga pelita yang tak pernah padam bagi perempuan dan anak korban kekerasan.
25 lalu, ketika isu perempuan nyaris tak tersentuh di Jember, ia melangkah sendiri mencari kawan seperjuangan.
“Saya mengajak kawan dari berbagai latar belakang dan organisasi membentuk Gerakan Peduli Perempuan (GPP) Jember,” katanya tersenyum mengenang saat ia mendirikan gerakan tersebut, Senin (10/11/2025).
Waktu itu, LSM sosial sudah banyak dibentuk, tapi tak satu pun yang fokus pada isu perempuan.
Sulis, panggilannya, kemudian berkeliling dari rumah ke rumah, menemui dosen, aktivis pramuka, hingga perempuan-perempuan dari LSM lain.
Ia mengajak mereka mendirikan wadah yang khusus memperjuangkan hak perempuan.
Akhirnya, pada 25 November 2000, bertepatan dengan peringatan 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, GPP Jember resmi berdiri.
Organisasi itu awalnya berbentuk organisasi payung, menaungi 17 lembaga sosial dan komunitas di Jember, terinspirasi dari gerakan Gabriela di Filipina.
Kala itu, saat baru berdiri, Sulis langsung dihadapkan pada kasus besar, seorang kiai di Kelurahan Kranjingan diduga memerkosa delapan santri.
Bagi Sulis dan rekan-rekannya, inilah ujian pertama.
Mereka belum mengenal istilah pendamping hukum, tak punya pengacara, tak punya dana, bahkan belum paham prosedur hukum yang panjang dan berliku.
Namun, mereka bergerak dengan satu keyakinan, perempuan tak boleh diam terhadap kekerasan.
Aksi massa digelar, media dilibatkan, akademisi turun tangan.
Meski akhirnya kasus itu tak sampai ke pengadilan karena dianggap kurang bukti, masyarakat memberi hukuman sosial.
Rumah pelaku dibakar, pesantrennya dibubarkan, dan ia tak lagi diterima tinggal di kampungnya sendiri.
“Kami memang gagal secara hukum, tapi masyarakat tidak tinggal diam,” ujarnya mengenang perjuangan itu.
Dari situ, GPP dikenal sebagai suara bagi mereka yang selama ini bisu.
Rumah kontrakan Sulis menjadi pusat pengaduan.
Ia memasang telepon rumah agar warga bisa menelepon melaporkan kekerasan.
“Kalau saya lagi ngajar, ya mereka nunggu malam, menelfon lagi,” katanya, tertawa kecil.
GPP tak pernah memungut biaya.
Bensin, materai, atau ongkos bolak balik ke kantor polisi, nyaris semua dari gaji Sulis sebagai PNS.
“Saya dulu berdoa, semoga jadi PNS supaya punya rezeki yang bermanfaat bagi orang lain,” ujarnya pelan.
Tahun 2005, Sulis mulai berjejaring dengan LBH di Surabaya. Para pengacara dari Surabaya datang ke Jember tanpa bayaran. Tidur di rumah kontrakannya, dan ikut mendampingi korban.
Selama 10 tahun, kerja sama itu menjadi tulang punggung advokasi GPP.
Namun, Sulis menyadari, kekerasan terhadap perempuan tak hanya soal hukum, tapi juga soal ekonomi.
“Banyak perempuan bertahan dalam kekerasan karena takut tidak makan kalau bercerai,” ujarnya.
Dari kesadaran itu, pada 2017 ia mendirikan Pasar Kita yang masih bernaung di bawah bendera GPP, ruang pemberdayaan ekonomi perempuan agar perempuan bisa mandiri dan berani mengambil keputusan.
Dari Pasar Kita inilah muncul ide berikutnya, membentuk
LBH Jentera Perempuan
Indonesia, lembaga bantuan hukum dengan enam pengacara dan sejumlah paralegal pada periode awal.
Sejak berdiri, LBH Jentera telah menangani puluhan kasus kekerasan berbasis gender (KBG), kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga kehamilan tak diinginkan (KTD).
Salah satu kasus besar yang pernah diadvokasi adalah pemimpin pesantren yang mencabuli sejumlah santrinya. Pelapor adalah istri kiai cabul tersebut.
Perjalanan advokasi begitu alot dan berliku. Sebab, pelaku adalah orang yang punya kekuatan secara materi dan massa.
Namun, jam terjangnya membuatnya terlatih, berbagai taktik advokasi ia curahkan bersama tim pengacara dan paralegal LBH Jentera.
Kasus yang sempat jadi sororan di media nasional itu kemudian bisa dimenangkan dan kiai itu dipenjara lantas pesantrennya ditutup karena terbukti tak berizin.
LBH Jentera juga berperan penting dalam mengedukasi para perempuan dan masyarakat luas.
“Kami tidak bisa menunggu sistem berubah dari atas. Jadi kami bergerak dari bawah, dari pengalaman lapangan,” katanya.
Sampai kini, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jember makin tampak begitu nyata, seolah di mana-mana.
Sulis dengan LBH Jentera yang dibentuknya selalu terbuka. Dalam beberapa kasus, GPP Jember bahkan menyediakan rumah aman sementara bagi korban yang terancam keselamatannya.
Rumah Aman Karuna menjadi tempat perlindungan bagi perempuan yang harus melarikan diri dari pelaku kekerasan, sambil menunggu proses hukum berjalan.
Di sana mereka diberi tempat tidur, makanan, dan yang paling penting, rasa aman.
“Kadang cuma seminggu, kadang berbulan-bulan. Yang penting mereka bisa tidur tanpa takut,” ujar Sulis.
Meski sumber daya terbatas, ia tidak pernah menolak kasus.
Semua layanan hukum diberikan gratis, bahkan sering kali biaya transportasi dan kebutuhan dasar korban ditanggung oleh Sulis dan para relawan.
Bahkan ketika korbannya orang berada sekalipun, semua layanan diberikan cuma-cuma.
Mereka tahu, setiap kasus yang selesai bukan sekadar kemenangan hukum, tapi juga bukti bahwa perempuan di Jember tidak lagi sendirian.
GPP yang dibentuk Sulis kini memiliki beragam program, pendidikan kritis bagi perempuan hingga pelatihan Jurnalis Warga.
Sebagian besar program itu berjalan tanpa dana besar, hanya berbekal prinsip kesetiakawanan sosial.
“Kalau punya rezeki, sisihkan sedikit. Kalau tak punya uang, sisihkan waktu dan pikiran,” katanya, menegaskan prinsip yang ia pegang sejak awal.
Ia percaya, membantu sesama tak harus menunggu kaya.
Cukup dengan kepedulian, ketulusan, dan niat untuk tidak membiarkan ketidakadilan menjadi hal biasa.
Kini di usia 59 tahun, menjelang pensiun dari profesi guru, Sulis masih membuka rumahnya bagi anak-anak perempuan lulusan SMA yang ingin kuliah tapi tak mampu.
Mereka tinggal di rumahnya sambil bekerja atau mencari beasiswa.
“Kalau sudah sarjana, harus keluar. Gantian dengan adik-adik lain,” ujarnya tertawa.
Baginya, hidup bukan soal berapa banyak yang dimiliki, tapi seberapa banyak yang bisa dibagi.
“Kita hidup di dunia ini bukan sendiri. Keberadaan orang lain itu anugerah, dan tugas kita adalah menjadi berguna bagi mereka,” ucapnya.
Sulis juga kerap bersuara lantang tentang hak-hak perempuan yang diabaikan oleh sistem. Melalui suara langsung kepada pejabat, lewat tulisan, buku, media sosial, juga penggalangan suara masa.
Di momentum
Hari Pahlawan
ini, Sri Sulistyani mungkin tak berdiri di podium, tak mengenakan tanda jasa, atau disorot banyak oleh mata kamera.
Namun dari rumah kecil di Jember, ia telah menyalakan cahaya bagi banyak perempuan yang hampir padam.
Di kesunyian, ia menjadi pelita yang menerangkan bagi banyak perempuan korban kekerasan.
Cahaya yang lahir dari keyakinan sederhana, bahwa keberanian perempuan bisa mengubah dunianya, nasib, dan keadannya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.