TRIBUNJATIM.COM – Inilah sosok Bidan Warni, yang 26 tahun bekerja di desa di Sumbawa.
Bidan Warni menangis saat menceritakan perjuangannya.
Ia pernah syok melihat berbagai ulah dukun saat membantu ibu melahirkan.
Setelah dua tahun bertugas, kala itu angka kematian di desa tersebut berkurang.
Bidan Warni, yang kini berusia 44 tahun masih aktif di Puskesmas Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia sudah bertugas menjadi bidan desa sejak usia 18 tahun.
Pengalaman panjang dan penuh liku tentu sudah dirasakan Warni.
Kisahnya berawal pada 1998, ketika Warni bertugas pertama kali di Desa Lantung, tepatnya di Dusun Lebin.
Perjalanan menuju Dusun tersebut tidak mudah.
Sulitnya medan, harus ditempuh dengan menaiki kuda selama 2,5 jam.
Melewati hutan belantara, lumpur, sungai, dan jalan berbatu.
Sebagai bidan, saat awal penugasannya, ia berjuang melawan hagemoni dukun, tradisi, serta mitos yang dipercaya masyarakat perihal persalinan dan kesehatan reproduksi.
Di tengah keterbatasan, persalinan di dusun itu masih di tolong oleh dukun.
Warni baru mengetahui ternyata cara dukun menyelamatkan ibu hamil dengan menginjak perut sang ibu.
Hal itu dilakukan agar bayi cepat keluar.
Hingga ada satu kasus yang fatal.
Ibu hamil yang melahirkan mengalami pendarahan hebaṭ.
Meski bayi ibu itu tertolong, tetapi sang ibu mengalami penderitaan luar biasa.
Sementara, sang dukun ketakutan dan lari ke atas gunung, karena takut dipersalahkan.
“Ibu itu melahirkan pagi dengan dukun, dia panggil saya sore. Saya coba dorong rahim itu, tapi tidak bisa. Saya minta dirujuk ke RSUD,” kata Warni, melansir dari Kompas.com.
Ada pula mitos juga di Lebin, bayi yang baru lahir harus langsung dimandikan dengan air kelapa.
Alhasil, ada bayi yang langsung kejang dan menggigil.
Begitu juga, ibu hamil yang baru melahirkan langsung dimandikan, dan setelah itu pingsan.
“Saya saat itu ambil obat di Pustu, saya dipanggil dan saya langsung marahin semua yang mandiin itu,” kata dia.
“Bayangkan, ibu hamil tidak tidur semalam, tidak makan, dan setelah lahiran langsung dimandiin pasti drop,” sebut dia.
“Ada juga bayi baru lahir diletakkan jempol kaki kakaknya di mulut bayi. Kata mereka biar jadi penurut, dan tidak melawan dengan saudaranya.”
“Saya hadapi dukun dan mitos luar biasa di dusun itu. Awalnya banyak kematian bayi, setelah dua tahun saya bertugas, di sana nol kematian,” ujar dia.
“Saya perang dengan dukun. Begitu ada kejadian, saya langsung masuk dan berikan edukasi,” kata dia.
Kini Warni sudah bertugas selama 18 tahun sebagai bidan di Puskesmas Labuhan Badas.
“Kalau sekarang kondisinya mereka sudah lebih paham mereka yang sudah mendekati melahirkan ibu hamilnya akan ke rumah keluarganya setelah mendekati persalinan untuk lebih dekat dengan Puskesmas.”
“Melahirkan di sini kemudian satu minggu setelah lahiran baru pulang ke pulau,” kata dia.
Plasenta previa, plasenta tertahan, dan pendarahan adalah kasus yang banyak terjadi di Pulau Moyo dan Medang dulu.
Menggunakan kapal, perjalanan ke Pulau Moyo membutuhkan waktu dua jam, kondisi hujan dan ombak besar. Perjalanan menjadi lebih panjangan karena kondisi cuaca.
Sexual and Reproductive Health Programme Specialist, UNFPA Indonesia, Sandeep Nanwani, menyampaikan upaya mendorong pemerataan distribusi bidan terus dilakukan.
Kementerian Kesehatan terus mengestimasi beban pekerjaan, dan ini sangat membantu daerah.
“Jika kita melihat dari jumlah bidan, maka kita tidak kekurangan. Tetapi yang perlu ditekankan adalah distribusi pemerataan penempatan bidan,” kata dia saat dikonfirmasi, Jumat (22/11/2024).
Disebutkan, tugas bidan tanpa didukung oleh sistem kesehatan primer yang baik, tidak akan bisa menyelamatkan nyawa ibu dan anak.
“Karena bidan tidak bisa melakukan penyelamatan dengan baik, pada kasus persalinan dengan resiko,” sebut dia.
Ada kecenderungan memang di masyarakat, ada stigma untuk menyalakan bidan jika ada terjadi kasus kematian baik pada ibu dan anak.
“Jika kita lihat lebih mendalam lagi, sebetulnya bidan selain dari penguatan kompetensinya mesti didukung dengan penyediaan sarana prasarana layanan primer yang memadai ini wajib,” tegasnya.
Sebelumnya juga viral di media sosial video ibu hamil digotong 5 jam pakai kain seadanya saat akan melahirkan.
Peristiwa ini terjadi di Desa Matemega, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Kamis (14/11/2024) siang.
Puluhan warga berjalan kaki selama lima jam sejauh 11 Kilometer menuju lokasi yang bisa diakses ambulance puskesmas.
Detik-detik Dewi ditandu direkam dan dibagikan oleh akun Facebook Matemega dengan caption sebagai berikut.
“Proses evakuasi ibu Dewi warga dusun Matemega dan Lamede yang mengalami kendala dalam proses melahirkan.
Dewi terpaksa harus dirujuk ke Puskesmas Alas. Namun yang menjadi kendala akses jalan buruk dan tidak memadai sehingga warga berinisitif mengotong dengan kain seadanya dan berjalan kaki sejauh 11 Km.
Di saat seperti ini ke mana kami masyarakat kecil ini harus mengadu. Mau sampai kapan kami seperti ini. Video itu ramai dibagikan oleh netizen,” melansir dari Kompas.com.
Dalam percakapan warganet di kolom komentar terungkap bahwa yang bersangkutan tidak bisa dibawa dengan sepeda motor lantaran kondisi jalan yang buruk, berlumpur dan berlubang.
Kondisi jalan semakin parah karena licin akibat hujan yang mulai sering turun di wilayah hutan lindung kawasan desa Matemega hingga Marente.
Warga dalam video tersebut menyampaikan harapan agar pemerintah memperhatikan akses jalan yang buruk segera diperbaiki, listrik masuk kampung, dan mendapat pelayanan kesehatan prima.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sumbawa, Junaedi membenarkan peristiwa tersebut.
“Benar, ibu hamil dan anaknya dibawa warga berjalan kaki menuju puskesmas. Saat ini ibu dan bayi sudah bisa diselamatkan dan alhamdulillah kondisinya baik,” kata Junaedi saat dikonfirmasi Jumat (15/11/2024).
“Dari Puskesmas Alas, ibu dan anaknya dirujuk ke RSUD Sumbawa tadi malam,” tambah Junaedi.
Pihaknya akan terus memantau perkembangan kondisi ibu dan bayi tersebut.
Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com