TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Sebanyak 365 Mahasiswa dan 16 Akademisi gabungan dari berbagai Universitas di Kota Semarang mengajukan penangguhan penahanan terhadap enam mahasiswa yang ditahan buntut kasus demonstrasi May Day Semarang, Kamis (1/5/2025) lalu.
Tak hanya mereka, orang tua dari mahasiswa Universitas Semarang (USM) yang ditahan ikut pula menjaminkan diri.
Penyerahan surat Permohonan Penangguhan dan Dukungan Permohonan Penangguhan Penahanan ini dilakukan langsung oleh Tim Advokasi May Day Semarang bersama Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) USM ke Polrestabes Semarang, Senin (5/5/2025).
“Upaya ini dilakukan untuk mengetuk pintu Kapolrestabes Semarang (Kombes Syahduddi) agar dapat mengeluarkan enam mahasiswa dari tahanan,” jelas Koordinator Tim Advokasi May Day Semarang M Safali kepada Tribun.
Safali menyebut, ada beberapa pertimbangan yang hendaknya menjadi dasar oleh Kapolrestabes Semarang untuk tidak menahan enam mahasiswa ini.
Adapun beberapa pertimbangan ini di antaranya pertama, ada lima mahasiswa yang ditangkap masih mempunyai kewajiban untuk belajar terlebih mendekati ujian semester dan mengerjakan skripsi.
Kedua, berdasarkan penuturan dari orang tua salah satu Mahasiswa dari USM menyatakan anaknya merupakan anak baik, ia sering aktif di lingkungan sosial, dan sering membantu orang tuanya, dirinya merasa aneh apabila anaknya dianggap sebagai bagian dari “Anarko”.
Ketiga mahasiswa yang ditahan merupakan anak buruh pabrik dan petani yang sedang memperjuangkan Demokrasi dan HAM di hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025.
Keempat, pasal yangdituduhkan oleh penyidik semuanya merupakan pasal yang hukumannya maksimal lima hingga tujuh tahun yakni Pasal 211, 212 atau 214 Subsider 170 dan 214 Subsider 170.
“Sedangkan penahanan hendaknya dilakukan terhadap dugaan tindak pidana yang hukumannya minimal di atas lima tahun hal ini sebagaimana yang telah tertuang di dalam Pasal 21 ayat (4) KUHP,” ujarnya.
Safali juga meminta agar penangguhan penahanan ini dapat segera dikabulkan. Sebab, upaya penahanan ini harusnya dijadikan sebagai upaya terakhir bagi Kapolrestabes.
“Kami juga meminta kepada Kawan-kawan serikat buruh, mahasiswa, akademisi dan seluruh elemen gerakan rakyat lainnya, agar tetap melayangkan surat solidaritas penangguhan penahanan,” paparnya.
Sementara, orang tua korban dari Mahasiswa USM yang masih di tahan berharap agar Kapolrestabes dan Kasareskrim dapat mempertimbangan isi surat penangguhan penahanan yang dikirimkan.
Mereka juga mengungkapkan bahwa menjamin anaknya tidak akan menghilangkan barang bukti, merusak barang bukti bahkan kabur dari proses hukum yang sedang berjalan.
Dihubungi terpisah, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasatreskrim) Polrestabes Semarang AKBP Andika Dharma Sena menyebut, masih akan mempelajari pengajuan penangguhan penahanan tersebut. “Nanti saya cek dulu, ini sedang mengurus kasus lain,” paparnya kepada Tribun.
Mahasiswa, Jurnalis dan Pers Mahasiswa Ikut Jadi Korban
Aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day pada Kamis, 1 Mei 2025 berujung pada penangkapan terhadap 24 peserta aksi.
Dari 24 mahasiswa tiga di antaranya adalah anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik atau peliputan. Namun, tetap saja menjadi sasaran aparat secara brutal. Kekerasan ini terekam jelas dalam siaran langsung di media sosial LPM tersebut.
Dari 24 massa aksi yang ditangkap, 18 diantaranya sudah dibebaskan tanggal Jumat 2 Mei 2025 sekira pukul 18.00 WIB. Sebanyak enam lainnya sampai saat ini masih ditahan di Polrestabes Semarang.
Kelima mahasiswa dan 1 orang lainnya yang saat ini ditahan merupakan bagian dari masa aksi dalam rangka memperingati hari buruh. Namun aparat kepolisian melakukan upaya penangkapan secara sewenang-wenangan kepada 24 Massa Aksi dari mahasiswa termasuk 3 Pers Mahasiswa yang sedang melakukan kerja-kerja jurnalistik.
Jurnalis Tempo Jamal Abdun Nasr mengalami tindakan kekerasan oleh aparat sebanyak dua kali saat meliput aksi May Day.
Pertama, saat meliput aksi demonstrasi di depan pintu gerbang kantor Gubernur Jawa Tengah pada pukul 17.30 WIB.
Pada kejadian ini, Jamal diintimidasi sekaligus mendapatkan kekerasan berupa leher dipiting lalu hendak dibanting.
Kekerasan kedua dialami Jamal saat meliput pengepungan aparat kepolisian dan preman di depan pintu gerbang utama kampus Undip Pleburan, sekira pukul 20.36.
Jamal saat itu sedang duduk di trotoar bersama sejumlah jurnalis lainnya yang jaraknya cukup jauh dengan pintu gerbang Undip.
Ketika mendengarkan keramaian aparat diduga sedang menangkap mahasiswa, Jamal dan sejumlah jurnalis lainnya berdiri.
Namun, para jurnalis ini dituding melakukan perekaman oleh puluhan polisi berpakaian preman.
Jamal sempat mengungkapkan tindakan aparat tersebut sebagai bentuk penghalang-halangan tugas jurnalistik.
Sejumlah jurnalis lainnya ikut melontarkan hal serupa.
Perlawanan dari jurnalis ditanggapi dengan tindakan yang lebih beringas dari aparat.
Mereka sempat melemparkan helm ke arah jurnalis tapi tidak kena.
Jamal juga sempat diancam secara verbal. “Kami tidak takut wartawan Tempo,” ungkap rombongan polisi tersebut. (Iwn)
