Jakarta, CNN Indonesia —
Aturan dalam Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) dianggap bisa memidanakan pihak yang mengungkap kasus dengan dalih kepentingan negara, termasuk jurnalis dan aktivis.
“Tentu ini yang kita anggap dengan melihat rumusan pasal ini cenderung UU PDP untuk mengakomodir kepentingan negara untuk mengontrol data pribadi warga negara,” ujar Assistant Public Lawyer LBH Pers Mustafa Layong, dalam diskusi daring, Kamis (22/9).
Hal ini dikatakan terkait keberadaan pasal pengecualian yang bisa membatasi Subjek Data mendapat sebagian haknya.
Yakni, hak warga untuk mengakhiri pemrosesan, menghapus, dan/atau memusnahkan Data Pribadi; menarik kembali persetujuan pemrosesan Data Pribadi; mengajukan keberatan atas pemrosesan data secara otomatis;
Hak menunda atau membatasi pemrosesan Data Pribadi; mendapatkan dan/atau menggunakan Data Pribadi dari Pengendali Data Pribadi dalam format yang lazim; menggunakan dan mengirimkan Data Pribadi ke Pengendali Data Pribadi lainnya.
Pasal 15 menyatakan hak-hak itu dibatasi oleh kepentingan pertahanan dan keamanan nasional; proses penegakan hukum; kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara;
Kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara; atau kepentingan statistik dan penelitian ilmiah.
Mustafa menilai UU PDP ini tak sejalan dengan The General Data Protection Regulation (GDPR) yang dimiliki Uni Eropa yang memiliki pengecualian pada kebebasan berekspresi dan hak mendapat informasi.
Dengan aturan pengecualian ini, kata dia, jurnalis, yang sebenarnya pekerjaannya dilindungi oleh UU Pers, yang mengungkap data pejabat atau politikus tertentu bisa dianggap melanggar UU PDP.
“Misalnya, jurnalis mengungkap rekam jejak kejahatan seseorang, bisa menjadi delik pidana terhadap jurnalis yang melakukan peliputan,” cetus dia.
“Bagaimana yang menyebarkan adalah warga, aktivis antikorupsi misalnya? Nah, ini yang menjadi sorotan bagaimana perlindungan kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi tersebut. Ini yang tidak diharominasi di undang-undang ini,” sambung Mustafa.
Verifikasi lama
Terpisah, Head of Economic Opportunities Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Trissia Wijaya menilai UU PDP terlalu menyederhanakan proses penghapusan data pada perusahaan.
Ini terkait dengan hak pemilik data pribadi di UU PDP untuk menghapus data pribadinya. Waktu yang diberikan kepada perusahaan adalah 3×24 jam.
“Jika menyangkut prosedur teknis, klausul ini sangat bermasalah karena perusahaan sebenarnya membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk menghapus data. Proses penghapusan data bukan seperti proses daftar investasi yang menekankan efisiensi, melainkan tergantung dengan proses verifikasi yang sangat kompleks,” tuturnya, dalam keterangan tertulis.
Menurutnya, pihak swasta dan publik mesti dilibatkan lebih jauh dalam pelaksanaan UU ini.
“Pelibatan swasta, termasuk asosiasi, maupun perwakilan masyarakat diperlukan mengingat masih ada hal-hal yang berpotensi menghambat implementasi UU perlindungan data pribadi oleh mereka,” tandas dia.
(can/arh)
[Gambas:Video CNN]