TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure, Awan Puryadi mengatakan pihaknya menerima informasi bahwa pemerintah dan DPR juga menjadwalkan pembahasan RUU Kejaksaan pada lokasi yang sama dengan pembahasan senyap RUU TNI, di hotel bintang lima di bilangan Jakarta Pusat.
Dia heran mengapa DPR dan pemerintah mengebut revisi undang-undang ini.
“Di Fairmont kemarin, menurut info yang kita dapat, juga ada jadwal RUU Kejaksaan, bukan hanya RUU TNI. Kenapa ini kok bersama-sama,” kata Awan dalam diskusi ‘Memperluas Kewenangan dan Memperkuat Pengawasan’ di Aula Fakultas Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan, Kamis (20/3/2025).
Awan kemudian menilik persoalan yang ada dalam rencana revisi UU Kejaksaan.
Misalnya dalam revisi sebelumnya yakni UU 11/2021, kejaksaan yang merupakan pemerintah atau eksekutif berkaitan dengan kekuasaan kehakiman atau yudikatif.
Hal ini, sambungnya, membuat skema pemilahan kekuasaan menjadi blur. Tapi bukannya dibenahi, posisi ini justru hendak dieksplisitkan dalam RUU.
“Di dalam UU 11/2021 kejaksaan sudah berada di dua kaki, antara yudikatif dan eksekutif. Di dalam RUU yang baru, kembali mau dieksplisitkan, bukan dibenahi,” katanya.
Menurutnya undang-undang Kejaksaan yang saat ini ada, sudah melampaui kewenangan wilayah lain.
Sebagai contoh kejaksaan saat ini berada pada dua kaki yakni yudikatif dan eksekutif. Jika dia eksekutif maka ada kewajiban melaporkan kegiatannya ke presiden. Menurutnya ini yang berbahaya bagi sistem hukum dan demokrasi.
Selain itu Awan juga menyoroti hak imunitas berupa pendampingan hukum yang pernah diberikan Jaksa Agung kepada jaksa Pinangki yang kala itu berkasus. Padahal jika kejaksaan merupakan eksekutif, maka hak imunitas semestinya diberikan oleh yudikatif atau lembaga kekuasaan kehakiman.
“Jadi, lembaga eksekutif memberikan imunitas pada dirinya sendiri,” katanya.
Awal mengatakan pada RUU Kejaksaan, sebagian besar yang diatur adalah kewenangan menghentikan kasus di luar pengadilan, atau disebut dengan restorative justice (RJ).
“Kalau kemarin masuk di Peraturan Jaksa Agung, sekarang dimasukkan ke dalam UU. Kenapa ini mau dimasukkan?” tanya dia.
Ia menduga upaya ini dimaksudkan agar kejaksaan punya kewenangan memberhentikan kasus dengan alasan RJ. Menurutnya ledakan kewenangan kejaksaan hampir tidak terdeteksi oleh publik.
“Jadi ledakan kewenangan ini luar biasa, hampir tidak terdeteksi. Sudah ngawur kita katakan. Nah, proses revisi ini juga sudah dikondisikan, diantaranya misalnya, sebagai suatu bacaan, kejaksaan dikondisikan untuk naik, di mana kasus-kasus high profile itu naik semua, misalnya Pertamina,” jelas dia.
Sementara itu dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Valerianus Beatae Jehanu mengatakan isu paling kentara dalam RUU Kejaksaan adalah intelijen penegakan hukum.
Hal ini kata Valeri, membuat jaksa memiliki fungsi cipta kondisi mendukung pembangunan. Ini terjadi pada kasus Rempang.
Kemudian jaksa juga bisa mengawasi ruang media yang tertuang dalam frasa ‘pengawasan multimedia’. Menurutnya hal ini semestinya hanya bisa dilakukan dalam konteks pro justitia atau demi hukum.
Ia melihat secara garis besar RUU Kejaksaan hendak menguatkan kontrol terhadap sipil tapi tidak membarenginya dengan peningkatan kontrol internal.
“Bisa dikatakan, kontrol terhadap sipilnya semakin kuat, sementara kontrol internalnya lemah. Ini bahaya, karena memungkinkan impunitas di institusi kejaksaan. Di militer ada impunitas dengan belum direvisinya UU Pengadilan Militer, nah ini di Kejaksaan justru terbuka peluang impunitas baru di institusi negara,” katanya.