Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Semilir angin keadilan bagi buruh dalam putusan MK
Dalam Negeri
Sigit Kurniawan
Jumat, 01 November 2024 – 19:34 WIB
Elshinta.com – Mahkamah Konstitusi kembali memutus perkara uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Kali ini, lewat Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023, MK mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia, dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia.
Presiden Partai Buruh Said Iqbal menilai putusan MK tersebut merupakan kemenangan bagi seluruh rakyat, khususnya kaum buruh. Putusan MK itu menunjukkan bahwa keadilan bagi buruh masih tetap ada.
“Setelah mendengarkan putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, ini adalah kemenangan rakyat,” kata Said Iqbal.
Dengan suara bulat, sembilan hakim konstitusi sepakat untuk mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan empat serikat pekerja ini. Setidaknya ada 21 norma yang dikabulkan sebagian atau dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK. Norma-norma tersebut berkaitan dengan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), pekerja alih daya atau outsourcing, cuti, upah dan minimum upah, pemutusan hubungan kerja (PHK), uang pesangon, uang penggantian hak upah, serta uang penghargaan masa kerja.
Tenaga kerja Indonesia harus diutamakan
MK memahami bahwa memberi kesempatan kerja bagi tenaga kerja asing di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat dihindari, terutama untuk jabatan tertentu yang belum dapat diduduki oleh tenaga kerja Indonesia. Namun demikian, penggunaan tenaga kerja asing juga harus memperhatikan kondisi pasar kerja di dalam negeri.
Untuk itu, MK menegaskan setiap pemberi kerja wajib mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia di semua jenis jabatan yang tersedia. MK juga menegaskan pemberi kerja wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang bekerja di dalam negeri.
Dalam hal ini, MK memutuskan, norma Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi berbunyi: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.”
Jangka waktu PKWT maksimal 5 tahun
MK menggarisbawahi bahwa jangka waktu PKWT penting untuk diatur di dalam undang-undang, mengingat pekerja atau buruh berada dalam posisi yang lebih rendah dibanding pihak pengusaha ketika membuat perjanjian kerja. Dengan adanya aturan jangka waktu PKWT di undang-undang, pemberi kerja tidak bisa sembarangan membuat perjanjian kerja.
Selama ini, UU Cipta Kerja belum mengatur jangka waktu definitif PKWT. Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Cipta Kerja hanya mendelegasikan jangka waktu suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja. Sementara itu, jangka waktu PKWT justru diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021), yakni paling lama 5 tahun.
Hal itulah yang ditegaskan oleh MK di dalam amar putusannya. Demi memberikan perlindungan terhadap pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, MK menyatakan jangka waktu PKWT tidak lebih dari 5 tahun, termasuk bila ada perpanjangan.
Terkait hal ini, MK memutuskan, norma Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran UU Cipta Kerja diperjelas menjadi berbunyi: “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan.”
Pembatasan jenis outsourcing
MK menilai UU Cipta Kerja maupun PP 35/2021 belum mengatur secara jelas terkait jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing). Menurut Mahkamah, kedua ketentuan tersebut baru menyatakan alih daya dibatasi untuk “sebagian pelaksanaan pekerjaan”.
Dalam Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Cipta Kerja, “sebagian pelaksanaan pekerjaan” didelegasikan kepada Pemerintah untuk menetapkannya. Terkait hal ini, MK menilai perlu adanya penegasan terhadap kata “pemerintah”. Agar tidak menimbulkan persoalan dalam penerapannya, maka kata “pemerintah” yang dimaksud di dalam pasal tersebut adalah menteri yang bertanggung jawab dalam urusan ketenagakerjaan.
Di sisi lain, MK juga menyatakan perlu ada kejelasan dalam undang-undang yang menyatakan bahwa menteri menetapkan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan. Hal ini agar pihak-pihak dalam perjanjian alih daya memiliki standar yang jelas tentang jenis pekerjaan outsourcing.
Atas dasar itu, MK memutuskan, Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran UU Cipta Kerja menjadi berbunyi: “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
Penegasan aturan libur dalam seminggu
MK memberi penegasan terkait aturan libur pekerja dalam seminggu. MK mengembalikan ketentuan istirahat mingguan 2 hari untuk lima hari kerja yang tidak diatur pada UU Cipta Kerja. Selama ini, UU Cipta Kerja hanya mengatur ketentuan istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja dalam seminggu.
Ketentuan libur 2 hari dalam seminggu justru diatur pada PP 35/2021. Padahal, ketentuan ini sebelumnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurut MK, pengaturan yang seperti demikian jelas menimbulkan ketidakpastian hukum.
Melalui putusan ini, MK menghadirkan kembali opsi aturan libur yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Perusahaan dapat memilih waktu istirahat mingguan 1 hari untuk enam hari kerja atau 2 hari untuk lima hari kerja dalam satu pekan.
Struktur dan skala upah harus proporsional
MK menambahkan frasa “yang proporsional” untuk melengkapi frasa “struktur dan skala upah” di dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja. Dengan demikian, saat ini, kebijakan pengupahan yang ditetapkan Pemerintah harus meliputi struktur dan skala upah yang proporsional.
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menjelaskan bahwa frasa “yang proporsional” semula ditegaskan dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, dengan dilakukannya perubahan di UU Cipta Kerja, frasa tersebut dihilangkan dalam kebijakan pengupahan. Padahal, menurut MK, frasa tersebut memiliki arti penting dalam pemberian imbalan dari pengusaha kepada buruh.
Pelibatan dewan pengupahan daerah
Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja mulanya mengatur bahwa kebijakan pengupahan ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, MK menyatakan, sinergi antara Pemerintah Pusat dan daerah merupakan suatu keniscayaan dalam pembangunan ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, untuk menyusun kebijakan pengupahan yang strategis dan sejalan dengan pemenuhan hak buruh, maka keterlibatan pemerintah daerah menjadi sangat penting dalam penyusunan kebijakan pengupahan.
Dengan pertimbangan itu, MK memutuskan, norma Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran UU Cipta Kerja ditambahkan frasa: “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.”
Upah minimum sektoral kembali hidup
Upah minimum sektoral sebelumnya telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Akan tetapi, ketentuan tersebut dihapus dalam UU Cipta Kerja. Menurut MK, upah minimum sektoral merupakan salah satu instrumen penting untuk menjamin kesejahteraan pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor-sektor lainnya.
Dihilangkannya ketentuan upah minimum sektoral di UU Cipta Kerja, kata MK, berpotensi menimbulkan penurunan standar perlindungan yang sebelumnya telah diberikan kepada pekerja, khususnya pekerja di sektor-sektor yang memerlukan perhatian khusus dari negara.
“Penghapusan ketentuan upah minimum sektoral bertentangan dengan prinsip perlindungan hak-hak pekerja yang merupakan bagian dari hak asasi manusia,” demikian pertimbangan MK. Oleh sebab itu, MK membubuhkan ketentuan mengenai upah minimum sektoral dalam Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Cipta Kerja.
PHK harus lewat bipartit musyawarah mufakat
Proses PHK juga diperketat oleh MK. PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dan pekerja/buruh maupun serikat pekerja atau serikat buruh. Ketentuan tersebut merupakan frasa baru yang ditambahkan MK dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran UU Cipta Kerja.
Sebelum adanya putusan ini, UU Cipta Kerja hanya mengatur bahwa PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit, tanpa penekanan musyawarah mufakat. Padahal, pada prinsipnya, UU Ketenagakerjaan telah menghendaki adanya mekanisme musyawarah untuk mufakat tersebut.
Lebih lanjut, MK dalam amar putusannya juga menyatakan jika perundingan bipartit tersebut tidak mendapatkan kesepakatan, maka PHK hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
Undang-undang ketenagakerjaan baru dalam 2 tahun
Selain sederet penegasan norma, melalui Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 ini, MK juga memerintahkan DPR dan Presiden, selaku pembentuk undang-undang, untuk menggodok undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkannya dari UU Cipta Kerja. Undang-undang baru tersebut harus diselesaikan dalam 2 tahun.
Menurut MK, undang-undang baru ini diperlukan karena UU Ketenagakerjaan yang lama maupun UU Cipta Kerja saling tumpang tindih sehingga tidak sinkron dan harmonis. Dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, masalah ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi atau substansi mengenai ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan diselesaikan.
Jalankan putusan MK
Partai Buruh, selaku salah satu pemohon dalam perkara ini, meminta Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk betul-betul menjalankan amanat putusan MK. Partai Buruh minta pembentuk undang-undang menghormati putusan ini dengan tidak menafsirkan selain yang ditafsirkan MK. Di sisi lain, dia juga mengusulkan, agar Presiden segera mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang untuk menindaklanjuti putusan MK ini.
“Rakyat telah mendapatkan keadilan di MK. Jalan hukum telah kami tempuh, jalan gerakan telah kami ambil. Hormati putusan ini, jangan ditafsirkan lain,” kata Said Iqbal.
Sumber : Antara