Sejak 1969, Mangut Lele Mbah Marto Berawal dari Gendongan ke Beringharjo
Tim Redaksi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com –
Mbok Marto Ijoyo, pendiri
mangut lele
asal
Bantul
, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meninggal dunia pada Rabu (6/11/2024).
Mangut lele
Mbok marto merupakan
kuliner legendaris
asal Bantul yang sudah ada sejak 1969.
Hal ini diceritakan oleh anak kelima Mbok Marto Ijoyo, Poniman.
Tahun-tahun pertama Mbok Marto berjualan manggut lele, dia menggendong masakannya belasan kilometer ke pusat kota, Pasar Beringharjo.
Di zaman itu, Mbok Marto tidak memiliki sepeda atau kendaraan lainnya. Namun dia tetap bersemangat membawa jualannya dari Jalan Masjid Baitussalam Panggungharjo, Sewon, Bantul ke Pasar Beringharjo sambil digendong.
“Simbok dari keluarga yang sangat sederhana istilahnya tidak punya sepeda, ya cara berdagangnya itu digendong. Awal mulanya sampai Beringharjo lalu ke Keraton,” ujar Poniman, Rabu (6/10/2024).
Seiring berjalannya waktu, masakan buatan mendiang ibunya semakin dikenal warga. Sehingga, Mbok Marto tidak lagi menggendong sampai ke Pasar Beringharjo.
Saat Mbok Marto berjalan hingga daerah Gading yang berada di Jalan Patehan Kidul, Kota Yogyakarta, masakan Mbok Marto sudah habis.
“Karena customer semakin banyak, itu sampai di Gading habis, sampai Krapyak habis. Akhirnya tahun 1986 sudah
stay
di kampus ISI aja, kira-kira sekitar 300 meter dari rumah.
Lama kelamaan, akhirnya Mbok Marto memutuskan membuwa warung sederhana mangut lele di rumahnya.
“Jadi ceritanya dari tahun 70 hingga 83 itu digendong. Wah kasihan kalau lihat simbok perjuangannya,” kata dia.
Seiring berjalannya waktu, kondisi fisik Mbok Marto Ijoyo kian lemah.
Meski sudah tidak kuat memasak, Mbok Marto tetap turun tangan. Meski hanya membuat tusukan untuk lele yang akan dibuat mangut atau meracik bumbu.
“Setelah beliau nggak kuat masak, hanya buat sunduk (tusuk) itu lele,” kata dia.
Setelah tak kuat membuat tusuk sate, Mbok Marto tetap meminta pekerjaan. Dia tetap meminta untuk dilibatkan dalam memasak, meski hanya memetik cabai dan mengupas bawang merah serta bawang putih.
“Biasanya kan 10 kilo 12 kilo (bawang) sendiri, tapi kemarin cuma sekilo. Kami cuma memberikan kesibukan tangannya biar bergerak, biar sehat terus. Terus terakhir hanya lombok, yang ditanyakan itu hanya lombok.
Lomboke endi, lomboke endi
(cabainya mana), sampai tadi terakhir tadi malem juga tanya lomboknya mana kok nggak dikasih gawean (kerjaan),” beber Poniman.
Poniman mengenang, setiap kali ibunya tidak diberi pekerjaan dapur, beliau akan marah.
“Iya, marah nanti diunek-uneke (dimarahi), harus dikasih kerjaan,” kata dia.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.