Saat Menanami Hutan Dianggap Gila, Kisah Daim Penjaga Lingkungan di Lumajang Surabaya 17 Desember 2025

Saat Menanami Hutan Dianggap Gila, Kisah Daim Penjaga Lingkungan di Lumajang
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        17 Desember 2025

Saat Menanami Hutan Dianggap Gila, Kisah Daim Penjaga Lingkungan di Lumajang
Tim Redaksi
LUMAJANG, KOMPAS.com
– Di balik rimbunnya hutan Gunung Lemongan di Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, tersimpan kisah getir sekaligus heroik seorang pria lanjut usia yang dulu dicap gila.
Ketika suara-suara sumbang meragukan visinya, bahkan negara sempat mempermasalahkan aksinya, Daim (64) tetap teguh menggenggam cangkulnya.
Ia seorang perintis lingkungan sejati dari kaki
Gunung Lemongan
yang berani melawan stigma negatif demi satu tujuan mulia, yakni menghijaukan kembali tanah yang gersang.
Lahir dan tumbuh di lereng Gunung Lemongan, membuat Daim, warga Dusun Bercah, Desa Sumberpetung, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten
Lumajang
, Jawa Timur, membuatnya punya ikatan batin yang kuat dengan alam.
Pengalaman pahit berupa banjir yang menghanyutkan rumahnya jadi pelecut semangat Daim berbuat lebih untuk hutan Lemongan.
Kebakaran hutan dan pembalakan liar besar-besaran di hutan Lemongan jadi pemicu terjadinya banjir saat itu.
“Dulu awalnya saya menanam pinang ini karena setiap musim kemarau selalu ada kebakaran hutan, kalau musim hujan seperti ini pasti ada banjir ya karena hutannya sudah gundul,” kata Daim mengawali cerita di lereng Gunung Lemongan, Selasa (16/12/2025).
Aktivitas keluar masuk hutan, sudah dilakukan Daim sejak 29 tahun silam tepatnya pada Tahun 1996.
Berbekal cangkul dan ember berisi bibit pinang, Daim melangkahkan kakinya mendaki lereng Gunung Lemongan yang curam, untuk menanam pinang.
Tanaman pinang sengaja ia pilih usai mencoba berbagai jenis tanaman lainnya seperti sirsak, alpukat, nangka hingga kopi.
Hasilnya, hanya pinang yang bisa bertahan. Sedangkan, tumbuhan lain yang pernah dicobanya pasti rusak oleh hewan liar penghuni Gunung Lemongan.
“Pernah tanam sirsak, kopi, habis dimakan hewan, disini kan masih banyak hewan-hewan liar seperti kijang, kera, babi hutan, ular, kalau pinang ini aman enggak diganggu sama hewan,” ujar Daim.
Lokasi yang dipilih Daim untuk menanam pinang adalah daerah di sekitar jurang hutan produksi.
Alasannya hanya satu, menahan air hujan agar tidak membanjiri permukiman warga.
Kata Daim, selain akar pinang yang mampu menyerap air dengan baik, pelepah dan daun yang jatuh ke tanah juga mampu menahan air hujan agar tidak terjadi erosi.
“Saya coba tanam pinang di jurang, akhirnya jurang itu semakin dangkal dan saat musim hujan air yang turun tidak terlalu deras karena ada penahannya,” terang Daim.
Percobaan penanaman pinang yang terbukti berhasil meredam banjir, membuat Daim semakin bersemangat untuk terus menanam.
Dari yang awalnya bercocok di hutan produksi, Daim mulai masuk ke hutan lindung untuk menanam.
Sampai akhirnya, kini luas hutan Lemongan yang telah dihijaukan kembali oleh Daim dengan pohon pinangnya sudah mencapai 14 hektar.
“Tahun 1999 menanam (pinang) lagi berhasil, 2007 menanam di hutan lindung sampai sekarang, karena saya kira pinang ini nahan erosinya sangat kuat dan hutan itu dijaga terus menerus,” katanya.
Saat Daim mulai tekun menanam pohon pinang di hutan, cemooh dan ejekan tetangga pun muncul. Daim dianggap gila.
Sebab, saat semua orang menggandrungi pohon jati dan sengon, Daim malah memilih pohon pinang.
Bagaimana tidak, pohon jati dan sengon memang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Jauh dibandingkan dengan pinang yang saat itu buahnya hanya dihargai Rp 3.000 per kilogram.
Nilai tersebut untuk membeli beras satu kilo saja tidak cukup. Padahal saat itu harga beras sudah Rp 6.000 per kilogram.
Namun, Daim sama sekali tidak goyah. Ia menutup telinganya rapat-rapat dan yakin kelak akan ada hasil manis yang akan dinikmatinya.
Kata Daim, pohon jati dan sengon hanya bertahan sementara untuk menyerap air hujan.
Sebab, saat pohon itu dipanen, hutan akan kembali gundul dan menyebabkan erosi lagi hingga berujung banjir yang bisa saja kembali merusak rumahnya seperti saat ia masih anak-anak.
Aktivitas keluar masuk hutan rutin dilakoni Daim untuk menanam pohon pinang. Semak belukar hutan yang lebat dibukanya dengan arit kecil dan cangkul.
Untuk memudahkan aksesnya, Daim menyempatkan membawa batu saat berangkat ke hutan. Satu per satu batu itu ditata hingga jadi jalan setapak.
“Saya dianggap orang gila sama tetangga waktu saya bawa bibit pinang ke hutan karena saat itu enggak laku, setiap hari diolok orang tapi saya enggak gubris,” kata Daim.
Saat panen pertama, Daim sempat terpikir akan cemoohan tetangga yang menyebutnya gila karena menanam tanaman yang tak punya nilai jual.
“Saat panen pertama harganya murah sempat ada kepikiran omongan orang-orang ternyata benar, tapi saya melihat gunung kembali hijau lagi ini saya senang, jadi ya sudahlah saya teruskan karena memang saya gak pandang harga,” tambahnya.
Tahun 2014, jadi titik balik kebangkitan tanaman pinang. Di pasaran, harganya mulai tinggi.
Dari yang awalnya hanya Rp 3.000 per kilogram menjadi Rp 7.000 per kilogram.
Sejak saat itu, tetangga yang dulunya mengejek Daim malah ikut menanam pinang di hutan.
“Lama kelamaan menarik harga pinang ini, di situ akhirnya banyak yang ikut menanam, yang awalnya bilang gila sekarang bilangnya betul menanam pinang,” ucapnya.
Banyak tetangga yang mengikuti jejaknya menanam pinang, tidak membuat Daim merasa tersaingi.
Malah, Daim merasa senang banyak orang mulai sadar untuk menghijaukan kembali hutan.
Meski tujuan utamanya ekonomi, bukan melestarikan lingkungan, kata Daim, setidaknya warga mau menanami hutan.
“Saya bangga juga karena semakin banyak orang yang menanam maka semakin lestari alam ini, kalau saya sendiri ya gak mungkin mampu terus karena hutannya luas,” ungkapnya.
Perbedaan tujuan utama ini ternyata juga membuat pola tanam warga yang ikut menanam pinang berbeda dengan yang selama ini dilakukan Daim.
Tanaman pinang Daim melingkari gunung untuk mencegah terjadinya banjir. Sedangkan, warga yang mengikuti jejaknya cenderung asal menanam.
“Ya tidak apa-apa nanti tinggal dibelajari saja cara menanamnya supaya pinang ini jadi sabuk gunung, sehingga kalau ada hujan tidak sampai banjir,” jelasnya.
Keberadaan pohon pinang di hutan tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh Daim dan keluarga.
Warga sekitar yang tidak ikut berkeringat menanam pinang ke hutan juga mendapatkan manfaatnya.
Tidak hanya terbebas dari banjir, warga juga mendapatkan manfaat ekonomi dari adanya pohon pinang di hutan.
Salah satunya Suyit, tetangga Daim yang setiap hari keluar masuk hutan untuk mencari pelepah pinang dan daun pakis yang tumbuh di bawah pohon pinang.
Pelepah pinang yang dikumpulkan Suyit akan dijual ke pengepul untuk digunakan sebagai bungkus dodol garut.
Harganya, Rp 400 untuk setiap lembar pelepah pinang yang sudah dikupas dan dikeringkan.
Sedangkan, daun pakis yang tumbuh di bawah pohon pinang bisa langsung dijual oleh Suyit ke pasar dengan harga Rp 5.000 per ikat.
“Biasanya dapat uang enggak tentu, kadang Rp 20.000 pelepahnya saja, gratis ke Pak Daim, enggak perlu bayar, jadi ya untung ke saya asal tidak mengganggu pohonnya,” ujad Suyit.
Selain warga yang mencari pelepah dan sayur, setidaknya ada 10 orang yang dipekerjakan Daim sebagai buruh panen dan kupas pinang.
Mereka semua berasal dari tetangga di sisi kanan dan kiri rumah Daim.
“Saya ada karyawan pengupas dan pemanen itu 10 orang lah, selain itu ada tetangga yang mencari pelepah, sayur, jalannya sudah ada dan tidak perlu modal tapi bisa menghasilkan rupiah,” ujar Daim.
Meski niat Daim murni untuk menyelamatkan alam dari bencana, langkahnya menghijaukan kembali hutan Lemongan justru membawanya berhadapan dengan tembok birokrasi.
Aksi menanamnya selama puluhan tahun sempat dipertanyakan legalitasnya oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di wilayah kehutanan.
Perusahaan pelat merah itu menganggap kegiatan Daim ini ilegal. Sebab, yang dilakukannya selama ini dengan menghidupkan kembali fungsi hutan yang telah lama mati dianggap tidak berizin.
Daim pun dipaksa mengurus perizinan hingga menjalin kerja sama dengan perusahaan tersebut.
Jika ia menolak, penghargaan sebagai perintis lingkungan terancam tidak didapatkan.
Mendengar hal itu, bukannya takut yang ada di benak Daim. Ia justru tidak peduli jika tidak mendapatkan penghargaan apa pun.
Sebab, sejak awal bukan penghargaan yang ingin dicapai dari aktivitasnya merawat hutan.
“Waktu itu hambatannya ya banyak sekali, dari Perhutani saya tidak diperbolehkan. Sempat tanya izin segala macam, lah saya kan bukan perusahaan, saya ini orang yang ada di sekitar lingkungan sini, kalau ada bencana yang kena ya saya dan tetangga yang lain, saya kan menanam bukan merusak,” ungkap Daim.
Benar saja, Daim sempat tidak lolos dalam seleksi penghargaan tingkat provinsi.
Namun, orang-orang baik yang takjub dengan pengabdian Daim kembali mengusulkan namanya untuk menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup.
Sampai akhirnya, Daim diganjar penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup pada 2022.
Kini, kata Daim, semua pihak termasuk Perhutani yang sempat mempermasalahkan aktivitasnya sudah memberikan dukungan penuh kepadanya dalam melestarikan hutan.
“Sama (kementerian) kehutanan dibolehkan kalau menanam, yang tidak boleh merusak, akhirnya ya boleh dan sampai sekarang didukung sama Perhutani,” ujar Daim senang.
Usia Daim tak lagi muda. Tenaganya juga sudah jauh berkurang dibanding awal ia menanam pinag.
Kini, ia menaruh harapan besar di pundak generasi muda yang akan meneruskan perjuangannya merawat hutan.
“Saya pesan sama anak-anak yang masih muda kalau bisa ikutilah yang baik dari pekerjaan saya ini,” tutur Daim penuh harap.
Bagi Daim, menanam pohon tidak perlu rumit atau mahal. Yang penting adalah aksi nyata dan komitmen yang berkelanjutan.
“Tidak perlu cari bibit yang sulit, pokok tanam saja di hutan, semakin banyak anak muda yang meniru (menanam), hutannya akan semakin lestari,” pesannya.
Kata Daim, menanami hutan bukan aktivitas berkebun biasa, tapi upaya mitigasi bencana yang menjadi investasi keselamatan untuk sekolompok masyarakat di kaki gunung.
“Lereng Gunung Lemongan ini pasti memiliki risiko bencana seperti gunung-gunung yang lain, tapi kalau ada penanggulangannya, ini seperti kita sedia payung sebelum hujan,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.