Saat Hak Pejalan Kaki Terpinggirkan di Kawasan Elite Grand Indonesia
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Trotoar di sekitar pusat perbelanjaan
Grand Indonesia
(GI), Jakarta Pusat, kini menyempit drastis. Di beberapa titik, lebarnya hanya cukup untuk satu orang melintas.
Pantauan
Kompas.com
pada Minggu (15/6/2025), kondisi paling ekstrem terjadi di tikungan Jalan Teluk Betung I, tepat di dekat pintu masuk barat Grand Indonesia.
Di titik tersebut, trotoar hanya menyisakan ruang selebar 30 sentimeter—cukup membuat pengguna jalan harus menahan napas saat melintas berdekatan dengan kendaraan.
Di ruas yang lebih lurus, lebar trotoar sedikit lebih besar, sekitar 50 sentimeter. Namun itu tetap tidak ideal, mengingat kawasan tersebut merupakan salah satu titik sibuk di Jakarta, tempat ribuan orang berlalu-lalang setiap hari.
Lebih menyedihkan lagi, bagian trotoar yang sebelumnya memiliki lebar nyaris satu meter kini telah dialihfungsikan menjadi jalur kendaraan. Di tepiannya, hanya terlihat barisan
traffic cone
dan
water barrier
yang tersusun tidak rapi.
Fenomena ini pun memantik perhatian warganet setelah diunggah akun X (Twitter) @drhaltekehalte. Video yang memperlihatkan kondisi
trotoar sempit
itu telah ditonton lebih dari satu juta kali.
“Trotoar di belakang GI dipangkas, cuma muat satu orang,” tulis akun tersebut.
“Tadi lewat sini, satu orang pun juga mepet hikssss,” komentar akun lain, @coffeexboba.
Gina (21), seorang karyawan di Grand Indonesia, mengaku resah dengan perubahan lebar trotoar yang begitu drastis. Ia menyebut kondisi ini tidak hanya tidak nyaman, tetapi juga membahayakan.
“Saya tiap hari lewat sini tapi sudah enggak nyaman lagi, banyak orang-orang yang malah enggak jalan di trotoar karena ruangnya sempit,” ujarnya saat ditemui
Kompas.com.
Ia menyayangkan pemangkasan lebar trotoar itu. Apalagi, trotoar tersebut sangat vital bagi pekerja maupun pengunjung mal.
Sementara itu, Sulaeman (30),
pejalan kaki
lain, menyoroti risiko keselamatan. Badannya yang besar membuatnya sulit melintas.
“Saya yang badannya gede kayak enggak muat, kadang malah milih jalan kaki di jalan raya saja kalau trotoarnya mini gini. Bisa-bisa terserempet kalau trotoar dibiarkan begini,” ungkapnya.
“Jalan dipangkas tapi cor-corannya kurang rapi, enggak presisi, ada yang kecil banget ada yang lebar,” tambahnya.
Beberapa pengguna media sosial menduga pemangkasan trotoar ini berkaitan dengan pembangunan drainase. Namun hingga kini belum ada keterangan resmi dari pihak terkait.
Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, mengkritik pemangkasan trotoar ini. Ia mempertanyakan dasar dari perubahan itu, terutama mengingat kawasan tersebut tergolong padat aktivitas pejalan kaki.
“Pertanyaannya siapa yang memangkasnya? Atas dasar apa? Karena kalau bangkitan orang cukup tinggi, harusnya tidak dipotong begitu saja,” katanya.
Menurut Yayat, kawasan pusat perbelanjaan semestinya justru menyediakan ruang lebih luas untuk pejalan kaki—apalagi jika terhubung langsung dengan transportasi publik seperti Transjakarta.
“Kawasan elite, trotoar sulit. Mal seharusnya membuka ruang bagi pejalan kaki. Soalnya yang keluar-masuk mal bukan cuma yang naik kendaraan pribadi, tapi juga yang jalan kaki,” tegasnya.
Yayat juga menekankan pentingnya mengutamakan pejalan kaki dalam hierarki transportasi kota, misalnya Transjakarta.
Dalam urutan tersebut, pengguna jalan kaki berada di posisi paling atas, disusul pesepeda dan pengguna transportasi umum. Adapun kendaraan pribadi justru berada di posisi terbawah.
“Etika kota itu penting. Jangan sampai hak pejalan kaki dihilangkan. Kalau begini caranya, ya wajar orang malas jalan kaki di Jakarta,” tutur Yayat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Saat Hak Pejalan Kaki Terpinggirkan di Kawasan Elite Grand Indonesia Megapolitan 16 Juni 2025
/data/photo/2025/06/15/684e7c00529a8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)