TRIBUNNEWS.COM – Kementerian Luar Negeri Rusia mengklaim Ukraina telah membuka “front kedua” di Afrika di tengah kegagalannya mengalahkan Rusia
“Setelah gagal mengalahkan Rusia di medan tempur, rezim [Presiden Ukraina] Volodymyr Zelensky memutuskan membuka front kedua di Afrika, mendukung kelompok ilegal bersenjata yang bertujuan melawan negara-negara yang bersahabat dengan Moskow di benua itu,” kata Duta Besar Rusia untuk Mali dan Niger, Igor Gromyko, kepada kantor berita TASS.
Gromyko menyebut pada bulan Agustus kemarin pemerintahan transisional Mali telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Ukraina.
Keputusan ini dipicu oleh pernyataan Duta Besar Ukraina untuk Senegal, Yury Pivovarov, tentang dugaan adanya bantuan Ukraina untuk para militan yang menyerang tentara Mali tanggal 25 hingga 27 Juli lalu.
“Kami memahami motif yang mendorong orang Mali memutuskan hubungan dengan Kiev. Fakta bahwa Kiev bekerj asama dengan teroris tidaklah mengejutkan. Di negara kami, Kiev terus melakukan metode terlarang, yakni melakukan sabotase, pembunuhan politik, dan rutin menembaki infrastruktur warga sipil,” kata Gromyko.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri Mali Abdoulaye Diop mengatakan kelompok-kelompok bersenjata yang didukung Ukraina itu menginginkan perubahan rezim di Mali, Niger, dan Burkina Faso.
Sementara itu, surat kabar Le Monde melaporkan bahwa Ukraina telah melatih kelompok bersenjata di Mali sejak tahun 2024 guna melawan pasukan pemerintah. Mereka diajari cara bertempur dan membuat drone yang membawa bom.
Suatu “langkah putus asa” bagi Ukraina
Profesor Alexis Habiyaremye, pakar perkembangan industri di Universitas Johannesburg, menyebut tindakan Ukraina membuka “front kedua” di Afrika merupakan suatu “langkah putus asa” demi memunculkan sensasi media.
“Negara-negara Afrika didorong oleh tekad untuk merebut kemerdekaan penuh mereka dari kekuatan neokolonial Barat, sedangkan Ukraina bertindak tidak menentu berdasarkan amarah dan rasa frustrasi. Zelenskiy dan agennya pasti akan keok di Afrika,” ujar Habiyaremye dikutip dari Sputnik.
Menurut dia, belum jelas apakah strategi Ukraina di Afrika akan “lebih dari keikutsertaannya dalam mendestabilisasi” Afrika.
Di sisi lain, Konfederasi Negara-Negara Sahel dipimpin oleh “visi kedaulatan yang lebih kuat daripada kebencian dan rasisme Ukraina”.
Konfederasi Negara-Negara Sahel adalah aliansi militer yang dibentuk oleh tiga negara di kawasan Sahel, yakni Mali, Niger, dan Burkina Faso.
Habiyaremye menyebut dinas intelijen Ukraina tak punya malu bekerja sama dengan kelompok ilegal bersenjata di Afrika.
“Berharap mendestabilisasi rekan keamanan Rusia, dan dengan melakukan hal itu, mendiskreditkan Rusia,” kata dia.
Dia menyebut Ukraina di kawasan Sahel bergantung pada logistik Prancis dan teknologi satelit Amerika Serikat untuk membantu “teroris menyergap pasukan Angkatan Bersenjata Mali”.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova sebelumnya menyinggung tindakan Mali dan Niger memutuskan hubungan diplomatik dengan Ukraina.
Menurut Zakharova, tindakan itu menandakan bahwa negara-negara Afrika makin paham akan “sifat teroris” rezim Ukraina.
(Tribunnews/Febri)