Jakarta, Beritasatu.com – Center for Economics and Law Studies (Celios) meminta pemerintah mewaspadai pelemahan nilai tukar rupiah akibat kebijakan Amerika Serikat (AS) yang mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32%. Tarif ini naik dari basis 10% yang diterapkan untuk semua negara.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira mengungkapkan, pelemahan rupiah berpotensi berlanjut. Dampaknya bisa meluas, termasuk anjloknya indeks harga saham gabungan (IHSG) serta meningkatnya harga barang impor (imported inflation).
“Rupiah? IHSG? Pelemahan kurs rupiah diperkirakan berlanjut. Investor mencari aset aman dan keluar dari negara berkembang,” ujar Bhima kepada Beritasatu.com pada Jumat (4/4/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa tekanan terhadap rupiah bisa memperburuk daya beli masyarakat, terutama untuk kebutuhan pangan dan barang sekunder. Selain itu, setelah libur Lebaran, pasar saham berpotensi menghadapi capital outflow, bahkan kemungkinan terjadi trading halt.
Menurut Bhima, solusi bagi Indonesia hadari tarif AS adalah segera mengejar peluang relokasi pabrik. Namun, bersaing dalam hal tarif saja tidak cukup, mengingat tarif resiprokal Indonesia lebih rendah dari Vietnam dan Kamboja.
“Kuncinya ada pada regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, serta stabilitas kebijakan tanpa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang membuat gaduh publik,” jelasnya.
Selain itu, Bhima menekankan pentingnya kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, energi terbarukan untuk suplai listrik industri, serta kesiapan sumber daya manusia.
“Faktor-faktor ini lebih penting karena Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax,” tambahnya.
“Jika sebelumnya kita menarik investor dengan tax holiday dan tax allowance, sekarang saatnya memperbaiki daya saing yang lebih fundamental,” pungkas Bhima terkait tarif AS.
