Mataram, Beritasatu.com – Kasus dugaan malapraktik medis di RSUD Bima yang menimpa Arumi, balita 16 bulan asal Desa Tambe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima, terus menyita perhatian publik. Kuasa hukum keluarga Arumi, Dian Wahyuni, angkat bicara mengenai kronologi penanganan medis yang dianggap lalai dan tidak tepat sasaran.
Menurut Dian Wahyuni, kejadian yang dialami Arumi berawal dari penanganan medis yang lambat dan tidak sesuai standar. Ia menilai, ada indikasi kelalaian dalam prosedur rujukan dan tindakan medis awal yang diterima Arumi mulai dari puskesmas hingga di RSUD Bima.
“Kalau saya lihat, kasus ini adalah akibat kelalaian dan keterlambatan penanganan. Kalau saja fasilitas tingkat rawatan lanjutan tidak harus melalui berbagai tipe rumah sakit, mungkin kondisi Arumi tak separah ini,” ujar Dian, Selasa (17/6/2025).
Arumi mengalami pembengkakan pada tangan kanannya setelah diberikan cairan infus. Dian menduga terjadi penumpukan cairan akibat aliran obat yang tidak berjalan dengan baik.
“Kalau di situ ada pembengkakan, seharusnya dilakukan tindakan cepat. Apakah karena cairan obat yang menumpuk atau memang alirannya tidak jalan, kami tidak bisa berandai-andai. Namun yang jelas, tidak ada dokter yang melakukan tindakan dengan cepat di sana,” tambahnya.
Dian menyayangkan proses rujukan pasien yang dinilai terlalu lama dan berjenjang tanpa mempertimbangkan kondisi darurat pasien. Ia menekankan, Arumi masuk melalui instalasi gawat darurat (IGD) dan berstatus pasien BPJS, sehingga tidak seharusnya terhambat oleh prosedur administratif.
“Pasien ini masuk IGD, dan bersifat gawat darurat. Jadi tidak perlu proses panjang. Sayangnya, Arumi ditahan di RSUD Bima sejak 15 Mei 2025 sampai 18 Mei 2025 malam sebelum akhirnya dirujuk ke Mataram. Kenapa tidak langsung saat awal kejadian?” ucapnya.
Ia juga menyoroti tindakan medis yang dilakukan oleh salah satu dokter di RSUD Bima, yaitu dokter Zaky, yang diduga melakukan pembelahan pada bagian tangan Arumi sebanyak dua hingga tiga kali.
“Kenapa tangan Arumi sampai dibelah-belah? Bahkan katanya dilakukan pembelahan pertama di bagian telapak tangan karena katanya ada pembuluh darah. Ini dilakukan tanpa adanya spesialis bedah vaskular,” kata Dian.
Setelah menjalani perawatan lanjutan dan mengalami amputasi, Arumi dijadwalkan akan menjalani operasi bedah plastik di RSUP NTB pada Selasa (17/6/2025) hari ini. Operasi ini diharapkan dapat membantu proses penyembuhan lebih lanjut dan mengurangi trauma yang dialami korban.
Namun demikian, keluarga besar Arumi tidak akan tinggal diam jika proses mediasi dengan pihak rumah sakit tidak membuahkan hasil. Dian menegaskan pihaknya siap membawa kasus ini ke jalur hukum.
“Kalau hasil mediasi antara keluarga Arumi dan pihak tenaga kesehatan tidak menemukan titik terang, maka kami akan ambil langkah hukum. Ini menyangkut nyawa dan masa depan anak,” tegasnya.
Menanggapi kritik tersebut, Pelaksana Harian Kepala Dinas Kesehatan NTB Tutik Hermawati mengatakan, proses rujukan pasien seperti Arumi telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sistem rujukan berjenjang dari fasilitas tipe D hingga ke rumah sakit tipe A telah diterapkan.
“Kalau dirujuk itu sudah ada kriteria, dan dokter juga punya pedoman untuk menentukan. Rujukannya sudah dilakukan secara berjenjang, mulai dari puskesmas ke rumah sakit tipe D, lalu ke tipe C seperti RSUD Bima, dan akhirnya ke RSUP NTB yang merupakan tipe A,” jelas Tutik.
Namun begitu, ia tidak menampik perlunya evaluasi internal. Dinkes NTB akan melakukan kajian menyeluruh terhadap prosedur pelayanan yang telah dijalankan guna memastikan tidak terjadi lagi kasus serupa di masa depan.
“Kami akan lakukan evaluasi sistem pelayanannya. Tunggu hasil dari MBP (majelis badan pertimbangan), nanti akan keluar rekomendasi, baik dari sisi sistem maupun profesi. Yang jelas, semua langkah akan mengarah pada perbaikan,” pungkasnya.
Kasus ini membuka tabir permasalahan yang lebih dalam terkait keterbatasan sumber daya manusia (SDM) medis dan fasilitas kesehatan di daerah seperti Bima. Dian menyebut bahwa di RSUD Bima saat kejadian tidak ada dokter spesialis bedah vaskular yang bisa menangani kasus seperti Arumi.
“Kalau memang tidak ada SDM-nya, kenapa tidak langsung dirujuk? Kalau tidak ada dokter spesialis yang piket atau tersedia, mestinya langsung dirujuk ke rumah sakit yang lebih siap seperti RSUP NTB atau RSUD Mataram,” sorot Dian.
Ia menambahkan, keberadaan fasilitas tidak akan berarti jika tenaga medis yang kompeten tidak tersedia secara sigap. Terlebih dalam kasus anak-anak, ketepatan dan kecepatan penanganan sangat krusial.
