Liputan6.com, Palembang – Suasana di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 19 di Sekolah Dasar (SD) Karya Dharma Bhakti (KDB) 1 di Palembang Sumatera Selatan (Sumsel), sudah ramai dipadati para pemilih sejak pagi hari.
Banyak di antara mereka adalah para penyandang disabilitas tunanetra, yang datang silih berganti di ruangan sekolah berakreditasi B, di Jalan Seduduk Putih Nomor 61 RT.30, Kelurahan 8 Ilir Kecamatan Ilir Timur (IT) 3 Palembang Sumsel.
Para tunanetra yang mendapatkan hak pilihnya tersebut, didampingi oleh anggota keluarganya yang menuntunnya. Mereka dibantu pendampingnya untuk berjalan ke pendaftaran, mengambil surat suara, mencoblos, memasukkan surat suara hingga mencelupkan jari ke tinta biru.
Di TPS 19 itu juga, para panitia TPS di meja pendaftaran memastikan nama-nama pendamping tunanetra dengan mendatanya satu per satu. Satu per satu penyandang tunanetra yang dipanggil untuk mencoblos, dituntun oleh masing-masing pendampingnya.
Salah satu penyandang tunanetra yang menggunakan hak suaranya adalah pasangan suami istri (pasutri) tunanetra yakni Irwansyah (44) dan Rani (35), yang didampingi ayah Rani bernama Heri (62). Sekitar pukul 10.00 WIB, pasutri ini digandeng oleh Heri untuk melakukan pencoblosan di TPS 19 secara bergantian.
Nama Irwansyah terlebih dahulu dipanggil dan melakukan pencoblosan didampingi mertuanya Heri. Disusul oleh Rani, yang juga dibantu sang ayah, Heri, untuk mencoblos dan memasukkan surat suara ke kotak suara.
Walau dengan keterbatasan indera penglihatan, terlihat kemesraan antara Irwansyah dan Rani yang kompak datang ke TPS 19 untuk meyalurkan hak suaranya. Ternyata pasutri tunanetra ini dulunya tinggal di provinsi berbeda di Pulau Sumatra.
Kepada Liputan6.com, Irwansyah bercerita jika dia adalah putra asli tanah Serambi Mekkah, yang memilih berpindah kependudukan ke Kota Palembang Sumsel belasan tahun lalu.
Pria kelahiran 1980 tersebut bercerita, saat umurnya baru 24 tahun, dia menjadi korban tsunami Aceh 2004 yang selamat dari bencana alam tersebut. Anak ketiga dari enam bersaudara tersebut awalnya tinggal di panti sosial bersama penyandang tunanetra lainnya.
Saat air laut gempa terjadi dengan kekuatan 9,3 SR dan gelombang besar setinggi lebih dari 30 meter menyapu sebagian besar daerah di Banda Aceh, dia bersama para penyandang tunanetra lainnya berusaha menyelamatkan diri dengan cara masing-masing.
Dia ingat betul ketika itu, tangannya dituntun oleh seorang wanita yang ingin menyelamatkannya, yang dilihatnya dengan kemampuan penglihatan seadanya. Tiba-tiba, pegangan tangannya terlepas dan akhirnya dia tersapu gelombang air laut hingga tersangkut di atas pohon.
“Saya selamat, karena tersangkut di atas pohon yang tinggi. Keluarga saya semuanya juga selamat, mereka berlari menyelamatkan diri ke daerah pegunungan. Sedangkan wanita yang pertama menyelamatkan saya, ditemukan meninggal dunia,” ujarnya, Rabu (27/11/2024).