Ritual Mahesa Lawung, Tradisi Keraton Surakarta untuk Menjaga Keseimbangan Alam Regional 20 Oktober 2025

Ritual Mahesa Lawung, Tradisi Keraton Surakarta untuk Menjaga Keseimbangan Alam
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        20 Oktober 2025

Ritual Mahesa Lawung, Tradisi Keraton Surakarta untuk Menjaga Keseimbangan Alam
Tim Redaksi
KARANGANYAR, KOMPAS.com
— Barisan abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta melangkah perlahan menuju Alas Krendowahono, Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (20/10/2025) pukul 14.00 WIB.
Dengan busana keprabon lengkap, jarik, dan keris yang tersemat rapi, rombongan bergerak khidmat untuk melaksanakan prosesi akhir Hajad Dalem Mahesa Lawung — sebuah tradisi sakral yang dipercaya memiliki makna mendalam tentang manusia, kehidupan, dan hubungan dengan alam.
Ritual Mahesa Lawung diawali dengan kirab dari lingkungan keraton.
Doa-doa lirih dilantunkan para pinisepuh, sementara prajurit keraton mengawal langkah abdi dalem dengan khidmat.
Kepala kerbau sebagai sesaji utama — yang selama hidupnya tidak pernah membajak dan tidak pernah dikawinkan — dipikul oleh empat orang.
Kepala kerbau tersebut sebelumnya telah melalui tahapan penyucian dan dibungkus kain putih sebelum disemayamkan.
Selama sekitar 30 menit, doa dilantunkan di Sithinggil, sebelum rombongan bergerak menuju Alas Krendowahono, kawasan yang sejak masa Mataram diyakini sebagai penjaga keseimbangan alam.
Di bawah rindangnya pepohonan alas sakral itu, puncak prosesi berlangsung. Kain putih pembungkus kepala kerbau dimasukkan terlebih dahulu ke dalam lubang tanah, disusul kepala kerbau, kemudian ditimbun dan ditaburi bunga.
Beberapa batang dupa dinyalakan, asapnya perlahan membubung ke langit. Setelah itu, sejumlah hewan — seperti ular, kelabang, burung, dan ayam — dilepaskan ke alam bebas, melambangkan keseimbangan empat unsur alam: bumi, air, api, dan angin.
“Penanaman kepala kerbau adalah bentuk filosofi bahwa dalam diri manusia yang paling utama adalah kejelekan. Itu harus ditanggalkan,” ujar Ketua Lembaga Dewan Adat Keraton Surakarta, GKR Koes Moertiyah Wandasari atau Gusti Moeng.
Tradisi Mahesa Lawung telah lama dikenal sebagai upacara tolak bala sekaligus permohonan keselamatan.
Ritual ini digelar sekali dalam setahun, tepat pada bulan Sapar dalam kalender Jawa.
Pemerhati sejarah Kota Solo, KRMAP L. Nuky Mahendranata Adiningrat, menyebut Mahesa Lawung sudah ada sejak masa Mataram Islam, bahkan memiliki akar lebih tua dari masa Majapahit dan Mataram Hindu, sebelum sempat meredup pada era Kesultanan Demak.
“Tradisi ini adalah cerminan hubungan spiritual manusia dengan alam dan Tuhannya, sekaligus pengingat agar manusia menjaga keseimbangan hidup,” ujarnya.
Meski zaman berubah, tradisi Mahesa Lawung tetap lestari sebagai warisan budaya takbenda Keraton Surakarta.
Upacara ini bukan sekadar ritual, melainkan refleksi moral bahwa kejahatan tidak selalu datang dari luar, melainkan bisa tumbuh di dalam diri manusia sendiri.
Melalui simbol penguburan kepala kerbau, manusia diajak untuk menanggalkan sifat buruk dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara kehidupan spiritual, sosial, dan ekologis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.