Perbesar
ESPOS.ID – Tim peneliti dari Rikolto dan Fakultas Pertanian UNS Solo berfoto dalam acara workshop terkait penelitian pertanian berkelanjutan di UNS Inn Solo, Kamis (14/11/2024). (Solopos/Ahmad Kurnia Sidik)
Esposin, SOLO — Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo bersama Rikolto menggelar Workshop Implementasi Dampak dan Efektivitas Praktik Sustainable Rice Platform (SRP) Bersama Koperasi Beras di Jawa Tengah Melalui Pendekatan Demplot di UNS Inn, Kamis (14/11/2024) siang.
Dalam workshop tersebut, UNS dan Rikolto memaparkan hasil penelitian tentang pertanian berkelanjutan yang dilakukan selama Juli hingga September 2024 di dua kabupaten, yakni Boyolali dan Klaten. Dalam penelitian itu, mereka menggandeng tiga koperasi beras di dua kabupaten tersebut.
Promosi
Cetak Laba Rp45,36 Triliun, BRI Salurkan Kredit Rp1.353,36 Triliun
Tiga koperasi beras itu masing-masing Koperasi Pemasaran Aliansi Petani Padi Organik Boyolali (Appoli) dan Koperasi Produksi Asosiasi Petani Padi Organik Boyolali (APOB), serta Koperasi Kelompok Tani Pangan Lestasi (KTPL) Klaten.
Wakil Dekan I Fakultas Pertanian UNS, Gusti Fauza, menyampaikan kebanggaannya serta rasa terima kasih karena FP UNS telah diajak berkolaborasi untuk memajukan pertanian di Indonesia.
Gusti pun menyampaikan harapannya agar kerja sama yang baik semacam itu bisa terus dilakukan mengingat FP UNS sebagai lembaga pendidikan juga memiliki tanggung jawab untuk bersama-sama memajukan pertanian di Indonesia serta mengupayakan kesejahteraan bagi kaum tani.
“Saya juga berharap kerja sama ini bukan yang akhir, akan tetapi yang awal. Karena kalau awal atau yang pertama pasti nantinya akan ada yang kedua, ketiga, dan seterusnya,” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Programne Manager Rikolto Indonesia, Nana Suhartana, menyampaikan Rikolto adalah LSM yang berpusat di Belgia. Sementara di Indonesia pusat kesekretariatannya di Denpasar, Bali. “Di Solo ada cabang kantor kami yaitu di Jajar, Laweyan, Solo,” kata dia.
Tak Merusak Alam
Nana menjelaskan saat ini petani di Indonesia perlu untuk mulai menerapkan SRP. Tingginya penggunaan bahan kimia untuk mendongkrak hasil panen serta perhatian berbagai pihak yang berfokus kepada manufaktur membuatnya tergelitik untuk melakukan penelitian dan pengembangan pertanian berkelanjutan.
Menurut dia, pertanian berkelanjutan tidak kalah penting dengan manufaktur. Nana menjelaskan SRP adalah sistem yang sedang dikembangkan di berbagai belahan bumi untuk mencari formula agar pertanian dan bumi tetap terjaga serta menghasilkan produksi yang diharapkan, tanpa merusak alam lebih jauh lagi.
Di Indonesia, lanjut Nana, SRP sering disebut sebagai Beras Berkelanjutan atau Pangan Organik. Lebih lanjut, Nana menjelaskan tujuan penelitian tersebut di antaranya menganalisis bagaimana jika SRP diterapkan di Indonesia.
Saat ini, kata Nana, belum ada satu daerah pun di Indonesia yang menggunakan standar SRP untuk pertaniannya. Selain itu juga untuk menganalisis tingkat produktivitas tenaga kerja dan hasil panen dari praktik SRP di lokasi yang berbeda.
“[Tujuan] Terakhir untuk memberi rekomendasi apa saja yang perlu dilakukan dan tidak dilakukan oleh petani agar praktik SRP ini bisa berjalan optimal,” kata dia.
Untuk melihat apakah daerah tersebut mampu menjalankan SRP, daerah pertanian tersebut harus memenuhi sedikitnya 41 indikator dengan nilai minimal 90. Indikator dimaksud di antaranya manajemen sawah, persiapan tanam, manajemen air, manajemen nutrisi, pengendalian hama terpadu, panen dan pascapanen, kesehatan dan keselamatan.
Indikator Penilaian
Masing-masing indikator memiliki turunan penilaian yang jumlah totalnya 41 indikator. Sementara itu, salah satu anggota tim riset dari UNS, Emi Widiyanti, menyampaikan hasil riset selama penelitian rata-rata hasil panen padi di tiga lokasi (demplot) ialah 7,64 ton per hektare.
Jumlah itu, menurut dia, relatif lebih tinggi dibanding hasil panen nasional yang rata-rata 6 ton per hektare. “Sementara itu, hasil secara keseluruhan dari penelitian tingkat penerapan SRP di tiga lokasi tersebut menunjukkan skor di atas 33 dan mendekati 90, tepatnya 85. Artinya masih butuh sedikit lagi perbaikan dalam budi daya yang perlu dilakukan untuk mencapai SRP ini,” kata dia.
Ada beberapa rekomendasi agar SRP di tiga lokasi itu tercapai, yakni peran koperasi, di mana koperasi perlu menginisiasi kelembagaan agar terjadi efisiensi dalam manajemen air dan tenaga kerja. Selain itu perlu penyediaan pupuk organik dan pestisida organik karena SRP adalah salah satu dukungan bagi keberlanjutan alam.
Perlu juga untuk penyediaan teknologi yang mumpuni baik sebelum dan sesudah panen serta standardisasi harga hasil panen. Dilihat dari sisi petani, rekomendasi yang perlu disampaikan ialah perbaikan manajemen waktu dan tenaga kerja.
Selain itu direkomendasikan perlunya memupuk kesadaran petani agar mau menggunakan pupuk dan pestisida organik. Juga efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan produk hasil panen yang tepat.
“Kami berharap jika nantinya rekomendasi ini dijalankan mampu membentuk kerja sama yang baik antara semua pihak yang terkait,” kata Emi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram “Solopos.com Berita Terkini” Klik link ini.