RI Pegang Kendali Komoditas, Hilirisasi Energi Jadi Senjata Daya Tawar

RI Pegang Kendali Komoditas, Hilirisasi Energi Jadi Senjata Daya Tawar

Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah menegaskan bahwa Indonesia kini memiliki daya tawar strategis dalam sektor energi dan sumber daya alam, sehingga tidak lagi harus tunduk pada tekanan pasar global. Posisi ini diperkuat oleh besarnya cadangan energi serta kebijakan hilirisasi yang berdampak langsung pada rantai pasok internasional.

Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Isu Strategis Energi Muhammad Pradana Indraputra mengatakan, paradigma lama dengan Indonesia hanya menjadi pemasok bahan mentah harus segera ditinggalkan.

“Dahulu kalau jadi pengusaha, kita selalu ikut pasar. Pasar bilang apa, kita ikut. Namun, sekarang tidak semua barang dagangan tergantung pasar. Komoditas, seperti nikel, batubara, bauksit, semua itu sekarang kita yang pegang,” ujar Pradana dalam diskusi “Ngobrol Energi Mineral” di Anjungan Sarinah, Rabu (23/7/2025).

Ia mencontohkan dampak dari kebijakan Presiden Joko Widodo yang melarang ekspor batu bara. Kebijakan ini sempat mengguncang pasar global hingga sejumlah pemimpin negara langsung menghubungi Indonesia.

“Dunia butuh kita,” tegas Pradana.

Hal ini menandakan bahwa Indonesia bukan sekadar pemasok, tetapi pemegang kendali dalam rantai pasok energi global.

Menurutnya, hilirisasi komoditas adalah kunci bagi Indonesia untuk lepas dari “kutukan sumber daya alam” dan jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Dengan mengolah hasil tambang di dalam negeri, Indonesia memperoleh nilai tambah sekaligus memperkuat posisi tawar di kancah global.

“Kalau kita kirim mentah, lalu beli balik produk olahannya, kita rugi. Sekarang kita paksa pembangunan smelter, pabrik baterai, katoda, sampai stainless steel. Semua ini untuk menciptakan posisi tawar dan kemandirian,” jelasnya.

Pradana juga menyoroti persaingan global dalam memperebutkan bahan baku penting untuk transisi energi, seperti nikel dan tembaga, yang keduanya dimiliki Indonesia dalam jumlah besar.

“Dari zaman VOC sampai sekarang, polanya enggak berubah. Dahulu rempah-rempah diambil, sekarang tambang yang dikirim mentah. Kita ubah itu. Harus win-win buat Indonesia,” tutup Pradana.