Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Review Film Conclave: Terlalu Banyak Intrik dalam Drama Politik ala Vatikan

Review Film Conclave: Terlalu Banyak Intrik dalam Drama Politik ala Vatikan

Jakarta, Beritasatu.com – Bagaimana jika pemilihan Paus digambarkan layaknya sebuah thriller politik penuh intrik? Conclave, film terbaru karya Edward Berger, menyajikan kisah menegangkan di balik pemilihan pemimpin Gereja Katolik. Dengan Ralph Fiennes sebagai pemeran utama, film ini mengajak penonton masuk ke dalam dunia politik Vatikan, dengan para kardinal beradu strategi demi meraih takhta kepausan.

Film yang meraih delapan nominasi Oscar 2025 ini rencananya mulai tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai Jumat (28/2/2025). Beritasatu.com mendapatkan kesempatan mengikuti screening perdana film ini, Kamis (20/2/2025).

Diangkat dari novel berjudul sama karya Robert Harris, Conclave mengikuti kisah Kardinal Lawrence (Ralph Fiennes) yang menjabat sebagai kepala dewan kardinal. Tugas berat menantinya setelah Paus meninggal dan dirinya bertanggung jawab mengawasi jalannya konklaf (berasal dari bahasa Latin cum clave, yang berarti dengan kunci), proses pemilihan Paus baru yang dilakukan secara tertutup.

Sosok Kardinal Lawrence digambarkan sebagai kardinal yang tak memiliki ambisi pribadi. Ia hanya menginginkan pemilihan yang adil dan menghasilkan paus yang layak. Namun, tugas ini ternyata jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Para kardinal kandidat paus rupanya mengusung kepentingan masing-masing. Kardinal Tedesco (Sergio Castellitto) mewakili kubu konservatif yang ingin mengembalikan gereja ke tradisi lama. Sementara itu, Kardinal Bellini (Stanley Tucci) adalah sosok progresif yang mendorong pengakuan lebih luas bagi hak-hak perempuan dan kaum LGBTQ+. Selain mereka, ada Kardinal Tremblay (John Lithgow) dan Kardinal Adeyemi (Lucian Msamati) yang juga memiliki ambisi menduduki takhta suci.

Seiring berjalannya waktu, berbagai rahasia mulai terungkap. Para kardinal yang terlihat penuh wibawa ternyata menyimpan rahasia kotor yang tersembunyi. Pada saat situasi pemilihan menjadi buntu, Kardinal Benitez (Carlos Diehz) yang misterius mulai mencuri perhatian.

Dari segi sinematografi, film ini menyajikan visual yang megah. Hasil rekaan St Peter’s Basilica dan interior Kapel Sistina yang menjadi latar belakang film ditampilkan dengan detail yang mengesankan. Nuansa cahaya temaram dan warna-warna klasik menciptakan kesan misterius yang memperkuat alur cerita Conclave.

Akting para pemeran utama juga patut diacungi jempol. Ralph Fiennes tampil sebagai Kardinal Lawrence dengan penuh wibawa, tetapi tetap menyisakan sisi manusiawi yang membuat penonton terus bertanya-tanya tentang ambisinya. Stanley Tucci, John Lithgow, dan Sergio Castellitto masing-masing membawakan karakter mereka dengan karisma yang kuat.

Meski demikian, pendekatan cerita Conclave yang terlalu fiktif terasa berlebihan. Film ini menggambarkan para kardinal lebih sebagai politisi yang haus kekuasaan, terlalu membesar-besarkan elemen skandal dan manipulasi. Alih-alih menampilkan gambaran realistis tentang proses konklaf sebenarnya, Conclave justru menjadi thriller misteri ala Angels & Demons (2009) minus Tom Hanks.

Dalam durasi sekitar 2 jam, film ini terlalu sibuk menyampaikan pesan moral dan kritik terhadap gereja. Momen puncak yang seharusnya menghadirkan ledakan dramatis, justru menjadi terlalu dingin dan tanpa bobot emosional. Twist pada bagian akhir juga seolah hanya menjadi pesan terselubung liberalis yang membuat film ini kehilangan pesan religi yang sejatinya bisa tersampaikan.

Secara keseluruhan, dengan sinematografi indah dan dukungan akting para pemainnya yang solid, Conclave memang layak mendominasi nominasi Academy Awards 2025. Sayangnya, terlalu banyak intrik dalam Conclave justru menjadikan film ini kurang menggigit sebagai drama politik.

Merangkum Semua Peristiwa