TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mendorong Pemerintah Indonesia merespons perang tarif Amerika Serikat (AS) dengan tarif juga.
Presiden AS Donald Trump memberlakukan tarif timbal balik, yaitu bea masuk tambahan sebesar 10 persen untuk produk yang masuk ke negara mereka. Ini berlaku pada 5 April 2025.
Kemudian, ada tarif tambahan spesifik per negara yang berlaku 9 April 2025. Indonesia terkena tarif sebesar 32 persen. Bila ditotal, produk RI yang masuk AS akan terkena tarif 42 persen.
Menurut Daniel, bea masuk impor AS ini tidak ada kaitannya dengan Non-Tariff Measure (NTM) atau Non-Tariff Barrier (NTB).
Sebab, NTM atau NTB adalah instrumen penting pemerintah yang sudah umum dilakukan oleh negara manapun guna mengamankan pasar dalam negerinya.
Daniel menekankan bahwa penerapan NTM atau NTB itu tidak perlu dipicu oleh kebijakan negara lain.
Ia pun menyarankan agar produk manufaktur AS dikenakan tarif masuk nol persen.
Hal itu tak perlu menjadi sebuah kekhawatiran karena daya saing produk manufaktur AS dinilai tidak terlalu kompetitif.
“Kalau perlu, Pemerintah RI beri tarif masuk nol persen pada produk manufaktur AS karena pada dasarnya daya saing produk AS tidak terlalu kompetitif dengan produk manufaktur dalam negeri atau produk manufaktur negara saingan AS,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (5/4/2025).
Adapun imbas dari kebijakan ini, Indonesia disebut akan menjadi sasaran ekspor negara-negara yang juga terkena tarif impor Donald Trump.
Menurut Daniel, hal itu karena Indonesia merupakan pasar yang sangat besar dan potensial.
“Dengan daya beli yang tinggi, pasti akan menjadi sasaran ekspor bagi negara-negara yang produksinya terdampak dari tarif impor baru AS tersebut,” katanya.
Ia pun meminta agar Pemerintah RI mempercepat untuk mengeluarkan berbagai kebijakan NTM atau NTB.
Kebijakan itu antara lain revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, pemberlakuan pelabuhan entry point, dan memperluas kewajiban Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Kebijakan-kebijakan itu disebut sebagai bentuk manajemen risiko yang sangat penting untuk dapat mengamankan pasar dalam negeri.
“Kebijakan-kebijakan itu juga yang selama ini sudah kami minta, dan untuk segera dilaksanakan,” ujar Daniel.
Melalui kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah diminta untuk melindungi industri dalam negeri agar pasar domestik tidak dibanjiri barang-barang impor.
Lalu, sekaligus juga dapat melindungi produsen dalam negeri yang melakukan ekspor ke AS.
Kemudian, Daniel meminta agar kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) tetap dipertahankan dan tidak dilonggarkan guna merespons kebijakan kenaikan bea masuk impor AS.
Kebijakan TKDN dinilai ampuh meningkatkan permintaan produk manufaktur dalam negeri, terutama dari belanja pemerintah.
Lebih lanjut, kebijakan TKDN telah memberi jaminan kepastian investasi dan juga menarik investasi baru ke Indonesia.
“Banyak tenaga kerja Indonesia bekerja pada industri yang produknya dibeli setiap tahun oleh pemerintah karena dari kebijakan TKDN ini,” ucap Daniel.
“Pelonggaran kebijakan TKDN akan berakibat hilangnya lapangan kerja dan berkurangnya jaminan investasi di Indonesia,” katanya.