Rentetan Keracunan MBG Dinilai karena Program Tergesa-gesa untuk Capai Jumlah Penerima
Tim Redaksi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com
– Peristiwa dugaan keracunan makanan bergizi gratis (MBG) kembali terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Terbaru, insiden ini dilaporkan terjadi di Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, dan di Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sri Raharjo, memberikan pandangannya terkait dugaan keracunan tersebut.
“Jadi kalau memang kejadian ini sering terjadi di banyak tempat, itu menunjukkan bahwa kesiapan dalam menangani pangan, pengolahannya, sampai penyajian, masih banyak kelemahan di sana-sini,” ujar Prof. Sri Raharjo saat dihubungi Kompas.com, Kamis (18/09/2025).
Sri Raharjo menjelaskan bahwa evaluasi perlu dilakukan dari berbagai aspek, seperti fasilitas, ruangan, dan peralatan yang digunakan.
Evaluasi ini berkaitan dengan kebersihan ruangan dan peralatan yang digunakan untuk mengolah makanan.
“Sepanjang dari sisi kebersihannya, dari sisi peralatannya, ruangan tempat dapur sudah terpisah dari toilet atau pembuangan limbah, saya rasa itu akan lebih menjamin keamanan,” ucapnya.
Ia juga menekankan pentingnya menjaga higienitas para pekerja yang mengolah makanan.
“Orangnya juga tidak sedang atau habis sembuh dari sakit menular,” tuturnya.
Selain itu, Sri Raharjo menyoroti pentingnya memperhatikan jumlah makanan yang harus disediakan oleh satu SPPG, serta alat dan sumber daya manusia yang dimiliki.
Hal ini berkaitan dengan jeda waktu antara makanan selesai dimasak hingga dikonsumsi.
“Misalnya, dengan alat yang ada dan SDM yang tersedia, jika harus melayani 3.000 porsi, mereka harus mulai bekerja jam 5 pagi dan baru selesai jam 8 atau 9. Nah, ini kan jeda waktunya panjang,” ungkapnya.
Sri Raharjo juga menyinggung cara memasak dalam jumlah besar yang berpotensi menyebabkan kematangan tidak merata.
“Ketika ada bakteri, tidak dapat dilemahkan karena panas yang diterima bahan yang dimasak tidak sama rata,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa keracunan akibat pangan juga bisa dipengaruhi oleh kondisi kesehatan siswa.
“Kondisi siswa yang lebih fit tidak akan mengalami gejala keracunan, tetapi bagi teman-temannya yang kurang fit, sedikit saja terpapar bisa sakit,” bebernya.
Sri mengungkapkan bahwa penyebab dugaan keracunan MBG ini berkaitan dengan penekanan pada jumlah penerima manfaat yang banyak dalam waktu singkat.
“Kalau disarikan, inti penyebab keracunan ini adalah kita terlalu menargetkan jumlah yang sangat banyak untuk dilayani dalam waktu singkat,” tuturnya.
Tahun ini, target penerima manfaat MBG mencapai sekitar 80 juta, dengan penambahan 32.000 SPPG.
“Proses membangunnya juga buru-buru, pengadaan orang-orangnya, melatihnya juga mungkin buru-buru, karena yang lebih diutamakan adalah pokoknya 80 juta harus bisa menerima MBG,” ucapnya.
Menurut Sri Raharjo, dengan jumlah yang semakin banyak, risiko keracunan pun semakin tinggi.
“Ketika jumlah pesanannya banyak, catering yang sudah berpengalaman pun jika kapasitasnya hanya 1.000 pack sehari dan dituntut 10 ribu pack, risikonya makin tinggi meskipun sudah berpengalaman,” ujarnya.
Sri mengingatkan bahwa semua pihak tidak mengharapkan kejadian keracunan MBG terulang.
Namun, ia menegaskan bahwa jika target tetap berfokus pada penambahan 32 ribu SPPG untuk mencapai 80 juta penerima manfaat, kemungkinan kejadian serupa dapat terjadi kembali.
“Kita tidak berharap, tetapi pasti akan bisa diminimalkan kalau target itu tidak harus sebanyak itu,” ucapnya.
“Risiko keamanan pangan atau keracunan semakin tinggi ketika melayani dalam jumlah banyak di luar kapasitas yang wajar,” ucapnya.
Melayani dalam jumlah besar secara berulang juga meningkatkan risiko, karena potensi human error meningkat seiring berjalannya waktu.
“Pelayanan tidak hanya sekali, tetapi setiap hari, sekian bulan. 10 hari pertama aman, 50 hari pertama aman, menuju ke 100 hari, orang yang tidak teliti akan membuat kemungkinan error semakin besar,” jelasnya.
Sri juga menekankan pentingnya setiap SPPG menyimpan satu porsi makanan sebagai sampel.
“Setiap kali SPPG masak, makanan yang dikirim ke sekolah harus menyimpan satu porsi,” ucapnya.
Porsi yang disimpan ini berfungsi sebagai bukti jika terjadi keracunan, sehingga dapat digunakan sebagai sampel pembanding.
Sri mencontohkan praktik ini yang sudah diterapkan di negara-negara seperti Jepang.
“Di Jepang, menyimpan satu porsi masakan adalah hal yang diwajibkan, dan ada fasilitas untuk menyimpannya,” pungkasnya.
Kasus keracunan setelah menyantap MBG terjadi hampir setiap hari di berbagai daerah dalam beberapa pekan terakhir.
Peristiwa paling baru, saat 194 siswa di Garut, Jawa Barat, keracunan setelah memakan MBG. Di hari yang sama, sebanyak 251 siswa di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, pun mengalami gejala keracunan.
Keracunan usai santap MBG juga terjadi di Lamongan, Jawa Timur dan Tual, Maluku.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Rentetan Keracunan MBG Dinilai karena Program Tergesa-gesa untuk Capai Jumlah Penerima Yogyakarta 18 September 2025
/data/photo/2025/08/25/68ac3bd99a317.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)