Jakarta, CNBC Indonesia – Kalangan pelaku usaha mengkhawatirkan sering berubah-ubahnya regulasi dalam hal upah minimum. Hal ini, menurut pengusaha, bisa membuat investor menjadi enggan berinvestasi di Indonesia. Tidak konsistennya kebijakan pemerintah ini tergambar dalam UU Cipta Kerja.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menyebut setelah digugurkannya beberapa pasal ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, muncul kekhawatiran di kalangan pelaku usaha dan calon investor terkait kepastian kebijakan, terutama mengenai upah minimum.
“Perlu dipahami juga, isu pengupahan ini akan berpengaruh pada penyerapan tenaga kerja di sektor padat karya, seperti perusahaan garmen dan sepatu, sudah menyusun anggaran kerja tahun depan berdasarkan aturan lama. Ketika perubahan mendadak terkait pengupahan, maka dapat mengganggu operasional mereka, bahkan berisiko pada penyerapan tenaga kerja,” kata dia dalam keterangannya, Senin (16/12/2024).
Bagi perusahaan yang berniat untuk berinvestasi maka akan menahan ekspansinya, alhasil penyerapan tenaga kerja bakal semakin tertekan. Pasalnya tercatat dalam beberapa tahun terakhir sudah ada 4x perubahan regulasi upah minimum, dengan terbaru yakni Presiden Prabowo Subianto menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5%.
“Kebijakan ini juga perlu ditanggapi secara bijak oleh pemerintah, sehingga memberikan iklim usaha yang efisien, berdaya saing, dan dapat diprediksi oleh pelaku usaha,” ujar Shinta.
Selain itu iklim usaha juga perlu didukung oleh reformasi struktural sebagai langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan prediktabilitas iklim usaha serta investasi di Indonesia. Hal ini menjadi semakin relevan mengingat tantangan ekonomi yang dihadapi saat ini, termasuk ketidakpastian kebijakan yang memengaruhi daya saing Indonesia di kawasan.
Salah satu perhatian utama adalah Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih tinggi, menandakan bahwa efisiensi investasi di Indonesia belum optimal. Asal tahu saja, angka ICOR Indonesia per 2023 masih berada di angka 6,33%, jauh lebih tinggi dibandingkan ICOR negara-negara ASEAN yang berada di kisaran 4-5%.
ICOR merupakan parameter ekonomi makro yang menggambarkan rasio investasi kapital atau modal terhadap hasil yang diperoleh (output), dengan menggunakan investasi tersebut.
“Kami percaya pemerintah sudah memahami aspek-aspek yang perlu diperbaiki melalui reformasi struktural. Namun, implementasi langkah-langkah tersebut harus dipercepat untuk memastikan Indonesia tetap kompetitif,” kata Shinta.
(fys/haa)