PIKIRAN RAKYAT – Belakangan ini, ramalan dari peramal terkenal asal Bulgaria, Baba Vanga, kembali menjadi perbincangan hangat. Salah satu prediksi yang mencuat adalah kemungkinan pecahnya perang besar pada tahun 2025. Banyak pihak kemudian mengaitkan ramalan ini dengan meningkatnya ketegangan konflik antara Iran dan Israel, bahkan menyebut potensi terjadinya Perang Dunia 3.
Baba Vanga, yang meninggal pada 1996, dikenal karena beberapa prediksinya yang dianggap akurat, seperti serangan teroris 11 September 2001 di Amerika Serikat dan naiknya presiden AS ke-44 dari keturunan Afrika-Amerika, yaitu Barack Obama. Kini, sebagian masyarakat melihat eskalasi konflik di Timur Tengah sebagai realisasi dari ramalan terbarunya.
Namun, pakar kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Muhammad Syaroni, menyampaikan pandangan yang lebih rasional. Ia menilai bahwa konflik berskala global seperti Perang Dunia 3 tidak akan benar-benar terjadi.
“Perang memang sedang berlangsung dan bisa semakin meluas, namun tidak akan berbentuk konfrontasi langsung antara kekuatan besar dunia seperti pada Perang Dunia I dan II,” ujar Syaroni. Ia menjelaskan bahwa konflik yang terjadi lebih mirip dengan pola proxy war, di mana negara-negara besar mengerahkan pihak ketiga atau kelompok sekutu untuk bertempur mewakili kepentingan mereka.
Menurutnya, kondisi ini menyerupai era Perang Dingin, ketika negara-negara adidaya tidak berperang secara langsung, tetapi mendukung pihak-pihak tertentu di berbagai belahan dunia. Dengan begitu, skenario perang global besar-besaran relatif kecil kemungkinannya.
Namun demikian, Syaroni tidak menampik bahwa ketegangan yang meningkat di kawasan Timur Tengah akan memberikan dampak serius, terutama dalam aspek ekonomi global. Salah satu imbas yang sudah terasa adalah kenaikan harga minyak mentah dunia.
“Konflik ini juga berpotensi membuat hukum internasional diabaikan. Hal tersebut bisa semakin memperkeruh hubungan antarnegara dan memperdalam ketegangan yang sudah ada,” tambahnya.
Konflik Iran-Israel mulai kembali memanas sejak dua pekan lalu. Pada Jumat malam, Israel melancarkan serangan udara dengan jet tempur ke sejumlah lokasi yang diyakini sebagai fasilitas pengembangan senjata nuklir Iran. Iran kemudian merespons dengan meluncurkan serangan rudal ke wilayah Israel.
Korban sipil dari kedua belah pihak pun terus bertambah. Menurut laporan resmi dari Israel, sedikitnya 25 orang meninggal dan ratusan lainnya mengalami luka-luka akibat serangan balasan Iran. Sementara itu, Kementerian Kesehatan Iran melaporkan jumlah korban tewas mencapai 430 orang dan lebih dari 3.500 orang terluka.
Situasi kian memanas setelah mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan bahwa pasukan AS telah melakukan pemboman terhadap tiga lokasi nuklir strategis di Iran, yakni Fordow, Natanz, dan Isfahan. Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik ini tentu memperkuat persepsi bahwa eskalasi dapat meluas.
Meskipun begitu, pengamat menyarankan masyarakat untuk tidak panik secara berlebihan terhadap isu-isu yang belum tentu berdasar, seperti ramalan Baba Vanga. Dalam kondisi geopolitik yang sensitif seperti sekarang, pendekatan berbasis fakta dan analisis rasional tetap harus diutamakan.***
