TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin mendesak pasukan Ukraina di wilayah barat daya Kursk untuk menyerah, Jumat (14/3/2025).
Desakan Vladimir Putin disampaikan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memintanya untuk menyelamatkan nyawa “ribuan tentara Ukraina.”
“Kami telah meninjau pernyataan Presiden AS Trump hari ini, kami menekankan bahwa militan Ukraina telah melakukan banyak kejahatan terhadap warga sipil di zona penyerbuan,” kata Putin dalam pidato yang disiarkan televisi, dilansir The Moscow Times.
Putin menambahkan bahwa Kantor Kejaksaan Agung Rusia mengklasifikasikan “tindakan ini” sebagai terorisme.
“Saya ingin menekankan bahwa jika mereka meletakkan senjata dan menyerah, nyawa mereka akan terjamin, dan mereka akan diperlakukan dengan bermartabat sesuai dengan hukum internasional dan hukum Federasi Rusia,” klaim Putin.
“Dalam konteks ini, agar seruan Presiden Trump dapat dilaksanakan secara efektif, pimpinan militer-politik Ukraina harus mengeluarkan perintah yang tepat kepada unit militer mereka untuk meletakkan senjata dan menyerah,” jelasnya.
Pernyataan Trump muncul setelah Kyiv menyetujui gencatan senjata selama 30 hari yang ditengahi AS selama negosiasi di Arab Saudi.
Kremlin belum secara resmi menerima kesepakatan untuk menghentikan pertempuran.
Namun, Putin menyuarakan dukungannya terhadap usulan tersebut secara prinsip sambil menyuarakan kekhawatiran atas pasukan Ukraina di wilayah Kursk yang diduduki sebagian Rusia.
Sementara itu, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengakui pada hari Jumat bahwa pasukan negaranya mendapat tekanan yang meningkat dari tentara Kremlin di Kursk.
Sejak Kyiv melancarkan serangan lintas perbatasan ke Kursk Agustus lalu — yang merupakan serangan terbesar oleh tentara asing ke Rusia sejak Perang Dunia II — Moskow telah melakukan perlawanan.
Serangan balik Rusia di Kursk telah merebut sebagian besar wilayah yang awalnya direbut Ukraina, sehingga Kyiv tidak memiliki titik pengaruh penting atas Moskow dalam setiap perundingan damai potensial.
Rusia Rilis Video Tentaranya usai Rebut Sudzha
Pada Kamis (13/3/2025), Kementerian Pertahanan Rusia menerbitkan rekaman video tentaranya di Sudzha setelah mereka merebut kembali kota tersebut.
Video tersebut memperlihatkan bangunan dan reruntuhan yang rusak parah.
Kemudian, terlihat mobil-mobil yang terbakar dan puing-puing yang berserakan di seluruh kota.
Sementara itu, lebih dari 100 orang yang sebelumnya dilaporkan hilang di Sudzha dan sekitarnya, dievakuasi ke lokasi yang aman.
“Sejak kemarin hingga pagi hari tanggal 13 Maret, 120 warga sipil yang berada di bawah pendudukan telah dibawa keluar dari Sudzha,” ungkap Penjabat Gubernur wilayah Kursk, Alexander Khinshtein di Telegram pada Kamis dini hari, seperti diberitakan The Moscow Times.
Sekitar 90 persen dari mereka yang dievakuasi tercatat hilang setelah serangan Ukraina, menurut Yury Mezinov, seorang pembantu menteri situasi darurat Rusia.
Pihak berwenang sebelumnya melaporkan bahwa sekitar 2.000 orang hilang.
Kementerian Situasi Darurat Rusia merilis rekaman yang memperlihatkan tim penyelamat mengevakuasi warga — banyak di antaranya lansia — dengan bus.
Kementerian tersebut mengatakan lebih dari 90 warga yang dievakuasi telah ditempatkan di tempat penampungan sementara.
Gubernur Khinshtein mengatakan, para pengungsi menerima bantuan medis dan kesehatan mental, serta bantuan untuk memulihkan dokumen yang hilang atau rusak.
“Pekerjaan terus berlanjut tanpa henti,” jelasnya.
TENTARA RUSIA – Foto ini diambil pada Sabtu (15/3/2025) dari Kementerian Pertahanan Rusia memperlihatkan tentara Rusia berjalan di Kursk, Rusia barat, setelah mereka memukul mundur pasukan Ukraina yang menduduki wilayah tersebut sejak Agustus tahun 2024. (Telegram Kementerian Pertahanan Rusia/Ruslan Sergeev)
Usulan Gencatan Senjata Tuai Kritik
Amerika Serikat (AS) mengusulkan gencatan senjata selama 30 hari antara Rusia dengan Ukraina.
Namun, usulan AS itu telah memicu kemarahan di kalangan blogger pro-perang Rusia dan koresponden militer.
Mereka menyebutnya sebagai ‘jebakan’ dan upaya memberi Ukraina waktu untuk memperkuat pasukan militernya.
Tokoh-tokoh pro-perang menyuarakan ekspektasi mereka bahwa Rusia akan menolak kesepakatan tersebut, karena Moskow terus maju di garis depan.
“Poin pertama: 30 hari adalah periode yang sama sekali tidak penting, yang dibutuhkan oleh Ukraina, bukan Rusia, untuk mengganti kerugian dan mempersiapkan garis pertahanan baru. Poin kedua mengikuti poin pertama.”
“Amerika akan melanjutkan bantuan militer ke Ukraina, yang akan digunakan secara aktif oleh Angkatan Bersenjata Ukraina selama gencatan senjata untuk memperkuat dan mempersiapkan serangan baru,” ungkap saluran Telegram pro-perang Archangel of Special Forces kepada audiensnya yang berjumlah lebih dari 1,1 juta pelanggan, masih dari The Moscow Times.
“Dan pertanyaannya: apakah ini sesuatu yang kita perlukan dengan latar belakang runtuhnya front Ukraina? Kami rasa tidak,” imbuhnya.
Kemudian, Boris Rozhin, seorang blogger pro-perang yang memiliki 866.000 pelanggan di Telegram, menyarankan bahwa selama gencatan senjata, Ukraina akan memalsukan proses negosiasi untuk memperkuat tentaranya dan menunggu pengiriman senjata AS.
“Jebakan klasik. Kalau begitu kita akan bilang kita tertipu lagi,” kata Rozhin.
(Tribunnews.com/Nuryanti)
Berita lain terkait Konflik Rusia Vs Ukraina