Melalui budaya K3 yang unggul, maka angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja akan dapat ditekan, yang pada akhirnya mampu meningkatkan produktivitas kerja.
Perlu dicatat, industri ke depan akan menghadapi risiko baru akibat perubahan demografi pekerja, perkembangan teknologi, dan tuntutan global. Pemanfaatan teknologi canggih dalam produksi akan berdampak pada pola kerja yang baru bisa mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Risiko baru akan muncul ketika industri semakin banyak menggunakan bahan buatan kimia atau ketika penggunaan energi primer alternatif seperti LNG dan hidrogen, dll. Kegagalan dalam memitigasi risiko-risiko ini bisa berdampak sangat signifikan, seperti meningkatnya biaya kesehatan, penurunan kualitas hidup tenaga kerja, serta kerugian produksi.
Salah satu langkah strategis yang harus dilakukan adalah penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) yang terintegrasi. Saat ini penerapan SMK3 banyak yang cenderung bersifat administratif, tidak mendorong pembentukan budaya K3. Terdapat tiga budaya K3 yang harus dikembangkan oleh setiap institusi/perusahaan: budaya pemimpin yang tidak mudah menyalahkan pekerja (just culture), budaya pelaporan insiden K3 (reporting culture), budaya perbaikan sistem kerja secara terus-menerus (learning & improving culture).
Hasil pembentukan budaya K3 tergambar dari munculnya kepedulian pekerja terhadap K3, partisipasi aktif pekerja, dan semakin andalnya sistem produksi (resilience). Setiap institusi/perusahaan harus membangun jalan untuk meningkatkan maturitas budaya K3.
