Bisnis.com, JAKARTA -Perusahaan Ter batas Kereta Api Indonesia atau PT KAI (Persero) berganti nakhoda, dari Didiek Hartantyo kepada Bobby Rasyidin dan Wakil Direktur Utama Dody Budiawan. Munculnya jabatan wadirut ini mengulang pada masa Ignatius Jonan menjadi Dirut KAI yang pertama kali dulu.
Jika pada periode sebelum nya Dewan Komisaris (Dekom) ada 9 orang dan 9 direksi, maka saat ini ada 8 dekom dan 10 direksi. Sayangnya, dari 10 direksi hanya 3 orang saja yang berasal dari internal KAI (organik), yaitu Direktur Pengelola Sarana & Prasarana Heru Kuswanto, Direktur Operasi Awan Hermawan, dan Direktur Keselamatan dan Keamanan Dadan Rudiansyah. Memang ketiga jabatan tersebut lebih pas diemban oleh mereka yang berkarier di KAI karena mereka mengetahui detail persoalan-persoalan teknis operasional. Catatan lain adalah adanya penggabungan Direksi Pengelola Prasarana dan Sarana yang dijabat oleh satu orang saja. Sesungguhnya ini terlalu berat, baik pekerjaan maupun tanggung jawab moralnya. Bila terjadi insi-den/accident pada sarana dia akan kena, demikian pula bila terjadi insiden/accident di prasarana, orang yang ber-sangkutan juga akan kena. Sungguh kasihan bila tidak segera dipisahkan antara Direksi Pengelola Prasarana dengan Pengelola Sarana ini.
Kunci operasional KAI itu ada di prasarana (rel, stasiun, dan sejenisnya) dan sarana (kereta api), sehingga tidak bijak membebankan masalah tersebut pada pundak satu orang saja.
Sebagai seorang pengguna setia layanan KAI, baik jarak jauh maupun dalam kota, harapan terhadap pergantian kepemimpinan di PT KAI ini adalah tetap mampu melanjutkan proses transformasi yang dimulai oleh Ignatius Jonan dengan mengubah wajah layanan KAI ke customer centris, dan dari perusahaan yang sebe-lumnya merugi terus, dalam waktu 3 tahun bisa untung dengan pelayanan yang jauh lebih baik. Transformasi itu terus berlanjut ketika Ignatius Jonan menjadi Menteri Perhubungan (Oktober 2014—Juli 2016) dan kepemimpinan di KAI dilanjutkan oleh Edi Sukmoro. Demikian pula ketika pergantian kepemimpinan dari Edi Sukomoro ke Didiek Hartantyo, proses transformasi terus berlanjut. Didiek Hartantyo sebetul-nya menghadapi masa yang amat sulit karena menjadi Dirut KAI pada saat mulai pandemi Covid-19, yaitu mulai Juni 2020. Namun, latar belakangnya sebagai bankir, kemampuan mana-jerialnya teruji saat itu. Meskipun pelanggan KAI ngedrop sampai 70%, tetapi tidak terjadi PHK sehingga tidak muncul gejolak selama pandemi Covid-19 dan recovery berlangsung cepat sehingga performanya tetap terjaga. Bagi pelanggan, legacy Didiek Hartantyo yang dapat dirasakan langsung adalah pertama, inovasi bisnis dengan pengembangan sarana baru, seperti misalnya KA Luxury, Panoramic, dan kompartemen yang membidik pangsa pasar baru dari orang-orang berduit.
Ketiga jenis layanan itu amat diminati dan menjadi salah satu sumber cuan baru bagi PT KAI (Pesero). Kedua, Didiek Hartantyo melakukan beutifikasi (mem-percantik) stasiun-stasiun dan di sejumlah stasun besar seperti Gambir, Pasar Senen, Bandung, Yogyakarta, dan Gubeng Surabaya tersedia sejumlah meja di ruang tunggu yang dilengkapi dengan colokan listrik, sehingga calon penumpang kereta bisa menunggu di stasiun sambil bekerja.
Bukan hanya mengubah wajah stasiun menjadi lebih cantik, tetapi juga memberikan pelayanan yang lebih baik dengan menyedikan fasilitas isi ulang air minum yang langsung dapat diminum di sejumlah stasiun, sehingga dapat mengurangi ongkos transportasi, khu-susnya untuk pembelian air minum selama di perjalanan. Salah satu strategi untuk menjaga proses transformasi KAI itu terus berlanjut adalah mengoptimalkan peran SDM organik masuk ke dalam jajaran direksi, karena mereka itu telah mengenali kultur perusahaan dengan baik, sehingga tidak memer-lukan waktu lama untuk penyesuaian.
TANTANGAN BARU
Keberlanjutan transformasi di KAI sangat diperlukan mengingat banyaknya tantangan yang dihadapi oleh perusahaan baik secara bisnis maupun pelayanan. Secara bisnis, KAI mengha-dapi tantangan besar terkait dengan adanya penugasan yang diberikan oleh peme-rintah kepada KAI seperti pengelolaan LRT Palembang dan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Kedua entitas ini secara finansial akan menjadi beban perusahaan karena memerlukan subsidi sepanjang massa untuk dapat mempertahankan operasionalnya. Hal itu mengingat jumlah pelanggan kedua moda itu memang jauh di bawah target, sehingga konsekuensi logisnya pendapatan tiket juga rendah. Hanya dengan subsidi sepanjang masa keduanya dapat ber-operasi. Memang ada layanan kereta regular jarak jauh dan kereta perkotaan yang disubsidi melalui PSO (public service obligation), tetapi itu sebetul-nya lebih ke pertimbangan politik saja. Artinya, tanpa ada subsidi pun akan tetap bisa beroperasi dengan menerapkan tiket komersial. Akan tetapi, untuk LRT Palembang dan KCJB kasusnya berbeda, mereka tidak akan bisa lanjut operasional tanpa ada subsidi, karena kalau diterapkan tarif komersial makin sedikit yang naik.
Jadi, ada dua pekerjaan rumah (PR) direksi KAI saat ini, yaitu pertama, bagai-mana melakukan creative financing agar biaya operasional LRT Palembang dan KCJB itu tidak terlalu banyak menguras APBN, tetapi juga tidak menjadi beban baru KAI secara keseluruhan. Ini PR yang tidak mudah diselesaikan tapi perlu dibuat milestone agar pada saatnya bisa tercapai. Kedua, bagaimana agar KAI tetap untung tetapi juga layanan untuk kaum bawah tidak terabaikan.
Saat ini layanan KAI untuk jarak jauh didominasi oleh tarif komersial. Tarif komersial ini sebetulnya amat berat bagi para pensiunan, petani, pedagang kecil, atau peker-ja komuter jarak jauh yang dikenal dengan Kelompok PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad). Mereka hanya dapat menggunakan layanan KA jarak jauh yang bersubsidi, tetapi itu sarananya terbatas sehingga beli tiketnya harus jauh sebelumnya. Kalau mereka ada kepentingan mendadak, sulit mendapatkan tiket bersubsidi tersebut. Di tengah kondisi ekonomi yang makin terpuruk, ketersediaan layanan KA jarak jauh yang terjangkau bagi semua golongan masyarakat itu makin dibutuhkan.
Apalagi Presiden Prabowo itu secara ideologis adalah seorang sosialis sehingga berharap layanan KAI terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Ketiga, untuk menjawab tantangan pertama dan kedua di atas, KAI perlu menggenjot angkutan logistik sehingga dapat melakukan subsidi silang terhadap layanan penumpang. Peningkatan angkutan logistik ini sekaligus untuk mengurangi moda share angkutan barang yang saat ini didominasi oleh truk. Moda share KAI untuk angkutan barang masih dibawah 10%. Dalam waktu 5 tahun ke depan semoga dapat ditingkatkan menjadi 15%.
Kalau ini dapat dilakukan maka keuntungan korporasi akan tetap tercapai dan subsidi silang untuk angkutan penumpang bisa tetap dilakukan.

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5343636/original/017213600_1757465822-IMG-20250909-WA0034.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)






/data/photo/2025/09/01/68b59a8f47c6d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4282762/original/020847200_1672918086-Jawa_dan_Bali_Masuki_Puncak_Musim_Hujan-IQBAL_4.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)