provinsi: SUMATERA BARAT

  • Biaya Rekonstruksi Bencana Sumatera Butuh Dana hingga Rp 70 Triliun

    Biaya Rekonstruksi Bencana Sumatera Butuh Dana hingga Rp 70 Triliun

    Jakarta, Beritasatu.com – Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual memperkirakan kebutuhan biaya rekonstruksi pascabencana di Pulau Sumatera berada di kisaran Rp 50 triliun hingga Rp 70 triliun.

    Nilai tersebut berpotensi meningkat mengingat bencana melanda tiga provinsi sekaligus, yakni Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh.

    “Jadi kalau bencana angkanya itu antara Rp 50 triliun-Rp 70 triliun biaya rekonstruksi. Ini kan kemungkinan bisa lebih tinggi karena ini tiga provinsi (Sumatera Barat/Sumbar, Sumatera Utara/Sumut, dan Aceh), dan sampai sekarang masih hujan deras terus. Jadi, masih ada kemungkinan ada masalah logistik lagi,” ucap David dikutip dari Antara, Senin (15/12/2025).

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera pada kuartal III 2025 tercatat sebesar 4,9%. Adapun provinsi terdampak bencana mencatatkan pertumbuhan Aceh sebesar 4,5%, Sumatera Barat 3,4%, dan Sumatera Utara 4,6%.

    David menilai, kinerja ekonomi Sumatera pada kuartal I 2026 masih berpotensi tertahan. Hal ini disebabkan banyaknya jalur logistik yang terputus di wilayah terdampak bencana, sehingga aktivitas produksi belum dapat berjalan optimal.

    Namun, ia memperkirakan momentum perbaikan akan mulai terlihat pada kuartal II  2026, seiring masuknya belanja pemerintah untuk kegiatan rekonstruksi.

    Pada kesempatan yang sama, David juga mengungkapkan bahwa bencana di Sumatera berpotensi menekan produk domestik bruto (PDB) nasional hingga 0,32%, terutama melalui penurunan konsumsi masyarakat.

    Berdasarkan olahan dan data internal tim riset ekonomi BCA, bencana alam di Sumatera menurunkan belanja masyarakat di Sumatera Barat sebesar 25,53% atau sekitar Rp 3,8 triliun. Di Sumatera Utara, konsumsi turun 22,31% atau Rp 11,8 triliun, sementara di Aceh penurunan mencapai 23,92% atau sekitar Rp 2,8 triliun.

    Dengan asumsi tekanan konsumsi berlanjut hingga Desember 2025 dan pola penurunan belanja di Aceh mengikuti tren serupa, efek konsumsi pascabencana diperkirakan dapat memangkas PDB nominal nasional sebesar 0,31% atau sekitar Rp 18,58 triliun pada kuartal IV 2025.

    “Penurunan PDB bisa terjadi akibat konsumsi yang menurun, produksi yang menurun, dan sebagainya,” pungkas David.

  • Aceh Minta Bantuan Penanganan Bencana ke PBB, Mardani Ali Sera: Ini Bukan Angka, Ini Kemanusiaan

    Aceh Minta Bantuan Penanganan Bencana ke PBB, Mardani Ali Sera: Ini Bukan Angka, Ini Kemanusiaan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, ikut bicara mengenai langkah Pemerintah Aceh yang menyurati dua lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk meminta bantuan penanganan bencana.

    Dikatakan Mardani, kondisi bencana yang melanda Aceh serta sejumlah wilayah di Sumatra Utara dan Sumatra Barat sudah berada pada level yang sangat serius.

    Mardani menegaskan, bencana yang terjadi tidak bisa lagi dilihat semata sebagai persoalan data statistik.

    Ia menilai, situasi ini menyangkut keselamatan dan kemanusiaan warga yang terdampak.

    “Bencana ini luar biasa. Ini bukan angka. Ini kemanusiaan,” ujar Mardani di X @MardaniAliSera (15/12/2025).

    Ia menekankan, masyarakat Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tidak boleh kehilangan harapan terhadap kehadiran negara di tengah situasi sulit yang mereka alami.

    Lanjut dia, negara harus menunjukkan peran nyata melalui kebijakan dan langkah yang terukur.

    “Warga Aceh, juga Sumut dan Sumbar, tak boleh putus harapan bahwa negara hadir,” katanya.

    Mardani bilang, kehadiran negara harus diwujudkan melalui arah kebijakan yang jelas, sistem komando yang tegas, serta program rekonstruksi yang terencana dengan dukungan anggaran yang memadai.

    “Dengan kebijakan yang jelas, komando yang jelas, program rekonstruksi yang jelas hingga anggaran yang jelas,” lanjutnya.

    Lebih jauh, anggota DPR RI itu menilai kunci utama penanganan bencana saat ini terletak pada keputusan politik dari pimpinan tertinggi negara.

    Ia mengingatkan, waktu yang tersedia sangat terbatas, sehingga tidak boleh ada keraguan dalam mengambil keputusan strategis.

  • Satu Faktor Ini Bikin Ekonomi RI 2025 Kehilangan 0,3%

    Satu Faktor Ini Bikin Ekonomi RI 2025 Kehilangan 0,3%

    Jakarta

    Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat diproyeksikan akan menahan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 0,32% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2025.

    Chief Economist PT Bank Central Asia Tbk atau BCA David Sumual mengatakan penurunan pertumbuhan ekonomi itu dikarenakan efek bencana yang diperkirakan akan menurunkan belanja atau konsumsi masyarakat.

    “Jadi kita melihat dampaknya sekitar 0,32% dari PDB kurang lebih. Dampak dari penurunan ya, penurunan PDB yang bisa terjadi akibat konsumsi yang menurun, produksi yang menurun dan sebagainya,” kata David dalam Bincang Media di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).

    David memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan berada di bawah target pemerintah 5,4%. Realisasinya diperkirakan hanya bisa pada level 5% sampai 5,1%.

    “Dengan bencana ini mungkin akan ada sedikit ada pengaruh ya, pasti akan pengaruh. Secara nasional mungkin jadi lebih sedikit, karena agregat ada beberapa daerah yang juga lagi meningkat. Jadi saya pikir masih bisa lah 5-5,1%, tapi nggak mungkin 6%,” ucap David.

    Berdasarkan data internal tim riset ekonomi BCA, efek bencana alam di wilayah Sumatera akan menurunkan 25,53% (Rp 3,8 triliun) belanja masyarakat Sumatera Barat dan menurunkan 22,31% (Rp 11,8 triliun) belanja masyarakat Sumatera Utara. Sementara itu, belanja masyarakat Aceh diperkirakan turun 23,92% (Rp 2,8 triliun).

    Dengan asumsi belanja masyarakat yang terpuruk hingga Desember 2025, efek bencana berpotensi menurunkan konsumsi sebesar 0,31% atau Rp 18,58 triliun secara nasional.

    (aid/fdl)

  • Menko PMK Tegaskan Pembangunan Huntara Dipercepat

    Menko PMK Tegaskan Pembangunan Huntara Dipercepat

    Jakarta (beritajatim.com) – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno memastikan, penanganan bencana hidrometeorologi yang melanda wilayah Sumatra Barat, Aceh, dan Sumatra Utara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan nasional, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan, hingga relawan di lapangan.

    Dia juga menegaskan, negara hadir dan memastikan penanganan tanggap darurat terus berjalan demikian juga dengan penyediaan hunian sementara bagi masyarakat terdampak bersamaan dengan percepatan upaya pemulihan.

    “Bencana ini ditangani oleh seluruh kekuatan nasional. Cakupannya sangat luas, di tiga provinsi. Tanggap darurat tetap berjalan, dan pada saat yang sama huntara harus segera disiapkan. Bahkan kalau bisa langsung menuju hunian tetap tentu akan lebih bagus,” ujar Menko PMK.

    Hal tersebut disampaikan Pratikno saat hadir meninjau langsung sekaligus melakukan groundbreaking pembangunan hunian sementara (huntara) bagi warga terdampak bencana hidrometeorologi di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat.

    Dalam kesempatan tersebut, Menko PMK mengapresiasi kesiapan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang telah menyiapkan lahan seluas sekitar 1,7 hektare untuk pembangunan huntara. Menurutnya, langkah tersebut menjadi contoh baik dalam percepatan menuju pemulihan pascabencana. Lokasi yang disiapkan dinilai layak karena berada dekat dengan kampung asal warga, memiliki akses jalan yang baik, serta didukung ketersediaan air dan listrik.

    “Biasanya masyarakat tidak ingin terlalu jauh dari tempat tinggal semula dan dekat dengan lokasi mata pencahariannya. Kita berkewajiban mencarikan tempat yang lebih aman dan layak. Di sini lokasinya sangat baik dan ini yang akan kita upayakan menjadi penyiapan huntara paling awal,” jelasnya.

    Dia menjelaskan, dari sisi pendanaan, pembangunan huntara didukung Dana Siap Pakai (DSP) Kebencanaan yang siap digunakan. Tantangan utama terletak pada kesiapan lahan, yang harus memenuhi berbagai pertimbangan keamanan dan aksesibilitas fasilitas pendukung.

    “Huntara ini menjadi tanggung jawab BNPB (Badan Nasiinal Penanggulangan Bencana, red) dalam masa tanggap darurat. Setelah itu, untuk hunian tetap akan ditangani oleh kementerian terkait. Yang penting sekarang, masyarakat segera pindah dari pengungsian ke tempat tinggal sementara yang aman dan layak,” tegas Pratino.

    Selain meninjau lokasi pembangunan huntara, Menko PMK juga memastikan perbaikan akses jalan dan jembatan di wilayah terdampak agar jalur logistik tetap terbuka dan distribusi bantuan berjalan lancar. Ia menegaskan bahwa negara tidak hanya hadir pada saat masa darurat, tetapi juga terus mendampingi masyarakat dalam proses pemulihan hingga kehidupan kembali normal.

    Di lapangan, Pratikno juga melihat langsung semangat gotong royong antara petugas dan warga di posko pengungsian. Ia menilai kebersamaan tersebut menjadi modal sosial penting dalam menghadapi bencana sekaligus mempercepat pemulihan wilayah terdampak.

    “Negara hadir bukan hanya saat darurat, tetapi juga dalam proses memulihkan kehidupan. Kita akan terus mendampingi masyarakat agar mereka bisa bangkit dan kembali menata hari esok dengan lebih kuat,” ujar Pratikno. (hen/but)

  • KKP Perbaiki Tambak Udang-Nila Terdampak Bencana Sumatera Tahun Depan

    KKP Perbaiki Tambak Udang-Nila Terdampak Bencana Sumatera Tahun Depan

    Jakarta

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan pembudidaya yang terdampak bencana di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat akan mendapatkan rehabilitasi mulai tahun depan. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb. Haeru Rahayu memastikan proses perbaikan ini tidak akan membebankan pembudidaya.

    Haeru mengatakan pihaknya masih mendata jumlah pembudidaya yang terdampak. Data ini dikumpulkan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, serta kerja sama dengan dinas setempat.

    “Contoh, dengan Kepala Dinas Aceh, saya sudah komunikasi. Kemudian dengan Kepala Dinas Sumbar, saya juga sudah komunikasi. Bahkan dia sudah bersurat juga kepada kami, memetakan, mengusulkan ini yang perlu didukung oleh pemerintah pusat,” kata Haeru di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).

    Haeru menerangkan saat ini total kerugian dan anggaran rehabilitasi masih dihitung. Pihaknya sudah memiliki standar untuk perbaikan, misalnya perbaikan tambak di Aceh membutuhkan dana sekitar Rp 50 juta per hektare (ha).

    “Di Aceh itu kalau memperbaiki tambak per hektarnya katanya sekitar Rp 50 juta. Di Padang, di Sumbar itu sekitar Rp 70 juta. Di Medan lebih mahal, sekitar Rp 100 juta. Kemudian tambaknya kalau nanti rehabilitasi, ya kita pasti perbaiki menjadi lebih baik lagi. Maka kita punya standar nilai-nilai untuk perbaikan,” tambah Haeru.

    Haeru membeberkan kerusakan yang dialami pembudidaya, mulai dari petakan tambak rusak, saluran, hingga jaringan listrik. Bahkan kolam budi daya juga tak luput tersapu banjir. Pembudidaya yang paling terdampak, mulai dari petambak udang, pembudidaya bandeng, pembudidaya nila, hingga pembudidaya kakap.

    Saat ini, pemerintah masih dalam masa tanggap darurat bencana dengan fokus memberikan bantuan yang dibutuhkan korban. Usai masa tanggap darurat, Haeru menyebut baru berfokus pada upaya perbaikan, termasuk tambak. Mengenai waktu pelaksanaan, ia berjanji akan bergerak cepat.

    “Tidak boleh lama. Pemerintah ini harus cepat ya. Tahun depan kita sudah harus mulai. Tahun depan? Tahun depan itu tinggal dua minggu lagi. Sekarang sudah tanggal 15 (Desember) kan? Kita harus cepat. Di angka kami, DIPA kami, tahun depan sudah ada,” jelas Haeru.

    Lihat juga Video: Budidaya Udang Vaname, Ladang Cuan Para Petambak

    (rea/ara)

  • Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Kerusakan hutan di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) dinilai menjadi faktor utama meningkatnya risiko banjir bandang di sejumlah provinsi di Sumatera, terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Deforestasi yang berlangsung masif selama beberapa dekade terakhir menyebabkan daya dukung lingkungan melemah, sehingga kawasan hilir semakin rentan saat menghadapi hujan ekstrem.

    Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ir Hatma Suryatmojo menjelaskan, hutan di kawasan hulu DAS memiliki fungsi yang sangat vital sebagai penyangga hidrologis alami.

    “Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai,” ujarnya, Senin (15/12/2025).

    Hatma memaparkan, berbagai penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan, tajuk hutan mampu menahan air hujan melalui proses intersepsi hingga 15%-35%. Sementara itu, kondisi tanah hutan yang masih utuh dan tidak terganggu memungkinkan infiltrasi air mencapai sekitar 55% dari total curah hujan.

    Dengan mekanisme tersebut, limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai hanya berkisar 10%-20%. Ditambah proses evapotranspirasi yang mencapai 25%-40%, hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir pada musim hujan, sekaligus mempertahankan aliran air saat musim kemarau.

    Namun, ketika hutan di wilayah hulu rusak atau gundul, seluruh fungsi tersebut ikut hilang. Lapisan tanah kehilangan porositas akibat rusaknya jaringan akar, sehingga air hujan tidak lagi terserap optimal dan lebih banyak menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras ke wilayah hilir.

    “Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya,” kata Hatma.

    Data menunjukkan kondisi hutan di tiga provinsi yang kerap terdampak banjir bandang berada dalam tekanan serius. Di Aceh, hingga 2020 sekitar 59% wilayah atau sekitar 3,37 juta hektare masih berupa hutan alam.

    Meski relatif luas, provinsi ini tercatat kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan sepanjang 1990-2020, yang meningkatkan kerentanan terhadap banjir bandang.

    Kondisi lebih mengkhawatirkan terjadi di Sumatera Utara. Tutupan hutan pada 2020 tinggal sekitar 29% atau 2,1 juta hektare, dengan kondisi terfragmentasi. Salah satu benteng terakhir, Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, terus terdegradasi akibat penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas, sehingga kehilangan fungsi ekologisnya sebagai pengendali banjir.

    Sementara itu, Sumatera Barat memiliki tutupan hutan sekitar 54% atau 2,3 juta hektare. Meski persentasenya lebih baik, laju deforestasi di provinsi ini termasuk yang tertinggi.

    Walhi Sumbar mencatat hilangnya sekitar 320.000 hektare hutan primer dan total 740.000 hektare tutupan pohon sepanjang 2001-2024. Bahkan, deforestasi seluas 32.000 hektare terjadi hanya dalam satu tahun, yakni 2024. Banyak hutan tersisa berada di lereng curam Bukit Barisan yang rawan longsor dan banjir bandang.

    Banjir bandang besar yang melanda Sumatera pada November 2025 disebut Hatma sebagai akumulasi “dosa ekologis” di wilayah hulu DAS. Cuaca ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi dampak kerusakannya diperparah oleh alih fungsi hutan, perambahan, serta lemahnya penataan ruang berbasis mitigasi bencana.

    Hatma menegaskan, upaya pengurangan risiko bencana tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan struktural seperti pembangunan tanggul atau normalisasi sungai. Perlindungan hutan hulu, konservasi DAS, rehabilitasi lahan kritis, serta penegakan tata ruang harus menjadi prioritas.

    “Sisa hutan di kawasan strategis, seperti Ekosistem Leuser di Aceh dan Batang Toru di Sumatera Utara harus dipertahankan sebagai harga mati,” ujarnya.

    Di tengah ancaman perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, penguatan sistem peringatan dini, kesiapsiagaan daerah, serta pelibatan aktif masyarakat dalam menjaga hutan dinilai krusial agar bencana serupa tidak terus berulang di masa mendatang.

  • Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Kerusakan hutan di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) dinilai menjadi faktor utama meningkatnya risiko banjir bandang di sejumlah provinsi di Sumatera, terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Deforestasi yang berlangsung masif selama beberapa dekade terakhir menyebabkan daya dukung lingkungan melemah, sehingga kawasan hilir semakin rentan saat menghadapi hujan ekstrem.

    Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ir Hatma Suryatmojo menjelaskan, hutan di kawasan hulu DAS memiliki fungsi yang sangat vital sebagai penyangga hidrologis alami.

    “Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai,” ujarnya, Senin (15/12/2025).

    Hatma memaparkan, berbagai penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan, tajuk hutan mampu menahan air hujan melalui proses intersepsi hingga 15%-35%. Sementara itu, kondisi tanah hutan yang masih utuh dan tidak terganggu memungkinkan infiltrasi air mencapai sekitar 55% dari total curah hujan.

    Dengan mekanisme tersebut, limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai hanya berkisar 10%-20%. Ditambah proses evapotranspirasi yang mencapai 25%-40%, hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir pada musim hujan, sekaligus mempertahankan aliran air saat musim kemarau.

    Namun, ketika hutan di wilayah hulu rusak atau gundul, seluruh fungsi tersebut ikut hilang. Lapisan tanah kehilangan porositas akibat rusaknya jaringan akar, sehingga air hujan tidak lagi terserap optimal dan lebih banyak menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras ke wilayah hilir.

    “Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya,” kata Hatma.

    Data menunjukkan kondisi hutan di tiga provinsi yang kerap terdampak banjir bandang berada dalam tekanan serius. Di Aceh, hingga 2020 sekitar 59% wilayah atau sekitar 3,37 juta hektare masih berupa hutan alam.

    Meski relatif luas, provinsi ini tercatat kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan sepanjang 1990-2020, yang meningkatkan kerentanan terhadap banjir bandang.

    Kondisi lebih mengkhawatirkan terjadi di Sumatera Utara. Tutupan hutan pada 2020 tinggal sekitar 29% atau 2,1 juta hektare, dengan kondisi terfragmentasi. Salah satu benteng terakhir, Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, terus terdegradasi akibat penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas, sehingga kehilangan fungsi ekologisnya sebagai pengendali banjir.

    Sementara itu, Sumatera Barat memiliki tutupan hutan sekitar 54% atau 2,3 juta hektare. Meski persentasenya lebih baik, laju deforestasi di provinsi ini termasuk yang tertinggi.

    Walhi Sumbar mencatat hilangnya sekitar 320.000 hektare hutan primer dan total 740.000 hektare tutupan pohon sepanjang 2001-2024. Bahkan, deforestasi seluas 32.000 hektare terjadi hanya dalam satu tahun, yakni 2024. Banyak hutan tersisa berada di lereng curam Bukit Barisan yang rawan longsor dan banjir bandang.

    Banjir bandang besar yang melanda Sumatera pada November 2025 disebut Hatma sebagai akumulasi “dosa ekologis” di wilayah hulu DAS. Cuaca ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi dampak kerusakannya diperparah oleh alih fungsi hutan, perambahan, serta lemahnya penataan ruang berbasis mitigasi bencana.

    Hatma menegaskan, upaya pengurangan risiko bencana tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan struktural seperti pembangunan tanggul atau normalisasi sungai. Perlindungan hutan hulu, konservasi DAS, rehabilitasi lahan kritis, serta penegakan tata ruang harus menjadi prioritas.

    “Sisa hutan di kawasan strategis, seperti Ekosistem Leuser di Aceh dan Batang Toru di Sumatera Utara harus dipertahankan sebagai harga mati,” ujarnya.

    Di tengah ancaman perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, penguatan sistem peringatan dini, kesiapsiagaan daerah, serta pelibatan aktif masyarakat dalam menjaga hutan dinilai krusial agar bencana serupa tidak terus berulang di masa mendatang.

  • TNI AU dan BNPB Bangun Posko Nasional Bencana di Sumatera

    TNI AU dan BNPB Bangun Posko Nasional Bencana di Sumatera

    Jakarta, Beritasatu.com – TNI Angkatan Udara (TNI AU) melalui Pusat Geospasial TNI AU (Pusgeosau) bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendirikan Posko Nasional Crisis Center guna mendukung penanganan bencana di sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Posko nasional tersebut didirikan di Ruang Serbaguna Pusgeosau, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Kehadiran posko ini diharapkan mampu memperkuat koordinasi antarlembaga dalam penanganan bencana, terutama pada fase tanggap darurat dan pascabencana.

    Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI I Nyoman Suadnyana menjelaskan, pendirian posko ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas distribusi logistik serta penanganan utama di wilayah terdampak bencana.

    “Posko Nasional Crisis Center dirancang sebagai pusat kendali terpadu untuk memperkuat koordinasi lintas instansi serta mempercepat pengendalian logistik dan peralatan,” kata I Nyoman, dikutip dari Antara, Senin (15/12/2025).

    Dalam operasional posko tersebut, Pusgeosau TNI AU berperan strategis dalam menyediakan data dan informasi geospasial yang akurat, cepat, dan terkini. Data tersebut mencakup peta wilayah terdampak, kondisi geografis, hingga akses transportasi yang dapat digunakan untuk mempercepat penyaluran bantuan.

    Menurut I Nyoman, informasi geospasial ini menjadi dasar pertimbangan utama bagi TNI AU dan BNPB dalam menentukan prioritas pendistribusian logistik, peralatan, serta bantuan kemanusiaan ke daerah-daerah yang terdampak bencana.

    “Data yang disediakan Pusgeosau sangat penting untuk mendukung pengambilan keputusan di lapangan, khususnya dalam menentukan jalur distribusi dan kebutuhan mendesak di wilayah terdampak,” ujarnya.

    Dengan dukungan data yang terintegrasi dan koordinasi lintas instansi yang kuat, I Nyoman optimistis penanganan pascabencana yang dilakukan oleh TNI AU bersama BNPB akan berjalan lebih maksimal, tepat sasaran, dan efisien.

    Ia memastikan, Posko Nasional Crisis Center ini akan terus beroperasi hingga kondisi di wilayah terdampak bencana, khususnya di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, dinyatakan kembali kondusif. Selama masa operasional, posko akan menjadi pusat koordinasi utama bagi berbagai instansi yang terlibat dalam penanganan bencana nasional.

    Keberadaan posko ini juga menjadi bentuk sinergi nyata antara unsur pertahanan dan lembaga penanggulangan bencana dalam menghadapi situasi darurat, sekaligus memperkuat kesiapsiagaan nasional terhadap potensi bencana alam di Indonesia.

  • 476 Keluarga Korban Bencana Agam Siap Direlokasi di Huntara

    476 Keluarga Korban Bencana Agam Siap Direlokasi di Huntara

    Lubuk Basung, Beritasatu.com – Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Kabupaten Agam, Sumatera Barat, mencatat 476 dari 539 keluarga korban bencana alam di daerah tersebut menyatakan bersedia tinggal di hunian sementara (huntara) yang akan segera dibangun oleh pemerintah.

    “Sebanyak 476 keluarga ini telah menandatangani surat pernyataan tinggal di hunian sementara,” kata Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kabupaten Agam, Rinaldi, di Lubuk Basung, dikutip dari Antara pada Senin (15/12/2025).

    Rinaldi menjelaskan, ratusan keluarga tersebut tersebar di sejumlah kecamatan terdampak bencana. Di Kecamatan Palembayan, sebanyak 225 keluarga akan direlokasi ke hunian sementara yang dibangun di SDN 05 Kayu Pasak Nagari Salareh Aia serta lapangan bola voli Batu Mandi Nagari Salareh Aia Timur.

    Sementara itu, di Kecamatan Tanjung Raya, sebanyak 183 keluarga direlokasi ke hunian sementara yang berlokasi di Linggai Park Nagari Duo Koto. Adapun di Kecamatan Ampek Koto, terdapat 54 keluarga yang akan menempati hunian sementara di lahan DOB Nagari Balingka.

    Selain itu, Kecamatan Malalak juga menjadi lokasi relokasi bagi 14 keluarga yang akan menempati hunian sementara di lapangan Lampeh Jorong Bukik Malanca, Nagari Malalak Timur.

    “Data ini merupakan hasil validasi dari pemerintah nagari. Untuk lahan telah kita tinjau bersama camat dan wali nagari,” ujar Rinaldi.

    Ia menambahkan, secara keseluruhan terdapat 539 keluarga yang rumahnya mengalami rusak berat, berada di zona merah di sepanjang aliran sungai, serta di kawasan tepi bukit yang berpotensi longsor. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 476 keluarga yang bersedia direlokasi, sementara 63 keluarga lainnya menolak relokasi.

    Dalam waktu dekat, pemerintah daerah akan melakukan survei detail ke masing-masing lokasi hunian sementara. Proses pembangunan huntara sendiri akan dilakukan bekerja sama dengan TNI, guna mempercepat penyediaan tempat tinggal layak bagi para korban bencana.

    “Sesampai di lokasi langsung dibangun hunian sementara dan ditargetkan selesai menjelang akhir Desember 2025,” katanya.

    Ia menjelaskan, hunian sementara yang dibangun bertipe 21, dilengkapi dengan dapur, akses jalan, serta fasilitas pendukung lainnya. Pendanaan pembangunan huntara tersebut bersumber dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

    Hunian sementara ini akan menjadi tempat tinggal korban bencana hingga hunian tetap selesai dibangun. Pemerintah Kabupaten Agam merencanakan pembangunan hunian tetap bagi para korban pada tahun 2026 mendatang.

  • Prabowo Perintahkan Hunian Sementara Pengungsi Banjir Sumatra Segera Rampung

    Prabowo Perintahkan Hunian Sementara Pengungsi Banjir Sumatra Segera Rampung

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto memerintahkan jajaran menterinya untuk segera merampungkan pembangunan hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) untuk para pengungsi terdampak banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya saat dihubungi di Jakarta, Senin, menjelaskan perintah itu diberikan oleh Presiden Prabowo saat rapat terbatas di kediaman pribadi Presiden di Bukit Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/12).

    “Pembangunan hunian sementara dan hunian tetap untuk seluruh warga terdampak bencana di Sumatera, Presiden ingin secepat mungkin segera selesai terbangun,” kata Seskab Teddy dikutip dari Antara, Senin (15/12/2025).

    Dalam rapat terbatas itu, beberapa instruksi yang diberikan para menteri merupakan hasil peninjauan Presiden Prabowo langsung ke daerah-daerah terdampak bencana, yaitu pada 1 Desember 2025 di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara; Kota Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh; dan Kabupaten Padang Pariaman di Sumatera Barat.

    Kemudian, kunjungan kedua Presiden di Provinsi Aceh pada 7 Desember 2025 tepatnya di Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Besar, dan Kota Banda Aceh, kemudian pada 12 Desember 2025 di Kabupaten Aceh Tamiang, Kota Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, dan Kabupaten Bener Meriah, serta di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada 13 Desember 2025.

    Dalam rapat koordinasi di Lanud Sultan Iskandar Muda, Minggu (7/12) lalu, Presiden Prabowo menerima laporan dari Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto ada 30.000 lebih rumah warga di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang rusak akibat banjir bandang dan longsor. Jumlah itu diperkirakan terus bertambah seiring dengan pendataan yang terus dilakukan oleh BNPB bersama Kementerian Pekerjaan Umum.

    Kepala BNPB, dalam rapat tersebut, kemudian mengusulkan hunian sementara yang diperuntukkan kepada pengungsi nantinya dibangun oleh anggota TNI dan Polri yang tergabung dalam satuan tugas (satgas) penanggulangan bencana, sementara pembangunan hunian tetap untuk para pengungsi, diserahkan kepada Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.

    “Kemudian yang tidak pindah, karena mungkin banjirnya, dampaknya tidak terlalu besar bagi keluarga itu sehingga tidak harus pindah, tetapi rumahnya rusak, kami perbaiki oleh satgas BNPB,” kata Suharyanto saat memberikan laporan kepada Presiden.

    Terkait anggaran, BNPB mengajukan Rp60 juta per unit hunian tetap kepada Presiden Prabowo. Sementara itu, untuk hunian sementara, anggaran yang dialokasikan sebesar Rp30 juta per rumah.

    Hunian sementara yang dibangun itu berukuran 36 meter persegi lengkap dengan fasilitas kamar tidur, sarana MCK, dan ruangan lainnya.