Kabupaten Pati, Ketidakseimbangan Fiskal, dan Rendahnya Moralitas Politik
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
SETELAH
kasus Bupati Pati Sudewo mencuat, akhirnya diketahui bahwa tidak hanya Kabupten Pati yang menaikkan PBB P2.
Bahkan ada beberapa daerah yang menaikkan tarif PBB lebih dari 10 kali atau 1000 persenan, seperti Kabupaten Jombang dan Cirebon.
Kedua daerah ini kini sedang dihantui penolakan masif dari warganya. Boleh jadi aspirasi “lengser” juga muncul kemudian, layaknya kepada Bupati Pati.
Sementara daerah seperti Bone Selatan dan Semarang, juga terpantau menaikkan PBB P2 sekitar 300 dan 400-an persen.
Malang memang bagi Bupati Pati, kenaikan PBB di Pati jauh lebih cepat ditanggapi warga dan mendadak mencuat menjadi masalah nasional.
Mengapa hal seperti ini bisa terjadi? Banyak faktor tentunya. Tak semua faktor ada di daerah, beberapa faktor juga ada di pusat.
Pertama, dalam hemat saya, berdasarkan perkembangan belakangan, faktor kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat yang digaungkan sejak awal tahun, juga turut menjadi penyebab utama.
Kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat nyatanya tidak saja menyisir belanja kementerian dan lembaga nondepartemental di tingkat nasional, tapi juga menyasar berbagai macam mata anggaran di daerah, yang berujung pada pengecilan nominal total APBD.
Kondisi ini, mau tak mau, membuat daerah harus memutar “otak” untuk mendapatkan tambahan pendapatan baru, terutama yang masuk ke dalam kategori Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk bisa membiayai berbagai rencana kebijakan dan program yang telah terlanjur dijanjikan kepada rakyat di daerah selama masa kampanye Pilkada.
Boleh jadi dalam hal ini termasuk juga janji-janji “ilegal” kepala daerah terpilih kepada “klien-klien” politiknya atau bohir kaya yang telah ikut membantu pembiayaan politik pada Pilkada sebelumnya.
Nah, terkait dengan kasus Pati, sebagaimana diatur di dalam UU yang terkait dengan relasi fiskal pusat dan daerah, yakni UU No. 1 tahun 2022, juga UU No. 28 2009 tentang pajak daerah, dan UU No. 33 tahun 2009 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memang sudah menjadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh daerah.
Sehingga, secara legal konstitusional, naik atau turunnya PBB di daerah akan berada di bawah wewenang pemerintah daerah, termasuk oleh kepala daerah baru tentunya.
Namun, pertanyaan pentingnya tentu bukan masalah legalitas konstitusional dari kasus Pati dan beberapa daerah lainnya.
Pertanyaan pentingnya adalah mengapa daerah ramai-ramai menaikkan tarif PBB? Nah, dalam konteks ini kita bisa kembali kepada masalah kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat tadi.
Daerah-daerah pada akhirnya harus menaikkan tarif pajak untuk objek-objek pajak yang masuk ke dalam ranah “hak” pemerintah daerah, salah satunya adalah Pajak Bumi dan Bagunan (PBB).
Penyebab kedua adalah konstelasi hubungan keuangan pusat dan daerah yang selama ini sama sekali tidak menggambarkan status daerah sebagai daerah otonom.
Kebijakan otonomi daerah selama ini hanya berlangsung di ranah politik dan administratif, tidak pada ranah fiskal.
Jadi meskipun dipilih secara demokratis di daerah, setelah terpilih kepala daerah tetap tidak memiliki keleluasaan atas keberlangsungan pemerintahan di daerah dan keberlanjutan pembangunan di daerahnya, jika kepastian pembiayaan dari pusat tidak ada.
Sehingga risikonya, setelah kepala daerah terpilih dilantik menjadi kepala daerah resmi, untuk urusan pendapatan dan belanja daerah, mereka harus lebih sering berurusan dengan para pihak yang ada di Jakarta ketimbang di daerah.
Tak pelak, relasi tak sehat pun terbentuk antara kepala daerah dengan wakil-wakil daerah yang ada di Senayan di satu sisi dan Kementerian Bappenas, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri di sisi lain, untuk memastikan bahwa R-APBD yang telah disepakti di daerah diberi lampu hijau oleh Jakarta.
Relasi keuangan pusat dan daerah semacam ini sangat tidak sehat dan kurang produktif. Dikatakan tidak sehat karena daerah-daerah menjadi sangat bergantung kepada pusat, terutama untuk mendapatkan proyek-proyek infrastruktur nasional di daerah.
Relasi ini, diakui atau tidak, memberikan diskresi kepada pusat untuk menghukum daerah secara fiskal, jika daerah tidak sejalan dengan pemerintahan pusat di ranah politik.
Di era Jokowi, misalnya, bahkan beberapa daerah yang tidak masuk kategori sebagai “daerah pemilih Jokowi”, mengalami pemangkasan anggaran yang cukup signifikan atau menjadi korban politik fiskal pemerintah pusat.
Dan dikatakan tidak produktif karena daerah-daerah merasa tidak memiliki insentif untuk membangun daerahnya akibat perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang kurang adil.
Di China, misalnya, sekalipun dikenal secara politik sebagai negara komunis, tapi dalam praktik relasi fiskal pusat dan daerah, China masuk ke dalam negara yang paling desentralistis di dunia.
Daerah-daerah mendapatkan bagian dari pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh), yang dibagi secara proporsional antara pemerintahan pusat, provinsi, kabupaten, kota, dan perfektur.
Dengan konstelasi hubungan fiskal seperti di China, daerah-daerah menjadi sangat termotivasi untuk membangun daerahnya dengan cara mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan mendorong seluas-luasnya pembukaan lapangan pekerjaan baru.
Pasalnya, setiap kenaikan produktifitas di daerah (karena produksi dari investasi baru), akan ada pendapatan tambahan dari pembagian PPN (Pajak Pertambahan Nilai) untuk daerah.
Di sisi lain, kenaikan produktifitas tersebut akan berjalan simetris dengan pertambahan lapangan pekerjaan baru, di mana daerah pun kembali akan mendapatkan bagian pajak dari pajak pendapatan atas lapangan pekerjaan baru yang terbentuk.
Dalam banyak kajian tentang ekonomi di China, relasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah yang demikian ternyata terbukti menjadi salah satu sebab mengapa para kepala daerah sangat bersemangat untuk memajukan daerahnya dengan mendatangkan sebanyak-banyaknya investasi baru dan membuka selebar-lebarnya lapangan kerja baru di daerah, selain karena faktor prospek karier politik di dalam Partai Komunis China bagi kepala daerah yang berhasil membangun daerahnya.
Dan secara nasional, praktik semacam ini ikut berkontribusi secara signifikan kepada kemajuan yang sangat dinamis di China di dalam kurun waktu empat puluh tahun terakhir.
Sementara di Indonesia, konstelasi fiskal semacam itu masih menjadi mimpi “di siang bolong” hingga hari ini. Daerah-daerah sangat tergantung kepada pusat secara fiskal, sekalipun secara politik daerah-daerah dibiarkan berpesta pora atas nama demokrasi semu.
Pola ini kemudian secara politik memunculkan kesan bahwa pemimpin daerah yang berhasil adalah pemimpin yang bisa membawa sebanyak-banyaknya anggaran dari pusat ke daerah dalam berbagai bentuk, mulai dari pembesaran anggaran untuk APBD, penetapan daerah sebagai lokasi proyek strategis nasional, sampai pada penggiringan investasi BUMN ke daerah di berbagai sektor.
Semuanya, lagi-lagi, sayangnya terkait dengan “kuasa” yang ada di Jakarta, bukan di daerah.
Dan terakhir, masalah ketiga, adalah rendahnya moralitas politik dan sensitifitas sosial kepemimpinan baru di daerah.
Akibat sumbatan keuangan dari pusat, baik karena konstelasi fiskal antara pusat dan daerah maupun karena kebijakan efisiensi nasional, kepala-kepala daerah justru mengembalikan bebannya kepada rakyat di daerah dengan menaikkan berbagai jenis pajak yang menjadi hak daerah.
Padahal, sudah menjadi rahasia umum bahwa keadaan ekonomi masyarakat sedang tidak baik-baik saja sejak dua tahun terakhir.
Sikap beberapa kepala daerah ini mirip dengan sikap “para kapitalis” nasional di saat pajak barang dan jasa naik. Seketika harga barang dan jasa dinaikkan oleh produsennya alias dibebankan kembali kepada konsumen.
Pemerintah pusat boleh saja berharap, atau tepatnya bermimpi, bahwa pemerintahan daerah akan berkreasi secara fiskal saat kebijakan efisiensi diberlakukan di awal tahun.
Namun untuk Indonesia, harapan dan mimpi itu terlalu muluk. Bagi daerah yang takut kepada rakyatnya atau khawatir ditegur oleh pusat, kebijakan efisiensi ditanggapi dengan “aksi kembali ke rutinitas” di mana anggaran untuk pembangunan dipangkas sedemikian rupa, sementara anggaran rutin semakin membesar.
Walhasil, pemerintah daerah hanya berjalan berdasarkan rutinitas yang sudah berlangsung selama ini. Tak ada pembangunan berarti, pun tak ada investasi baru yang diperjuangkan karena tidak ada anggaran untuk memperjuangkannya. Ujung-ujungnya juga “nol” alias “nihil”.
Sementara bagi kepala daerah yang merasa terlalu banyak “utang” yang harus dibayar dengan berbagai macam proyek daerah yang dibiayai dari APBD, mau tak mau sumber pendapatan baru harus diraih, agar beberapa “proyek” atau “rencana” yang telah disepakati dengan “pihak ketiga” semasa Pilkada tetap bisa dibiayai di tahun depan.
Jika PAD meningkat, plus realisasi belanja di tahun ini bisa maksimum, maka di tahun depan ajuan APBD yang akan disepakati oleh pusat dipastikan juga akan membesar. Bagi kepala daerah semacam ini, rakyat tak berada pada barisan prioritas.
Jika rakyat masih bisa dibebani dengan kenaikan pajak-pajak daerah demi ambisi fiskal kepala daerah terpilih, maka tanpa malu dan ragu, rakyat di daerah akan terus dibebani.
Namun, yang lupa dimasukkan ke dalam ekuasi politik fiskal kepala daerah jenis ini adalah bahwa potensi resistensi dan perlawanan dari rakyat daerah bisa meledak secara tak terduga.
Dan itulah yang terjadi di Pati, mungkin juga nanti di Cirebon atau Jombang, jika kepala daerahnya tak segera merevisi aturan kenaikan PBB di daerahnya.
Boleh jadi kali ini kepala-kepala daerah ini akan selamat secara politik, setidaknya sampai 2029. Namun sejatinya, dukungan sebenarnya sudah hilang.
“
If you once forfeit the confidence of your fellow citizen, you can never regain their respect and esteem
,” kata Abraham Lincoln di tahun 1854.
Sekali rakyat merasa benar-benar telah tersakiti, jangan harap kepercayaan itu akan kembali seperti semula.
Dan dalam hemat saya, pernyataan Lincoln ini harus menjadi catatan untuk semua pemimpin di Indonesia, tidak hanya kepala daerah, tapi juga Presiden Prabowo Subianto, bahkan Jokowi sekalipun, yang bayang-bayangnya masih menghantui ruang publik kita sampai hari ini. Semoga!
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: SULAWESI SELATAN
-

Bantu Warga yang Jatuh di Got, Polisi Sulsel Malah Dikeroyok 7 Pemuda Mabuk
Parepare –
Seorang polisi berinisial AH (29) di Kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel), dikeroyok oleh tujuh pemuda mabuk. Pengeroyokan itu terjadi saat korban hendak menolong warga yang terjatuh ke got.
“7 pelaku pria dalam pengaruh miras melakukan penganiayaan bersama-sama kepada anggota Resmob Polres,” kata Kasat Reskrim Polres Parepare AKP Muh Agus Purwanto dilansir detikSulsel, Jumat (15/8/2025).
Pengeroyokan itu terjadi di Jalan Bau Massepe, Kelurahan Labukkang, Kecamatan Ujung, Minggu (10/8) sekitar pukul 04.30 Wita. Ketujuh pelaku berinisial RS (18), MS (18), AY (22), HR (20), FA (19), MN (20) dan MJ (21).
Korban awalnya melihat ada seseorang yang jatuh ke got lalu menghampirinya. Korban berniat membantu orang tersebut karena menduga korban kecelakaan.
“Korban melihat ada orang jatuh masuk got lalu menghampiri dengan niat membantu. Lalu pelapor bertanya ke salah satu pelaku penyebab orang itu jatuh ke got,” bebernya.
“Korban menjelaskan dirinya bahwa sebagai anggota Polri, namun pelaku berteman tidak menghiraukan. Kemudian pelaku menganiaya korban,” jelasnya.
(ygs/ygs)
-

Pemkab Maros-Kemenkop lakukan pelatihan digitalisasi bagi UMKM
Makassar (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten Maros bersama Kementerian Koperasi (Kemenkop) dan UKM RI dan mitra melakukan pelatihan literasi finansial dan strategi pemasaran online dengan pemanfaatan teknologi digital.
“Kegiatan yang bertajuk ‘Kelas Tunai Teman UMKM Naik Omset’ menyasar puluhan pelaku UMKM di Kabupaten Maros agar dapat naik kelas,” kata Kadis Koperasi, Perindustrian dan Perdagangan Maros Andi Syam Shopian di Maros, Kamis.
Dia mengatakan, kegiatan ini sebagai salah satu upaya pemerintah Kabupaten Maros mendorong pelaku UMKM untuk memanfaatkan teknologi digital dalam memperluas pasar dan meningkatkan omset.
Menurut dia, digitalisasi dan literasi keuangan menjadi kunci agar UMKM mampu bersaing hingga pasar nasional dan internasional.
Melalui program ini lanjut dia diharapkan memperkuat kapasitas usaha mikro, termasuk mempermudah akses pasar serta menciptakan ekosistem UMKM yang berkelanjutan.
Karena itu, dengan bersinergi antara pemerintah daerah, Kementerian, sektor perbankan dan platform e-commerce, UMKM Maros diharapkan mampu naik kelas dan menjadi penggerak ekonomi daerah.
“UMKM harus beradaptasi dengan kondisi kekinian, karena digitalisasi bukan sekedar trend, tetapi kebutuhan yang akan menentukan keberlangsungan usaha di masa depan,” kata Andi Syam.
Salah seorang pelaku UMKM Siti Aminah mengatakan sangat termotivasi untuk memasarkan produknya melalui daring.
Karena itu, kehadirannya untuk mengetahui pemasaran secara digital maupun literasi keuangan akan menjadi bekal untuk usahanya ke depan.
Sementara itu, Asisten Deputi pemasaran dan digitalisasi Kementerian Koperasi dan UKM RI, Imam Sujarwo mengatakan, perkembangan teknologi adalah peluang besar bagi UMKM untuk memperluas pasar, termasuk mempercepat transaksi dan meningkatkan efisiensi usaha.
“UMKM Maros harus berani beradaptasi dengan teknologi dan mengetahui literasi finansial yang baik, juga pemanfaatan marketplace untuk menjangkau pasar lokal nasional bahkan internasional,” jelasnya.
Pewarta: Suriani Mappong
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Tidur di Sekolah Tua, Konsep Liburan yang Selamatkan Pinggiran Jepang
Jakarta –
Saat makin banyak penduduk Jepang pindah ke kota-kota besar, sekitar 450 sekolah di daerah pinggiran terpaksa tutup setiap tahun. Kini, sebagian sekolah itu disulap menjadi tempat penginapan yang unik.
Matahari pagi menyelinap masuk melalui jendela-jendela yang tinggi, menyirami barisan meja yang dulu menjadi tempat siswa belajar menulis kanji.
Namun kini, ruang kelas itu tak dipenuhi murid, melainkan pelancong yang mencari relaksasi mendalam dan menyatu dengan budaya pinggiran Jepang.
Ini adalah Hare to Ke, bekas bangunan sekolah dasar yang berubah menjadi tempat penginapan di pegunungan Miyoshi di Shikoku, pulau terkecil dari empat pulau utama di Jepang.
Hare to Ke berdiri di bekas Sekolah Dasar Deai yang tutup pada 2005 silam setelah jumlah siswa mereka turun drastis hingga tersisa lima orang.
Menurut koran lokal, di masa jayanya pada 1945, sekolah itu menampung lebih dari 500 siswa.
Namun, layaknya sekolah daerah pinggiran lainnya di Jepang, Sekolah Dasar Deai juga perlahan kosong seiring dengan bertambahnya keluarga yang pindah ke kota.
Hare to KeDi masa jayanya pada 1945, Sekolah Dasar Deai menampung lebih dari 500 siswa.
Kini, populasi di Miyoshi merosot dari puncaknya di angka 77.779 pada 1955, menjadi hanya sekitar 20 ribu. Dari populasi itu, 40% di antaranya sudah berusia 65 tahun ke atas.
Berpuluh tahun setelah peningkatan ekonomi di Jepang pascaperang, memang terjadi penurunan industri lokal dan populasi muda di Miyoshi. Akibatnya, banyak infrastruktur terbengkalai.
Pada 2012, di Miyoshi ada 28 sekolah tak terpakai. Para pejabat lokal pun mulai membuat berbagai proposal untuk mengalihfungsikan gedung-gedung itu.
Hingga akhirnya, desainer asal Tokyo, Shuko Uemoto, punya ide. Ia pertama kali datang ke Miyoshi pada 2014 bersama putranya yang waktu itu masih berusia dua tahun. Saat itu, Uemoto terpukau dengan keindahan tempat sunyi tersebut.
“Air dan udaranya sangat berbeda. Saat kami menginap di sini untuk pertama kalinya, gejala asma anak saya hilang. Momen itu tak pernah saya lupakan,” katanya kepada BBC.
“Saya ingat saat itu saya berpikir, jika anak saya tumbuh dikelilingi alam yang seperti ini, akan jadi seperti apa anak saya? Saya jadi sangat bersemangat ketika memikirkan itu.”
Saat ia mengetahui seruan merevitalisasi Miyoshi, Uemoto sempat beberapa kali datang ke daerah itu. Ia melihat beberapa gedung pusat pendidikan yang kosong.
Saat melangkahkan kaki ke halaman Sekolah Dasar Deai, Uemoto seperti menemukan sesuatu yang spesial.
“Suara sungai, sinar matahari, keheningan, semuanya terasa seperti potensi yang baik,” tutur Uemoto.
Ia akhirnya pindah dari Tokyo, lantas mengajukan rencana bisnis selama tiga tahun. Uemoto pun membuka Hare to Kare dengan bantuan dari beberapa pejabat dan warga lokal.
AlamyUemoto terinspirasi membuat Hare to Ke ketika pertama kali datang ke Miyoshi pada 2014.
“Sekolah ini sudah menjadi simbol lokal, tapi selama ini tak terlihat karena tertutup dari masyarakat. Kini, tempat ini kembali bercahaya, dan orang mulai punya rasa memiliki gedung ini kembali,” ucap Yuko Oka, pejabat dari Divisi Revitalisasi Regional Miyoshi.
“Ketika orang dari luar, tertarik ke sini, masyarakat mulai percaya diri. Itu adalah pencapaian terbesar menurut saya.”
Saat ini, sudah ada 13 bekas sekolah di Miyoshi yang disulap meniadi kafe, kantor satelit, dan penginapan seperti Hare to Kare.
Namun, apakah itu semua sudah cukup untuk mengatasi krisis yang dihadapi daerah pinggiran di Jepang?
Secara keseluruhan, saat ini Jepang menghadapi masalah besar karena populasi mereka kian tua, sementara tingkat kelahiran kecil. Mereka diperkirakan kehilangan hampir 900 ribu penduduk tiap tahun.
Menurut perkiraan, lebih dari 40% kawasan di Jepang nantinya tak akan ada lagi.
Karena generasi muda lebih memilih tinggal di kota, sekitar 450 sekolah daerah pinggiran tutup tiap tahun, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains, dan Teknologi (MEXT) Jepang.
Untuk merevitalisasi daerah-daerah yang kekurangan populasi itu, banyak bangunan kosong di daerah pinggiran kini diubah menjadi berbagai fasilitas lain.
Di Hare to Ke, tamu tak hanya bisa merasakan sensasi tidur di ruang kelas, tapi juga menyatu kembali dengan alam dan diri sendiri. Mereka bisa istirahat dan relaksasi di sana.
Hare to Ke terinspirasi dari konsep waktu tradisional Jepang. “Hare” berarti perayaan khusus atau festival, sementara “ke” merujuk pada kehidupan yang biasa-biasa saja.
Dulu, hingar bingar festival dan kehidupan yang biasa-biasa saja hadir secara seimbang. Namun, setelah pertumbuhan ekonomi di Jepang pascaperang, banyak yang meyakini perbedaan “hare” dan “ke” semakin tipis.
Masalahnya, di kehidupan modern ini, hari biasa-biasa saja kerap kali diisi “kehebohan”.
Hare to KeHotel ini membuat para tamu terhubung kembali dengan alam.
Hare to Ke mengajak tamu untuk menemukan kembali ritme kehidupan zaman dulu melalui kesederhanaan dan keheningan.
Pengunjung disambut aroma kopi yang baru saja diseduh. Mereka juga bisa menyeruput teh herbal, beristirahat diiringi suara gesekan dedaunan di pohon, kemudian bangun dengan menghirup udara pegunungan.
Seorang tamu bernama Chill Kouri mengaku tak percaya ketika melihat perubahan bangunan itu saat pertama kali datang.
“Perjalanan menuju pegunungan ini sangat berkelok dan sempit, tapi ketika kami sampai, saya terkesima. Suasananya sangat membangkitkan nostalgia, tapi juga segar, dan semua yang ditinggalkan dari gedung sekolah tua itu dirawat dengan baik,” katanya.
“Ini bukan sekadar renovasi. Ini adalah tempat di mana keseluruhan konsepnya terasa hidup.”
Terinspirasi dari suasana pedesaan, hotel itu baru saja meluncurkan program spesial yang berfokus pada peningkatan kualitas tidur pulas.
Tamu ditanya mengenai apa saja yang biasanya mengganggu tidur mereka. Kemudian mereka disuguhkan teh herbal racikan khusus.
Pengalaman yang menggabungkan aromaterapi dengan wewangian dan suara yang menenangkan membuat para tamu memperoleh istirahat yang ideal menggunakan pancaindra mereka.
Gagasan ini sebenarnya datang setelah Umemoto pindah ke Miyoshi dan menyadari betapa dia dapat tidur dengan sangat pulas.
“Saya tidak menyangka bisa merasakan perbedaan yang begitu besar, tapi udara dan ketenangan di sini membuat saya bisa beristirahat lebih dalam setelah bertahun-tahun,” ucap Umemoto.
Menyadari penduduk kota sangat jarang mendapatkan keheningan atau kegelapan yang alami, Umemoto melihat kesempatan untuk menciptakan “Tamasya Tidur” ini.
Hare to KeDi Hare to Ke, para tamu tidur di bekas ruang kelas.
“Banyak orang susah tidur ketika bepergian. Namun, jika kalian tidur sangat pulas, walau hanya semalam, itu bisa mengubah keseluruhan perjalanan kalian,” ujarnya.
“Saya ingin tamu merasakan itu. Dikelilingi udara pegunungan, lolongan rusa yang hanya bisa kalian dengan ketika menginap, kehangatan sauna. Saya harap orang-orang dapat benar-benar santai di sini.”
Selama lebih dari 400 tahun, penduduk di sekitar kawasan Nishi-Awa sudah mengelola sawah terasering dengan kemiringan hingga 40 derajat, melestarikan praktik pertanian dan kebudayaan masyarakat di pegunungan ini.
Tamu yang membeli pilihan Tamasya Tidur akan disuguhkan santap malam dengan beras yang dipanen dari sawah-sawah itu, juga sayuran dan daging hasil buruan warga lokal.
Desain Hare to Ke melestarikan kehangatan dan pesona sekolah masa lalu. Di sepanjang koridor menuju pintu masuk, masih terpampang mural kelulusan yang digambar para siswa di masa lalu.
Di ruang-ruang kelas juga masih ada gambar tabel hingga papan tulis yang membawa nostalgia. Di luar, para warga lokal yang dulu pernah sekolah di gedung itu masih sering berkumpul di lapangan gedung itu.
Salah satu tempat populer di sekolah itu adalah sauna, yang kini menjadi destinasi spesial.
“Kalian bisa menghirup aroma rempah sembari menatap hutan melalui jendela,” kata salah satu tamu, Mari Azumi.
“Dinding ruangan sauna itu terbuat dari kayu aras yang hangat, dan kalian bisa melihat pemandangan pegunungan yang sunyi itu di depan kalian. Setelah badan panas, kalian bisa langsung masuk kolam air dingin berisi air dari pegununganbersih dan menyegarkan.”
Hare to KeTamu bisa melihat pemandangan pegunungan dari kamar.
“Kemudian, kalian bisa beristirahat di ruang terbuka. Kalian berbaring di antara pepohonan. Di keheningan itu, kalian mulai merasakan diri kalian menyatu dengan alam.”
“Sangat luar biasa, seperti tidak familier, tapi membawa nostalgia. Seperti kembali ke tempat yang sudah lama terlupakan. Seperti kembali ke alam.”
Menurut Koji Kamizasa dari dinas pariwisata Miyoshi, “Hare to Ke merupakan bagian dari kisah yang lebih luas, di mana daerah pinggiran Jepang merebut kembali masa depannya, bukan melalui pariwisata mewah, tapi dengan menciptakan keintiman, pengalaman yang sederhana dan sangat lokal.”
Contohnya, penginapan itu menawarkan kelas memasak musiman, di mana penduduk setempat mengajarkan para tamu menyiapkan makanan dengan bahan-bahan yang ditanam langsung di daerah itu.
Selain itu, setiap pekan kedua tiap bulan, Miyoshi menggelar pasar malam. Di sana, penduduk tak hanya menjual makanan, tapi juga mengajarkan para pengunjung mengenai Awa Odori, tari tradisional Tokushima.
Para tamu yang tertarik dengan sejarah tempat ini juga tak boleh melewatkan Festival Musim Panas Gunung Tsurugi yang diadakan tiap tahun. Festival itu merupakan ritual suci yang diyakini sudah ada sejak lebih dari 900 tahun lalu.
Berlokasi di puncak gunung setinggi 1.955 meter, festival itu mencakup prosesi dramatis; para penduduk yang mengenakan jubah putih menggotong kuil portabel alias mikoshi menaiki jalan setapak gunung yang curam.
Nyanyian mereka menggema di tengah hutan, diiringi suara flute dan drum.
Ketika Miyoshi terus mengalami masalah pengurangan populasi, acara-acara yang menarik perhatian pendatang seperti ini tak hanya bisa melestarikan identitas budaya mereka, tapi juga memperkenalkan tradisi kawasan itu yang tak pernah mati.
Tempat-tempat wisata di sekitar daerah itu, seperti Iya Valley dan jembatan Kazura yang terkenal juga bisa menarik perhatian para pencinta alam.
Banyak pelancong yang berkunjung ke lokasi-lokasi itu menginap di Hare to Ke, yang kemudian menjadi markas untuk refleksi dan petualangan mereka.
Getty ImagesJembatan Kazura di dekat Hare to Ke.
Bagi masyarakat sekitar, Hare to Ke lebih dari sekadar tempat menginap. Hare to Kare juga menjadi tempat kenangan lama muncul kembali, dan kenangan baru diciptakan.
“Satu hari, seorang perempuan berusia 80-an tahun datang bersama keponakannnya. Dia membuka album kelulusan zaman dulu dan menunjuk foto dirinya sewaktu masih muda sembari berkata, ‘Itu saya!’ Dia sangat senang,” kenang Uemoto.
“Bahkan mantan kepala sekolah juga pernah berkunjung lagi. Sekolah ini bukan hanya bangunan. Sekolah ini menyimpan kisah orang-orang.”
“Itulah mengapa merenovasi tempat ini merupakan tanggung jawab besar. Namun, saya senang, kami menciptakan tempat yang bisa mereka datangi kembali,” katanya.
—
Jika Anda menyukai artikel ini, daftarkan diri Anda di buletin The Essential List Akan ada artikel dan video pilihan terbaik, serta berita penting yang dikirimkan ke kotak masuk Anda dua kali seminggu.
Untuk lebih banyak cerita perjalanan dari BBC, ikuti kami di Facebook, X, dan Instagram.
Tonton juga video “Warga di Parepare Temukan Bunker Diduga Peninggalan Jepang Saat Gali Bukit” di sini:
(ita/ita)
/data/photo/2025/08/13/689c5c3683feb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)





