OTT Gubernur Riau, Marwah Melayu, dan Jalan Kebudayaan Melawan Korupsi
Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
LAGI
dan lagi, pejabat daerah ditangkap karena korupsi. Kali ini, publik dikejutkan tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.
Mengikuti pendahulunya, Saleh Djasit, Rusli Zainal, dan Annas Maamun, Wahid menorehkan namanya dalam rapor merah Gubernur Riau sejak era otonomi daerah yang berhadapan dengan hukum akibat kasus rasuah.
Sebagai orang yang pernah tinggal lama dan tumbuh berkembang di daerah itu, penulis merasa malu dengan rentetan praktik korupsi yang tak kunjung hilang.
Provinsi yang dikenal kaya minyak itu kembali menjadi sorotan nasional. Bukan karena prestasi pembangunan, melainkan karena keberhasilannya mempertahankan reputasi sebagai daerah dengan kepala daerah terbanyak yang ditangkap KPK.
Prestasi ini melampaui Sumatea Utara yang sebelumnya bersaing ketat dalam urusan “maling uang rakyat”.
Khusus untuk daerah Riau, praktik ini bukan hanya domain tingkat provinsi. Di kabupaten dan kota, cerita serupa berulang: belasan atau bahkan lebih dari dua puluh bupati, wali kota, dan wakilnya di Riau terseret kasus korupsi sejak otonomi daerah diberlakukan.
Korupsi di Indonesia bukan hal alamiah. Ia tumbuh sebagai bagian dari struktur kekuasaan yang panjang dan berlapis.
Pada masa kolonial Belanda, praktik
culturstelsel
dan sistem pajak tanah melahirkan lapisan pejabat pribumi yang disebut pangreh praja (projo). Mereka diberi kewenangan untuk menarik pajak dan mengatur rakyat, tetapi minim pengawasan.
Di banyak catatan kolonial, penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat lokal dianggap biasa, bahkan dilegalkan sepanjang setoran ke pusat tetap mengalir. Inilah akar awal dari relasi kekuasaan dan rente yang terus membekas hingga era negara modern.
Pasca-kemerdekaan, Presiden Soekarno memang menolak praktik korupsi. Dalam pidatonya, Soekarno bahkan mengakui adanya “mental korupsi”.
Namun, lemahnya institusi dan konflik politik menjadikan praktik tersebut terbiarkan, terlebih lagi para penyintas dapat juga membantu eksistensi kekuasannya.
Korupsi mencapai tingkat paling sistematik ketika Soeharto berkuasa selama lebih dari tiga dekade.
Orde Baru menciptakan apa yang disebut Richard Robison dan Vedi Hadiz (2004) sebagai
state corporatism
, yakni negara yang bekerja sama dengan perusahaan dan militer untuk menguasai sumber daya ekonomi. Korupsi dalam rezim ini bersifat tersentralisasi.
Soeharto dan keluarganya mengendalikan konsesi hutan, migas, hingga monopoli perdagangan melalui kroni-kroni dekatnya dan kaum konglomerat.
Birokrasi dan aparat daerah ikut menikmati remah kekuasaan itu melalui sistem setoran vertikal. Korupsi menjadi hierarkis: ada tarif untuk mengamankan jabatan camat, bupati, gubernur hingga menteri; semua berjalan dalam logika patron-klien.
Samuel P. Huntington dalam
Political Order in Changing Societies
(1968) mengingatkan bahwa korupsi sering kali bukan sekadar degradasi moral, tetapi tanda bahwa lembaga politik tidak berkembang secepat mobilisasi sosial.
Indonesia kala itu mengalami gejala itu: modernisasi ekonomi berjalan cepat, tetapi institusi pengawasan tetap lemah dan personalistik.
Pada 1998, Orde Baru runtuh. Publik berharap reformasi akan memutus mata rantai kekuasaan dan korupsi.
Salah satu jawaban politis terhadap krisis legitimasi adalah mengubah struktur negara dari sentralistik menjadi desentralistik.
Maka lahirlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Semangatnya sederhana: kekuasaan dan anggaran harus turun ke daerah agar kesejahteraan lebih merata, dan rakyat lebih dekat dengan penguasa sehingga lebih mudah mengawasi.
Namun, harapan itu berbelok arah. Kekuasaan memang diturunkan, tetapi tidak disertai pengawasan yang kuat.
Bupati, wali kota, dan gubernur diberi kewenangan mengelola Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan perizinan investasi, tetapi mekanisme etik, hukum, dan politik lokal belum siap mengawasi. Desentralisasi membentuk apa yang disebut banyak ilmuwan sebagai “raja-raja kecil”.
Namun, desentralisasi itu melahirkan ironi. Kekuasaan memang berpindah, tetapi pengawasan tidak ikut menguat.
Banyak kepala daerah justru berubah menjadi raja kecil (
little kings
). Fenomena ini dikaji tajam oleh Vedi R. Hadiz dalam bukunya
Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia
(2010).
Hadiz menyimpulkan bahwa desentralisasi tidak membongkar oligarki Orde Baru; ia hanya “memindahkannya” dari Jakarta ke daerah-daerah.
Oligarki lama menemukan wajah baru: gubernur, bupati, wali kota, DPRD, dan jaringan bisnis lokal. Korupsi tidak menghilang, hanya berganti alamat.
Penelitian Edward Aspinall dan Mietzner (2010) menunjukkan bahwa biaya politik untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau gubernur meningkat drastis pascapilkada langsung yang dimulai tahun 2005 (UU No. 32/2004).
Untuk memenangkan pilkada, kandidat harus mengeluarkan puluhan hingga ratusan miliar rupiah. Setelah menang, mereka “memulihkan modal” lewat proyek APBD, pendapatan asli daerah, hingga jual beli jabatan.
Robert Klitgaard (1988), memberi rumus klasik korupsi:
corruption
=
monopoly
+
discretion
–
accountability
. Kepala daerah memiliki monopoli kewenangan atas anggaran dan perizinan, bebas menentukan keputusan (diskresi), dan minim pengawasan karena DPRD sering ikut bermain.
Nordholt dan Gerry van Klinken (2007) menyebut ini sebagai “demokrasi kriminal”, di mana pemilu berjalan, tetapi tujuannya bukan untuk menyejahterakan rakyat, melainkan untuk mengakses rente.
Otonomi daerah yang dulu diharapkan menjadi jalan keluar, justru melahirkan jalan buntu. Transparansi tidak tumbuh secepat kekuasaan. Demokrasi berjalan, tetapi substansinya kosong. Negara mengalami desentralisasi, tetapi korupsi juga ikut serta.
Perang melawan korupsi tidak dapat semata-mata mengandalkan operasi tangkap tangan. Tindakan hukum memang penting, tetapi ia hanya menyentuh permukaan persoalan.
Korupsi adalah penyakit struktural dan kultural sekaligus. Karena itu, melawannya membutuhkan dua kekuatan: reformasi sistem politik, dan penguatan nilai budaya.
Di tanah Melayu nilai itu dikenal dengan istilah marwah. Budayawan Melayu asal Riau, Tenas Effendy (1994) mendefinisikan marwah sebagai “harga diri dan kehormatan yang tak boleh dijual, meski dengan emas segunung.”
Marwah bukan sekadar kebanggaan etnis, tetapi kesadaran moral, martabat, dan tanggung jawab sosial.
Dalam adat Melayu, kekuasaan bukan dipandang sebagai kepemilikan, melainkan amanah. Karena itu, pepatah lama menegaskan: “Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah.”
Pepatah ini tidak muncul dari ruang kosong, tetapi tercatat dalam naskah hukum Undang-Undang Melaka (abad ke-15, disusun kembali 1520-an) dan diwariskan melalui tambo dan hikayat kerajaan Melayu.
Sikap tersebut tercermin pula dalam literatur klasik seperti “Hikayat Hang Tuah” (ditulis sekitar abad ke-17, diterbitkan kembali oleh Kassim Ahmad, 1964).
Dalam hikayat itu, Hang Tuah — laksamana Melaka, bukan hanya simbol keberanian, tetapi perwujudan manusia Melayu yang menjunjung marwah, taat pada keadilan, bukan pada kekuasaan yang lalim.
Sumpahnya yang termasyhur, “Takkan Melayu hilang di bumi,” sering dipahami sekadar sebagai pernyataan kebangsaan. Padahal makna terdalamnya adalah: selama marwah dijaga, selama keadilan ditegakkan, orang Melayu tidak akan runtuh martabatnya.
Ungkapan lain mempertegas etos resistensi itu: “Saat layar terkembang, tak surut biduk ke pantai; esa hilang dua terbilang”. Ini menandakan keteguhan moral: jika perjuangan telah dimulai demi kebenaran, mundur adalah bentuk pengkhianatan.
Karena itu, budaya Melayu tidak pernah mengajarkan korupsi. Budaya ini mengajarkan wibawa dan rasa malu (malu kepada adat, malu kepada Tuhan, malu kepada anak cucu).
Korupsi adalah antitesis dari marwah. Seorang pejabat yang mencuri uang rakyat tidak hanya melanggar hukum negara, tetapi sekaligus mempermalukan adat dan mencoreng kehormatan leluhur.
Di masa lalu, menurut William R. Roff dalam “The Origins of Malay Nationalism” (1967), pemimpin dalam masyarakat Melayu dihormati bukan karena kekayaan atau jabatan, tetapi karena budi, amanah, dan takzim.
Kekuasaan yang tidak adil dianggap mencederai marwah, dan karenanya boleh dikritik, bahkan dilawan.
Maka pemberantasan korupsi di Riau dan tanah Melayu tidak bisa berhenti pada ranah hukum. Ia harus menjadi gerakan kebudayaan untuk memulihkan marwah.
Surau, balai adat, sekolah, kampus, dan ruang publik perlu menjadi tempat tumbuhnya kembali etika ini. Generasi muda Melayu harus mewarisi bukan hanya syair dan pantun, tetapi keberanian moral untuk mengatakan tidak terhadap kekuasaan yang mengkhianati rakyat.
Kasus Abdul Wahid hanyalah satu bab dalam cerita panjang relasi antara kekuasaan, uang, dan lemahnya tanggung jawab publik.
Namun, ia juga adalah alarm, menandakan bahwa otonomi daerah tanpa marwah hanya melahirkan tirani baru. Jika sistem politik tidak diperbaiki dan nilai budaya tidak dihidupkan kembali, maka sejarah akan terus berulang.
Namun, bila hukum ditegakkan, politik dibersihkan dari transaksi, dan budaya Melayu dikembalikan pada martabatnya, maka sumpah Hang Tuah akan menjadi nyata: Melayu tak akan hilang, juga tak akan tunduk pada korupsi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: rupiah
-

LSM Gencar Mengepul Bantuan untuk Tahanan Politik Rusia
Jakarta –
Julia, aktivis dengan nama yang disamarkan, pernah dipenjara sebagai tahanan politik di Rusia selama beberapa tahun. Tidak memiliki sanak saudara membuatnya tidak menerima apa pun dari luar penjara selama awal masa tahanannya.
“Pikirkan hal yang kita butuhkan setiap harinya seperti sikat gigi, pakaian, hingga makanan,” kata Julia. “Di penjara, hidup terus berjalan, tapi mereka tidak mendapat uang sama sekali.”
“Pada awalnya, saya bahkan memotong kuku dengan pisau cukur tua,” tambahnya. “Setelah beberapa saat, orang-orang di luar penjara entah bagaimana akhirnya mengetahui keadaan saya dan saya pun mulai menerima bantuan.”
Julia masih tinggal di Rusia. Saat ini, ia mengumpulkan kebutuhan pokok dan makanan untuk para tahanan politik di penjara. “Ada tahanan-tahanan yang dikenal banyak orang dan mereka menerima bantuan,” katanya. “Tapi saya menulis surat kepada tahanan yang tidak begitu dikenal.”
Dalam surat-suratnya, Julia menanyakan apa yang dibutuhkan para tahanan dan membuatkan daftar kebutuhan. “Sabun, tisu toilet, handuk, pakaian dalam,” katanya. “Kadang para tahanan tersebut mengatakan semuanya baik-baik saja dan menyarankan saya membantu mereka yang lebih membutuhkan.” Tapi ada juga surat lain yang menulis, “Ini bencana. Saya tidak punya apa pun. Tolong kirimkan sesuatu.”
Meskipun jumlah tahanan politik meningkat di Rusia, Julia mengatakan jumlah sumbangan justru menurun. “Itu karena harga-harga di Rusia semakin mahal,” ujarnya.
Menanggung biaya bantuan hukum
Keluarga tahanan politik kerap menggalang dana di media sosial. Biaya bantuan hukum jadi pengeluaran terbesar. Aktivis mengatakan, pengacara yang baik sangatlah menentukan.
Represi di Rusia tidak hanya menyiksa para tahanan politik tapi juga anggota keluarga mereka. Anak-anak tumbuh tanpa orang tua dan orang tua lanjut usia yang ditinggalkan lantas kehilangan dukungan.
Keluarga-keluarga ini menerima bantuan dari inisiatif You Are Not Alone (Kamu Tidak Sendiri) – yang melakukan penggalangan dana tahunan bagi tahanan politik di Rusia. Proyek ini dipimpin oleh mantan tahanan politik Ksenia Fadeyeva, yang sebelumnya merupakan koordinator kampanye Alexei Navalny di Siberia tengah, sebelum Navalny meninggal di penjara.
You Are Not Alone sering dicap oleh otoritas Rusia sebagai “organisasi tidak diinginkan,” hanya menerima sumbangan dari dalam Rusia.
“Keluarga tahanan politik kadang harus memilih antara mengirim paket ke penjara, membayar kegiatan anak mereka, atau membeli obat untuk orang tua mereka yang lanjut usia,” kata Fadeyeva.
Pada tahun 2024, proyek tersebut berhasil mengumpulkan 45 juta rubel Rusia (Rp 9,3 miliar). “Sekitar 80% permintaan yang kami terima adalah untuk pemberian paket atau untuk transfer uang ke otoritas penjara,” kata Fadeyeva. “Dengan begitu, para tahanan bisa menggunakan uang tersebut untuk membeli kebutuhan pokok dan makanan penting.”
Proyek ini menyalurkan 14,5 juta rubel (Rp 3 miliar) untuk mengirim paket ke tahanan, 7,7 juta rubel (Rp 1,5 miliar) untuk membantu keluarga mereka, dan 5,5 juta rubel (Rp1,1 miliar) untuk keperluan lain seperti evakuasi dari Rusia, dukungan bagi mereka yang menjadi tahanan rumah atau baru dibebaskan, serta melunasi utang para tahanan.
Pada tahun 2025, jumlah sumbangan rata-rata per tahanan turun dari 30.000 rubel (Rp 6,2 juta) menjadi 10.000 rubel (Rp 2 juta). “Tidak ada lagi dana yang tersisa,” kata penyelenggara proyek. Mereka meyakini penurunan ini disebabkan karena publik mulai lelah dengan tahanan politik.
“Negara yang bersikap tertutup”
Sebagian besar penggalangan dana berlangsung selama beberapa bulan, kata Elena Skvortsova, yang bekerja pada organisasi First Department kepada DW. Komunitas pengacara dan jurnalis ini mengaku sedang “berjuang melawan sikap tertutup negara” sembari mengumpulkan sumbangan. Skvortsova mengatakan keberhasilan penggalangan dana sering bergantung pada kisah para tahanan.
Contohnya kasus Polina Yevtushenko, yang menghadapi hukuman 22,5 tahun penjara karena mengecam perang Rusia di Ukraina, baik secara daring maupun dalam percakapan dengan orang yang dikenalnya. Laki-laki yang diajaknya berbincang soal perang Rusia lantas melaporkannya ke pihak berwenang. Penggalangan dana untuk Yevtushenko berhasil terkumpul hanya dalam beberapa jam.
“Ia seorang ibu muda, dan putrinya yang berusia enam tahun hanya bisa melihatnya lewat kaca pembatas saat berkunjung ke penjara,” kata Skvortsova. “Kemungkinan ia akan mendapat hukuman yang panjang. Ia ditangkap setelah dilaporkan seseorang. Kisah-kisah seperti inilah yang menggerakkan orang -orang untuk berdonasi.”
Jika tahanan politik laki-laki hanya diizinkan menerima enam paket per tahun, lain halnya dengan tahanan perempuan. “Kemarin, misalnya, saya memesan paket dari toko daring yang disediakan otoritas penjara untuk seorang perempuan muda di penjara Vologda. Saat ia tiba di sana, bahkan produk kebersihan dasar pun ia tidak punya,” ujar Skvortsova. “Paket pertama biasanya seharga sekitar 5.000 rubel (satu juta rupiah).”
Donasi hanya boleh bersumber dari dalam negeri, kata pekerja di proyek Zaodno. Proyek yang dibentuk khusus untuk mengumpulkan dana bagi tahanan politik. Uang dari luar negeri dapat menyebabkan akun penerima dibekukan untuk pemantauan dan mencegah mereka menerima donasi lanjutan.
Didirikan pada 2011, OVD-Info, salah satu organisasi HAM terbesar di Rusia, mengumpulkan sumbangan dalam bentuk mata uang kripto. Hanya sedikit organisasi bantuan yang melakukan hal ini.
OVD-Info menyimpan donasi kripto ini untuk keadaan darurat. “Jika sesuatu terjadi pada proyek, seperti yang pernah terjadi sebelumnya, dan kami tiba-tiba tidak bisa menerima donasi atau kehilangan semua donor reguler, maka donasi kripto akan membantu kami dan para tahanan,” tulis pernyataan proyek tersebut.
Menyebarkan informasi
Publik biasanya mengetahui tentang tahanan politik melalui keluarga, teman,aktivis HAM, dan jurnalis.
Denis Shedov, yang bekerja di OVD-Info, mengatakan bahwa menyebarkan informasi bukanlah hal mudah. “Masalahnya, orang seringkali tidak tahu harus menghubungi siapa,” katanya. “Dari mulut ke mulut, pencarian di internet, observasi pribadi, dan jaringan kontak kami sering kali membantu.” Shedoy menambahkan, beberapa tahanan lebih memilih menyelesaikan masalah sendiri dan tidak ingin diketahui publik.
Mengumpulkan donasi untuk tahanan politik semakin sulit karena banyak keluarga dan pengacara yang ingin tetap anonim, bahkan saat menghubungi para aktivis, kata Skvortsova.
“Banyak tahanan takut akan perhatian publik, mereka tidak ingin disorot,” ujarnya. “Namun mereka tetap membutuhkan bantuan. Tentu saja kami berusaha mendukung mereka, tapi prosesnya lambat. Dalam kasus seperti ini, butuh lebih dari enam bulan untuk mengumpulkan 100.000 rubel (Rp 20 juta).”
Fadeyeva dari You Are Not Alone mengatakan bahwa saat ini terdapat sekitar 1.500 tahanan politik di Rusia yang sangat membutuhkan bantuan. “Kondisi di penjara semakin memburuk,” tegasnya, “Orang-orang terus ditempatkan di sel penjara tanpa menerima perawatan medis yang memadai.”
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Rusia
Diadaptasi oleh Sorta Caroline
Editor: Yuniman Farid
Tonton juga Video: Protes Warga Dunia Buntut Israel Cegat Kapal Bantuan ke Gaza
(ita/ita)
-

Tamsil Linrung Ajak Menkeu Purbaya Supervisi Kemandirian Fiskal Daerah
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua DPD RI, Tamsil Linrung mengajak Kementerian Keuangan memperkuat arah kebijakan fiskal nasional agar lebih produktif dan berorientasi pada kemandirian daerah.
Dalam Rapat Kerja Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Tamsil menegaskan bahwa arsitektur APBN harus mencerminkan keseimbangan antara moral kekuasaan dan keberlanjutan ekonomi rakyat.
“Arsitektur APBN adalah cerminan moral kekuasaan. Saya mengapresiasi gebrakan revolusioner Pak Purbaya yang sejalan dengan semangat Asta Cita Presiden Prabowo, memperbesar keberpihakan anggaran ke daerah yang langsung ke rakyat dan menggerakkan produktivitas nasional,” ujar Tamsil di Kompleks DPD RI, Senin (3/11).
Tamsil menilai arah kebijakan fiskal Menkeu Purbaya sudah berada di jalur yang benar. Namun, efektivitasnya bergantung pada kemampuan daerah memanfaatkan ruang fiskal yang ada.
Karena itu, diperlukan supervisi kebijakan untuk mendorong kemandirian fiskal, agar desentralisasi keuangan benar-benar menghasilkan kreativitas dan produktivitas, bukan ketergantungan.
“Sebagai perwakilan daerah, kami merasakan denyut kehidupan di lapangan yang sering kali tidak terjangkau oleh pusat. Daerah memerlukan bimbingan, bukan sekadar transfer. Diperlukan supervisi yang konstruktif bagi kemandirian fiskal daerah, agar setiap rupiah menghidupkan ekonomi rakyat, bukan hanya menutup beban administratif,” tegasnya.
Tamsil juga menekankan pentingnya memperkuat inovasi pembiayaan pembangunan daerah melalui skema pembiayaan publik, sehingga dapat menstimulasi pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik secara mandiri dan akuntabel.
-

Mobil Terguling di Depan Kodim Pacitan, Diduga Sopir Mengantuk
Pacitan (Beritajatim.com) – Sebuah mobil Mitsubishi berwarna putih dengan nomor polisi L 1423 BAA mengalami kecelakaan tunggal di Jalan Letjen R. Suprapto, Lingkungan Barak, Kelurahan Sidoharjo, Pacitan, Senin (3/11/2025) sekitar pukul 10.30 WIB.
Mobil yang dikemudikan Sudjarwo (70), warga Kelurahan Sidoharjo, itu terguling setelah menabrak taman pembatas jalan di depan Kodim 0801 Pacitan.
Kasi Humas Polres Pacitan Aiptu Thomas Alim Suheny membenarkan kejadian tersebut. “Diduga pengemudi dalam kondisi mengantuk sehingga hilang kendali saat melintas di depan Kodim,” ujarnya.
Beruntung, tidak ada korban jiwa dalam insiden ini. Tiga orang di dalam kendaraan, yakni pengemudi Sudjarwo, serta dua penumpang Supatmi (91) warga Desa Purwoasri, dan Sinudarsono (73) warga Desa Mentoro seluruhnya selamat tanpa luka.
Sementara itu, mobil mengalami kerusakan cukup parah pada bagian depan dan sisi kanan kendaraan. “Kerugian materiil ditaksir mencapai lima puluh juta rupiah,” jelasnya.
Beruntung tidak ada kendaraan lain yang melintas di jalur tersebut saat kejadian. Polisi mengimbau pengendara untuk tetap berhati-hati, terutama saat kondisi tubuh lelah atau mengantuk. (tri/ted)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3337097/original/098406000_1609328704-20201230-Rupiah-Ditutup-Menguat-6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kurs Dolar Hari Perkasa: Rupiah Tertekan Pernyataan Hawkish Pejabat The Fed
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) tengah mengembangkan Rupiah Digital, bentuk mata uang digital resmi atau Central Bank Digital Currency (CBDC) yang nilainya stabil layaknya stablecoin, namun sepenuhnya berada di bawah kendali otoritas moneter.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan hal itu dalam acara Festival Ekonomi Keuangan Digital Indonesia (FEKDI) x Indonesia Fintech Summit and Expo (IFSE) di Jakarta, dikutip dari Antara, Jumat (31/10/2025).
“Kita akan kembangkan bagaimana Rupiah Digital dikeluarkan oleh BI… Ini versi stablecoin-nya resmi nasional Indonesia,” ujar Perry.
Perry belum menjelaskan secara rinci tahapan pengembangan Rupiah Digital, namun Deputi Gubernur BI Filianingsih Hendarta menambahkan bahwa proyek ini kini memasuki fase eksperimentasi tahap kedua.
“Ini yang lagi tren, digital rupiah, stablecoin. Saat ini kita masuk ke sekuritasnya,” kata Filianingsih dalam sesi High Level Talk.
Rupiah Digital merupakan salah satu dari lima inisiatif utama dalam Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Mata uang ini nantinya berfungsi layaknya uang fisik, uang elektronik, maupun kartu debit dan kredit yang beredar di Indonesia.
-

CBDK Sesuaikan Target Pra-Penjualan 2025 Jadi Rp508 Miliar, Jaga Kesehatan Bisnis di Tengah Dinamika Ekonomi
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — PT Bangun Kosambi Sukses Tbk (CBDK) menyesuaikan target pra-penjualan (pre-sales) tahun 2025 dari Rp2,03 triliun menjadi Rp508 miliar.
Keputusan ini diambil setelah melihat kondisi ekonomi dan tren konsumen yang lebih hati-hati dalam berinvestasi di sektor properti.
Presiden Direktur CBDK Steven Kusumo menegaskan langkah tersebut bukan bentuk penurunan ambisi, melainkan strategi adaptif agar bisnis tetap sehat.
“Kami melihat dinamika pasar saat ini sebagai bagian dari proses menuju keseimbangan baru. Penyesuaian target bukan langkah defensif, melainkan strategi realistis untuk memastikan pertumbuhan CBDK tetap sehat dan berkelanjutan,” ujar Steven.
Hingga kuartal III 2025, CBDK mencatat pra-penjualan Rp321 miliar atau sekitar 63% dari target baru. Angka itu lebih rendah dibanding periode sebelumnya, tapi perusahaan menilai hal ini sebagai bagian dari konsolidasi alami untuk memperkuat fondasi pertumbuhan jangka panjang.
CBDK juga mencermati pelemahan rupiah terhadap dolar AS sebesar 5,21% (YoY) dan penurunan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) dari 123,5 menjadi 115. Kondisi ini membuat pasar properti lebih selektif, sehingga strategi perusahaan pun diarahkan untuk fokus pada segmen paling potensial.
“Dengan target pra-penjualan 2025 yang telah disesuaikan menjadi Rp508 miliar, kami tetap berfokus pada pengembangan proyek-proyek unggulan. Segmen residensial seperti Rumah Milenial dan Permata Hijau Residences, serta proyek komersial strategis termasuk Rukan Petak 9, Bizpark PIK2, dan SOHO The Bund, menjadi fondasi utama pertumbuhan kami,” jelas Steven.
/data/photo/2025/10/15/68efaa91c3e56.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5400510/original/041744600_1762136549-Pendiri_Argo_Manunggal_The_Ning_King.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5400487/original/092641800_1762130786-m_ikhlas_thamrin.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
