Negara, Viral, dan Solidaritas Warga Disebut “Kecil”
Dosen, Penulis dan Peneliti Universitas Dharma Andalas, Padang
BELAKANGAN
publik dibuat gaduh oleh pernyataan anggota DPR RI dari Fraksi Gerindra, Endipat Wijaya, dalam rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dalam forum itu, ia menyoroti aksi para relawan dan kreator konten yang menggalang donasi untuk korban bencana di Sumatera.
Donasi yang disebutnya “sekitar Rp 10 miliar” itu, menurut Endipat, “kecil” bila dibandingkan dengan bantuan pemerintah yang mencapai “triliunan rupiah”.
Narasi ini sontak memicu gelombang kritik. Di tengah solidaritas publik yang mengalir spontan dari berbagai penjuru, pernyataan semacam ini terasa janggal. Bukan hanya karena menyentuh sensitivitas warga yang sedang berduka, tetapi juga karena berpotensi meremehkan energi kemanusiaan yang lahir dari inisiatif warga.
Salah satu figur yang menjadi sorotan adalah
Ferry Irwandi
. Relawan independen yang dalam hitungan hari mampu menggalang miliaran rupiah untuk korban banjir dan longsor. Di mata publik, aksi seperti ini bukan sekadar angka, melainkan wujud nyata kepedulian yang hadir ketika negara masih meraba-raba langkah.
Dalam banyak peristiwa bencana, publik sering kali menyaksikan hal yang sama: warga bergerak lebih cepat dari pemerintah. Kehadiran mereka bukan untuk menandingi negara, melainkan untuk mengisi ruang-ruang kosong yang tidak selalu mampu dijangkau oleh sistem birokrasi.
Dalam situasi darurat, menit dan jam pertama adalah segalanya. Di titik inilah relawan menjadi penopang hidup para penyintas.
Pernyataan bahwa kontribusi warga “kecil” bukan hanya tidak tepat secara etis, tetapi juga keliru dalam memahami dinamika penanganan bencana. Negara memiliki kewajiban konstitusional menghadirkan bantuan, itu tidak bisa disebut sebagai kemurahan hati, melainkan mandat.
Sebaliknya, kontribusi publik adalah tindakan moral yang lahir dari empati, tanpa kewajiban, tanpa birokrasi, tanpa anggaran rutin. Mengukurnya hanya dengan angka berarti melupakan substansi solidaritas itu sendiri.
Dalam konteks Sumatera, relawan hadir sejak hari pertama dengan perahu karet seadanya, dapur umum dadakan, logistik swadaya, dan informasi digital yang sering kali lebih cepat daripada rilis resmi pemerintah. Warga yang saling mengulurkan tangan memainkan peran krusial ketika akses jalan terputus, listrik padam, dan komunikasi lumpuh.
Bagian lain dari pernyataan Endipat yang memicu polemik adalah dorongannya kepada Komdigi agar “mengamplifikasi” capaian pemerintah supaya tidak kalah viral dari relawan. Catatan ini menyingkap persoalan lain: narasi publik diasumsikan sebagai arena kompetisi citra, bukan ruang untuk menyampaikan informasi yang benar-benar dibutuhkan warga.
Dalam penanganan bencana, perhatian pemerintah semestinya fokus pada efektivitas, bukan popularitas. Bila pemerintah merasa publikasi resmi kurang, solusinya bukan menyepelekan relawan atau membanding-bandingkan kontribusi, melainkan memperbaiki transparansi, kecepatan informasi, dan koordinasi lapangan. Bukan tugas warga untuk membuat negara terlihat hadir; itu tanggung jawab negara itu sendiri.
Sebaliknya, kehadiran relawan justru membantu pemerintah mengurangi beban penanganan. Alih-alih dipandang sebagai “kompetitor viral”, mereka semestinya diapresiasi sebagai mitra kemanusiaan. Negara yang percaya diri tidak akan merasa tersaingi oleh solidaritas warganya.
Salah satu kritik terbesar publik adalah tentang cara pandang yang menjadikan empati sebagai objek perbandingan kuantitatif. Rp 10 miliar dari publik memang tidak sebanding dengan triliunan anggaran pemerintah, tetapi tidak seharusnya dibandingkan sejak awal. Yang satu adalah kewajiban negara, yang lain adalah kemurahan hati masyarakat. Yang satu muncul dari pajak dan alokasi APBN, yang lain berasal dari dompet pribadi dan kepedulian spontan.
Fakta bahwa masyarakat bisa menghimpun miliaran rupiah dalam hitungan hari justru menegaskan dua hal. Pertama, tingginya rasa
solidaritas warga
. Kedua, adanya kepercayaan publik terhadap gerakan sosial akar rumput. Relawan dipercaya karena dianggap sigap, transparan, dan dekat dengan penyintas. Kritik terhadap pemerintah harus dibaca sebagai dorongan untuk memperbaiki kinerja, bukan sebagai ancaman terhadap kewibawaan negara.
Polemik ini harusnya menjadi bahan refleksi, bukan sekadar kontroversi sesaat. Pemerintah perlu menyadari bahwa apresiasi terhadap relawan tidak akan mengurangi legitimasi negara. Sebaliknya, merangkul relawan sebagai mitra strategis akan memperkuat ketahanan sosial saat bencana.
Sikap defensif dan fokus pada citra justru menimbulkan kesan bahwa pemerintah lebih sibuk membela reputasi daripada memperbaiki pelayanan. Di era keterbukaan informasi, yang dibutuhkan bukan amplifikasi narasi, melainkan transparansi data, kecepatan respons, dan komunikasi publik yang empatik.
Pada akhirnya, bencana adalah urusan semua pihak. Baik itu negara, masyarakat sipil, relawan, dan warga biasa. Tidak ada yang perlu merasa paling berjasa. Yang terpenting adalah memastikan para penyintas mendapatkan bantuan tepat waktu, tepat sasaran, dan tepat kebutuhan.
Solidaritas warga bukan kompetitor negara. Ia adalah fondasi yang menguatkan kita setiap kali bencana datang. Dan fondasi seperti ini tidak boleh diremehkan. Tidak pernah “kecil”. Tidak akan pernah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: rupiah
-
/data/photo/2025/12/04/6931b4dee8b4a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Negara, Viral, dan Solidaritas Warga Disebut “Kecil”
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5438231/original/061806100_1765275503-endipat_wijaya_II.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pembelaan Anggota DPR Endipat Wijaya soal Singgung Donasi Rakyat Rp 10 M untuk Banjir Sumatra
Liputan6.com, Jakarta – Anggota DPR Endipat Wijaya menuai sorotan setelah menyampaikan pernyataan dalam rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di ruang rapat Komisi I DPR, Senin (8/12/2025).
Dalam rapat tersebut, ia menyinggung bahwa para relawan lebih viral saat memberikan bantuan bencana Sumatra dibandingkan kerja pemerintah.
Endipat Wijaya mengklarifikasinya. Menurut dia, pernyataannya tersebut bukan ditujukan kepada relawan atau donatur yang membantu korban bencana Sumatra, tapi kinerja Komdigi dalam hal publikasi dan penyebaran informasi.
Endipat memandang, muncul persepsi keliru di media sosial disebabkan oleh ketimpangan informasi. Bantuan relawan cepat viral, sementara kerja-kerja besar negara justru jarang terlihat. Padahal, pemerintah telah mengerahkan anggaran triliunan rupiah, ribuan personel, posko evakuasi, logistik, dan berbagai upaya pemulihan untuk korban bencana.
“Yang saya soroti adalah lemahnya komunikasi publik. Negara bekerja besar, tetapi tidak banyak diberitakan. Akibatnya, masyarakat hanya melihat apa yang viral, bukan apa yang sebenarnya dilakukan di lapangan,” kata Endipat dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (9/12/2025).
Politikus Gerindra ini mengklaim, dirinya tidak pernah berniat mengecilkan peran relawan. Menurut dia, relawan sebagai energi kemanusiaan bangsa yang selalu bergerak tanpa pamrih setiap kali terjadi bencana.
“Relawan bekerja dengan hati, negara bekerja dengan kewajiban. Dua-duanya penting, dan tidak boleh dipertentangkan,” ungkap Endipat.
Dia pun berharap, semuanya kembali dalam upaya bersama dalam penanganan bencana, bukan lagi perdebatan yang memecah perhatian dari mereka yang sedang membutuhkan bantuan.
-

Cuma Segini Untung Loper Koran di Era Digital
Jakarta –
Keberadaan loper atau penjual koran kian tergerus seiring peralihan media cetak ke platform digital. Sementara mereka yang masih berjuang melawan arus, mencari rupiah yang tak seberapa dari penjualan koran yang semakin kurang diminati.
Rino (40), salah satu dari sedikit penjual koran yang tersisa di Jakarta, mengatakan dalam sehari dirinya paling banyak hanya bisa menjual sampai 10 eksemplar. Jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sebab dari setiap satu eksemplar koran yang berhasil dijualnya, ia hanya mendapat keuntungan Rp 1.000-4.000 saja. Artinya paling banyak dalam sehari, untung bersih yang diterimanya hanya Rp 10.000-40.000 saja, itu pun kalau dagangannya benar laku semua.
“Tergantung korannya, kalau ini (sembari menunjukkan salah satu eksemplar) itu harga jual Rp 3.000, dari sana beli Rp 2.000. Kalau Kompas, dari sana Rp 9.000, bisa jual Rp 12.000-13.000,” kata Rino saat ditemui detikcom di lokasi, Selasa (9/12/2025).
Alih-alih mendapatkan keuntungan dari berjualan koran, sehari-hari dirinya banyak mendapatkan pemasukan dari bantuan mereka yang rela berbagi dengan memberi uang lebih saat membeli koran. Berkat itu, meski dagangannya sering tersisa, dalam sehari dirinya masih bisa mengumpulkan untung bersih setidaknya Rp 50.000.
“Ya paling dapat lebih dari yang beli tuh biasanya Rp 3.000 (harga koran), dikasih Rp 10.000 nggak usah kembalian,” ucapnya.
Namun dengan keuntungan yang sangat tipis, ditambah sedikitnya koran yang laku, Rino bahkan mengaku kesulitan membeli makan. Pada akhirnya, ia hanya bisa mengandalkan uluran tangan satu dari sekian banyak pengguna jalan yang rela memberinya makan.
“Untungnya nggak seberapa. Makanannya sekarang bisa Rp 15.000 sekali makan,” tuturnya.
“Ya nunggu yang kasih saja. Alhamdulillah biasanya ada saja sih, orang kantoran lewat bawah nasi kotak, dikasih. Ada saja yang kasih,” kata Rino lagi.
(ahi/fdl)
-

Baim Wong Beri Bantuan Rp 50 Juta untuk Korban Banjir-Longsor di Aceh
Banda Aceh, Beritasatu.com – Baim Wong menunjukkan kepedulian mendalam terhadap korban banjir dan tanah longsor di Aceh. Aktor bernama lengkap Muhammad Ibrahim itu menyerahkan bantuan senilai Rp 50 juta untuk meringankan beban para penyintas.
Donasi itu diserahkan melalui perusahaan miliknya PT Folago Karya Indonesia. Secara simbolis, bantuan dari Baim Wong diterima oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh M Nasir di Kantor Gubernur Aceh, Kota Banda Aceh, Senin (8/12/2025).
Langkah ini diambil menyusul laporan mengenai kerusakan infrastruktur dan kerugian materiil yang diderita warga Aceh akibat intensitas curah hujan yang tinggi baru-baru ini.
Penyerahan donasi dilakukan oleh Jonathan P Damanik, perwakilan relawan dari perusahaan milik Baim Wong.
“Atas nama Pemerintah Provinsi Aceh dan seluruh masyarakat yang terdampak, kami mengucapkan terima kasih banyak kepada Bapak Muhammad Ibrahim atau dikenal Baim Wong dan PT Folago Karya Indonesia atas donasi yang sangat berarti ini. Bantuan ini akan segera kami salurkan kepada saudara-saudara kita yang membutuhkan di lokasi bencana,” ujar Sekda Aceh M Nasir.
Sementara itu, Jonathan seusai menyerahkan bantuan, mengungkapkan bahwa langkah ini merupakan wujud kepedulian Baim Wong dan tim untuk ikut serta meringankan beban yang dialami warga Aceh.
“Kami berharap donasi sebesar Rp 50 juta rupiah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebutuhan mendesak para korban, mulai dari makanan, air bersih, hingga pemulihan awal,” kata Jonathan.
-

IHSG Sesi I Hari Ini 9 Desember 2025 Turun dari Rekor Tertinggi
Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun dari rekor tertinggi pada penutupan sesi I perdagangan hari ini, Selasa (9/12/2025).
IHSG pada sesi ini bergerak dalam rentang 8.663-8.749 sebelum akhirnya ditutup melemah 38,72 poin atau 0,44% ke level 8.671,9.
Total 32,2 miliar saham diperdagangkan dengan nilai mencapai Rp 14,39 triliun dari 1,89 kali transaksi.
Sebanyak 244 saham yang diperdagangkan menguat, sebanyak 407 saham melemah, dan 149 saham stagnan.
Sehari sebelumnya, IHSG mencetak rekor tertinggi sepanjang masa atau all time high (ATH) ke level 8.710,6.
Sementara itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat pada perdagangan Selasa siang.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah di pasar spot exchange berada pada level Rp 16.678 per dolar AS, naik 17 poin atau 0,10% dibandingkan kemarin.
-

Komisi I Minta Komdigi Luruskan Narasi Negara Tak Hadir di Aceh-Sumatra
Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi I DPR RI fraksi partai Gerindra Endipat Wijaya menyoroti kelemahan strategi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang dinilai gagal mengimbangi kecepatan arus informasi di media sosial.
Sorotan tajam itu tertuju pada fenomena di mana bantuan negara yang masif dalam penanggulangan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat justru tertutup oleh persepsi publik bahwa “negara tidak hadir”.
Hal ini terungkap dalam pembahasan mengenai pentingnya amplifikasi informasi strategis guna menangkal disinformasi yang kian masif menyebar di masyarakat.
Wijaya mengungkapkan fakta ironis yang terjadi di lapangan. Menurut dia, pemerintah sejatinya telah bergerak cepat dengan mengerahkan sumber daya yang sangat besar.
“Ada orang yang baru datang bikin 1 posko, ngomong pemerintah tidak ada”, ujarnya di ruang Komisi 1 DPR RI Senin (08/12/2025).
Bantuan logistik telah mencapai 20 ton yang telah disalurkan, didukung dengan alokasi anggaran mencapai triliunan rupiah untuk penanggulangan dampak bencana di wilayah-wilayah tersebut, tambahnya.
Namun, besarnya upaya dan anggaran yang dikucurkan negara tersebut dinilai “kalah viral” dibandingkan narasi-narasi alternatif yang beredar di media sosial. Akibatnya, muncul citra negatif yang kuat di masyarakat bahwa upaya pemerintah diremehkan atau bahkan dianggap tidak ada sama sekali.
Komisi I juga mengidentifikasi adanya fenomena yang disebut sebagai “The One Who Stole the Show”.
Fenomena ini merujuk pada pola di mana individu atau kelompok tertentu yang mungkin hanya datang sesaat ke lokasi bencana justru berhasil mendominasi ruang percakapan publik.
Aksi mereka yang seringkali sporadis berhasil menjadi viral dan “mencuri panggung”, secara efektif mengalahkan eksposur terhadap kerja sistematis, terstruktur, dan masif yang dilakukan oleh aparatur pemerintah.
DRR RI menunjukkan kekhawatiran ketika konten-konten viral tersebut membentuk opini publik bahwa aktor-aktor individual inilah yang paling berjasa, sementara peran negara terpinggirkan dari kesadaran publik.
Situasi ini dinilai telah menciptakan disinformasi yang “sangat tidak baik” terkait kepentingan umum. Narasi “negara tidak hadir” yang terbentuk akibat kekalahan dalam perang informasi ini dianggap berbahaya karena dapat menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Jadi yang kayak gitu mohon dijadikan perhatian sehingga ke depan tidak ada lagi informasi yang seolah-olah negara tidak hadir di mana-mana. Padahal negara sudah hadir.” tambah Wijaya.
Wijaya juga menegaskan bahwa amplifikasi informasi strategis kini menjadi kebutuhan yang mendesak. Pemerintah didorong untuk tidak hanya fokus pada kerja teknis di lapangan, tetapi juga harus memenangkan narasi di ruang digital. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1954437/original/003823600_1519994760-20180302-Dolar-AY1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kurs Dolar Stabil, Rupiah Menguat Tipis Didukung Sentimen The Fed dan Indeks Kepercayaan Konsumen
Liputan6.com, Jakarta – Kurs dolar stabil. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa di Jakarta bergerak menguat tipis sebesar 1 poin atau 0,01 persen ke level Rp16.694 per dolar AS. Penguatan rupiah ini terjadi di tengah sikap hati-hati pelaku pasar yang menunggu rilis data indeks kepercayaan konsumen (IKK) Indonesia.
Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai rupiah berpotensi melanjutkan penguatan terbatas seiring investor yang menerapkan strategi wait and see.
“Rupiah diperkirakan akan datar terhadap dolar AS dengan kecenderungan menguat terbatas. Investor wait and see mengantisipasi rilis data indeks kepercayaan konsumen Indonesia yang diperkirakan akan sedikit lebih tinggi,” ujarnya dikutip dari Antara.
Bank Indonesia sebelumnya mencatat IKK pada Oktober 2025 berada di level 121,2, meningkat dibanding bulan sebelumnya yang berada di 115,0. Kenaikan optimisme konsumen tersebut ditopang perbaikan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) serta Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), masing-masing tercatat 109,1 dan 133,4.
Menurut Lukman, untuk November 2025 IKK diperkirakan naik lagi menjadi 122, sejalan dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5437045/original/018850700_1765195612-endipat_wijaya.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ketika Rakyat Sumbang Rp 10 Miliar untuk Korban Banjir Sumatra Berujung Sindiran Anggota DPR
Liputan6.com, Jakarta – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) didesak untuk lebih proaktif dan masif dalam menyebarkan informasi mengenai kinerja pemerintah dalam penanganan bencana, khususnya banjir dan longsor di Sumatra. Desakan keras ini disampaikan oleh Anggota Komisi I DPR RI, Endipat Wijaya, saat rapat kerja bersama Komdigi di Gedung DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Menurut Endipat, minimnya informasi yang tersebar membuat kerja keras pemerintah, termasuk bantuan triliunan rupiah, seolah-olah tenggelam oleh viralnya donasi yang digalang pihak lain. Kondisi ini bahkan cenderung memunculkan anggapan bahwa pemerintah tidak bergerak.
Oleh karena itu, Endipat mendesak Komdigi untuk segera bertindak dan memastikan kerja keras pemerintah tidak tenggelam oleh narasi yang didominasi pihak lain.
“Fokus nanti, ke depan Kementerian Komdigi ini mengerti dan tahu persis isu sensitif nasional dan membantu pemerintah memberitahukan dan mengamplifikasi informasi, sehingga enggak kalah viral dibandingkan dengan teman-teman yang sekarang ini, paling-paling di Aceh, di Sumatra, dan lain-lain itu,” kata dia saat rapat bersama Komdigi, di ruang Komisi I DPR, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Endipat juga menyinggung adanya pihak yang hanya datang sekali, tetapi terlihat seolah-olah paling aktif bekerja.
“Ada orang yang cuma datang sekali, tapi seolah-olah paling bekerja di Aceh,” tambahnya.
Dia menegaskan bahwa dalam penanganan bencana di Sumatra, pemerintah adalah pihak yang pertama kali hadir dan langsung bergerak untuk mengatasinya.
“Padahal negara sudah hadir dari awal, ada orang baru datang, baru bikin satu posko, ngomong pemerintah enggak ada. Padahal pemerintah sudah bikin ratusan posko di sana,” ungkap Endipat.
“Yang sehingga publik tahu kinerja pemerintah itu sudah ada, dan memang sudah hebat,” lanjut dia.
Bandingkan Bantuan Relawan dan Pemerintah
Politikus Gerindra ini secara eksplisit menyinggung aksi relawan yang berhasil menggalang donasi hingga Rp 10 miliar dan menjadi viral. Padahal, menurutnya, bantuan yang sudah digelontorkan pemerintah jauh lebih besar, namun justru seperti tak terlihat.
“Orang-orang cuma nyumbang Rp 10 miliar, negara sudah triliun-triliunan ke Aceh itu, bu. Jadi yang kayak gitu-gitu, mohon dijadikan perhatian, sehingga ke depan tidak ada lagi informasi yang seolah-olah negara tidak hadir di mana-mana. Padahal negara sudah hadir sejak awal di dalam penanggulangan bencana,” tutur dia.
Sebagai bukti, Endipat membeberkan saat pertama bencana Sumatra terjadi, TNI AU sudah hadir.
“Angkatan Udara hari pertama langsung ada, 4-5 pesawat datang ke sana, tapi dibilang enggak pernah hadir. Mungkin itu karena kita kalah dalam menginformasikan,” kata dia.
/data/photo/2025/12/09/69378299507a9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
