provinsi: RIAU

  • Polresta Pekanbaru ke Sekolah, Ajak Siswa Tertib Lalin dan Peduli Lingkungan

    Polresta Pekanbaru ke Sekolah, Ajak Siswa Tertib Lalin dan Peduli Lingkungan

    Pekanbaru

    Polresta Pekanbaru kembali mengunjungi sekolah dalam rangka menguatkan komitmen dalam pelestarian lingkungan dan tertib lalu lintas. Polisi mengajak para siswa untuk menanam pohon.

    Kegiatan ‘Police Goes To School’ itu digelar oleh Satlantas Polresta Pekanbaru, Satuan Samapta, Satresnarkoba hingga Tim RAGA (Riau Anti Geng dan Anarkisme). Kegiatan yang dipimpin oleh Kasatlantas Polresta Pekanbaru AKP Satrio BW Wicaksana ini digelar untuk menggelorakan program Green Policing hingga RAGA Polda Riau.

    AKP Satrio mengatakan bahwa edukasi kepada generasi muda menjadi salah satu fokus kepolisian untuk menciptakan budaya tertib berlalu lintas dan mengurangi angka kecelakaan di Pekanbaru.

    “Kami ingin anak-anak sekolah memahami pentingnya tertib berlalu lintas, bahaya balap liar, dan faktor-faktor penyebab kecelakaan. Tujuannya agar mereka bisa menjadi pelopor keselamatan di jalan,” ujar AKP Satrio, Jumat (7/11/2025).

    Dalam kunjungannya kali ini, personel kepolisian memberikan sosialisasi langsung kepada siswa mengenai aturan berkendara, etika berlalu lintas, hingga risiko fatal ugal-ugalan di jalan raya. Selain edukasi keselamatan lalu lintas, polisi juga mengenalkan konsep Green Policing. Para siswa diajak menanam pohon di lingkungan sekolah sebagai wujud kepedulian terhadap kelestarian lingkungan.

    Foto: Polresta Pekanbaru turun ke sekolah mengkampanyekan Green Policing dan ajak siswa tertib lantas. (dok. Polresta Pekanbaru)

    Kegiatan juga diisi penyuluhan bahaya narkoba oleh Satresnarkoba Polresta Pekanbaru. Polisi menjelaskan jenis zat adiktif, dampaknya bagi tubuh, serta ancaman hukum bagi pengedar dan pengguna.

    Selain itu, Tim RAGA, Satlantas, dan Samapta memperkenalkan peralatan pendukung tugas kepolisian, seperti alat pengendali massa, mobil patroli, dan perlengkapan taktis. Kegiatan ini diharapkan membangun kesadaran para siswa untuk lebih sadar hukum, dan tertib berlalu lintas hingga lebih peduli terhadap lingkungan sekitar.

    (mea/imk)

  • Kapolres Siak Kuliah Umum di Kampus, Kuatkan Komitmen Jaga Lingkungan

    Kapolres Siak Kuliah Umum di Kampus, Kuatkan Komitmen Jaga Lingkungan

    Pekanbaru

    Konsep ‘Green Policing’ yang menjadi program prioritas Kapolda Riau terus diwujudkan secara konkret di lapangan. Kali ini, Kepolisian Resor (Polres) Siak mengambil langkah proaktif dengan menggandeng kalangan akademisi, khususnya generasi muda, melalui kegiatan penanaman bibit pohon di Kampus Politeknik Sriwijaya PSDKU Siak.

    Dipimpin langsung oleh Kapolres Siak AKBP Eka Ariandy Putra, kegiatan ini mengusung tema inspiratif ‘Green Policing Generasi Gen Z: Cinta Lingkungan, Peduli Hutan, dan Penyuluhan Lingkungan Hidup’. Kegiatan ini digelar pada Rabu, 5 November 2025.

    Kapolres Siak, AKBP Eka Ariandy Putra, menegaskan bahwa Green Policing adalah pergeseran paradigma tugas kepolisian. Polri tidak hanya fokus pada penindakan, tetapi juga edukasi dan pencegahan kerusakan alam.

    “Green Policing adalah pendekatan yang menjadikan perlindungan lingkungan hidup sebagai bagian integral dari tugas Kepolisian. Tidak hanya penegakan hukum, tapi juga edukasi dan pencegahan terhadap kerusakan alam,” jelas Eka, Jumat (7/11/2025).

    Ia menekankan bahwa kolaborasi dengan mahasiswa, sebagai Generasi Z dan penerus bangsa, adalah kunci utama. Melalui kegiatan langsung seperti menanam pohon, kesadaran lingkungan dapat tertanam lebih kuat.

    Bukan hanya menanam pohon biasa, pilihan bibit durian menjadi simbol investasi jangka panjang bagi lingkungan dan ekonomi lokal. Aksi ini dihadiri oleh jajaran Pejabat Utama Polres Siak serta staf dan mahasiswa Polsri PSDKU Siak, memperkuat sinergi antara aparat keamanan dan dunia pendidikan.

    Koordinator Program Studi Teknik Kimia PSDKU Polsri Siak, Meyci Trisna, menyampaikan apresiasi tinggi atas inisiatif Polri.

    Kegiatan yang berlangsung aman dan kondusif ini diakhiri dengan penanaman bibit durian di area kampus dan sesi foto bersama, menandai komitmen bersama untuk mewujudkan Kabupaten Siak yang maju, lestari, dan ramah lingkungan. Polres Siak berharap, Green Policing akan terus menumbuhkan kesadaran ekologis di kalangan generasi muda, menjadikan mereka pelopor pelestarian alam di masa depan.

    (mea/imk)

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid, Sita CCTV hingga Dokumen

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau Abdul Wahid, Sita CCTV hingga Dokumen

    GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Gubernur Riau Abdul Wahid pada Kamis (6/11/2025) terkait pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. Dalam penggeledahan ini, KPK menyita CCTV hingga beberapa dokumen.

    “Dalam penggeledahan tersebut, di antaranya penyidik menyita CCTV,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025). 

    Selain itu, tim penyidik juga mengamankan sejumlah dokumen, serta barang bukti (barbuk) elektronik. Budi tidak merincikan apa saja dokumen dan barang bukti yang disita itu. 

    “Selanjutnya penyidik akan mengekstrasi dan menganalisis barbuk-barbuk tersebut,” ujarnya. 

     

    Dalam perkara ini, KPK menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid dan dua orang lainnya sebagai tersangka. 

    Dua orang lainnya yang ditetapkan tersangka adalah, M Arief Setiawan (MAS) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M Nursalam (DAN) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. 

    Penetapan tersangka ini setelah KPK melakukan operasi tangkap tangan di Riau pada Senin (3/11/2025). Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

  • Kronologi Lengkap Gubernur Riau Ditangkap KPK, Lagi Ngopi di Kafe

    Kronologi Lengkap Gubernur Riau Ditangkap KPK, Lagi Ngopi di Kafe

    Bisnis.com, PEKANBARU– Wakil Gubernur Riau, yang kini berstatus Plt Gubernur SF Hariyanto, mengungkapkan kronologi singkat saat terjadinya penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Senin (3/11/2025) sore. 

    Dirinya menegaskan bahwa dia tidak mengetahui secara pasti permasalahan yang menjadi dasar penangkapan tersebut, karena kejadian itu berlangsung begitu cepat dan di luar dugaan.

    Menurut SF Hariyanto, saat kejadian dirinya sedang bersama Gubernur Abdul Wahid dan Bupati Siak Afnu Zulkifli di sebuah kafe di Pekanbaru.

    “Tapi saya jelaskan, saya tidak mengetahui masalah ini. Memang kebetulan hari itu saya dan Gubernur bersama Bupati Siak lagi ngopi, dan itulah yang saya ketahui,” ungkapnya saat ditemui di Pekanbaru, Kamis (6/11).

    Lokasi kafe yang dimaksud, menurutnya, juga bukan kafe seperti umumnya. Namun, hanya tempat ngopi di belakang rumah dinas Gubernur Riau di Jalan Diponegoro, Pekanbaru.

    Dia menuturkan suasana awalnya berbincang dan diskusi ketiganya berjalan normal sebelum kemudian ada beberapa tamu datang ingin menemui Gubernur. 

    “Lalu ada tamu di luar, dan saya bingung. Jadi saya memang tahu karena kami sama-sama di kafe itu bertiga dengan Bupati Siak. Hanya itu yang saya tahu,” ujarnya.

    SF Hariyanto mengaku tidak sempat melihat langsung proses penangkapan karena situasi di lokasi tiba-tiba ramai oleh kehadiran sejumlah orang yang belakangan diketahui merupakan tim dari KPK. 

    “Pas keluar, Gubernur melihat sudah ramai orang di luar. Jadi kalau ada yang bilang saya ikut diperiksa, saya jelaskan sekarang bahwa saya memang tidak ada diperiksa,” ungkapnya.

    Dia menambahkan barulah pada sore hari kira-kira setelah waktu salat Asar dirinya mengetahui lebih banyak informasi dari pemberitaan yang beredar di berbagai media. 

    “Barulah sore setelah Asar banyak berita macam-macam. Dari situ saya tahu kalau memang sudah ada proses hukum yang sedang berjalan,” katanya.

    Plt Gubernur SF Hariyanto menegaskan bahwa dirinya menghormati penuh proses hukum yang dilakukan oleh KPK dan berharap masyarakat tetap tenang menghadapi situasi tersebut. 

    “Kita serahkan sepenuhnya pada proses hukum. Saya minta masyarakat jangan berspekulasi. Pemerintah tetap berjalan dan pelayanan publik tidak akan terganggu,” ujarnya.

    Sebelumnya, KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid beserta sejumlah pihak lain yang diduga terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. 

    Pascakejadian tersebut, Kementerian Dalam Negeri langsung menunjuk Wakil Gubernur SF Hariyanto sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan normal.

    Setelah melakukan pemeriksaan intensif, terungkap bahwa pada Maret 2025, Sekretaris Dinas PUPR PKPP bernama Ferry menggelar rapat bersama 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, untuk membahas kesanggupan pemberian fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid yakni sebesar 2,5%. 

    Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp106 miliar).

    Ferry melaporkan hasil pertemuan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan. Namun, Arief yang merupakan representasi Abdul Wahid meminta fee dinaikkan menjadi 5% atau Rp7 miliar. Laporan kepada Arief menggunakan kode “7 batang”.

    Abdul Wahid diduga mengancam para pejabat PUPR PKPP dengan dicopot jabatan jika tidak memberikan nominal uang tersebut. Permintaan ini dikenal sebagai “Jatah Preman”

  • Profil Khamozaro Waruwu, Hakim yang Rumahnya Terbakar saat Tangani Kasus Korupsi di Medan

    Profil Khamozaro Waruwu, Hakim yang Rumahnya Terbakar saat Tangani Kasus Korupsi di Medan

    Liputan6.com, Medan – Rumah milik hakim Pengadilan Negeri Medan, Khamozaro Waruwu terbakar. Dia tengah menangani kasus korupsi proyek jalan Dinas PUPR Sumatera Utara pada Selasa (4/11/2025). Kasus yang ditangani Khamozaru melibatkan Topan Ginting, mantan Kadis PUPR. Beruntung Khamozaru tidak ada di lokasi kejadian saat rumahnya terbakar.

    “Saya masih sidang tiba-tiba dihubungi bahwa ada kejadian di rumah. Tapi enggak diangkat karena saya lagi sidang. Lalu, dapat informasi jika rumah saya terbakar,” kata Khamozaro.

    Khamozaro dikenal sebagai hakim tindak pidana korupsi Pengadilan Negeri Medan. Dia mendapatkan gelar sebagai Pembina Utama Madya. Golongan ini merupakan salah satu jenjang kepangkatan tertinggi dalam karier hakim di Indonesia.

    Dilansir Liputan6.com dari website Pengadilan Ngeri Medan, Khamozaro sempat menempuh jenjang S-1 di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang pada tahun 1996. Selesai menuntut ilmu di Padang, ia melanjutkan pendidikan tingkat S-2 Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan pada tahun 2009.

    Baru-baru ini, Khamozaru diketahui melanjutkan lagi pendidikannya di universitas yang sama. Dia memilih untuk mengambil S-3 Ilmu Hukum di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara pada Februari 2025. 

    Khamozaru mengawali kariernya sebagai staf Pengadilan Tata Usaha Negeri Padang pada tahun 1993 hingga tahun 1994. Dia kemudian melanjutkan kariernya sebagai hakim tingkat pertama pada tahun 2000 hingga 2009 di tiga pengadilan yang berbeda, yakni Pengadilan Negeri Lubuk Basung, Pengadilan Negeri Mandailing Natal, dan Pengadilan Negeri Dumai.

    9 Tahun menjalani profesi sebagai hakim tingkat pertama, karier Khamozaro mula naik. Pada tahun 2012 ia diamanahkan sebagai wakil ketua pengadilan di Pengadilan Negeri Sanggau. Kemudian, masih di pengadilan yang sama, Khamozaru naik jabatan sebagai ketua pengadilan pada Maret 2014. Namun, pada September 2014, ia pindah ke Pengadilan Negeri Gunung Sitoli.

    Khamozaro memulai kembali kariernya sebagai hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada tahun 2016. Kemudian, pada tahun 2018 menempati posisi sebagai ketua pengadilan di Pengadilan Negeri Rantau Prapat dan menjadi wakil ketua pengadilan di Pengadilan Negeri Banyuwangi pada tahun 2021. Kini, ia menjabat sebagai hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri Medan sejak tahun 2022.

     

  • Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah

    Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah

    Korupsi Kepala Daerah Mengkhianati Otonomi Daerah
    Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Pj Gubernur Riau 2013-2014, Dirjen Otda Kemendagri 2010-2014
    KOMISI
    Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan seorang kepala daerah sebagai tersangka. Kali ini, Gubernur Riau Abdul Wahid diduga menerima uang Rp 2,25 miliar dari praktik pemerasan terhadap enam Kepala UPT Dinas PUPRPKPP Riau.
    Uang itu disebut sebagai “jatah preman” atas penambahan anggaran proyek jalan dan jembatan yang nilainya melonjak dari Rp 71 miliar menjadi Rp 177 miliar.
    Kasus ini menjadi ironi, sebab dalam dua dekade terakhir,
    Riau telah berulang kali menjadi panggung korupsi kepala daerah.
    Fenomena seperti ini bukan sekadar kebetulan atau nasib apes suatu provinsi. Ini adalah persoalan sistemik yang menahun di banyak pemerintah daerah di Indonesia.
    Sejak Pilkada langsung digelar tahun 2005, sudah 39 gubernur di Indonesia terjerat kasus korupsi.
    Angka ini menggambarkan betapa jabatan kepala daerah telah lama terperangkap dalam jebakan politik berbiaya tinggi.
    Biaya kampanye, mahar partai, ongkos saksi, belanja tim sukses, dan beli suara pemilih yang dikeluarkan kandidat, seringkali berubah menjadi “utang politik” yang harus dilunasi rakyat setelah ia memangku jabatan.
    Ketika kekuasaan diperoleh melalui transaksi, kebijakan pemda menjadi alat pengembalian modal.
    Pengadaan barang dan jasa—khususnya proyek infrastruktur—menjadi ladang paling subur bagi praktik ini.
    Kepala daerah tidak jarang menggunakan kewenangan administratif untuk menekan kontraktor atau pejabat teknis di dinas, agar setoran mengalir sesuai kehendaknya.
    Di titik inilah demokrasi lokal kehilangan maknanya: suara rakyat dikalahkan oleh logika investasi politik.
    Sebenarnya, banyak kepala daerah memahami ajaran agama dan nilai-nilai adat. Riau, misalnya, dikenal sebagai daerah religius dan menjunjung tinggi budaya Melayu.
    Namun, nilai-nilai luhur itu seakan terpisah dari perilaku kekuasaan. Integritas menjadi jargon moral tanpa pijakan etis dalam tindakan. Adat dan agama berhenti di seremonial, bukan di praktik pemerintahan.
    Realitas ini menunjukkan bahwa akar persoalan korupsi kepala daerah tidak hanya pada individu, melainkan pada struktur politik dan tata kelola pemerintahan yang memungkinkan penyimpangan.
    Demokrasi memang telah berjalan secara prosedural, tetapi masih rapuh secara substansial. Ketika sistem merit dan pengawasan tidak berjalan kuat, maka otonomi daerah berubah menjadi ruang bagi raja-raja kecil yang kebal nilai moral dan hukum.
    Penyakit lama ini tidak akan sembuh hanya dengan penangkapan. KPK boleh bekerja sekeras mungkin, tetapi tanpa reformasi sistem politik—terutama pembiayaan Pilkada—korupsi akan terus berulang dalam pola yang sama.
    Pilkada yang mahal harus segera direvisi melalui bantuan dana partai politik yang memadai dari negara.
    Partai politik juga harus menjalankan fungsi kaderisasi secara serius, bukan sekadar menjual tiket kekuasaan.
    Bahkan, sistem pilkada langsung bisa ditata ulang dibuat asimetris, misalnya. Sebagian daerah tetap langsung, dan sebagian lagi melalui pemilihan DPRD, seperti di Tanah Papua.
    Otonomi daerah semestinya menjadi jalan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan arena memperkaya diri.
    Kepala daerah yang memimpin dengan integritas seharusnya menjadikan kepercayaan publik sebagai modal utama, bukan uang hasil ijon politik.
    Korupsi kepala daerah sejatinya bukan sekadar kejahatan keuangan, melainkan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi dan keadilan sosial.
    Selama biaya politik dibiarkan mahal, selama kekuasaan dianggap investasi pribadi, selama masyarakat masih sebagai pelengkap penderita, maka kasus Abdul Wahid hanya akan menjadi bab kecil dalam kisah panjang pengkhianatan terhadap otonomi daerah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gaya Preman Gubernur Riau Abdul Wahid Palak Anak Buah Demi Jalan-Jalan ke Luar Negeri

    Gaya Preman Gubernur Riau Abdul Wahid Palak Anak Buah Demi Jalan-Jalan ke Luar Negeri

     

    Liputan6.com, Jakarta – Kasus dugaan pemerasan yang dilakukan Gubernur Riau Abdul Wahid akhirnya terbongkar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta mengejutkan soal para kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Dinas PUPR PKPP dipaksa menyetor uang untuk sang gubernur. 

    Disepakati besaran fee untuk gubernur seperti yang diminta yakni 5 persen atau sekitar Rp7 miliar. Setelah ada kesepakatan tersebut, terjadilah tiga kali setoran fee jatah untuk Abdul Wahid terhitung sejak Juni-November 2025. Totalnya mencapai Rp 4,05 miliar. 

    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, uang yang disetor ke Abdul Wahid bukan berasal dari proyek ataupun pihak swasta, melainkan hasil pinjaman. 

    “Informasi yang kami terima dari para kepala UPT bahwa mereka uang itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain. Ada yang dari ini sertifikat dan lain-lain itulah,” kata Asep Guntur di Gedung KPK, Rabu (5/11/2025).

    Situasi ini makin ironis karena terjadi saat APBD Riau tengah defisit. Berdasarkan penelusuran KPK, pada Maret 2025 Abdul Wahid sendiri pernah mengumumkan bahwa keuangan daerah defisit hingga Rp 3,5 triliun. 

    “Bayangkan. Artinya bahwa APBD-nya itu kan defisit,” ujar dia.

    Dengan kondisi itu, seharusnya kepala daerah tidak menambah beban bawahannya. Namun kenyataannya, anak buah justru dipaksa mencari uang sendiri demi memenuhi ‘jatah’ setoran ke Gubernur Riau.

    “Seharusnya dengan tidak adanya uang, orang kan ini lagi susah nih, enggak ada uang, jangan dong minta, gitu. Jangan membebani pegawainya. Jangan membebani bawahannya,” ucap dia.

    KPK sendiri telah menetapkan tiga orang tersangka kasus korupsi di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) di Provinsi Riau. Salah satu tersangka adalah Abdul Wahid, gubernur Riau yang baru menjabat Februari 2025 lalu.

    Pimpinan KPK, Johanis Tanak, menyebut tangkap tangan terhadap Abdul Wahid bermula setelah pihaknya mendapat pengaduan dari masyarakat. Tim KPK kemudian melakukan penelusuran.

    Informasi awal yang diterima KPK, pada Mei 2025 lalu terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara FRY, selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP. Pertemuan itu untuk membahas kesanggupanpemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid selaku Gubernur Riau, yakni sebesar 2,5 persen.

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp 106 miliar),” katanya. 

    Minta Jatah Preman Rp 7 Miliar

    Hasil pertemuan itu disampaikan FRY ke MAS selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau. MAS yang merepresentasikan gubernur meminta besaran fee ditambah jadi 5 persen atau Rp 7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” ujarnya.

    Mendapat tawaran itu, Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali. Disepakatilah besaran fee untuk gubernur seperti yang diminta yakni 5 persen. Hasilp ertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada MAS dengan kode ‘7 batang’

    Setelah ada kesepakatan tersebut, terjadilah tiga kali setoran fee jatah untuk Abdul Wahid terhitung sejak Juni-November 2025. Totalnya mencapai Rp 4,05 miliar lebih dari jatah preman yang disepakati Rp 7 miliar.

    Adapun rincian setoran fee jatah AW yakni:

    Pada setoran pertama FRY sebagai pengepul uang dari Kepala UPT, mengumpulkan total Rp 1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah MAS sebagai representasi AW, bahwa FRY mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada AW melalui perantara DAN selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau. Kemudian, FRY juga memberikan uang sejumlah Rp600 juta kepada kerabat MAS.

    Atas perintah DAN sebagai representasi AW, melalui MAS, FRY kembali mengepul uang dari para kepala UPT, dengan uang terkumpul sejumlah Rp1,2 miliar. Atas perintah MAS, uang tersebut, di antaranya didistribusikan untuk driver MAS sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh FRY senilai Rp300juta.

    Kali ini tugas pengepul dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar, yang di antaranya dialirkan untuk AW melalui MAS senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada AW.

    “Pada pemberian ketiga ini, Senin (3 November 2025), Tim KPK melakukan kegiatan tangkap tangan,” ujar Johanis.

    Tiga orang yang terciduk dalam OTT tersebut adalah MAS, FRY dan lima Kepala Unit Kepala Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I III, IV, V, VI Dinas PUPR PKPP yakni KA, EI, LH, BS, RA.

    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp800 juta,” ujarnya.

  • Bareskrim Gagalkan Penyelundupan Narkoba dari Malaysia, Sabu-Ekstasi Disita

    Bareskrim Gagalkan Penyelundupan Narkoba dari Malaysia, Sabu-Ekstasi Disita

    Jakarta

    Dittipidnarkoba Bareskrim Polri menggagalkan penyelundupan narkotika yang berasal dari negara Malaysia ke Pekanbaru, Riau. Barang bukti berupa 4,5 kg sabu dan ribuan ekstasi disita polisi.

    “Barang bukti satu tas warna hitam merk puma berisi enam bungkus dilakban kuning yang berisikan lima bungkus sabu dengan total sekitar 4.500 gram dan satu bungkus ekstasi dengan total sekitar 3.000 butir,” kata Dirtipidnarkoba Bareskrim Polri Brigjen Eko Hadi Santoso kepada wartawan, Jumat (7/11/2025).

    Kasus tersebut diungkap pada Rabu (6/11) pukul 18.45 WIB. Mulanya polisi mendapatkan informasi adanya upaya penyelundup narkoba dari sindikat Malaysia ke wilayah Pekanbaru, Riau.

    “Bahwa sindikat narkoba asal Malaysia telah menyelundupkan narkotika jenis sabu dan ekstasi dari Malaysia ke wilayah Pekanbaru, Riau yang dikendalikan oleh jaringan Aceh-Pekanbaru Riau,” ujarnya.

    Polisi bergerak melakukan penyelidikan dan menangkap dua orang pelaku yang terlibat berinisial YAL (27) dan SL (30) di sebuah rumah kontrakan di Tenayan Raya, Pekanbaru. Setelah dilakukan penggeledahan, ditemukan barang bukti narkotika.

    Sementara, tersangka YAL mengaku diajak untuk mengambil barang haram tersebut. Dia dijanjikan upah sebesar Rp 30 juta dari rekannya tersebut.

    “Kemudian tim membawa Tersangka dan barang bukti ke kantor Direktorat Narkoba Bareskrim Polri untuk di lakukan pemeriksaan lebih lanjut,” tuturnya.

    (wnv/wnv)

  • Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK

    Lorong Gelap Transaksi Pilkada Bikin Banyak Kepala Daerah Diciduk KPK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendata sudah ada 171 Bupati dan Wali Kota yang terjerat kasus korupsi.
    Sedangkan gubernur mencapai 30 orang. Data ini belum ditambah dengan data terbaru, yakni dua kepala daerah yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK dua bulan belakangan.
    Dua orang tersebut adalah Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    Pada tahun sebelumnya, Kompas.com mencatat lima kepala daerah yang ditangkap KPK atas kasus korupsi.
    Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa.
    Kasus kepala daerah terjerat korupsi yang berulang membuat publik bertanya, mengapa mereka seolah tak belajar dan tak jera dengan kejahatan yang dianggap
    extraordinary
    atau kejahatan luar biasa di Indonesia ini?
    Ketua IM57+ Lakso Anindito mengatakan, ada tiga faktor yang menjadi penyebab paling sering kepala daerah terjerat kasus korupsi.

    Pertama, sektor pengadaan barang dan jasa yang masih longgar dan menimbulkan kerawanan kecurangan dan permainan.
    Karena sistem transparansi dinilai tidak cukup, akan tetapi masih ada proses tender yang bersifat formalitas untuk menunjuk pemenang yang sudah ditetapkan di awal lelang.
    “Nah itu menandakan bahwa sektor ini masih merupakan sektor yang signifikan ya tingkat perawatannya dan perlu ada tindakan segera untuk melakukan proses reformasi,” katanya.
    Kedua, adalah persoalan sistem yang masih menggunakan berbagai peluang dan kesempatan untuk bisa mendukung pembiayaan politik dan pribadi kepala daerah.
    Salah satu contoh adalah Gubernur Riau yang menggunakan kekuasaannya untuk memeras bawahannya dengan istilah “jatah preman”.
    “Yang ketiga saya ingin menyoroti biaya politik yang mahal,” katanya.
    Menurut Lakso, biaya politik ini tak terhenti ketika para kepala daerah memenangkan pemilihan, tetapi terus mengalir ketika mereka telah dilantik.
    Biaya politik seperti biaya dukungan kepada aparat penegak hukum dan pengeluaran untuk melanggengkan kekuasaan lewat oknum di DPRD bisa saja menjadi beban untuk kepala daerah.
    “Nah biaya-biaya siluman inilah yang sebetulnya menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi tersebut,” katanya.
    Program Officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparansi Internasional Indonesia (TII) Agus Sarwono mengatakan, fenomena kepala daerah korup ini bisa jadi disebabkan ongkos politik yang mahal.
    “Yang pasti kan ini implikasi dari biaya politik yang sangat tinggi ya. Dan tentu kan mahalnya biaya politik itu menjadi salah satu faktor penyebab ya,” imbuhnya kepada Kompas.com, Rabu (5/11/2025).
    Dia mengutip data dari KPK yang menyebut modal kampanye untuk kepala daerah bisa mencapai Rp 20-100 miliar.
    Menurut Agus, konsekuensi logis dari modal besar adalah mengembalikannya dengan cara yang besar juga.
    Upaya balik modal ini yang sering dilakukan dengan berbagai macam cara yang ilegal, seperti pemanfaatan anggaran publik sampai memainkan perizinan proyek dan juga pungutan liar.
    Dalam konteks Riau, Agus menyebut ada “jatah preman” yang dilakukan sebagai upaya mengambil keuntungan lewat jalur ilegal.
    “Ini kan menunjukkan bahwa modusnya itu masih menggunakan modus-modus yang lama modus korupsinya, Tapi lebih sistematis saja sebetulnya. Banyak pihak yang ikut terlibat,” katanya.
    Karena motif yang berulang ini, Agus menilai perlu ada gerakan cepat revisi pemilihan umum khususnya kepala daerah agar biaya politik tak lagi menjadi beban.
    Dosen Ilmu Hukum Pemilu Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, kepala daerah yang nekat korupsi padahal baru beberapa bulan menjabat sebagai gejala lemahnya sistem hukum di Indonesia.
    Dia mengaitkan pada ongkos pemilihan kepala daerah yang dinilai tinggi, namun saat transparansi laporan biaya kampanye, tak pernah ada data kredibel yang menyebut ongkos pilkada tersebut mahal.
    “Ini menunjukkan bahwa politik biaya tinggi justru terjadi di ruang gelap, arena di luar jangkauan mekanisme pelaporan dan pengawasan,” kata Titi kepada Kompas.com, Kamis (6/11/2025).
    Titi mengatakan, sistem hukum Indonesia terlihat lemah di sini. Karena praktik jual beli suara dan kursi kekuasaan dibiarkan saja, dan negara tak bisa mengatur hal tersebut.
    “Dalam hal ini, kita sedang berhadapan dengan pembiaran sistematis oleh negara, di mana regulasi dan mekanisme pengawasan pendanaan politik baik oleh KPU, Bawaslu, maupun lembaga keuangan, tidak dibekali instrumen yang memadai untuk menelusuri aliran dana sesungguhnya dalam kontestasi elektoral,” ucapnya.
    Karena itu, transparansi dana kampanye hanya menjadi formalitas administratif, bukan mekanisme substantif akuntabilitas publik.
    Solusi yang ditawarkan Titi adalah membenahi secara total pendanaan politik harus menjadi prioritas nasional.
    Menurut Titi, negara tidak bisa terus menyerahkan pembiayaan politik sepenuhnya kepada individu calon atau partai tanpa tanggung jawab publik.
    “Harus ada inisiatif pendanaan politik berbasis negara yang transparan, adil, dan terukur sehingga politik tidak lagi menjadi arena transaksional yang melahirkan korupsi sebagai balas modal,” ucapnya.
    Titi juga mengatakan, harus ada reformasi sistemik pendanaan politik yang menempatkan integritas, transparansi, dan akuntabilitas sebagai fondasi utama.
    Tanpa itu, Titi menilai kasus korupsi kepala daerah hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama berupa biaya tinggi, korupsi tinggi, dan kepercayaan publik yang terus menurun.
    Selain soal sistem pembiayaan politik, pengawasan dana kampanye harus direformasi total dan harus menjadi fokus dari negara.
    Dia berharap PPATK dilibatkan dalam pengawasan dana kampanye sebagai bentuk mengawasi aliran uang yang beredar di pemilu secara menyeluruh.
    Metode kampanye juga harus didesain agar lebih adil dan memberi insentif bagi kampanye dengan kampanye terjangkau.
    “Penegakan hukum atas politik uang juga harus sepenuh efektif oleh karena itu harus ada rekonstruksi aparat yang terlibat dalam pengawasan dan penegakan hukumnya,” katanya.
    Misal dengan mengatur patroli aparat penegak hukum dan optimalisasi kewenangan tangkap tangan atas praktik politik uang.
    “KPK juga perlu terlibat dalam pengawasan dan penindakan praktik uang ini. Sebab akar dari korupsi politik adalah politik uang. Maka harus ada upaya luar biasa untuk memberantasnya,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        6 November 2025

    SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK Regional 6 November 2025

    SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
    Tim Redaksi
    PEKANBARU, KOMPAS.com
    – Hubungan antara Gubernur Riau, Abdul Wahid, dan Wakil Gubernur, SF Hariyanto, diisukan retak sebelum penangkapan Abdul Wahid dalam OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Isu tersebut diperkuat oleh fakta bahwa keduanya jarang muncul bersama di publik setelah dilantik pada Februari 2025.
    SF Hariyanto
    , yang jarang terlihat dalam agenda penting pemerintahan, baru-baru ini muncul dalam sebuah video pertemuan dengan
    Abdul Wahid
    .
    Pertemuan tersebut berlangsung di kediaman
    Gubernur Riau
    di Jalan Diponegoro, Kota Pekanbaru, pada Kamis, 30 Oktober 2025.
    Dalam video tersebut, tampak juga Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, yang sedang melakukan video call dengan Ustadz Abdul Somad.
    Abdul Wahid dan Hariyanto terlihat saling menyapa, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada keretakan di antara mereka.
    Namun, hanya tiga hari setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada Senin (3/11/2025), Abdul Wahid ditangkap
    KPK
    dalam operasi tangkap tangan (OTT).
    Selain Abdul Wahid, KPK juga menangkap Kadis PUPR Riau, M Arief Setiawan, dan Staf Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.
    Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.
    Menanggapi isu hubungan retak tersebut, SF Hariyanto membantahnya.
    “Ada yang tanya kenapa saya tidak tampil sejak dilantik. Saya tampil. Saya selalu bersama Pak Gubernur, kemarin kami ngopi, sudah salam-salaman,” kata Hariyanto saat pertemuan dengan media di Kantor Gubernur Riau, Kamis (6/11/2025).
    Ia menegaskan, tidak ada masalah antara dirinya dan Abdul Wahid.
    “Tidak ada masalah. Dia itu adik saya, tak ada masalah,” jelas Hariyanto.
    Menyangkut penangkapan Abdul Wahid oleh KPK, Hariyanto mengaku tidak mengetahui peristiwa tersebut.
    Ia menjelaskan bahwa sebelum penangkapan, ia sedang ngopi bersama Abdul Wahid dan Bupati Siak, Afni Zulkifli.
    “Saya tidak mengetahui (penangkapan) itu. Memang kebetulan pada saat itu saya sedang ngopi dengan Pak Gubernur dan Bupati Siak. Tiba-tiba ada ramai-ramai orang di luar. Setelah itu saya keluar dan pulang untuk shalat ashar. Setelah itulah banyak informasi penangkapan KPK,” ungkap Hariyanto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.