Masih Kasus Gubernur Abdul Wahid, KPK Geledah Kantor BPKAD hingga Dinas Pendidikan Riau
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Setelah Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Riau, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah Kantor Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Riau dan beberapa rumah lainnya pada Rabu (12/11/2025).
Penggeledahan itu masih berkaitan dengan pengembangan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap
Gubernur Riau
, Abdul Wahid.
“Penyidik secara maraton melanjutkan giat penggeledahan di kantor BPKAD dan beberapa rumah pada Rabu (kemarin),” kata Juru Bicara
KPK
, Budi Prasetyo, kepada wartawan, Kamis (13/11/2025).
Dari penggeledahan tersebut, penyidik KPK menyita dokumen dan barang bukti elektronik terkait pergeseran anggaran di Provinsi Riau.
“Hari ini, Kamis, melanjutkan giat penggeledahan di Dinas Pendidikan,” tegas dia.
KPK menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh masyarakat, khususnya di wilayah Riau, yang terus mendukung penuh penegakan hukum ini.
“Mengingat, masyarakatlah sebagai pihak yang paling dirugikan akibat korupsi yang secara nyata telah mendegradasi kualitas pembangunan dan pelayanan publik,” jelas dia.
Sebelumnya, KPK menangkap 10 orang dalam operasi senyap di Riau pada Senin (3/11/2025).
Mereka di antaranya Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda, dan Tata Maulana yang merupakan orang kepercayaan Abdul Wahid.
Kemudian, satu orang lain atas nama Dani M. Nursalam yang merupakan Tenaga Ahli Gubernur Riau Abdul Wahid menyerahkan diri pada Selasa (4/11/2025) petang.
Menurut hasil pemeriksaan, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: RIAU
-
/data/photo/2025/11/06/690c6a4d9b25e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Masih Kasus Gubernur Abdul Wahid, KPK Geledah Kantor BPKAD hingga Dinas Pendidikan Riau
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5410582/original/039206900_1762937727-KPK_Riau.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Geledak Kantor BPKAD Terkait Kasus Dugaan Korupsi Gubernur Riau
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan menyita dokumen pergeseran anggaran saat menggeledah Kantor Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Dinas PUPR-PKPP) Riau pada Selasa 11 November 2025.
“Dalam penggeledahan tersebut, penyidik menyita dokumen terkait pergeseran anggaran di Dinas PUPRPKPP,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada para jurnalis di Jakarta, melansir Antara, Rabu (12/11/2025).
Selain itu, Budi mengatakan, penyidik KPK menyita barang bukti elektronik saat menggeledah kantor dinas tersebut.
Sebelumnya, pada 3 November 2025, KPK mengonfirmasi penangkapan Abdul Wahid selaku Gubernur Riau dan delapan orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Pada 4 November 2025, KPK mengumumkan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam menyerahkan diri kepada lembaga antirasuah tersebut.
Selain itu, KPK pada tanggal yang sama, mengonfirmasi sudah menetapkan tersangka pasca-OTT tersebut. Namun, belum dapat memberitahukan secara detail kepada publik.
Pada 5 November 2025, KPK mengumumkan menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid (AW), Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPRPKPP) Riau M. Arief Setiawan (MAS), serta Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M. Nursalam (DAN) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025.
-

Bongkar Pemerasan di Pemprov Riau, KPK Sita Dokumen Anggaran Dinas PUPR
Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik KPK kembali melakukan penggeledahan untuk mengusut dugaan pemerasan di Lingkungan Pemerintahan Provinsi (Pemprov) Riau. Penggeledahan menyasar kantor Dinas PUPR Pemprov Riau
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan penggeledahan dilakukan pada hari Selasa (11/11/2025). Tim KPK menyita beberapa barang bukti, salah satunya dokumen anggaran Dinas PUPR
“Penyidik kembali melanjutkan giat penggeledahan di Dinas PUPR Prov Riau. Dalam penggeledahan tersebut, Penyidik menyita dokumen dan BBE terkait pergeseran anggaran di Dinas PUPR,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Rabu (12/11/2025).
Pada perkara ini, Gubernur Riau Abdul Wahid meminta ‘jatah preman’ sebesar Rp7 miliar. Fee berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP dari awalnya Rp71,6 miliar, menjadi Rp177,4 miliar. Ada kenaikan Rp106 miliar.
Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry selaku Sekda PUPR PKPP Riau mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar.
Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.
Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan melalui Arief, agar Ferry mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.
Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300juta.
KPK juga menetapkan tersangka dan menahan Gubernur Riau Abdul Wahid, M. Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau.
Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-
/data/photo/2025/11/12/6913abf18a378.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
Korupsi sebagai Kejahatan Kemanusiaan
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
KETIKA
rakyat berjuang menegakkan keadilan, sebagian pejabat menjadikannya komoditas. Di negeri yang mengaku menjunjung tinggi hukum, korupsi terus berulang, seperti upacara tahunan.
Penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko sejatinya hanyalah cermin dari wajah kekuasaan yang lama: jabatan diperjualbelikan, tanggung jawab publik digadaikan.
Dalam lanskap politik yang penuh retorika moral, terbentuk sebuah tatanan baru—Republik Tikus Berdasi.
Tikus berdasi bukan sosok pencuri kelas bawah. Mereka berjas, berpidato tentang integritas, menandatangani pakta antikorupsi, bahkan mengutip ayat moralitas di depan publik.
Namun, di balik dasi dan pidato, berlangsung perampokan uang rakyat secara sistematis. Lubang gelap tidak lagi berada di gudang beras, tetapi di proyek infrastruktur, anggaran daerah, dan mutasi jabatan.
Ketika kekuasaan berubah menjadi sarana perampasan,
korupsi
menjelma pelanggaran terhadap
hak asasi
manusia.
Korupsi sejatinya bukan sekadar penggelapan keuangan negara. Tindakan tersebut merampas hak rakyat untuk memperoleh pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak.
Setiap rupiah yang disedot dari kas publik berarti hilangnya kesempatan anak untuk belajar, pasien untuk sembuh, dan warga miskin untuk hidup bermartabat.
Korupsi menjadi bentuk kekerasan struktural yang tidak menumpahkan darah, tetapi mematikan harapan dan martabat manusia secara perlahan.
Fenomena korupsi di republik ini telah melampaui batas penyimpangan moral. Praktik tersebut telah bertransformasi menjadi budaya kekuasaan: dari pusat hingga daerah, dari parlemen hingga birokrasi kecil. Pergantian pejabat hanya mengganti wajah, bukan sistem.
Ketika hukum kehilangan wibawa dan pengawasan menjadi seremonial, republik ini hanya menukar pelaku, bukan menghentikan kejahatan.
Dalam tatanan semacam itu, tikus berdasi bukan lagi pengecualian, melainkan representasi paling jujur dari kekuasaan yang gagal menjaga amanat rakyat.
Korupsi tidak hanya menggerogoti keuangan negara, tetapi juga merusak sendi-sendi kemanusiaan. Tindakan tersebut meniadakan kemampuan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia.
Dalam perspektif hukum internasional, korupsi digolongkan sebagai salah satu penghalang utama bagi penikmatan hak-hak dasar warga negara, sebagaimana ditegaskan oleh Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR).
Bahkan, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara eksplisit mengaitkan praktik korupsi dengan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Kasus operasi tangkap tangan terhadap kepala daerah di wilayah Sumatra menunjukkan bahwa kekuasaan publik telah berubah menjadi instrumen rente.
Jabatan yang seharusnya menjadi sarana pengabdian publik justru dimanfaatkan untuk menekan bawahan dan mengutip “jatah” dari anggaran pembangunan infrastruktur.
Praktik tersebut mengakibatkan hak masyarakat atas pembangunan, mobilitas, dan kesejahteraan sosial dirampas oleh struktur kekuasaan yang korup.
Korupsi semacam ini adalah bentuk kekerasan struktural yang menghambat pemenuhan hak ekonomi dan sosial warga secara langsung.
Kasus lain di daerah Jawa Timur mengungkap pola serupa. Operasi tangkap tangan yang melibatkan kepala daerah di wilayah tersebut menyingkap praktik jual beli jabatan di lingkungan pemerintahan.
Fenomena ini tidak hanya melanggar prinsip meritokrasi dan keadilan administratif, tetapi juga mengingkari hak warga negara atas pemerintahan yang bersih dan adil.
Ketika jabatan diperdagangkan, sistem pelayanan publik kehilangan nilai moralnya, dan hukum kehilangan kemampuan korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2024, dari skor 34 menjadi 37, sering dijadikan penanda keberhasilan pemberantasan korupsi. Namun, di balik kenaikan itu, terdapat catatan penting yang tidak dapat diabaikan.
Laporan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan penurunan skor pada indikator penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi, korupsi politik lintas cabang kekuasaan, serta penyuapan dalam pengadaan dan bisnis publik.
Sementara itu, kajian lembaga masyarakat sipil mengungkap bahwa selama tahun 2024 hingga awal 2025, tidak ada kebijakan antikorupsi yang diimplementasikan secara sistematis.
Kenaikan skor IPK tidak dapat dibaca sebagai tanda pulihnya integritas bangsa. Skor tersebut lebih merefleksikan persepsi global yang fluktuatif ketimbang kemajuan substantif dalam penegakan hukum.
Indikator kuantitatif tidak mampu menutupi kenyataan bahwa praktik korupsi di tingkat pemerintahan pusat dan daerah masih berulang.
Ketika angka persepsi dijadikan ukuran keberhasilan, pemberantasan korupsi berisiko terjebak pada simbolisme statistik tanpa reformasi yang nyata.
Dalam kerangka hak asasi manusia, korupsi memenuhi unsur pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimuat dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) yang telah diaksesi oleh Indonesia.
Setiap penyalahgunaan anggaran publik berarti meniadakan hak rakyat atas pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Korupsi dalam pelayanan publik mengakibatkan keterlantaran sosial yang bersifat sistematis, di mana hak hidup layak dan rasa keadilan masyarakat dikorbankan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Oleh karena itu, korupsi pantas disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar pelanggaran hukum administratif.
Negara hukum kehilangan maknanya ketika hukum berhenti menjadi instrumen keadilan dan berubah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan yang korup.
Dalam situasi seperti ini, pelanggaran terhadap hukum bukan lagi tindakan menyimpang, melainkan bagian dari mekanisme kekuasaan itu sendiri.
Seperti dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya “mengabdi kepada manusia,” bukan kepada struktur kekuasaan yang menindas.
Namun, ketika kepentingan politik dan ekonomi mendominasi, hukum kehilangan jiwa sosialnya, dan negara hukum berubah menjadi sekadar negara peraturan tanpa keadilan.
Kondisi tersebut menggambarkan regresi moral yang serius dalam politik hukum pemberantasan korupsi.
Reformasi hukum yang diharapkan mampu menegakkan akuntabilitas justru stagnan. Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa pada tahun 2024 tidak ada langkah strategis yang menunjukkan kemauan politik kuat dalam memperkuat sistem antikorupsi.
Ketiadaan kemauan politik ini mencerminkan apa yang disebut oleh Jeremy Pope sebagai “the politics of tolerance toward corruption”—politik yang secara diam-diam menoleransi korupsi demi stabilitas kekuasaan.
Korupsi yang dibiarkan tanpa perbaikan sistemik menggerus legitimasi negara di mata rakyat. Seperti dikemukakan Robert Klitgaard, korupsi tumbuh subur ketika terdapat
monopoly of power, discretion, and absence of accountability.
Ketiga unsur tersebut masih menjadi karakter utama birokrasi dan politik Indonesia. Ketika pengawasan internal hanya bersifat administratif dan lembaga penegak hukum terjebak dalam kompromi politik, pengendalian terhadap korupsi hanya menjadi formalitas.
Dalam keadaan semacam ini, hukum kehilangan daya korektifnya, dan aparat penegak hukum kehilangan otoritas moral di hadapan publik.
Fenomena ini menegaskan pandangan Eko Riyadi bahwa korupsi merupakan bentuk pelanggaran HAM struktural karena melibatkan relasi kuasa yang timpang antara penguasa dan warga.
Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga menihilkan hak atas pemerintahan yang bersih dan partisipatif.
Ketika korupsi merasuk ke dalam sistem politik dan birokrasi, pelanggaran HAM tidak lagi bersifat insidental, melainkan sistemik.
Dalam hal ini, pemberantasan korupsi tidak cukup berhenti pada penegakan hukum pidana, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari agenda kemanusiaan untuk memulihkan keadilan sosial.
Negara hukum sejatinya berdiri di atas dua fondasi: legitimasi moral dan integritas kelembagaan. Tanpa keduanya, hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan yang menindas, bukan yang membebaskan.
Negara yang gagal menegakkan hukum terhadap korupsi sesungguhnya telah gagal menegakkan hak asasi manusia.
Karena itu, pertarungan melawan korupsi bukan semata perang terhadap pencurian uang negara, melainkan perjuangan mempertahankan kemanusiaan dalam wajah negara yang telah lama kehilangan moralnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.





