Senjata Tak Akan Menyembuhkan Luka Papua
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
LEBIH
dari enam dekade sudah berlalu sejak Papua Barat resmi menjadi bagian dari Indonesia. Namun hingga kini, hati dan pikiran masyarakat Papua tetap terasa masih jauh dari Jakarta.
Ketegangan yang terus berulang antara aparat keamanan dan warga sipil, laporan kekerasan di daerah-daerah pegunungan, serta munculnya berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan yang semakin aktif di panggung internasional, menunjukkan bahwa persoalan Papua bukanlah semata masalah keamanan.
Lihat saja peristiwa bentrok antara aparat kepolisian dengan elemen pemuda pada
aksi demonstrasi Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua di Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (15/10/2025).
Ratusan mahasiswa Papua tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Tanah Adat Papua (AMPPTAP) menggelar aksi demonstrasi menolak investasi dan militerisasi di Tanah Papua.
Aksi tersebut berakhir ricuh, dua mobil polisi dan satu mobil PDAM Jayapura dibakar massa hingga 3 orang luka terkena lemparan batu.
Peristiwa ini memperjelas fakta bahwa masalah Papua multidimensional, tak bisa disederhanakan hanya sebagai masalah keamanan.
Papua adalah cermin dari kegagalan negara memahami rakyatnya sendiri. Pendekatan militeristik yang terus dipertahankan telah memperdalam jurang ketidakpercayaan, memperkuat sentimen perlawanan, dan secara perlahan membuka jalan bagi legitimasi perjuangan referendum yang kini, menurut rencana para pejuang Papua merdeka, akan diupayakan pada tahun 2027 mendatang.
Buku “Papua: Geopolitics and the Quest for Nationhood” (2018) karya Bilveer Singh menggambarkan dengan tajam akar persoalan ini.
Singh, pakar politik dari Universitas Nasional Singapura, menegaskan bahwa Papua tidak dapat dipahami hanya dari kacamata integrasi nasional atau pemberantasan separatisme.
Di balik perlawanan politik yang sering dicap “gerakan pengacau keamanan”, terdapat sejarah panjang ketidakadilan dan marginalisasi.
Proses Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang dinilai cacat oleh banyak kalangan di dalam komunitas internasional menjadi luka awal yang tidak pernah sembuh.
Ketika ketidakadilan struktural seperti ketimpangan ekonomi, diskriminasi sosial, dan eksploitasi sumber daya alam terus berlangsung, maka gagasan tentang “merdeka” menjadi simbol harapan atas harga diri dan kebebasan masyarakat Papua.
Singh menilai bahwa pendekatan keamanan Indonesia justru memperkuat narasi separatisme itu, karena negara gagal menunjukkan empati dan pengakuan terhadap identitas Papua sebagai bagian sejajar dari bangsa Indonesia.
Ironisnya, pendekatan keamanan telah menjadi pola refleks dan repetitif negara dalam menghadapi setiap gejolak di Papua.
Peningkatan jumlah pasukan, operasi intelijen, serta kontrol ketat terhadap wilayah dan kontrol atas informasi dianggap sebagai satu-satunya cara menjaga “stabilitas nasional”. Padahal, stabilitas yang dibangun di atas rasa takut bukanlah stabilitas sejati.
Stephen Hill dalam bukunya “Merdeka: Hostages, Freedom and Flying Pigs in West Papua” (2014) menjelaskan bahwa kekerasan yang terus-menerus diulang hanya memperkuat siklus kebencian.
Bagi Hill, Papua adalah ruang di mana makna “merdeka” selalu dinegosiasikan antara kekuasaan dan kemanusiaan.
Ketika negara memaksa rakyatnya untuk patuh melalui kekuatan senjata, maka yang hilang bukan hanya rasa aman, melainkan juga rasa memiliki terhadap Indonesia.
Dalam konteks inilah, pendekatan keamanan justru menjauhkan Indonesia dari cita-cita “merangkul Papua dalam satu keluarga bangsa.”
Kini, konsekuensi dari pendekatan yang keliru tersebut mulai tampak nyata. Organisasi-organisasi perjuangan Papua merdeka semakin gencar mencari dukungan di tingkat internasional.
Di dalam komunitas negara-negara Melanesia, Papua mendapat ruang yang kian luas melalui Melanesian Spearhead Group (MSG) dan jejaring solidaritas Pasifik.
Dukungan moral dari negara-negara seperti Vanuatu, Solomon Islands, dan bahkan Fiji mulai menunjukkan bahwa isu Papua telah menjadi simbol solidaritas regional bagi bangsa-bangsa Melanesia.
Indonesia memang berusaha mengimbangi dengan diplomasi ekonomi dan politik. Namun luka identitas yang tak kunjung diakui membuat diplomasi tersebut sering tampak artifisial di mata publik Melanesia.
Setiap tindakan kekerasan di lapangan menjadi bahan bakar baru bagi kampanye Papua merdeka di dunia internasional, sekaligus mengikis citra Indonesia sebagai negara demokrasi yang menghormati hak asasi manusia.
Lebih jauh lagi, dukungan dari negara-negara Barat mulai menunjukkan arah yang mengkhawatirkan.
Australia, yang selama ini berhati-hati dalam bersikap terhadap isu Papua, kini mulai mengambil posisi strategis.
Penempatan pasukan Australia di kawasan Papua Nugini yang berdekatan dengan Darwin bukan hanya langkah pertahanan semata, tetapi juga bentuk kesiapsiagaan terhadap potensi referendum di Papua Barat yang direncanakan pada 2027 itu.
Di beberapa forum keamanan Pasifik, pejabat Australia bahkan menyinggung pentingnya “stabilitas berbasis hak asasi manusia” di kawasan.
Kalimat yang tampak diplomatis ini sejatinya mengirim sinyal bahwa Barat ingin memastikan, jika referendum terjadi, Indonesia tidak melakukan intervensi yang dapat mencederai legitimasi proses tersebut.
Bila langkah ini berlanjut, Indonesia bisa terjebak dalam situasi serupa dengan Timor Timur dua dekade lalu, di mana tekanan internasional dan citra buruk akibat kekerasan negara justru mempercepat lepasnya wilayah itu dari republik.
Indonesia tentu memiliki alasan untuk mempertahankan Papua sebagai bagian integral dari negara. Papua adalah wilayah kaya sumber daya, strategis secara geografis, dan merupakan simbol keutuhan nasional.
Namun, cara mempertahankannya tidak bisa terus-menerus bergantung pada pendekatan kekuatan.
Seperti diingatkan Bilveer Singh, legitimasi negara di mata rakyatnya tidak dibangun dengan bayonet, tetapi dengan rasa keadilan dan keterlibatan sejati yang manusiawi.
Selama pemerintah Jakarta masih memandang Papua sebagai “daerah rawan”, alih-alih sebagai “daerah yang perlu didengarkan,” maka jarak emosional akan terus melebar.
Pendekatan keamanan memang bisa menekan gejolak sesaat, tetapi tidak pernah menyembuhkan sebab-musababnya.
Masalahnya, pendekatan pembangunan yang seharusnya menjadi jembatan menuju rekonsiliasi justru sering terkooptasi oleh logika keamanan.
Program infrastruktur masif seperti Trans Papua, pembangunan bandara, dan perluasan tambang sering dijadikan simbol kemajuan, tanpa memperhatikan ketimpangan yang terjadi di tingkat sosial dan budaya.
Masyarakat lokal kerap tersisih dari proyek-proyek tersebut, baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Akibatnya, pembangunan yang dimaksudkan untuk “menyatukan” Papua justru dianggap sebagai bentuk eksploitasi baru.
Hal ini sesuai dengan kritik Singh bahwa kebijakan
top-down
dari Jakarta gagal memenangkan hati masyarakat karena tidak berangkat dari kebutuhan dan aspirasi mereka sendiri.
Sementara itu, organisasi-organisasi Papua merdeka seperti United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terus memperluas pengaruhnya di dunia internasional.
Dengan strategi diplomasi yang rapi dan dukungan diaspora Papua di Eropa serta Pasifik, mereka berhasil menggeser persepsi global terhadap konflik Papua dari isu separatisme menjadi isu hak menentukan nasib sendiri.
Kampanye mereka di forum PBB, gereja-gereja global, hingga parlemen-parlemen negara Barat semakin mengisolasi Indonesia secara moral.
Dalam konteks ini, setiap tindakan represif di lapangan menjadi “amunisi politik” yang memperkuat narasi bahwa Papua berada di bawah penjajahan modern.
Jika tren ini berlanjut, Indonesia akan menghadapi situasi diplomatik yang jauh lebih rumit menjelang tahun 2027.
Rencana referendum yang kini mulai dibicarakan di lingkaran aktivis Papua merdeka, dengan dukungan moral dari komunitas Melanesia dan sikap waspada Australia, plus dukungan jaringan gereja, bisa menjadi momentum politik yang akan sulit dihadang.
Dunia yang kini semakin sensitif terhadap isu hak asasi manusia dan dekolonisasi akan mudah bersimpati pada perjuangan Papua, terutama bila Indonesia gagal memperlihatkan perubahan nyata dalam pendekatan di lapangan.
Dalam skenario terburuk, tekanan internasional bisa memaksa Indonesia membuka ruang dialog yang diarahkan pada penentuan nasib sendiri, seperti yang pernah terjadi di Timor Timur pada 1999.
Namun, peluang tersebut tentu tidak harus menjadi kenyataan jika Indonesia berani mengubah pendekatannya sekarang.
Sejarah membuktikan bahwa kekuasaan yang bertahan lama bukan karena ketakutan, tetapi karena kepercayaan.
Papua membutuhkan pengakuan, bukan pengawasan. Rakyat Papua ingin didengar, bukan diawasi.
Karena itu, pemerintah harus menata ulang paradigma keamanannya dengan menempatkan hak asasi manusia dan rekonsiliasi sebagai fondasi utama kebijakan.
Perlu ada mekanisme keadilan transisional yang mengakui kekerasan masa lalu, membuka ruang dialog sejajar antara Jakarta dan perwakilan masyarakat Papua, serta memastikan pembangunan dijalankan dengan menghormati hak-hak adat dan budaya.
Indonesia memang memiliki kesempatan untuk membalikkan arah sejarah, tetapi waktu semakin sempit. Setiap tindakan represif yang terjadi hari ini adalah satu langkah menuju hilangnya kepercayaan di esok harinya.
Papua tidak bisa terus didekati dengan bahasa perintah, tapi harus dirangkul dengan bahasa kemanusiaan.
Seperti yang disampaikan Stephen Hill, kemerdekaan sejati tidak selalu berarti pemisahan dari negara, tetapi kebebasan untuk diakui dan dihormati sebagai manusia yang setara.
Bila Indonesia gagal memahami pesan sederhana tersebut, maka upaya mempertahankan Papua justru akan menjadi proses yang perlahan-lahan menyiapkan jalan bagi kemerdekaan.
Pendek kata, persoalan Papua bukan hanya ujian bagi Papua dan masyarakatnya, tetapi juga ujian moral bagi Indonesia.
Apakah negara ini benar-benar siap menjadi rumah bagi seluruh bangsanya, termasuk mereka yang berbeda warna kulit, budaya, dan sejarah?
Ataukah Indonesia akan terus memaksa persatuan melalui ketakutan dan senjata, sampai akhirnya kehilangan yang paling berharga terjadi, kepercayaan rakyatnya sendiri?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: PAPUA
-
/data/photo/2025/10/17/68f1ae5dba9c6.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kementrans Ajak Mahasiswa Tiongkok Kolaborasi Bangun Kawasan Transmigrasi Papua Nasional 17 Oktober 2025
Kementrans Ajak Mahasiswa Tiongkok Kolaborasi Bangun Kawasan Transmigrasi Papua
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Kementerian Transmigrasi (Kementrans) mengajak mahasiswa dan akademisi dari Tiongkok untuk berkolaborasi membangun kawasan transmigrasi Papua.
Ajakan tersebut disampaikan Menteri Transmigrasi (Mentrans) M Iftitah Sulaiman Suryanagara saat memberikan kuliah umum di hadapan sivitas akademika Central China Normal University (CCNU), Wuhan, Rabu (15/10/2025).
Dalam kesempatan tersebut, Iftitah menyampaikan visi besar Indonesia untuk menjadikan kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan baru yang inklusif dan berkelanjutan.
Papua dinilai sebagai salah satu wilayah yang memiliki banyak potensi, tetapi pembangunannya belum maksimal.
“Di antara semua wilayah kami, Papua mewakili tantangan dan janji. Ia (Papua) kaya dalam keadaan, tetapi rakyatnya berhak mendapatkan akses kemajuan yang lebih besar. Kita belajar dari China, kekuatan negara bergantung pada integritas rakyatnya,” ujar Iftitah dalam keterangan resminya, Jumat (17/10/2025).
“Papua mengajarkan kami bahwa kemanusiaan harus dimulai dengan keadilan. Kita mungkin berbeda dalam bahasa, kulit, atau tradisi, tetapi rakyat membutuhkan keadilan yang sama. Kami berharap untuk membuat Papua bukan hanya negara kecantikan, tetapi juga sebuah simbol keindustrisasi inklusif,” lanjutnya.
Oleh karena itu, Iftitah mengajak Tiongkok bersama-sama membangun Papua, mulai dari sektor pendidikan, kesehatan, hingga industri di Bumi Cendrawasih.
Menurutnya, pembangunan bukan tentang infrastruktur, tetapi tentang rakyat. Sumber daya yang paling berharga untuk negara bukan emas atau minyak, tetapi kapital manusia.
“Itulah kenapa universitas seperti CCNU sangat penting. Anda tidak hanya mengajari ilmu atau matematika, Anda mengajari tujuan. Anda tidak hanya menghasilkan pengetahuan, Anda menghasilkan kebijaksanaan. Anda tidak hanya membangun intelektual, Anda membangun karakter,” tegas Iftitah.
Ia menekankan bahwa Kementrans mengajak Tiongkok bergabung dalam misi ini untuk membantu pemerintah Indonesia membangun sekolah, rumah sakit, serta industri yang menghormati budaya dan keadilan lokal.
“Biarkan kita membuat Papua sebuah cerita yang sangat baik, sebuah cerita tentang perhubungan, kemajuan, dan kesehatan manusia. Di daerah transmigrasi 5.0 terdapat sebuah kebenaran sederhana,” kata Iftitah.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Cerita Telkom Sambungkan Internet Hingga Ujung Timur Indonesia
Merauke –
Di ujung timur Indonesia, di tempat Matahari pertama kali menyapa Nusantara, sinyal tak datang semudah kecepatan cahaya. Di Merauke, tempat waktu berjalan dua jam lebih awal dari pusat pemerintahan di Jakarta, justru sering tertinggal dalam hal konektivitas.
Papua bukan wilayah yang mudah dijangkau. Kontur alamnya membuat pemasangan kabel darat sangat menantang untuk dilakukan. Karenanya, sejak 2018 Telkom memilih jalur laut dengan membentangkan Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Papua Selatan 1 yang menjadi tulang punggung konektivitas Indonesia Timur. Ia terbentang di dasar Laut Arafura, membawa data dengan kecepatan cahaya.
Menurut Executive Vice President Telkom Regional V Amin Soebagyo, fiber optik merupakan teknologi komunikasi paling diandalkan saat ini, terutama dari sisi kapasitas dan kecepatan.
“Fiber optik masih jadi teknologi paling cepat, tapi juga paling rumit pemasangannya di Papua. Makanya kita gelar kabel laut, karena jalan daratnya tidak semua ada,” ujarnya di kantor Gubernur Papua Selatan, Merauke, dalam rangka audiensi Telkom dengan Pemerintah Papua Selatan pekan ini.
“Fiber optik kecepatannya kecepatan cahaya, sekitar 310 ribu km per detik sehingga menjadi media transmisi data paling cepat yang kita miliki, dan itu butuh presisi luar biasa,” imbuhnya.
Namun laut tak akan sepenuhnya bersahabat. Jangkar kapal besar, gempa, pergeseran lempeng, hingga arus kuat kerap membuat jaringan serat optik itu terputus. Ketika itu terjadi, seluruh Papua bisa seketika ‘gelap’, kehilangan sambungan ke dunia luar.
Setiap kali itu terjadi, tim Telkom bekerja dalam krisis, mengaktifkan sistem darurat, termasuk ‘meminjam’ sinyal dari langit lewat satelit. Dalam kondisi normal, jaringan Telkom di Merauke menanggung traffic data hingga 73 Gbps. Tapi ketika kabel putus, jaringan hanya bisa bertahan di kisaran megabit, jauh di bawah kebutuhan akses digital warga yang kian meningkat.
Kesadaran bahwa infrastruktur di Papua tak bisa hanya bergantung pada satu jalur, melahirkan rencana besar pembangunan Papua Selatan 2, SKKL baru yang akan menghubungkan Merauke – Tual – Timika.
Namun jalan menuju itu masih panjang. Kabel laut Papua Selatan 2 saat ini tengah dirancang, dan direncanakan rampung pada 2028. Sementara menunggu, solusi jangka menengah seperti pembangunan Content Delivery Network (CDN) dan perluasan radio backbone terus dikerjakan agar konektivitas Merauke makin tangguh.
“Kami ingin membangun resiliensi. Karena tantangan di sini bukan hanya soal teknologi, tapi juga geografi, alam, dan keberlanjutan,” kata Amin.
Halaman Selanjutnya: Internet Penopang Kehidupan di Timur Indonesia
Internet Penopang Kehidupan
Ilustrasi kabel laut. Foto: Shutterstock
Di balik hal teknis, banyak wajah lain yang ikut hidup jika sinyal tak putus-putus, mengingat jaringan internet telah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat. Di kampus Universitas Musamus, konektivitas Telkom menopang sistem pembelajaran dan riset.
“Kolaborasi ini penting untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di Papua Selatan. Kami berharap kerja sama dengan Telkom akan memperkuat akses digital bagi mahasiswa dan mendorong lahirnya generasi muda Papua yang menguasai teknologi informasi,” kata Rektor Universitas Musamus, Daud Andang Pasalli.
Di sisi lain kota, di sebuah bangunan sederhana, ada Rumah BUMN Telkom Merauke yang menjadi tempat bernaung para pelaku UMKM. Sejak berdiri pada 2017, lebih dari 1.500 usaha kecil di bidang makanan, fesyen, dan kerajinan mendapat pendampingan digital.
“Programnya dari Go Modern, Go Digital, hingga Go Online. Kami juga rutin mengadakan pelatihan e-commerce dan konsultasi bisnis digelar hampir setiap hari, dari Senin sampai Jumat,” kata Amadea Sampepadang, Fasilitator Rumah BUMN Telkom Merauke.
Salah satu yang merasakan manfaatnya adalah Kadir Jaya, perajin lokal yang kini punya toko fisik di Tangerang, dan menjual produknya hingga ke berbagai daerah di Indonesia. Apalagi di awal memulai usaha ia sempat bingung mengenai bagaimana mengurus izin usaha.
“Setelah dibantu Rumah BUMN Telkom semuanya selesai. Kami juga dapat pelatihan digital. Selain itu koneksi internet juga membantu kami melayani pelanggan lewat Shopee, Tokopedia, TikTok. Telkom di sini satu-satunya yang bikin kami tetap terhubung. Kalau tidak ada jaringan internet susah kami jualan online,” kenangnya.
Cerita seperti Kadir bukan satu dua. Di Merauke, internet menjadi penanda kemajuan dan harapan. Ia menghubungkan perajin di ujung rawa dengan pasar di Tangerang, mengantarkan pelajar mengakses pembelajaran online, dan membuat petugas perbatasan negara bisa melapor cepat ke pusat.
Bagian dari Pembangunan Nasional
Internet di Merauke juga merupakan kebutuhan strategis dan menjadi bagian dari pembangunan nasional. Hal ini dikarenakan konektivitas digital akan menopang kawasan swasembada pangan dan energi nasional.
“Bapak Presiden menetapkan wilayah kita sebagai dua tempat implementasi pelaksanaan program strategis nasional untuk swasembada pangan dan swasembada energi. Semua sistem yang dibangun menggunakan konsep smart farming dan smart energy, yang artinya seluruh aktivitasnya berbasis internet. Oleh karena itu memang layak Merauke itu dibantu untuk penguatan kapasitas internetnya,” kata Gubernur Papua Selatan Apolo Safanpo.
Di Merauke, sinyal bukan sekadar teknologi, tetapi simbol keadilan akses digital. Di baliknya, ada kerja para teknisi yang menantang badai laut, mengukur arah cahaya dalam kabel, dan memastikan koneksi itu akhirnya sampai.
Membangun konektivitas di ujung Indonesia merupakan perjalanan panjang. Bagi Telkom ini bukan hanya soal bisnis, melainkan tentang memastikan Indonesia benar-benar tersambung dari Sabang sampai Merauke, bukan sekadar lirik dalam lagu nasional. Ketika wilayah lain dengan mudah terhubung dengan kecepatan cahaya, ujung timur negeri ini tak boleh tertinggal dalam ‘gelap’ akibat ketiadaan sinyal komunikasi.
Halaman 2 dari 2
Simak Video “Inovasi Telkom: Bangun BTS Ramah Lingkungan dari Sabang Sampai Merauke!”
[Gambas:Video 20detik]
(rns/fay) -
/data/photo/2025/08/01/688c4e922a9b2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Ungkap Modus Korupsi PT PP: Nama Pegawai Lepas Dipakai Cairkan Uang Proyek Nasional 17 Oktober 2025
KPK Ungkap Modus Korupsi PT PP: Nama Pegawai Lepas Dipakai Cairkan Uang Proyek
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan modus dalam kasus dugaan korupsi proyek-proyek di Divisi EPC PT Pembangunan Perumahan (Persero) tahun anggaran 2022-2023.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, ada praktik penyalahgunaan identitas para pekerja harian lepas untuk mencairkan sejumlah uang di proyek.
“Jadi ada subkon-subkon fiktif begitu ya yang dikerjakan di lingkup PT PP ini, di antaranya menggunakan nama-nama pegawai harian lepas yang bekerja di PT PP, penyalahgunaan identitas,” kata Budi dalam keterangannya, Jumat (16/10/2025).
Budi mengatakan, hal tersebut didalami KPK saat memeriksa empat saksi pada Kamis (15/10/2025).
Empat saksi tersebut adalah Danang Adi Setiadji selaku Manager Proyek Sulut-1 Coal FSPP; Junaidi Heriyanto selaku Manager Proyek MPP Paket 7; Darmawan Surya Kusuma selaku Manager Proyek PSPP Portsite/Manyar Power Line; dan Sholikul Hadi selaku Manager Proyek Jayapura dan Kendari.
Penyidik menduga identitas pekerja lepas itu digunakan untuk mencairkan uang di proyek fiktif.
“Tujuannya adalah untuk melakukan pencairan fiktif dari proyek-proyek tersebut,” ujar Budi.
DIketahui, KPKtengah mengusut kasus korupsi baru terhadap proyek-proyek di Divisi EPC PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tahun Anggaran 2022-2023.
KPK telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus korupsi tersebut, tetapi belum mengungkap identitas mereka.
Berdasarkan perhitungan sementara, kasus korupsi di PT PP itu menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 80 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/10/16/68f0b244c95ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saat TNI Lumpuhkan Pusat Komando OPM Soanggama, 14 Anggota KKB Tewas Nasional 17 Oktober 2025
Saat TNI Lumpuhkan Pusat Komando OPM Soanggama, 14 Anggota KKB Tewas
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
TNI melalui Komando Operasi (Koops) Habema Kogabwilhan III berhasil melumpuhkan kekuatan kelompok separatis bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kampung Soanggama, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, Rabu (15/10/2025).
Dalam operasi itu, sebanyak 14 anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang tergabung dalam Kodap VIII/Soanggama tewas dalam kontak senjata dengan prajurit TNI.
Aksi tersebut sekaligus menandai berakhirnya dominasi kelompok OPM di wilayah Soanggama yang selama ini menjadi salah satu pusat pergerakan mereka.
Menurut keterangan resmi Satuan Tugas Media Koops Habema, operasi pembebasan Kampung Soanggama digelar secara terpadu dan terukur oleh pasukan TNI untuk memulihkan keamanan dan melindungi masyarakat dari tekanan KKB.
Pada Selasa (14/10/2025) malam, prajurit TNI melakukan pergerakan taktis menuju wilayah Soanggama.
Informasi menyebutkan bahwa sekitar 30 anggota OPM Kodap VIII/Soanggama telah lama menguasai kampung tersebut dan menekan warga.
“Pada tanggal 15 Oktober 2025, sekitar pukul 05.30 WIT, kontak tembak terjadi saat pasukan TNI diserang oleh kelompok OPM. Menghadapi situasi tersebut, prajurit TNI dengan terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur sesuai prosedur pertempuran. Pada pukul 12.00 WIT situasi berhasil dikuasai dan kelompok OPM berhasil dipukul mundur,” ungkap Dansatgas Media Koops Habema, Letkol Inf Iwan Dwi Prihartono dalam keterangannya, Kamis (16/10/2025).
TNI juga melaporkan bahwa 14 orang anggota OPM tewas dalam baku tembak tersebut.
Beberapa di antaranya adalah figur kunci dalam struktur Kodap VIII/Soanggama, misalnya Kepala Staf Operasi Kodap VIII/Soanggama Agus Kogoya, Ipe Kogoya selaku adik kandung Agus, dan Zakaria Kogoya yang merupakan pelaku penembakan anggota TNI di Mamba Bawah dan Gamagai.
Kelompok OPM ini tercatat telah melakukan 12 aksi kekerasan bersenjata sepanjang Januari-Oktober 2025, baik terhadap aparat TNI maupun warga sipuk.
Selain menewaskan sejumlah anggota OPM, TNI juga menguasai markas besar Kodap VIII/Soanggama yang selama ini menjadi pusat perencanaan serangan terhadap aparat keamanan dan warga sipil.
Dari hasil penyisiran, TNI menemukan dan mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya satu pucuk senjata api rakitan dan empat senapan angin, munisi berbagai kaliber, satu alat bidik Simons, satu teropong Newcon, dokumen organisasi OPM, atribut bintang kejora, peralatan komunikasi, serta berbagai perlengkapan lapangan milik kelompok separatis.
Untuk memastikan keamanan jangka panjang, wilayah tersebut kini ditetapkan sebagai Pos Taktis TNI Soanggama.
Pasca penindakan, situasi di Kampung Soanggama dilaporkan aman dan kondusif.
Iwan mengatakan bahwa warga kampung juga tidak ada yang mengungsi.
“Masyarakat tidak melakukan pengungsian serta menyambut positif kehadiran TNI. Tokoh adat dan kepala desa setempat bahkan menghibahkan sebagian lahan dan fasilitas kampung untuk dijadikan Pos Taktis TNI Soanggama,” kata dia.
Kepala Desa Soanggama menyampaikan bahwa seluruh korban tewas merupakan anggota kelompok bersenjata.
Ia juga mengonfirmasi bahwa warga memberikan informasi tambahan tentang lokasi senjata lain yang disembunyikan kelompok tersebut.
Panglima Komando Operasi Habema, Mayjen TNI Lucky Avianto menegaskan bahwa tindakan yang diambil prajurit TNI merupakan langkah tegas, terukur, dan sah secara hukum.
“TNI akan terus melakukan penindakan terhadap kelompok bersenjata OPM yang mengancam keselamatan masyarakat. Kami berkomitmen menciptakan Papua yang aman, damai, dan sejahtera,” ujar Lucky.
Ia menambahkan, pasukan saat ini masih melanjutkan pengejaran terhadap sisa kelompok yang melarikan diri ke hutan serta melakukan pembinaan teritorial terbatas bersama tokoh agama dan masyarakat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/09/29/68da765eef642.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



