Dari Laporan soal Penculikan, Ditemukan Jenazah Bayi Dikubur di Sarmi Papua
Tim Redaksi
SARMI, KOMPAS.com
– Warga Kampung Vietnam, Lembah Neidam, Distrik Sarmi, Kabupaten Sarmi, Papua digegerkan dengan penemuan jenazah bayi, Sabtu (23/8/2025).
Bayi yang tak berdosa ini ditemukan dalam kubur menggunakan pakaian dan dibalut dengan kain berwarna oranye.
Diduga, bayi ini sempat ditangani oleh sang ibu sebelum dikubur.
Kanit Reskrim Polres Sarmi, Inspektur Polisi Dua (Ipda) Firmansyah, saat dikonfirmasi, membenarkan peristiwa penemuan jenazah bayi dalam kondisi dikubur.
Menurut Firmansyah, penemuan jenazah bayi ini berawal dari adanya laporan warga terkait dugaan penculikan bayi yang disampaikan pihak keluarga ke Polres Sarmi.
“Ia benar adanya penemuan jasad bayi dalam kondisi sudah dikubur,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima
Kompas.com,
Minggu (24/8/2025) malam.
Firmansyah menyampaikan bahwa saat menerima laporan, pihaknya bergerak menuju lokasi untuk melakukan penyelidikan bersama warga.
Saat melakukan pencarian, pihaknya melihat gundukan tanah mencurigakan yang ditutup atap seng.
Saat dibuka, terlihat kain berwarna oranye yang ternyata adalah pakaian si bayi tersebut.
“Jasad bayi lalu dievakuasi ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sarmi, guna pemeriksaan medis lebih lanjut,” ujarnya.
Firmansyah menyatakan, saat ini pihak kepolisian Polres Sarmi masih melakukan penyelidikan dan pendalaman guna mengungkap pelaku dari peristiwa tersebut.
“Kami masih melakukan penyelidikan dan pemeriksaan lebih lanjut,” katanya.
“Kami imbau masyarakat tetap tenang, tidak berspekulasi, dan menyerahkan sepenuhnya kasus ini ke pihak kepolisian,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: PAPUA
-
/data/photo/2025/08/24/68ab20b6bc05c.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Dari Laporan soal Penculikan, Ditemukan Jenazah Bayi Dikubur di Sarmi Papua Regional 24 Agustus 2025
-

RI Butuh Bandar Antariksa Mandiri untuk Luncurkan Satelit LEO, Tekan Ongkos
Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) mengungkap sejumlah tantangan bagi Indonesia untuk meluncurkan satelit orbit rendah (low earth orbit/LEO) secara mandiri. Salah satunya keberadaan bandar antariksa (spaceport) sebagai tempat peluncuran ratusan satelit tersebut.
Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), Sarwoto Atmosutarno, menegaskan pentingnya dukungan pemerintah dalam upaya Indonesia meluncurkan satelit Low Earth Orbit (LEO) secara mandiri.
Langkah ini dinilai krusial sebagai bagian dari Ketahanan Antariksa Nasional, khususnya di negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki lebih dari 17.000 pulau.
Menurut Sarwoto, realisasi satelit LEO mandiri harus didukung dengan kebijakan dan insentif yang berpihak pada kepentingan rakyat.
“Inisiatif ini mesti didukung pemerintah karena tugasnya memberi benefit kepada rakyat. Persiapan dari sisi regulasi harus didukung insentif noncash APBN, agar swasta yang mau investasi tidak dibebani biaya di muka,” ujar Sarwoto kepada Bisnis, Minggu (24/8/2025).
Sarwoto menambahkan pemerintah juga perlu mendukung proses filing slot LEO yang berjumlah lebih dari 1.200 untuk melengkapi administrasi ke International Telecommunication Union (ITU). Di samping itu, identifikasi pasar, pabrikasi satelit, sistem peluncuran, serta penguatan riset juga menjadi aspek krusial sebelum Indonesia bisa meluncurkan satelit LEO mandiri.
Menjawab tantangan tingginya biaya peluncuran satelit, Sarwoto menyarankan agar Indonesia memanfaatkan lokasi peluncuran dalam negeri seperti di Biak (Papua), Morotai (Maluku Utara), dan daerah lainnya. Wilayah tersebut secara geografis cukup baik untuk tempat peluncuran karena jauh dari pemukiman.
Di sisi lain, keberadaan tempat peluncuran dalam negeri juga dapat membuat ongkos peluncuran ratusan satelit LEO, yang butuh lebih satu kali peluncuran dalam setahun, menjadi lebih efisien. Sebagai informasi. Elon Musk hanya dapat meluncurkan 24 satelit LEO dalam satu kali peluncuran. Sementara itu total satelit yang dibutuhkan untuk melayani seluruh seluruh dunia mencapai ribuan satelit.
“Kesiapan infrastruktur peluncuran seperti power, pelabuhan dan utilitas lainnya penting. Kerja sama peluncuran ini akan menekan biaya dan meningkatkan efisiensi,” kata Sarwoto.
Roket peluncur milik SpaceX mengangkut 24 satelit Starlink
Terkait peluang dan tantangan pembangunan Space Port di Indonesia, Sarwoto menilai letak geografis Indonesia yang berada di sabuk katulistiwa sangat strategis dan ideal untuk pengembangan fasilitas peluncuran satelit.
Untuk merealisasikan visi ini, investasi besar diperlukan pada beberapa aspek, antara lain sumber daya manusia—termasuk merekrut diaspora dan membangun kerjasama internasional—segmen ruang angkasa dan segmen darat, fasilitas peluncuran, hasil riset, serta pembiayaan untuk seluruh rangkaian program.
Sementara itu dalam peresmian Asosiasi Antariksa (Ariksa) di Jakarta, Ketua National Air and Space Power Center of Indonesia (NASPCI) Marsekal Pertama TNI Penny Radjendra mengatakan Indonesia saat ini telah memiliki rencana strategis 2025-2029, yang salah satunya berfokus pada antariksa, termasuk spaceport. Secara perlahan kesadaran tersebut telah dibangun.
”Secara informal sudah kita lakukan dan secara formal pun sudah dilakukan pertemuan-pertemuan dengan negara-negara lainnya. Artinya kita tidak bisa sendiri soal-soal seperti ini. Pertama kita perlu pendekatan collaborative effort atau global effort. Di luar kita pun kerja sama antar negara. Misal dengan Amerika Serikat, dengan Prancis dan seterusnya,” kata Penny.
Sebagai konteks, wacana kehadiran satelit LEO mandiri semakin menguat setelah Asosiasi Antariksa (Ariksa) menyoroti urgensi pengembangan satelit LEO untuk kedaulatan Indonesia sekaligus membuka potensi ekonomi sektor antariksa nasional. Dengan penguasaan teknologi LEO, Indonesia diyakini bisa mengoptimalkan manfaat ekonomi ruang angkasa dan memperkuat posisi strategisnya di masa depan.
Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) berharap pada 2027 atau 2 tahun lagi Indonesia dapat meluncurkan satelit orbit rendah atau low earth orbit (LEO) pertamanya. Sejumlah langkah disiapkan termasuk pengembangan space port atau tempat peluncuran roket untuk satelit LEO.
Satelit LEO adalah satelit yang mengorbit di ketinggian 500 kilometer – 2.000 kilometer di atas permukaan bumi. Karena ketinggiannya yang relatif dekat bumi, ongkos roket yang dipakai relatif lebih murah dibandingkan satelit GEO yang mengorbit di ketinggian 36.000 kilometer.
Namun harus diingat, satelit GEO cukup diluncurkan satu kali untuk memberi layanan di seluruh antero bumi. Sementara LEO harus beberapa kali konstelasi satelit karena untuk memberikan cakupan layanan di seluruh bumi, dibutuhkan ratusan satelit LEO.
“Tahun 2027 kita paling lambat meluncurkan LEO atau roket dari Indonesia,” kata Ketua Umum Asosiasi Antariksa Indonesia (Ariksa) Adi Rahman Adiwoso di Jakarta, Kamis (21/8/2025).
Dia mengatakan untuk mensukseskan langkah besar ini dibutuhkan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan dan ekosistem.
Adi Rahman mengatakan industri antariksa memiliki peranan penting dalam mendukung berbagai sektor di Indonesia mulai dari ekonomi hingga pertahanan. Saat ini fokus dalam pengembangan antariksa masih terpecah belah. Oleh sebab itu Ariksa dibentuk agar seluruh pemangku kepentingan memiliki misi bersama dalam membangun antariksa yang memberikan manfaat bagi Indonesia.
Ada tiga hal yang harus menjadi fokus dalam pengembangan antariksa dalam negeri. Pertama, kebijakan yang berpihak dan ramah investasi. Kedua, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang sejalan dengan pertumbuhan industri.
Terakhir, model bisnis. “Bisnisnya supaya itu berputar semuanya,” kata Adi.
Potensi ….
-

Kontribusi Lelang Frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz terhadap PNBP, 1,4 GHz Berapa?
Bisnis.com, JAKARTA — Lelang frekuensi memberi dampak cukup signifikan bagi pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Berkaca pada lelang frekuensi 2,1 GHz dan 2,3 GHz (2020) dan lelang frekuensi 2,1 GHz pada 2022, triliunan rupiah masuk ke kantor negara. Lantas bagaimana dengan lelang frekuensi 1,4 GHz nanti?
Pada 2020, Komdigi menggelar lelang spektrum frekuensi 2,3 GHz dengan lebar pita sebesar 30 MHz. Telkomsel dan Smartfren keluar sebagai pemenang. Telkomsel mendapat frekuensi dengan lebar 20 MHz dengan biaya yang harus dibayarkan sebesar Rp353,8 miliar per tahun. Khusus untuk tahun pertama, biaya yang dibayarkan adalah 3x nilai tawar yang berarti mencapai Rp1,06 triliun.
Sementara itu Smartfren memenangkan 10 MHz, dengan biaya yang lebih kecil. Lelang yang pada tahun tersebut adalah lelang kedua yang digelar pemerintah untuk pita frekuensi 2,3 GHz setelah pada 2017.
Kemudian, pada Oktober 2022 Komdigi juga menggelar lelang frekuensi di pita 2,1 GHz sebesar 5 MHz. Frekuensi yang dilelang adalah frekuensi bekas Indosat dan Tri Indonesia. Setelah merger, kedua perusahaan telekomunikasi diwajibkan mengembalikan sebagian spektrum frekuensi ke negara setelah melalui sejumlah perhitungan.
Pada tahun tersebut Telkomsel menjadi pemenang tunggal dengan nilai penawaran akhir Rp605 miliar atau lebih tinggi dari XL Axiata yang sebesar Rp540 miliar. Telkomsel diwajibkan membayar dengan nilai tersebut selama 10 tahun kepada negara. Adapun pada tahun pertama nilai yang dikenakan adalah 3x dari penawaran akhir, yang berarti sekitar Rp1,8 triliun.
Lantas bagaimana dengan lelang frekuensi 1,4 GHz? informasi yang beredar harga penawaran dasar lelang frekuensi 1,4 GHz dibuka dengan harga Rp230 miliar untuk regional I yang meliputi Pulau Jawa, Papua, dan Maluku. Jika nilai dasar dibuka pada Rp230 miliar, maka nilai minimal yang diterima negara dari spektrum tersebut adalah Rp690 miliar untuk tahun pertama, dari regional I saja.
Adapun regional I merupakan regional paling bernilai dibandingkan regional II (Sumatra dan Bali) dan regional III (Kalimantan-Sulawesi). Pasalnya, mayoritas pengguna internet saat ini berada di Pulau Jawa.
Data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) dari 229 juta pengguna internet Indonesia sebanyak 58% berada di Pulau Jawa, Disusul Sumatra (20,5%), Sulawesi (6,46%), Kalimantan (6,05%), Bali dan Nusa Tenggara (5,13%), serta Maluku dan Papua (3,71%).
Sementara itu untuk regional II (Sumatra) dikabarkan nilai dasar lelang mencapai Rp40 miliar dan regional III (Sulawesi) nilainya mencapai Rp37 miliar. Dengan nilai tersebut, minimal pada tahun pertama pemerintah mengantongi Rp120 miliar dari Regional II dan Rp81 miliar dari Regional III.


.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



