provinsi: PAPUA

  • Beras Bulog Rentan Turun Mutu, Program Serap Gabah Jadi Sorotan

    Beras Bulog Rentan Turun Mutu, Program Serap Gabah Jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat pertanian Syaiful Bahari menilai bahwa kualitas beras Bulog yang terancam mengalami penurunan mutu tak lepas dari program serap gabah dengan harga Rp6.500 per kilogram (kg).

    Hal ini disampaikannya merespons pernyataan Ombudsman RI terkait 300.000 ton beras di gudang Perum Bulog terancam mengalami penurunan mutu hingga tidak layak konsumsi (disposal).

    Di satu sisi, dia menilai program serap gabah ini bagus karena mendorong penggilingan padi kecil menengah bisa hidup kembali setelah kalah saing mendapatkan gabah dengan penggilingan padi besar. 

    Menurutnya, skema serap gabah yang melibatkan penggilingan padi kecil menengah ikut menyuplai ke Bulog lebih diminati, meskipun posisi mereka hanya sebagai maklon produksi beras. Namun, dia menilai program ini tidak disertai dengan kontrol kualitas gabah dan beras yang dihasilkan.

    “Karena memang sebagian besar penggilingan padi kecil menengah tidak memiliki teknologi pengeringan gabah dan rice mill yang modern,” kata Syaiful kepada Bisnis, Rabu (3/9/2025).

    Dia melanjutkan, masalah ini berakibat kepada hasil produksi beras dari penggilingan kecil yang dinilai berada di bawah kualitas dan tidak dapat disimpan dalam waktu lama. 

    Syaiful berpendapat bahwa hal ini merupakan tantangan bagi pemerintah, khususnya Bulog. Dia menyebut, program serap gabah petani harus diintegrasikan dengan modernisasi penggilingan padi kecil, agar mereka bisa meningkatkan kualitas beras tersebut.

    Pasalnya, penggilingan padi besar dinilai menjadi pihak yang paling menikmati program serap gabah berharga murah tersebut, mengingat kemampuan mereka dalam memenuhi standar beras Bulog.

    Dia menerangkan bahwa penggilingan padi besar bisa dengan leluasa menyimpan beras Bulog dengan pembayaran yang bagus, dan membeli lagi jika harga beras di pasar sedang tinggi. 

    “Jadi, semua ini harus dikaji secara mendalam dan melihat dari semua faktor, agar negara tidak dirugikan dan petani maupun industri penggilingan rakyat tetap terselamatkan,” tuturnya.

    Di samping itu, dia menilai hal ini juga berpengaruh terhadap distribusi beras, khususnya beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang belum optimal. Kualitas beras yang turun menjadi faktor keraguan pemangku kepentingan untuk melakukan penyaluran karena dikhawatirkan menimbulkan protes masyarakat.

    Sebelumnya, Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyampaikan bahwa kondisi 300.000 ton beras di gudang Perum Bulog tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hingga mencapai Rp4 triliun apabila menjadi tak layak konsumsi.

    Pihaknya mencermati bahwa jumlah 300.000 ton tersebut diduga tidak hanya bersumber dari stok beras impor yang terakhir kali dilakukan pada tahun lalu, melainkan juga dari gabah at any quality yang diserap Bulog.

    “Taksiran kerugiannya kita lihat, ini hitungan kasar saja lah ya, bisa mencapai Rp4 triliun,” katanya kepada Bisnis melalui sambungan telepon, Selasa (2/9/2025).

    Menanggapi hal ini, Direktur Utama Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyampaikan bahwa kondisi beras yang disimpan di gudang Bulog saat ini dalam keadaan yang bagus, seraya menekankan bahwa pemeliharaan stok terus dilakukan secara berkala.

    “Bagus [keadaannya], nanti teman-teman media akan kami bawa lihat ke gudang, supaya melihat kondisi beras kita dan pemeliharaannya seperti apa, baik pemeliharaan harian, mingguan, bulanan, triwulan, bahkan semester,” kata Rizal kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2025).

    Terkait masih adanya stok beras dari aktivitas impor yang terakhir dilakukan pada tahun lalu, Rizal mengatakan bahwa proses penyaluran terus dilakukan seiring dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

    Menurutnya, beras tersebut menjadi bagian dari penyaluran program bantuan pangan yang telah tersalurkan ke masyarakat hingga periode Juli 2025.

    Saat ini, Rizal mengungkapkan bahwa penyaluran beras bantuan pangan pemerintah telah mencapai 99%, sementara 1% sisanya merupakan penyaluran untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

    “Terutama di 3T tersebut, termasuk yang daerah-daerah rawan konflik seperti di Papua Pegunungan dan lain sebagainya. Ini yang juga sedang kami upayakan dengan satgas-satgas yang ada di depan,” tutur purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal ini.

  • Beras SPHP Masuk Ritel Modern, Harga Rp 62.500

    Beras SPHP Masuk Ritel Modern, Harga Rp 62.500

    Jakarta

    Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menghimpun pemerintah daerah dan Perum Bulog untuk eskalasi program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras.

    Targetnya kepada 214 kabupaten/kota yang masih ada fluktuasi harga beras melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET) selama bulan Agustus lalu.

    Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan NFA I Gusti Ketut Astawa menuturkan stok beras SPHP untuk ritel modern perlu terus diperkuat, terutama bagi titik-titik strategis pada 214 kabupaten/kota. Ini untuk mengimbangi adanya pergeseran distribusi perberasan ke pasar tradisional.

    Beras SPHP yang dijual di ritel modern akan mengikutii harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500/kg. Beras SPHP dijual dalam kemasan 5 kg, maka harganya Rp 62.500.

    “Penting bagi pemerintah mengupayakan distribusi beras SPHP ke ritel modern juga. Selama ini ritel modern itu sebagai penyeimbang harga. Price maker. Artinya di ritel modern harganya sesuai dengan HET, itu pasti. Maka di pasar rakyat harganya tidak akan terlalu jauh berbeda dengan ritel modern. Kalau ritel modern sudah terpenuhi dengan baik, maka dengan sendirinya harga beras di pasar rakyat minimal flat,” jelas Ketut dalam keterangan tertulis, Rabu (3/9/2025).

    Adapun 214 kabupaten/kota yang menjadi target penggencaran beras SPHP tersebar di 33 provinsi se-Indonesia. Dari itu, dilihat secara pembagian wilayah pemberlakuan harga beras SPHP terdiri dari 113 kabupaten/kota di Zona 1, lalu 81 kabupaten/kota di Zona 2, dan 20 kabupaten/kota di Zona 3.

    Menilik pada Panel Harga Pangan NFA, jumlah daerah secara mingguan yang mengalami penurunan harga sesuai atau di bawah HET terjadi peningkatan. Pada minggu ketiga Agustus yang merupakan momentum penyesuaian HET beras medium masih terdapat 167 kabupaten/kota.

    Terbaru, di minggu pertama September jumlah daerah yang tercatat memiliki rerata harga beras medium sesuai atau di bawah HET meningkat 49,8 persen menjadi 246 kabupaten/kota.

    Realisasi penjualan beras SPHP untuk periode Juli-Desember per 3 September telah mencapai 126,2 ribu ton. Realisasi penjualan harian terus digenjot oleh Bulog. Dalam seminggu terakhir realisasi harian memiliki rerata di angka 5,9 ribuan ton. Capaian tertinggi di 30 Agustus yang menyentuh angka 9,7 ribu ton dalam sehari.

    Ketut juga meminta penyaluran beras SPHP turut memenuhi kanal-kanal lainnya yang sudah ditetapkan. Program Gerakan Pangan Murah (GPM) juga dapat diandalkan sebagai salah satu kanal salur beras SPHP.

    “Saya meminta dengan sangat agar pelaksanaan SPHP-nya diperkuat dan kolaborasi bulog dengan pemda agar segera dilakukan setelah rapat ini. Optimalkan distribusi beras SPHP ke ritel modern dan juga ke pasar rakyat. Begitu di ritel modern terpenuhi, banyak beras SPHP-nya, maka dengan sendirinya nanti harga beras minimal diam dan mengarah ke bawah,” terang Ketut.

    “Nah setelah ritel modern penuh, pasar rakyat sudah ada juga, baru GPM secara masif itu akan berdampak sekali terkait dalam rangka mengendalikan harga beras medium,” sambungnya.

    Pasokan ke jaringan ritel

    Terpisah, Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menuturkan upaya pemerintah untuk menggelontorkan beras SPHP ke jaringan ritel modern memang sangat diperlukan.

    Selain sebagai penyeimbang harga beras di pasar tradisional, ketersediaan jenis beras yang beragam dengan harga terjangkau di ritel modern cukup penting sebagai alternatif pilihan masyarakat.

    “Beras SPHP juga perlu ada di ritel modern. Jadi masyarakat punya preferensi beragam dan tidak hanya disuguhi pilihan beras dengan spesifikasi khusus yang harganya cukup tinggi. Pemerintah pun akan mengatur regulasi beras khusus ini. Kalau kata Bapak Menko Pangan, harga beras khusus memang tidak diatur pemerintah, tapi produsen harus memegang sertifikat izin edar yang dikeluarkan pemerintah,” sebut Arief.

    Selanjutnya, untuk kemudahan distribusi beras SPHP ke depannya, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Mokhamad Suyamto mengatakan telah ada relaksasi alur proses untuk mengatasi kendala di pasar tradisional. Bulog pun dijelaskannya akan membantu pemerintah daerah untuk penyaluran beras SPHP, terutama yang menemui kendala geografis.

    “Ini menjadi concern kita (agar) minggu ini kita fokus bagaimana kita bisa menurunkan harga di 214 kabupaten/kota. Jadi silahkan digelontorkan. Kemudian terkait dengan kendala di pasar, kita sudah membuat relaksasi. Pengecer pasar (bisa) ajukan manual. Nanti tim dari Bulog akan meng-input (Klik SPHP) sesuai dengan user dari masing-masing pengecer tadi,” beber Suyamto.

    “Dari 214 kabupaten/kota itu, memang ada sekitar 10 kabupaten/kota yang sampai saat ini belum bisa dijalankan beras SPHP. Ini kebanyakan di Papua karena memang biaya angkut dari gudang Bulog ke lokasi-lokasi tersebut sangat tinggi. Jadi kami mengusulkan kita buka gudang filial di situ,” tuturnya.

    Menurutnya, gudang filial tersebut dapat berperan sebagai gudang transit stok beras Bulog. Lokasi sebaiknya sudah berada di radius yang lebih dekat di dalam kabupaten/kota. Gudang ini dapat berupa aset kantor dinas daerah setempat, TNI atau Polri. Skema ini diharapkan dapat mempermudah distribusi ke daerah-daerah yang memiliki tantangan geografis.

    (ada/hns)

  • Ramalan Cuaca BMKG: Waspadai Hujan Deras, Angin Kencang dan Banjir Rob

    Ramalan Cuaca BMKG: Waspadai Hujan Deras, Angin Kencang dan Banjir Rob

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meminta semua pihak di sebagian besar daerah di Indonesia agar mewaspadai potensi hujan deras disertai angin kencang dan banjir pesisir/rob pada Rabu (3/9/2025). 

    Prakirawati BMKG Yohanes menyebut  potensi hujan dengan intensitas ringan terjadi di Kota Padang, Pekanbaru, Palembang, Bengkulu, Jambi, Pangkal Pinang, Denpasar, Palu, Gorontalo, Mamuju, Jayawijaya, Jayapura, Merauke, Ambon, Sorong, dan Manokwari.

    “Untuk hujan dengan intensitas sedang di Kota Medan, Tanjung Selor, dan Kota Samarinda,” ujarnya dilansir dari Antara, Rabu (3/9/2025). 

    Sementara Kota Banda Aceh, Bandar Lampung, Banten, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Mataram, Kupang, Makassar, Kendari, Manado, diprakirakan berawan sepanjang hari. 

    “Dan waspadai potensi hujan disertai petir di wilayah sekitar Kota Tanjung Pinang, Pontianak, Palangka Raya, Banjarmasin, Ternate, dan Nabire,” ujarnya.

    Prakirawan BMKG mendeteksi keberadaan bibit Siklon Tropis 65W bergerak dari arah barat laut – utara dengan kecepatan angin 15-20 knot dan sistem ini membentuk daerah perlambatan angin di sejumlah wilayah dan turut memicu peningkatan potensi hujan dan angin kencang di wilayah sekitarnya.

    BMKG meminta masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan atas potensi angin kencang di wilayah Banten, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bangka Belitung.

    “Termasuk mewaspadai gelombang laut tinggi 2,5 – 4 meter di Aceh, Bengkulu, Lampung, Selatan Banten dan selatan Nusa Tenggara Barat,” katanya. 

    Bahkan, BMKG mendeteksi potensi banjir rob di kawasan pesisir Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

    Hasil analisa perkembangan kondisi cuaca dan iklim juga akan selalu diinformasikan kepada masyarakat melalui aplikasi daring infoBMKG, media sosial infoBMKG atau langsung menghubungi kantor BMKG terdekat.

  • Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa Nasional 3 September 2025

    Ketimpangan dan Sumbu Pendek Bangsa
    Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka

    Ketimpangan yang terus melebar membuat bangsa ini rapuh. Percikan kecil saja bisa memicu ledakan sosial.

    KESENJANGAN
    di Indonesia bukan sekadar angka di laporan lembaga internasional. Ia nyata, hidup, dan terasa sehari-hari.
    Data Oxfam —konfederasi internasional yang berbasis di Inggris— beberapa tahun lalu menyebut, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai lebih dari separuh kekayaan nasional.
    Sementara laporan Bank Dunia juga menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi tingkat ketimpangan tinggi, meskipun angka kemiskinan menurun.
    Senada, laporan Global Wealth Report 2018 yang mencatat, 1 persen orang terkaya Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan nasional. Jika persentasenya dinaikkan menjadi 10 persen orang terkaya, akumulatif mereka menguasai 75,3 persen nilai kekayaan Indonesia.
    Terbaru, pada Maret 2024, data mereka menunjukkan rasio gini Indonesia berada pada angka 0,379—terendah dalam satu dekade.
    Namun, situasi ini sesungguhnya paradoks. Sebab, di tengah penurunan rasio gini, kelompok ultra kaya justru mencatat pertumbuhan kekayaan.
    Hal ini jauh lebih pesat dibanding pertumbuhan PDB nasional (163 persen berbanding 57 persen dalam 10 tahun terakhir). Dengan kata lain, jurang ketimpangan tetap melebar, hanya permukaannya saja yang terlihat sedikit lebih rata.
    Ketimpangan semakin memburuk, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan stabilitas sosial dan ekonomi jangka panjang. Sebab, pertumbuhan ekonomi kita belum benar-benar merata atau jauh dari inklusif.
    Namun, ketimpangan sebenarnya bukan hanya soal harta. Ia adalah soal rasa: rasa ditinggalkan, rasa tidak dihiraukan, dan rasa diperlakukan tidak adil.
    Ketika kesenjangan ekonomi berpadu dengan jarak sosial dan politik, lahirlah kondisi masyarakat yang rentan, mudah tersulut, dan bersumbu pendek.
    Elite politik dan ekonomi sering kali gagal membaca denyut ini. Minimnya empati memperlebar jarak antara mereka yang berkuasa dengan rakyat yang berjuang demi hidup sehari-hari.
    Dalam teori
    deprivasi relatif
    Ted Robert Gurr, konflik sosial sering lahir bukan dari kemiskinan absolut, melainkan dari perasaan adanya ketidakadilan—bahwa orang lain mendapatkan lebih, sementara dirinya tertinggal. Perasaan inilah yang membentuk bara sosial.
    Kondisi ini diperparah oleh ekosistem media sosial yang mempercepat sirkulasi emosi publik. Pesan marah, protes, atau kebencian dapat menyebar ribuan kali dalam hitungan jam, membentuk opini kolektif yang panas.
    Teori frustrasi-agresi dalam psikologi sosial menjelaskan, ketika aspirasi tidak terpenuhi, frustrasi akan mencari saluran, sering kali berupa tindakan agresif.
    Fenomena ini terlihat dalam sejumlah peristiwa di Indonesia. Gelombang demonstrasi mahasiswa dan ojek online di Jakarta baru-baru ini, misalnya, menunjukkan betapa cepat kemarahan publik meluas setelah kasus tragis terlindasnya ojek online oleh mobil aparat.
    Di kawasan timur Indonesia, ketimpangan dengan wilayah barat melahirkan luka politik yang lebih dalam. Di Papua, perasaan terpinggirkan yang berakar pada sejarah panjang ketidakadilan kerap memicu protes yang berujung ricuh.
    Di Ambon, kita pernah menyaksikan bagaimana sentimen agama yang diperparah ketimpangan ekonomi berubah menjadi konflik komunal pada akhir 1990-an.
    Bahkan hingga hari ini, sama dengan Papua, masih ada aspirasi untuk merdeka, atau setidaknya meminta referendum.
    Semua contoh ini menegaskan bahwa masih rapuhnya kohesi sosial kita ketika rasa adil tidak terpenuhi, atau diabaikan.
    Konflik di Indonesia bukan hanya vertikal—antara rakyat dan negara—tetapi juga horizontal, antarwarga sendiri.
     
    Ralf Dahrendorf sudah lama mengingatkan: dalam setiap masyarakat terdapat relasi kuasa yang timpang, dan ketika ketimpangan itu tidak dikelola dengan distribusi yang adil, ketegangan menjadi tak terelakkan, kapan saja bisa mengemuka.
    Indonesia dahulu dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi gotong royong dan toleransi. Namun kini, nilai-nilai itu tergerus oleh kesenjangan dan polarisasi. Jika sumbu sosial semakin pendek, percikan kecil saja bisa memicu ledakan.
    Dalam konteks ini, negara tidak boleh hanya hadir dengan jargon, melainkan dengan kebijakan nyata: distribusi pembangunan yang adil, perbaikan layanan publik, serta ruang partisipasi yang benar-benar adil dan terbuka kepada semua warga negara.
    Amartya Sen dalam gagasannya
    development as freedom
    menekankan, pembangunan sejati bukan hanya pertumbuhan angka ekonomi, melainkan pelebaran kebebasan dan kesempatan hidup yang setara bagi semua.
    Jika kebebasan dan keadilan ini gagal diwujudkan, ketimpangan akan terus menjadi sumber konflik laten.
    Generasi muda Indonesia saat ini adalah kelompok yang penuh energi. Energi karena bonus demografi ini bisa menjadi motor perubahan positif jika diberi ruang produktif.
    Namun, jika dibiarkan dalam ruang sempit ketidakadilan, ia bisa berubah menjadi api yang membakar.
    Tanda-tanda ketidakpuasan politik itu kini kian jelas. Fenomena tagar #IndonesiaGelap, slogan Kabur aja dulu, hingga masifnya bendera-bendera Jolly Roger menjelang 17 Agustus, sesungguhnya adalah ekspresi simbolik dari rakyat yang letih, frustrasi, dan kehilangan arah.
    Itu bukan sekadar ekspresi kultural, melainkan alarm keras, peringatan dini bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kondisi mengkhawatirkan.
    Pada akhirnya, bangsa ini tidak akan runtuh karena kemiskinan, tetapi karena hilangnya rasa keadilan. Ketimpangan yang terus dibiarkan akan menjadi api dalam sekam—diam-diam membakar fondasi kebangsaan.
    Elite politik boleh saja bersembunyi di balik data statistik atau jargon stabilitas, tetapi rakyat membaca kenyataan dengan mata telanjang: harga-harga yang tak terjangkau, peluang yang terasa semakin sempit, dan kebijakan yang kerap lebih berpihak pada segelintir orang/oligarki.
    Kemarahan publik yang kini muncul dalam bentuk simbol-simbol perlawanan—dari tagar digital hingga bendera Jolly Roger di jalanan—seharusnya tidak diremehkan.
    Sekali lagi, itu adalah bahasa lain dari rakyat untuk mengatakan kepada elite bahwa kepercayaan telah menipis.
    Jika para pemimpin negeri ini masih menutup mata, sejarah telah berkali-kali menunjukkan: bangsa yang rapuh karena ketidakadilan akan diguncang oleh letupan yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan sebelumnya.
    Indonesia masih punya pilihan: menempuh jalan keadilan, atau membiarkan diri berjalan di atas sumbu pendek yang setiap saat bisa meletup dan menyala.
    Sebab, bangsa yang besar bukan diukur dari berapa lama ia bisa menahan ketegangan, melainkan seberapa cepat ia mampu mengubah ketidakadilan menjadi kesempatan. Mewujudkan kesejahteraan bagi semua, tak ada yang tertinggal.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi Nasional 3 September 2025

    Wacana Darurat Sipil: Dari Penolakan hingga Regresi Demokrasi
    Aktif sebagai Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, serta Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri
    DI TENGAH
    ketegangan sosial dan demonstrasi beberapa hari terakhir, darurat sipil mencuat sebagai narasi untuk merespons peningkatan eskalasi demonstrasi.
    Darurat sipil merupakan dalam tingkatan keadaan darurat sebagaimana diatur Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Pencabutan UU No. 74 Tahun 1957 dan Penetapan Keadaan Bahaya.
    UU a quo menetapkan 3 (tiga) tingkatan keadaan bahaya, yakni tingkatan keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan perang.
    Meskipun sejumlah pihak, seperti Wakil Panglima TNI dan Ketua Komisi I DPR, menegaskan dan/atau meyakini tidak ada skenario menuju penetapan darurat militer, tetapi kemunculan wacana tersebut sebagai upaya dalam mengembalikan kondusifitas masyarakat memperlihatkan kegagalan pihak-pihak terkait, terutama jika berasal dari unsur pemerintah, dalam mendeteksi akar persoalan.
    Meskipun tidak ditetapkan, narasi darurat sipil telah muncul 2 (dua) kali dalam pemerintahan Joko Widodo, terutama pada periode ke dua.
    Pertama, disampaikan Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2020, sebagai wacana untuk menghadapi penyebaran wabah Covid-19, selain dengan menjalankan pembatasan sosial skala besar.
    Ke dua, secara tiba-tiba disampaikan oleh salah seorang anggota DPR Komisi I pada 10 Februari 2023, dalam merespons penyanderaan pilot pesawat Susi Air oleh TPNPB-OPM.
    Dua istilah darurat sipil dalam bentuk wacana dan pernyataan tersebut sama-sama mendapat kritikan keras dari publik.
    Bukan hanya implikasi pendekatan yang digunakan jika status tersebut ditetapkan, tetapi juga kondisi untuk menetapkan status tersebut yang dianggap belum terpenuhi.
    Ketentuan mengenai kondisi tersebut diatur pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
    Pertama, apabila keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa.
    Kedua, timbul perang atau bahaya perang di wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
    Ketiga, hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan-keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup Negara.
    Pada kondisi pertama, tentu perlu digarisbawahi bahwa semestinya negara telah memiliki kesiapan-kesiapan tertentu dalam mengantisipasi potensi ancaman yang dimaksud.
    Sebab, ancaman-ancaman tersebut tentu datang tidak secara tiba-tiba, sehingga mekanisme preventif dapat diupayakan. 
    Namun, dalam 2 episode munculnya istilah darurat sipil tersebut, bagian ini selalu tidak maksimal. Sehingga, penetapan status darurat sipil cenderung dianggap publik sebagai jalan pintas pemerintah dalam mengarusutamakan pendekatan keamanan untuk segala persoalan.
    Wacana penerapan status darurat sipil dalam penanganan Covid-19 di awal mendapat penolakan masyarakat.
    Terlebih jika melihat jejak pemerintah di awal yang justru memperlihatkan ketidakseriusan dan ketidaksiapannya dalam menangani wabah ini.
     
    Misalnya, beberapa pejabat yang mencandakan istilah corona dan model penanganan yang tidak berbasis ilmiah. Terlebih dengan kondisi serba kekurangan alat-alat kesehatan.
    SETARA Institute dalam siaran persnya (31/03/2020) menjelaskan bahwa wacana penerapan pembatasan sosial disertai kebijakan darurat sipil tersebut mencerminkan watak pemerintah yang ingin menggunakan jalan pintas dalam mengatasi wabah Covid-19 tanpa memenuhi kewajibannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar warga negara melalui Undang-Undang (Prp) No. 23/1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya.
    Begitupun pernyataan salah satu anggota DPR Komisi I tersebut bahwa Papua berada dalam status Darurat Sipil.
    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (RSK) dalam siaran persnya (14/2) menjelaskan bahwa pernyataan tersebut tidak hanya keliru, tetapi juga melampaui kewenangannya.
    Sebab tidak pernah ada pernyataan Presiden mengenai penetapan status tersebut sebelumnya, baik untuk sebagian maupun seluruh wilayah negara.
    Adapun yang memiliki kewenangan untuk menyatakan keadaan darurat sipil untuk seluruh atau sebagian dari wilayah negara adalah Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959.
    Penerapan status darurat sipil tentu tidak dapat dilakukan tanpa pertimbangan matang, sebab pelbagai implikasi serius mengekor di belakangnya. Status darurat sipil memiliki cara penyikapan yang berbeda dibanding status tertib sipil.
    Implikasi tersebut dapat berupa pengarusutamaan pendekatan keamanan dan regresi demokrasi.
    Maka, salah satu desakan koalisi masyarakat sipil untuk RSK adalah anggota DPR Komisi I tersebut segera mengklarifikasi dan mencabut pernyataannya terkait dengan status darurat sipil di Papua.
    Dalam konteks Papua, misalnya, penetapan status darurat sipil hanya akan menguatkan spiral kekerasan di Papua.
    Sebab, selama ini pendekatan keamanan cenderung menjadi opsi utama pemerintah pusat dalam menangani persoalan di Papua, seperti melalui penambahan pasukan, operasi keamanan, serta terbaru rencana penambahan Komando Daerah Militer (Kodam).
    Implikasinya tentu potensi jatuhnya korban semakin luas dari pelbagai pihak.
    Kenapa kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan oleh pemerintah pusat menjadi persoalan dalam darurat sipil di Papua?
     
    Sederhana, perlu digarisbawahi jika status darurat sipil diterapkan, maka penguasa darurat sipil daerah (Kepala Daerah serendah-rendahnya dari Daerah tingkat II) dalam melakukan wewenang dan kewajibannya menuruti petunjuk dan perintah yang diberikan penguasa darurat sipil pusat, yakni Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang, dan bertanggung-jawab kepadanya, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) UU (Prp) No. 23/1959.
    Selain itu, tentu menjadi pertanyaan umum mengenai implikasi kasus penyanderaan pesawat di Papua tersebut, apakah memang harus dengan mengubah status daerah menjadi darurat sipil?
    Apakah instrumen hukum dan aparat keamanan tidak bisa melakukan tindakan sebagaimana operasi-operasi seperti biasa?
    Penetapan status tanpa pertimbangan demikian justru dapat menjadi preseden di masa mendatang ihwal tidak adanya pertimbangan yang matang dalam penetapan status darurat sipil ini.
    Implikasi lanjutannya, penetapan status darurat sipil tanpa pertimbangan dan kriteria kondisi yang memadai hanya akan mempercepat terjadinya regresi demokrasi.
    Sebab, jika diperhatikan, muatan pengaturan dalam UU (Prp) No. 23/1959 memfasilitasinya, serta cenderung mengarah kepada otoritarianisme, terlebih muatan UU a quo cenderung mengatur wewenang dan kewajiban penguasa darurat sipil, bukan hak masyarakat.
    Meskipun juga dapat dipahami bahwa hal tersebut dilatarbelakangi untuk menghadapi ancaman. Namun, muatan pengaturan tersebut dapat menjadi bias lantaran, sekali lagi, penetapan status darurat sipil tanpa pertimbangan.
    Muatan pengaturan yang dimaksud, misalnya, hak penguasa darurat sipil untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apapun juga (Pasal 13).
    Dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menempatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa (Pasal 14).
    Mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telpon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telpon atau radio (Pasal 17).
    Membatasi orang berada di luar rumah (Pasal 17), dan memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai (Pasal 20).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Semangat dari Timur Anak Papua Hadirkan Inspirasi di OGI 2025

    Semangat dari Timur Anak Papua Hadirkan Inspirasi di OGI 2025

    Jakarta: Perjalanan panjang ditempuh Berheta Simuna untuk bisa hadir di Jakarta mengikuti Olimpiade Genomik Indonesia (OGI) 2025. 

    “Saya bersama kakak pendamping naik motor dari rumah ke Pelabuhan Saengga selama 5 menit. Setelah itu menuju Pelabuhan Teluk Bintuni selama 4 jam. Kami menginap 1 malam di Teluk Bintuni. Esok hari, kami berangkat pukul 1 naik mobil selama 7 jam menuju Manokwari. Setelah istirahat 1 malam, esoknya kami naik pesawat menuju Sorong selama 50 menit, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta 4 jam dengan pesawat. Setiba di Bandara Soekarno-Hatta langsung menuju Universitas Indonesia selama 1 jam 30 menit,” tutur Berheta.

    Berheta adalah siswa kelas 12 SMA Negeri Saengga, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Ia hadir sebagai salah satu finalis OGI 2025, bersama Prajanita Oktavianty Korowa (SD Katolik Santa Lauren Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama) serta Varrent Vemaria Val Rooey (SD Inpres Kokas, Kabupaten Fakfak). Mereka berhasil menyisihkan 108 siswa Papua sejak babak penyisihan.

    “Di sini saya dapat banyak teman, banyak belajar, dan mencoba praktik dengan alat-alat laboratorium. Bentuknya berbeda-beda, tapi namanya tetap sama. Itu membuat kami agak bingung, apalagi saat eksperimen dan presentasi. Saat mengerjakan soal juga sempat keliru, karena pertanyaan panjang tapi jawabannya pendek. Tapi saya anggap ini proses belajar. Saya senang sekali bisa melihat laboratorium DNA di Regene. Itu pengalaman pertama,” ujar Berheta penuh semangat.

    Ada pula pengalaman unik yang ia alami di Jakarta. Berheta selalu memakai masker, bukan karena pandemi, melainkan karena tidak tahan dengan dinginnya AC.

    “Saya tidak bisa kena dingin terlalu lama, jadi pusing dan mual. Tapi puji Tuhan, lama-lama bisa beradaptasi. Nanti kalau pulang ke sekolah, saya akan menceritakan pengalaman ini: mulai dari perjalanan, bertemu kakak pendamping, hingga belajar presentasi,” ujarnya riang.

    Awalnya Berheta bercita-cita menjadi dosen atau advokat untuk mengadvokasi pendidikan di Papua. Namun setelah mengikuti OGI, ia mulai bermimpi baru. “Setelah lihat Universitas Indonesia, saya terpanggil. Kalau ada kesempatan, saya ingin masuk Biologi UI,” katanya mantap.

    Berheta pun berpesan kepada teman-teman sebayanya: “Semangat belajar, berdoa, dan berusaha. Kita tidak tahu apa yang terjadi di depan, semuanya Tuhan
    yang menentukan. Dari OGI saya belajar bahwa semua butuh perjuangan, kesabaran, ketabahan, dan banyak bersyukur.”
     
    Papua Barat: Potensi Besar, Tantangan Nyata

    Teluk Bintuni, kampung halaman Berheta, adalah wilayah kaya dengan ekosistem mangrove luar biasa dan komunitas multi-suku yang hidup harmonis. Namun akses pendidikan dan infrastruktur masih menjadi tantangan.

    Berbagai inisiatif telah hadir, seperti UNIMUTU, Kartu Teluk Bintuni Smart, dan sekolah-sekolah mandiri lokal, sebuah bukti nyata bahwa upaya mencerdaskan generasi Papua terus berjalan.
     
    Partisipasi OGI 2025: Merata dari Sabang sampai Merauke

    Data peserta menunjukkan antusiasme luas dari seluruh provinsi Indonesia. Jawa Timur menjadi provinsi dengan peserta terbanyak (374), disusul Jawa Barat (301), Sumatera Utara (222), dan DKI Jakarta (215). Papua Barat sendiri menorehkan partisipasi 106 siswa.

    Sementara itu, provinsi dengan peserta relatif sedikit antara lain Kepulauan Bangka Belitung (1), Sulawesi Utara (2), Papua Tengah (3), dan Sulawesi Barat (3). Secara keseluruhan, peserta OGI tersebar hampir di seluruh provinsi, menunjukkan semangat bersama untuk maju dalam sains dan genomika.
     
    OGI, Miniatur Indonesia

    Penyelenggaraan OGI 2025 menuai apresiasi dari berbagai pihak. Shinryu Aditya Viriyajetu, wali salah satu finalis asal SMPK Santa Clara Surabaya, menilai OGI melampaui standar olimpiade pada umumnya berkat keseriusan panitia dan kualitas konten.

    “OGI itu miniatur Indonesia. Anak-anak cepat akrab, bergembira, berproses bersama, dan belajar menghargai perbedaan. Saya juga terkesan pada peserta dari daerah afirmasi yang semangat juangnya luar biasa,” ujarnya.

    Ia pun menutup dengan harapan sederhana, “Semoga bisa bertemu kembali di OGI 2026.”

    Jakarta: Perjalanan panjang ditempuh Berheta Simuna untuk bisa hadir di Jakarta mengikuti Olimpiade Genomik Indonesia (OGI) 2025. 
     
    “Saya bersama kakak pendamping naik motor dari rumah ke Pelabuhan Saengga selama 5 menit. Setelah itu menuju Pelabuhan Teluk Bintuni selama 4 jam. Kami menginap 1 malam di Teluk Bintuni. Esok hari, kami berangkat pukul 1 naik mobil selama 7 jam menuju Manokwari. Setelah istirahat 1 malam, esoknya kami naik pesawat menuju Sorong selama 50 menit, lalu melanjutkan perjalanan ke Jakarta 4 jam dengan pesawat. Setiba di Bandara Soekarno-Hatta langsung menuju Universitas Indonesia selama 1 jam 30 menit,” tutur Berheta.
     
    Berheta adalah siswa kelas 12 SMA Negeri Saengga, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat. Ia hadir sebagai salah satu finalis OGI 2025, bersama Prajanita Oktavianty Korowa (SD Katolik Santa Lauren Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama) serta Varrent Vemaria Val Rooey (SD Inpres Kokas, Kabupaten Fakfak). Mereka berhasil menyisihkan 108 siswa Papua sejak babak penyisihan.

    “Di sini saya dapat banyak teman, banyak belajar, dan mencoba praktik dengan alat-alat laboratorium. Bentuknya berbeda-beda, tapi namanya tetap sama. Itu membuat kami agak bingung, apalagi saat eksperimen dan presentasi. Saat mengerjakan soal juga sempat keliru, karena pertanyaan panjang tapi jawabannya pendek. Tapi saya anggap ini proses belajar. Saya senang sekali bisa melihat laboratorium DNA di Regene. Itu pengalaman pertama,” ujar Berheta penuh semangat.
     
    Ada pula pengalaman unik yang ia alami di Jakarta. Berheta selalu memakai masker, bukan karena pandemi, melainkan karena tidak tahan dengan dinginnya AC.
     
    “Saya tidak bisa kena dingin terlalu lama, jadi pusing dan mual. Tapi puji Tuhan, lama-lama bisa beradaptasi. Nanti kalau pulang ke sekolah, saya akan menceritakan pengalaman ini: mulai dari perjalanan, bertemu kakak pendamping, hingga belajar presentasi,” ujarnya riang.
     
    Awalnya Berheta bercita-cita menjadi dosen atau advokat untuk mengadvokasi pendidikan di Papua. Namun setelah mengikuti OGI, ia mulai bermimpi baru. “Setelah lihat Universitas Indonesia, saya terpanggil. Kalau ada kesempatan, saya ingin masuk Biologi UI,” katanya mantap.
     
    Berheta pun berpesan kepada teman-teman sebayanya: “Semangat belajar, berdoa, dan berusaha. Kita tidak tahu apa yang terjadi di depan, semuanya Tuhan
    yang menentukan. Dari OGI saya belajar bahwa semua butuh perjuangan, kesabaran, ketabahan, dan banyak bersyukur.”
     

    Papua Barat: Potensi Besar, Tantangan Nyata

    Teluk Bintuni, kampung halaman Berheta, adalah wilayah kaya dengan ekosistem mangrove luar biasa dan komunitas multi-suku yang hidup harmonis. Namun akses pendidikan dan infrastruktur masih menjadi tantangan.
     
    Berbagai inisiatif telah hadir, seperti UNIMUTU, Kartu Teluk Bintuni Smart, dan sekolah-sekolah mandiri lokal, sebuah bukti nyata bahwa upaya mencerdaskan generasi Papua terus berjalan.
     

    Partisipasi OGI 2025: Merata dari Sabang sampai Merauke

    Data peserta menunjukkan antusiasme luas dari seluruh provinsi Indonesia. Jawa Timur menjadi provinsi dengan peserta terbanyak (374), disusul Jawa Barat (301), Sumatera Utara (222), dan DKI Jakarta (215). Papua Barat sendiri menorehkan partisipasi 106 siswa.
     
    Sementara itu, provinsi dengan peserta relatif sedikit antara lain Kepulauan Bangka Belitung (1), Sulawesi Utara (2), Papua Tengah (3), dan Sulawesi Barat (3). Secara keseluruhan, peserta OGI tersebar hampir di seluruh provinsi, menunjukkan semangat bersama untuk maju dalam sains dan genomika.
     

    OGI, Miniatur Indonesia

    Penyelenggaraan OGI 2025 menuai apresiasi dari berbagai pihak. Shinryu Aditya Viriyajetu, wali salah satu finalis asal SMPK Santa Clara Surabaya, menilai OGI melampaui standar olimpiade pada umumnya berkat keseriusan panitia dan kualitas konten.
     
    “OGI itu miniatur Indonesia. Anak-anak cepat akrab, bergembira, berproses bersama, dan belajar menghargai perbedaan. Saya juga terkesan pada peserta dari daerah afirmasi yang semangat juangnya luar biasa,” ujarnya.
     
    Ia pun menutup dengan harapan sederhana, “Semoga bisa bertemu kembali di OGI 2026.”
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (PRI)

  • ESDM Bidik 1 GW PLTS Atap Terpasang Tahun Ini

    ESDM Bidik 1 GW PLTS Atap Terpasang Tahun Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan realisasi kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap mencapai 538 megawatt peak (MWp) per Juli 2025.

    Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Andriah Feby Misna menuturkan, realisasi terpasang PLTS atap sebesar 538 MWp itu dipasang oleh 10.882 pelanggan PT PLN (Persero) seluruh Indonesia.

    Pihaknya pun membidik kapasitas terpasang PLTS atap bisa mencapai 1.000 MWp atau 1 gigawatt peak (GWp) pada akhir tahun ini. Feby optimistis target itu bisa tercapai.

    Sebab, dia mengklaim saat ini masih ada antrean pengajuan pemasangan PLTS atap kepada Kementerian ESDM.

    “Karena ini cukup banyak yang masih berada di pipeline yang masih dalam proses penyelesaian, mudah-mudahan harapan kami di tahun ini untuk PLTS atap mencapai 1 GW,” ucap Feby dalam Media Briefing Indonesia Solar Summit 2025 yang disiarkan secara daring, Selasa (2/9/2025).

    Feby menuturkan, Kementerian ESDM telah menetapkan kuota kapasitas PLTS atap sebanyak 2 GW sampai 2028 mendatang. Adapun, alokasi terbanyak adalah untuk Jawa, Madura, dan Bali, yakni sebesar 1,85 GW.

    Kemudian, diikuti Kalimantan sebesar 104 MW. Lalu, untuk Pulau Sumatra dialokasikan sebanyak 95 MW, Sulawesi 17 MW, serta Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara 7 MW.

    Feby pun menyebut, Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar, yakni mencapai 3.294 GW atau setara 3,29 terawatt (TW). Oleh karena itu, dia berharap tahun ini menjadi momen 1 GW pertama soal pemanfaatan energi surya di Tanah Air, baik lewat PLTS atap maupun PLTS terapung.

    “Pemerintah berupaya terus bisa mendorong agar program-program ke depan ini bisa mempercepat pengembangan energi surya,” kata Feby.

    Asal tahu saja, pemerintah mulai menempatkan energi surya sebagai strategi penting untuk penurunan emisi dan pemenuhan kebutuhan energi di tingkatan nasional, daerah maupun industri.

    Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034, pemerintah menargetkan kapasitas PLTS sekitar 17,1 GW. Selain itu, Presiden Prabowo Subianto juga meluncurkan program 100 GW PLTS yang dikembangkan secara tersebar di desa-desa.

  • Bos Bulog Buka Suara soal 300.000 Ton Beras di Gudang Terancam Rusak

    Bos Bulog Buka Suara soal 300.000 Ton Beras di Gudang Terancam Rusak

    Bisnis.com, JAKARTA — Perum bulog buka suara perihal stok beras di gudang Bulog yang dikhawatirkan mengalami penurunan mutu hingga tidak layak konsumsi atau disposal.

    Direktur Utama Bulog Ahmad Rizal Ramdhani menyampaikan bahwa kondisi beras yang disimpan di gudang Bulog saat ini dalam keadaan yang bagus, seraya menekankan bahwa pemeliharaan stok terus dilakukan secara berkala.

    “Bagus [keadaannya], nanti teman-teman media akan kami bawa lihat ke gudang, supaya melihat kondisi beras kita dan pemeliharaannya seperti apa, baik pemeliharaan harian, mingguan, bulanan, triwulan, bahkan semester,” kata Rizal kepada wartawan di Kantor Pusat Bulog, Jakarta Selatan, Selasa (2/9/2025).

    Terkait masih adanya stok beras dari aktivitas impor yang terakhir dilakukan pada tahun lalu, Rizal mengatakan bahwa proses penyaluran terus dilakukan seiring dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat.

    Menurutnya, beras tersebut menjadi bagian dari penyaluran program bantuan pangan yang telah tersalurkan ke masyarakat hingga periode Juli 2025.

    Saat ini, Rizal mengungkapkan bahwa penyaluran beras bantuan pangan pemerintah telah mencapai 99%, sementara 1% sisanya merupakan penyaluran untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

    “Terutama di 3T tersebut, termasuk yang daerah-daerah rawan konflik seperti di Papua Pegunungan dan lain sebagainya. Ini yang juga sedang kami upayakan dengan satgas-satgas yang ada di depan,” tutur purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal ini.

    Selain itu, dia menjelaskan bahwa pemerintah tengah menggencarkan program gerakan pangan murah di 214 kabupaten/kota Tanah Air. Program itu dipastikan terus berjalan seiring dengan pengelolaan stok beras yang dilakukan Bulog.

    Diberitakan sebelumnya, Ombudsman RI mengungkapkan bahwa kondisi 300.000 ton beras di gudang Perum Bulog terancam mengalami penurunan mutu hingga tidak layak konsumsi alias disposal.

    Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika menyampaikan bahwa kondisi tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hingga mencapai Rp4 triliun.

    Pihaknya mencermati bahwa jumlah 300.000 ton tersebut diduga tidak hanya bersumber dari stok beras impor, melainkan juga dari gabah at any quality yang diserap Bulog.

    Khusus beras impor, Yeka menyebut bahwa stok yang tersisa itu merupakan hasil impor yang terakhir kali dilakukan tahun lalu, yakni antara periode Juni—Juli 2024.

    “Taksiran kerugiannya kita lihat, ini hitungan kasar saja lah ya, bisa mencapai Rp4 triliun,” katanya kepada Bisnis melalui sambungan telepon.

  • Sri Mulyani Gunakan SAL Rp16 Triliun untuk Pembiayaan Kopdes via Bank Himbara

    Sri Mulyani Gunakan SAL Rp16 Triliun untuk Pembiayaan Kopdes via Bank Himbara

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggunakan saldo anggaran lebih (SAL) APBN 2025 untuk disuntikan ke perbankan guna mendukung program pembiayaan koperasi desa atau kelurahan merah putih.

    Dalam catatan Bisnis, pemerintah telah menetapkan 4 bank yang akan menyalurkan pinjaman ke Kopdes Merah Putih. Keempat bank itu antara lain BNI, BRI, Mandiri dan BSI.

    Adapun mekanisme penyuntikan dana dari APBN ke perbankan itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.63/2025 tentang Penggunaan Saldo Anggaran Lebih alias SAL Tahun Anggaran 2025 untuk Pemberian Dukungan Kepada Bank yang Menyalurkan Pinjaman Kepada Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

    Sri Mulyani dalam pertimbangan beleid tersebut menekankan bahwa suntikan dana ke perbankan merupakan pelaksanaan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa atau Kelurahan Merah Putih.

    “Pembiayaan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih perlu dilakukan melalui sinergi pendanaan antara pemerintah dan perbankan selaku Operator Investasi  Pemerintah (OIP),”  demikian dikutip dari dokumen beleid, Senin (1/9/2025).

    Sri Mulyani melalui aturan baru itu juga menyatakan bahwa penggunaan SAL
    dianggarkan sebagai pembiayaan di subbagian anggaran BUN Investasi Pemerintah. 

    Sementara itu, penetapan rincian pembiayaan dalam subbagian anggaran BUN Investasi Pemerintah dari penggunaan SAL ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

    Penggunaan SAL, lanjut PMK tersebut, akan dicatat sebagai penerimaan pembiayaan pada APBN tahun anggaran 2025. Sedangkan, penggunaan SAL dari RKUN untuk penempatan dana pada Bank dicatat sebagai investasi pemerintah nonpermanen yang nantinya akan dilaporkan dalam laporan keuangan pemerintah pusat tahun anggaran 2025.

    Adapun PMK No.63/2025 telah ditandatangani pada tanggal 28 Agustus 2025 dan diundangkan pada tanggal 1 September 2025. “Aturan mulai ini berlaku pada tanggal diundangkan.”

    Aset Desa Juga Dipakai 

    Di sisi lain, Kementerian Koperasi (Kemenkop) menyampaikan bahwa aset desa yang berstatus idle seperti balai desa, eks bangunan SD Inpres, maupun aset yang sebelumnya dikelola PT Pos Indonesia dapat dimanfaatkan untuk operasionali Koperasi Desa Merah Putih.

    Wakil Menteri Koperasi (Wamenkop) Ferry Juliantono menjelaskan bahwa tanpa dukungan aset fisik, kegiatan Kopdes yang ditargetkan beroperasi sebanyak 15.000 unit pada Agustus ini tidak dapat berjalan maksimal. Dia pun mendorong Satuan Tugas (Satgas) Kopdes dapat mempercepat inventarisasi.

    “Jadi jumlahnya berapa dan letaknya di mana, aset ini perlu diinventarisasi agar nantinya bisa digunakan oleh Koperasi Desa yang pada periode Agustus–September ini sudah masuk tahap operasionalisasi,” kata Ferry dalam keterangan tertulis, Rabu (27/8/2025).

    Tidak hanya di tingkat desa, pihaknya juga mengupayakan penggunaan aset milik pemerintah pusat dan daerah guna mendukung berjalannya Kopdes Merah Putih.

    Ferry mengungkapkan bahwa proses pendataan dan inventarisasi hingga kini masih terus dilakukan oleh lintas kementerian dan lembaga, sehingga meyakini bahwa aset yang dapat digunakan dapat terus bertambah.

    “Jadi ini bentuk dukungan percepatan operasionalisasi, di mana masing-masing kementerian menyerahkan data asetnya yang nanti akan kami padukan di dalam microsite,” ujarnya.

    Sementara itu, Direktur Fasilitasi Perencanaan, Keuangan dan Aset Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahri mengatakan bahwa masih banyak desa dan pemerintah daerah yang belum melaporkan aset mereka.

    Dari total lebih dari 75.266 desa, baru sekitar 21 persen atau 16.059 desa yang menyampaikan laporan inventarisasi aset. Artinya, masih ada 59.207 desa yang belum melaporkan. 

    “Kendala utama dari inventarisasi aset yang belum maksimal karena belum adanya pemisahan data yang jelas antara aset tanah dan bangunan yang digunakan maupun yang idle,” tuturnya.

    Dalam perkembangan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menyebut bahwa 15.000 Koperasi Desa Merah Putih siap beroperasi pada bulan Agustus ini.

    Tak hanya di tingkat nasional, Zulhas lanjut memaparkan bahwa pemerintah mempersiapkan operasional Kopdes Merah Putih secara maraton melalui Satgas di provinsi hingga kabupaten/kota. Sejauh ini, dia menyebut bahwa Satgas Kopdes Merah Putih telah terbentuk di 34 provinsi, di luar wilayah Papua yang dinilai memakan proses lebih panjang.

    “Kami sudah membuat agenda agar bulan ini bisa selesai lebih kurang 15.000 [Kopdes] yang sudah operasional,” kata Zulhas dalam konferensi pers di Kemenko Pangan, Jakarta Pusat, Rabu (20/8/2025).

  • Masyarakat Intan Jaya Papua Tengah Kini Bisa Menikmati Layanan Listrik 24 Jam, Sebelumnya Hanya 12 Jam
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        1 September 2025

    Masyarakat Intan Jaya Papua Tengah Kini Bisa Menikmati Layanan Listrik 24 Jam, Sebelumnya Hanya 12 Jam Regional 1 September 2025

    Masyarakat Intan Jaya Papua Tengah Kini Bisa Menikmati Layanan Listrik 24 Jam, Sebelumnya Hanya 12 Jam
    Tim Redaksi
    JAYAPURA, KOMPAS.com
    – Masyarakat di ibu kota Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Provinsi Papua Tengah kini dapat menikmati layanan listrik selama 24 jam setiap hari.
    Hal ini menjadi sebuah harapan yang telah lama dinantikan warga Sugapa selama belasan tahun.
    Bupati Intan Jaya, Aner Maisini, menyatakan bahwa serah terima operasi (STO) yang baru saja dilakukan menandai dimulainya pelayanan listrik 24 jam di wilayah tersebut.
    “Kami bersyukur, karena masyarakat Intan Jaya kini dapat menikmati penerangan 24 jam di ibu kota Sugapa, Kabupaten Intan Jaya,” ungkapnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Senin (1/9/2025).
    Aner menjelaskan bahwa dengan adanya STO, seluruh kewenangan terkait operasional kelistrikan kini berada di tangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero.
    Sebelumnya, aliran listrik di Sugapa hanya beroperasi selama 12 jam sehari dengan menggunakan genset.
    “Setelah STO ini, layanan kelistrikan kini berjalan penuh 24 jam setiap harinya,” ujarnya.
    Aner berharap masyarakat memberikan dukungan penuh dalam menjaga infrastruktur kelistrikan, termasuk tiang, kabel, dan jaringan bawah tanah.
    “Jangan sampai ada jaringan yang rusak atau putus, karena masyarakat sendiri yang akan menjadi korban,” tegasnya.
    Sementara itu, General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Papua dan Papua Barat, Diksi Efrani Umar, menegaskan bahwa ini adalah komitmen PLN untuk memberikan pelayanan kelistrikan yang optimal bagi masyarakat Kabupaten Intan Jaya.
    “Jadi melalui STO ini, PLN berupaya mendukung pembangunan sumber daya manusia dan pembangunan daerah di Kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.