provinsi: JAWA TENGAH

  • 2 Titik Longsor Ancam Rumah Warga di Rowokele Kebumen, BPBD Pasang Garis Bahaya
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        24 November 2025

    2 Titik Longsor Ancam Rumah Warga di Rowokele Kebumen, BPBD Pasang Garis Bahaya Regional 24 November 2025

    2 Titik Longsor Ancam Rumah Warga di Rowokele Kebumen, BPBD Pasang Garis Bahaya
    Tim Redaksi
    KEBUMEN, KOMPAS.com
    — Hujan dengan intensitas tinggi yang melanda Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, sejak Minggu (23/11/2025) menyebabkan tanah longsor di Desa Giyanti, Kecamatan Rowokele.
    Dua lokasi yang terdampak
    longsor
    ini berada di sekitar permukiman warga dan dinilai berisiko membahayakan jika terjadi longsor susulan.
    Badan Penanggulangan Bencana Daerah (
    BPBD
    )
    Kebumen
    telah memasang garis peringatan bahaya di sekitar lokasi kejadian.
    Humas BPBD Kebumen, Heri Purwoto, menjelaskan bahwa longsor pertama terjadi di belakang rumah Samin, warga RT 3 RW 5.
    Tebing di belakang rumah tersebut ambrol sepanjang 5 meter dengan ketinggian 6 meter.
    “Material tanah menggantung dan tersisa hanya 5 meter dari bangunan rumah, membuat kondisi lokasi sangat rawan,” ujar Heri dalam keterangan resminya pada Senin (24/11/2025).
    Di lokasi kedua, tanah amblas terjadi di depan rumah Rotiman, warga RT 8 RW 6.
    Amblasan yang terjadi sepanjang 30 meter dengan kedalaman 1 meter tersebut mengikis fondasi bagian depan rumah.
    “Kondisi itu membuat bangunan rumah rawan mengalami keretakan lebih lanjut jika hujan kembali mengguyur,” kata Heri.
    Warga setempat melaporkan terdengar suara retakan tanah sebelum kejadian berlangsung.

    Petugas BPBD dan relawan yang tiba di lokasi segera melakukan asesmen cepat untuk memetakan potensi risiko dan memastikan tidak ada warga yang berada dalam bahaya langsung.
    “Kondisi tanah di Desa Giyanti tergolong curam di beberapa titik, sehingga risiko longsor cukup tinggi saat curah hujan meningkat. Kami mengimbau warga untuk segera melapor jika menemukan retakan besar atau pergeseran tanah,” tambah Heri.
    Hingga Senin (24/11) dini hari, BPBD Kebumen masih melakukan pemantauan lanjutan dan menyiagakan tim di wilayah Rowokele.
    Upaya penanganan awal termasuk pemasangan rambu peringatan, pembersihan material ringan, serta pendataan kerusakan.
    Tidak ada korban jiwa dalam kejadian ini.
    Namun, BPBD menegaskan bahwa potensi longsor susulan masih ada, mengingat hujan diprediksi akan terus turun dalam beberapa hari ke depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PHK Paling Banyak di Jawa Barat, 15 Ribu Orang Jadi Korban!

    PHK Paling Banyak di Jawa Barat, 15 Ribu Orang Jadi Korban!

    Jakarta

    Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) merilis data terbaru Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) periode Januari-Oktober 2025. Berdasarkan situs Satudata Kemnaker, angka PHK pada periode tersebut tembus 70.244 orang.

    Sejumlah daerah berkontribusi terhadap jumlah PHK yang terjadi periode Januari-Oktober 2025. Provinsi Jawa Barat masih menjadi penyumbang terbesar dengan angka PHK mencapai 15.657 atau mencakup 22,29% dari total PHK.

    “Tenaga kerja ter-PHK paling banyak pada periode ini terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 22,29 persen dari total tenaga kerja ter-PHK yang dilaporkan,” tulis situs Satudata Kemnaker, Senin (24/11/2025).

    Jawa Barat memang menjadi penyumbang PHK terbanyak dalam beberapa bulan terakhir, misalnya pada periode Januari-September, Januari-Agustus, dan Januari-Juli. Sementara itu, kontributor terbanyak PHK periode Januari-Juni dan Januari-Mei adalah Jawa Tengah.

    Untuk periode Januari-Oktober 2025, Jawa Tengah ada di posisi ke-2 dengan jumlah PHK 13.545 orang. Posisi ke-3 ada Provinsi Banten dengan jumlah PHK 6.863 orang, lalu DKI Jakarta sebanyak 5.149 orang.

    Berikut 5 besar provinsi dengan jumlah PHK terbanyak periode Januari-Oktober 2025:

    1. Jawa Barat: 15.657 orang kena PHK
    2. Jawa Tengah: 13.545 orang kena PHK
    3. Banten: 6.863 orang kena PHK
    4. DKI Jakarta: 5.149 orang kena PHK
    5. Jawa Timur: 4.142 orang kena PHK

    (ily/kil)

  • Potret Kampung Dadap Tangerang, Terancam Tenggelam di Tengah Gemerlap Kawasan Elite
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Potret Kampung Dadap Tangerang, Terancam Tenggelam di Tengah Gemerlap Kawasan Elite Megapolitan 24 November 2025

    Potret Kampung Dadap Tangerang, Terancam Tenggelam di Tengah Gemerlap Kawasan Elite
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Di tengah pesatnya pembangunan kawasan elit Pantai Indah Kapuk (PIK),
    Kampung Dadap
    di Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, justru menghadapi ancaman serius: kawasan seluas 14,5 hektare itu nyaris tenggelam akibat
    banjir rob
    yang terjadi setiap hari.
    Kampung yang berbatasan langsung dengan PIK, Kamal (Jakarta Barat), dan Kamal Muara (Jakarta Utara) yang kini semakin ramai didatangi wisatawan.
    Kampung ini diisi tiga RW, yakni RW 01, RW 02, dan RW 03. Di RW 03 saja terdapat sekitar 800 keluarga dengan total kurang lebih 1.000 bangunan rumah—sebagian besar berukuran kecil dan semi permanen.
    Untuk bertahan dari banjir rob harian, hampir semua warga meninggikan bagian depan rumah menggunakan semen, agar air laut tak langsung masuk ke dalam rumah.
    Pasalnya, wilayah ini berhadapan langsung dengan laut dan menajdi langgan banjir rob setiap harinya. Namun upaya itu tak membuat kawasan ini bebas dari genangan.
    “Betul sekali dan setiap hari, bahkan hitungan saya sudah lebih dari tiga bulan begini. Nanti surut, pasang surut, tapi satu bulan ini lebih banyak pasangnya,” ucap Ketua RW 03 Jamal, ketika diwawancarai
    Kompas.com
    di lokasi, Jumat (21/11/2025).
    Rob umumnya menggenang sepanjang Jembatan Cinta hingga ujung Kampung Dadap, sekitar dua kilometer, dengan ketinggian air 30–50 sentimeter.
    Air yang masuk pun kian keruh, berubah warna menjadi cokelat hingga hitam akibat bercampur lumpur dan air selokan.
    Kasturi (40), salah satu warga, mengatakan rob kerap datang tiba-tiba, terutama malam hari.
    “Karena pas Jumat aja air datang langsung besar masuk ke rumah,” kata Kasturi.
    Setiap terjadi rob, Kasturi memilih mengungsikan anaknya ke rumah keluarga karena khawatir air datang dalam volume besar tanpa peringatan. Ia mengaku lelah karena saban hari harus mengeruk lumpur sisa genangan.
    “Masuk airnya ke rumah, jadi ini ditinggiin airnya enggak masuk. Abis capek tiap hari bersihin lumpur. Kalau banjir malam coba jam 03.00 WIB subuh kami ngerukin lumpur.”
    Di depan rumahnya, dua bangunan besar tampak hancur dan ditinggalkan pemiliknya karena terus terendam rob.
    Hanya tersisa bambu dan genteng yang sudah rapuh dari bangunan rumah itu seolah pertanda betapa kerasnya banjir rob menghantam wilayah ini setiap hari.
    “Iya, banyak rumah yang rusak dan ditinggalkan penghuninya, karena banjir terus dan lama-lama rusak,” kata dia.
    Siswanto (50), warga RW 03, mengatakan rob akan jauh lebih parah bila bersamaan dengan kiriman air dari Bandara Soekarno-Hatta.
    “Iya, kalau air laut lagi pasang sama hujan, jadi begini kondisinya. Kalau ada kiriman air dari bandara bisa sampai sepaha orang dewasa. Kondisi makin parah kalau air laut pasang, air kiriman dari bandara dibuka, ya, udah bisa tinggi airnya dalam,” jelas Siswanto.
    Rumah-rumah yang belum ditinggikan langsung terendam. Sejumlah warga sampai harus berjalan di atas tanggul setinggi empat meter agar bisa keluar rumah tanpa basah.
    Siswanto sendiri sering kesulitan berangkat kerja saat rob.
    “Kami bingung, ya, mau kerja kalau udah banjir kadang-kadang harus berjuang semampunya, kalau bawa kendaraan udah enggak bisa. Biasanya, kita jalan menerobos banjir dulu ke depan, nanti naik angkutan umum,” tutur Siswanto.
    Menurut Siswanto, rob sebenarnya sudah terjadi sejak 1990-an, tetapi dulu air lebih cepat surut. Dalam satu dekade terakhir kondisinya memburuk.
    “Mulai makin parah karena ada pembangunan pergudangan, lebih parah lagi ada
    reklamasi
    .”
    Aktivitas reklamasi membuat air laut tak lagi mengalir ke empang dan hutan mangrove, melainkan langsung masuk ke permukiman warga yang berada di dataran rendah.
    Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menjelaskan banjir rob di Dadap semakin parah dalam dua-tiga tahun terakhir karena perubahan arus laut akibat penimbunan.
    Hal serupa juga pernah terjadi di desa Timbulsloko, Demak, Jawa Tengah, yang kini sudah tenggelam. Tenggelamnya Desa Timbulsloko disebabkan karena adanya berbagai pembangunan seperti Pelabuhan Tanjung Mas dan Reklamasi Marina di tahun 2010.
    Semenjak itu, banjir rob semakin intens terjadi di wilayah Timbulsloko dan menurut analisa akademisi perubahan arus imbas reklamasi menjadi penyebab desa itu tenggelam.
    “Nah, kasus serupa terjadi di Dadap dengan adanya aktivitas reklamasi, karena reklamasi sekitar tiga tahun ke belakang kan benar-benar, PIK-nya jadi dibuka untuk umum, itu sebenarnya terjadi karena ada aktivitas seperti itu,” tutur Susan.
    Susan memastikan, penimbunan pantai dari reklamasi akan mengubah arus laut. Di mana biasanya ada arus tertentu yang melewati satu daerah, namun karena ada penimbunan di titik itu, maka arus menjadi berubah arah dan menyebabkan banjir ke daratan secara perlahan-lahan.
    Oleh karena itu, kata dia, banjir rob di Kampung Dadap bukan cuma sekedar fenomena alam biasa, melainkan juga karena perbuatan manusia.
    Peneliti 
    Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
    , Budi Heru Santosa, menilai penurunan tanah juga menjadi faktor utama.
    “Kami sudah sering mendengarkan bahwa di pesisir Pantura, Jakarta, Tangerang, dan sekitarnya terjadi penurunan muka tanah. Kesimpulan yang dilakukan para ahli, pertama adalah karena lapisan tanah di situ lapisan aluvial yang cenderung lunak, sehingga ketika terjadi pemampatan, pembebanan, pengambilan air tanah maka dia akan turun,” tutur Budi.
     Penurunan muka tanah membuat permukaan daratan lebih rendah daripada air laut, sehingga rob semakin sering dan makin tinggi ketika pasang berbarengan dengan hujan.
    Fenomena kenaikan muka air laut atau sea level rise terjadi karena adanya perubahan iklim yang disebabkan mencairnya gunung es di kutub utara.
    Dampak dari peristiwa tersebut memang tidak dirasakan begitu signifikan di Pesisir Pulau Jawa. Namun, dalam beberapa tahun ke depan dan ditambah penurunan muka tanah maka dampak tersebut akan dirasakan signifikan.
    Tanggul yang dibangun pada 2024 pun tak banyak membantu. Tanah yang terus turun membuat tanggul ikut “turun” dan kehilangan efektivitasnya dalam beberapa tahun saja.
    “Tanggul itu dibangun di atas tanah, dia punya pondasi ditanam di dalam tanah tapi ada bagian ke atas. Ketika tanah mengalami land subsidence maka tanggul akan mengikuti karena dia ditanam di atas tanah,” ujar Budi.
    Budi mencontohkan, misalnya suatu tanggul dibangun untuk mengatasi air laut setinggi satu meter, ketika terjadi penurunan tanah misalnya 10 cm per tahun, maka dalam lima tahun mendatang tanggul yang dibangun turun sekitar 50 cm.
    Imbasnya, tanggul itu tidak lagi efektif untuk menahan ketinggian air laut setinggi satu meter dan membuatnya mudah meluap ke daratan.
    Budi menyarankan pembangunan sistem polder terintegrasi yang meliputi tanggul memutari kawasan, kolam retensi, serta pompa untuk membuang air ke luar tanggul.
    Air di kolam retensi itu akan dipompa ke wilayah di luar tanggul yang sudah dibangun sehingga tidak mengandalkan gravitasi atau air mengalir secara alami.
    Namun, yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem polder adalah tidak boleh ada lubang sekecil apa pun yang membuat air merembes ke daratan.
    Selain itu, bisa juga dipertimbangkan untuk menempuh perbaikan secara alami seperti penanaman mangrove.
    “Kemudian, perlu dilelajari apakah masih memungkinkan ditempuh restorasi berbasis alami dengan penanaman mangrove di sepanjang pesisir yang dapat menangani laju laut dan sebagainya, nah ini dapat dipertimbangkan,” jelas dia.
    Wakil Bupati Tangerang, Intan Nurul Hikmah, mengatakan pemerintah telah mengambil sejumlah langkah.
    Pertama Anggaran Belanja Tambahan (ABT) tahun 2025 Kabupaten Tangerang digunakan untuk pembangunan pintu air di saluran pembuangan Perumahan Duta Bandara.
    “Lalu, akan dibangun stasiun pompa banjir dan normalisasi kolam retensi Perumahan Duta Bandara tahun 2026,” ujar Intan.
     Untuk Perumahan Taman Dadap Indah yang kerap banjir, pemerintah menjadwalkan pengerukan manual drainase.
    Sementara terkait tanggul laut, pemerintah masih berkoordinasi dengan Kementerian PUPR.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KKP luncurkan RAN PPSK sebagai upaya penguatan kesejahteraan dan keberlanjutan nelayan kecil

    KKP luncurkan RAN PPSK sebagai upaya penguatan kesejahteraan dan keberlanjutan nelayan kecil

    Minggu, 9 November 2025 11:45 WIB

    Nelayan mencari ikan di pesisir Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (9/11/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Perikanan Skala Kecil (RAN PPSK) sebagai wujud nyata komitmen untuk memperkuat kesejahteraan dan keberlanjutan nelayan kecil di Indonesia melalui perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, serta petambak garam dengan berfokus pada penguatan tata kelola kolaboratif, peningkatan nilai rantai pasok, dan pelaksanaan yang terukur guna mendukung ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU

    Nelayan memidahkan kerang hasil panen di pesisir Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (9/11/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Perikanan Skala Kecil (RAN PPSK) sebagai wujud nyata komitmen untuk memperkuat kesejahteraan dan keberlanjutan nelayan kecil di Indonesia melalui perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, serta petambak garam dengan berfokus pada penguatan tata kelola kolaboratif, peningkatan nilai rantai pasok, dan pelaksanaan yang terukur guna mendukung ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU

    Nelayan memidahkan kerang hasil panen di pesisir Tambaklorok, Semarang, Jawa Tengah, Minggu (9/11/2025). Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meluncurkan Rencana Aksi Nasional Pengelolaan Perikanan Skala Kecil (RAN PPSK) sebagai wujud nyata komitmen untuk memperkuat kesejahteraan dan keberlanjutan nelayan kecil di Indonesia melalui perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudi daya ikan, serta petambak garam dengan berfokus pada penguatan tata kelola kolaboratif, peningkatan nilai rantai pasok, dan pelaksanaan yang terukur guna mendukung ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YU

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng Megapolitan 24 November 2025

    Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Sejumlah warga kolong, sebutan untuk orang-orang yang hidup di jalanan, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, mencoba terus bertahan tinggal di tepi rel kereta dan trotoar sempit meski sudah berulang kali ditertibkan aparat.
    Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, menegaskan, keberadaan
    warga kolong
    terus dipantau melalui patroli rutin.
    “Saat ini kita hanya penjangkauan atau patroli rutin. Kalau ada yang bandel baru kita lakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, kita kirim ke panti sosial,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (21/11/2025).
    Nanto menambahkan, pihaknya rutin melakukan patroli melalui pendekatan yang humanis dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan.
    “Kalau patroli rutin tiap hari. Kalau hambatan selama ini belum ada, hanya harus rajin di patroli saja,” kata dia.
    “Mereka pergi sebentar saat razia, tapi begitu patroli selesai, biasanya balik lagi ke kolong atau trotoar. Kami sudah terbiasa melihat itu,” kata Ningsih.
    Sementara itu, Riyan (31), pengemudi ojek pangkalan yang mangkal tak jauh dari lintasan rel, merasa kasihan dengan warga kolong.
    “Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya duit buat tempat tinggal. Kalau tidak ada alternatif, ya mereka kembali ke trotoar atau kolong. Mereka sudah biasa hidup di jalan,” ucapnya.
    Sejumlah warga kolong yang ditemui
    Kompas.com
    mengungkapkan alasannya tetap bertahan di trotoar dan tepi rel meski sering didatangi aparat.
    Salah satunya adalah Ale (40), warga asal Bogor, Jawa Barat, yang sudah hampir dua tahun tinggal di tepi rel dekat Latuharhary.
    “Awalnya cuma numpang lewat, nyari barang bekas. Lama-lama susah, jadi bertahan di sini saja. Uang enggak cukup buat kontrakan. Mau ke mana kalau pergi jauh?” katanya.
    Sehari-hari Ale mencari botol plastik dan kardus dari kantor serta pasar sekitar untuk dijual kembali.
    “Kalau ramai, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” ujarnya.
    Sukinem (38), perempuan asal Brebes, Jawa Tengah, menuturkan pengalaman serupa.
    “Kadang pagi-pagi Satpol PP datang, suruh bubar. Saya ngerti, tapi mau pindah ke mana? Gerobak berat, barang banyak. Setelah mereka pergi, kami balik lagi,” katanya.
    Warga kolong lainnya, Sarwono (42) bercerita bahwa dirinya tinggal bersama istri dan anaknya di pertigaan dekat Kantor Komnas HAM.
    “Tempat ini agak aman, lampunya terang, dekat kantor pemerintah. Kalau malam tetap waspada, tapi di sini dekat jalur kerja mulung. Anak dan istri ikut, jadi pilih lokasi yang memungkinkan semua aman,” kata dia.
    Meski begitu, ia tak menampik bahwa tidur di atas trotoar tidaklah nyaman.
    “Pakai kardus atau terpal seadanya, sambil menaruh gerobak sebagai penghalang agar barang tidak dicuri,” ujarnya.
    Pengamat perkotaan Yayat Supriyatna menekankan bahwa warga kolong memilih lokasi secara strategis.
    “Mereka paham wilayah secara teritorial, menempati lokasi yang relatif aman dari razia Satpol PP, dan dekat dengan mata pencaharian,” kata Yayat.
    “Kalau mereka punya komunitas, ada keberanian untuk mencari ruang yang bisa digunakan bersama,” ujarnya.
    Yayat menjelaskan bahwa mobilitas warga kolong cukup terukur.
    “Radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya mereka menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” tuturnya.
    Dengan strategi ini, warga kolong bisa menjaga barang-barang, bekerja, dan bertahan di ruang publik dengan risiko minimal.
    Fenomena ini menunjukkan keterkaitan erat antara perilaku warga kolong dengan kondisi ekonomi dan kemampuan adaptasi terhadap ruang kota.
    “Kelompok ini termarjinalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” ujar Yayat.
    Di trotoar Latuharhary, Ale memilah-milah botol plastik dan kardus yang dikumpulkan dari kantor-kantor sekitar. Barang-barang ini dijual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
    “Kalau sepi, hanya cukup buat makan. Kalau ramai, bisa sedikit lebih. Tapi tetap hidup seadanya,” kata Ale.
    Sukinem biasanya memulai pagi dengan berkeliling trotoar dan kantor-kantor Menteng untuk mengumpulkan plastik dan kardus.
    “Kalau hujan atau banyak penertiban, tidak dapat apa-apa. Tapi yang penting bisa hidup, bisa kirim sedikit ke anak di Brebes,” ujarnya.
    Ia tidur di kolong jembatan dekat terowongan kecil, menggunakan kardus dan terpal sebagai alas, sambil menjaga barang-barang agar tidak hilang.
    Sarwono menekankan pentingnya lokasi bagi keselamatan keluarganya.
    “Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Jadi kami bertahan di sini, walau tiap malam was-was. Gerobak kami taruh di depan sebagai penghalang,” katanya.
    Hidup di tepi rel dan trotoar membuat warga kolong harus menghadapi berbagai risiko, di antaranya hujan, kebisingan kereta, hingga potensi kehilangan barang.
    “Tidur malam selalu waspada. Kalau ada suara keras, langsung bangun. Barang-barang kami harus dijaga, gerobak jadi penghalang sekaligus tempat penyimpanan,” tutur Sarwono.
    Sukinem menambahkan, anak-anaknya tetap tinggal di kampung halaman karena keterbatasan ekonomi.
    “Kalau anak ikut, lebih sulit menjaga barang dan keamanan. Saya bertahan sendiri, kirim sedikit uang ke rumah. Hidup ini cuma buat makan dan bertahan,” katanya.
    Ale pun sependapat dengan Sukinem.
    “Kalau pergi jauh, mau tidur di mana. Uang enggak cukup buat kontrakan. Jadi tetap di sini, cari makan seadanya,” ujarnya.
    Yayat menekankan bahwa pilihan lokasi warga kolong sangat pragmatis.
    “Tempat itu relatif aman, tidak mengganggu warga, dekat mata pencaharian, dan ada kemudahan untuk kebutuhan sanitasi. Mereka memahami wilayah secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman,” ujarnya.
    Ketimpangan ekonomi dan keterbatasan akses terhadap hunian layak membuat warga kolong harus mengisi ruang publik yang tersedia, sekaligus menyesuaikan diri dengan patroli aparat dan perubahan lingkungan sekitar.
    Menurut Yayat, adaptasi warga kolong mencakup berbagai strategi pemilihan lokasi yang aman, pengelolaan barang dan gerobak, mobilitas terukur, serta pembentukan jaringan komunitas untuk saling menjaga.
    “Mereka mengisi ruang kota yang gratis dengan strategi adaptasi yang sangat terukur,” ujarnya.
    Yayat menambahkan, komunitas ini memudahkan warga kolong menyesuaikan diri dengan patroli aparat. Dengan mengetahui lokasi yang aman, mereka dapat menghindari razia sementara dan kembali menempati ruang ketika situasi aman.
    “Mobilitas mereka terbatas, tapi efektif. Radius aktivitas hanya 1–3 km, cukup untuk mencari nafkah dan bertahan hidup,” tuturnya.
    Yayat menambahkan Patroli rutin Satpol PP tidak mengubah pola hidup mereka secara signifikan.
    Keberadaan mereka adalah hasil adaptasi terhadap kondisi ekonomi, keterbatasan ruang, dan kemampuan membentuk jaringan sosial yang memungkinkan bertahan hidup di kota besar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Viral Wanita Wonogiri Kena Stroke di Usia 20, Inikah Pemicunya?

    Viral Wanita Wonogiri Kena Stroke di Usia 20, Inikah Pemicunya?

    Jakarta

    Seorang wanita bernama Delia membagikan kisahnya mengalami stroke di usia 20 tahun. Peristiwa itu terjadi pada 29 Agustus 2025, saat wanita yang berasal dari Wonogiri, Jawa Tengah itu sedang beraktivitas seperti biasa. Mendadak, Delia merasakan pusing hebat disertai kesulitan berbicara. Tubuhnya masih bisa digerakkan, tetapi terasa sangat lemas.

    Ia sempat menunggu karena mengira gejalanya akan membaik dengan sendirinya. Namun hingga dua jam berlalu, kemampuan bicaranya tak juga pulih. Keluarga yang panik akhirnya membawa Delia ke dokter saraf terdekat di Wonogiri untuk mendapatkan pemeriksaan segera.

    “Pas di rumah sakit di Wonogiri deket rumah, itu cuma pembengkakan otak itu sudah di CT scan. Tapi dokter spesialisnya bilang kalau cuma pembengkakan otak kok nggak bisa ngomong, ini harus di MRI gitu kan mangkanya dirujuk ke rumah sakit yang ada di Solo,” demikian katanya melalui akun TikTok-nya atas izin yang bersangkutan, Sabtu (22/11/2025).

    Delia kemudian dirujuk ke salah satu rumah sakit di Solo untuk menjalani pemeriksaan lanjutan. Di sana, ia menjalani MRI (Magnetic Resonance Imaging), CT scan (Computed Tomography), dan serangkaian pemeriksaan lainnya.

    Ia ditempatkan di ruang High Care Unit (HCU) untuk pemantauan intensif karena gejalanya mengarah pada stroke, meski usianya masih sangat muda. Pemeriksaan lebih lanjut melalui Transcranial Doppler (TCD) menunjukkan adanya penyumbatan dan kekakuan pada pembuluh darah di otaknya.

    Terkait pemicunya, Delia mengaku belakangan sering dilanda banyak pikiran hingga mengalami stres berat. Ia juga mengaku tidak memiliki riwayat genetik terkait tekanan darah tinggi, kolesterol, asam urat, maupun gula darah tinggi.

    Lantas, benarkah stres bisa memicu stroke?

    Direktur Medik dan Keperawatan RS PON, dr Reza Aditya Arpandy, SpS, menjelaskan bahwa stres berat dan depresi dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami stroke, meski bukan menjadi penyebab utamanya.

    Saat seseorang mengalami stres, tubuh akan melepaskan hormon adrenalin dan kortisol. Kedua hormon ini dapat meningkatkan tekanan darah dan membuat detak jantung menjadi lebih cepat, sehingga memicu kondisi yang berpotensi berbahaya.

    “Kalau kondisi ini terjadi berulang atau cukup berat, maka risiko terjadinya kerusakan pada pembuluh darah dan lonjakan tekanan darah menjadi lebih tinggi, sehingga dapat memicu stroke, terutama bila orang tersebut sudah punya faktor risiko lain, seperti hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes, merokok, obesitas, atau memang sudah ada kelainan pembuluh darah otak sebelumnya,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (24/11/2025).

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Dedi Mulyadi Ubah Gerbang Gedung Sate Seperti Candi: Itu Bukan Cagar Budaya

    Dedi Mulyadi Ubah Gerbang Gedung Sate Seperti Candi: Itu Bukan Cagar Budaya

    Sementara itu, Humas Bandung Heritage Society sekaligus Ahli Cagar Budaya, Tubagus Adhi mengatakan, perubahan Gerbang Gedung Sate tidak salah untuk dilakukan. Sebab menurutnya, gerbang tersebut bukan termasuk bangunan cagar budaya.

    “Enggak ada pagar waktu masa kolonial itu. Sekarang ada pagar, itu penting. Gimana kalau seperti kemarin, yang ada pagar di DPRD aja dibakar,” kata Adhi.

    Adhi menejelaskan, dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, boleh mengembangkan cagar budaya dengan penyesuaian kebutuhan saat ini. Namun, pengembangan cagar budaya tidak boleh menghilangkan nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah bangunan.

    “Pagar itu penting bagi saya, tapi harus memberikan aksesibilitas bagi pejalan kaki termasuk difabel,” kata dia.

    Dia mengatakan, perubahan gerbang Gedung Sate sah untuk dilakukan. Mengingat, arsitektur utama Gedung Sate, J. Gerber merancang gedung yang dominan warna putih itu mengusung konsep arsitektur Art Deco dengan perpaduan tradisional dan kolonial.

    “Desain Gedung Sate itu kan gaya eksentrik ya atau bisa sebut Art Deco,” ucap dia.

    Adhi menilai sentuhan Candi Bentar pada gapura di pintu masuk area Gedung Sate ini menarik, karena menjadi hal baru. Berbeda dengan di Bali, Jawa Timur, maupun Jawa Tengah yang sudah lebih dulu memberikan sentuhan Candi Bentar.

    “Gapura yang dapat sentuhan Candi Bentar itu keren, karena untuk saya pribadi ada nilai sejarah. Kalau di Bali, Jawa Timur, maupun Jawa Tengah kan sudah menerapkannya, kalau di sini kan baru,” kata Adhi.

  • Patroli Rutin Tak Pernah Buat Warga Kolong Terusir dari Menteng
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        24 November 2025

    Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, "Terdampar" di Trotoar Megapolitan 24 November 2025

    Potret Kaum Marginal di Jakarta: Diusir dari Kolong, “Terdampar” di Trotoar
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Di trotoar sempit yang seharusnya diperuntukkan bagi pejalan kaki, Ale (40) duduk bersandar pada dinding penuh coretan grafiti.
    Terlihat barang-barang miliknya tas, kantong plastik, dan gerobak kayu menempel di sampingnya.
    “Sudah hampir dua tahun saya di sini. Awalnya cuma numpang lewat nyari barang bekas, tapi lama-lama susah, jadi saya bertahan saja,” kata Ale warga kolong asal Bogor, saat ditemui
    Kompas.com
    di tepi rel Jalan Latuharhary, Menteng,
    Jakarta
    Pusat, Jumat (21/11/2025).
    Tak jauh dari lokasi itu, tumpukan karung dan kantong plastik hitam berisi barang bekas tampak rapi, siap dijual kembali.
    Seorang pria tampak memilah botol plastik, kardus, dan barang bekas lainnya, aktivitas yang menjadi sumber nafkah sehari-hari.
    Dua gerobak kayu besar yang sudah usang berdiri di dekatnya, menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan.
    Setelah beberapa kali dipindahkan dari kolong jembatan oleh petugas, mereka kini mengisi celah publik trotoar dan tepi rel untuk bertahan hidup.
    Karno (50), asal Banyumas, Jawa Tengah, sudah hampir tiga tahun hidup di tepi rel setelah penertiban kolong jembatan dekat stasiun.
    “Awalnya tidur di kolong jembatan, tapi sering ada penertiban. Akhirnya pindah ke tepi rel di sini. Agak aman, walau tetap harus waspada kalau malam,” ujar dia.
    Sukinem (38), perempuan asal Brebes, menceritakan pengalamannya yang berbeda. Ia datang ke Jakarta sendiri, meninggalkan anak-anaknya yang tinggal bersama orang tua di kampung.
    “Suami sudah tidak ada. Saya ke sini untuk cari uang. Kalau ada lebih, saya kirim. Tapi sehari-hari cukup buat makan. Kalau hujan atau banyak penertiban, ya tidak dapat apa-apa,” ujar dia sambil menata gerobak berisi kardus dan botol plastik.
    Sementara Sarwono (42) memilih pertigaan setelah kantor Komnas HAM sebagai tempat tinggal sementara bersama istri dan anaknya.
    “Kami tidur bertiga di pojokan pertigaan, pakai terpal dan kardus. Malam jarang tidur pulas, harus jaga anak dan barang. Dekat sini lebih mudah kerja, dekat kantor dan jalan-jalan Menteng,” ujar dia.
    Bagi mereka, pindah ke trotoar dan tepi rel bukan pilihan ideal, tapi terpaksa karena tidak ada alternatif tempat tinggal.
    Meski sempit dan berisiko, lokasi ini dianggap lebih aman daripada tidur di kolong jembatan yang sering menjadi sasaran penertiban.
    Hidup di jalanan berarti harus kreatif mencari penghasilan.
    Warga kolong mengandalkan barang bekas, botol plastik, kardus, dan sisa makanan dari pedagang pasar atau kantor di sekitar Menteng.
    “Kalau ada acara kantor atau pasar buang botol plastik, satu gerobak bisa dapat Rp 15.000. Kalau sepi, cuma Rp 7.000,” kata Ale.
    Pendapatannya juga tak menentu.
    Jika sedang banyak barang bekas, ia bisa mengantongi Rp 50.000. Paling sedikit, ia mendapat Rp 10.000.
    Uang tersebut hanya cukup untuk makan sehari-hari.
    Sementara Sukinem memiliki penghasilan yang lebih terbatas.
    “Rata-rata Rp 30.000–40.000. Kalau hujan atau ada penertiban, ya tidak dapat apa-apa. Yang penting bisa dikirim sedikit ke anak di kampung,” ujarnya.
    Pendapatan yang tidak menentu memaksa warga kolong hidup sederhana, berbagi barang, dan memaksimalkan apa yang mereka miliki.
    Gerobak dan karung menjadi alat kerja sekaligus tempat penyimpanan sementara barang-barang mereka.
    Kasatpol PP Jakarta Selatan, Nanto Dwi Subekti, memastikan penertiban dilakukan secara humanis.
    “Saat ini kami hanya melakukan penjangkauan dan patroli rutin. Kalau ada yang bandel, baru dilakukan penertiban. Kalau kedapatan saat operasi PMKS, mereka dikirim ke panti sosial,” jelasnya.
    Patroli rutin dilakukan tiap hari untuk menjaga ruang publik tetap aman.
    Namun kenyataannya, warga kolong tetap kembali ke trotoar atau tepi rel karena tidak memiliki alternatif tempat tinggal permanen.
    Ningsih (45), pemilik warung di dekat lintasan rel Jalan Guntur, mengamati fenomena ini dari dekat.
    “Kalau hujan, mereka pergi sebentar, lalu balik lagi. Ada bantuan pemerintah, tapi memang tidak mengubah pilihan mereka. Tetap hidup di jalan,” ujarnya.
    Warga sekitar sudah terbiasa melihat aktivitas warga kolong.
    “Liat saja mereka, kadang ke Pasar Rumput berpindah-pindah. Ada yang sama anaknya, ada yang berdua sama istrinya, atau ada yang sendiri,” ujar Ningsih.
    Sedangkan Riyan (31), ojek pangkalan di sekitar lokasi juga berpendapat mengenai keberadaan warga kolong.
    “Kasihan sih, tapi hidup di Jakarta memang harus siap punya uang untuk tempat tinggal. Kalau tidak ada pilihan, mereka balik lagi ke kolong atau trotoar,” kata dia.
    Bagi warga kolong, Menteng dan sekitarnya bukan hanya sekadar lokasi, tetapi juga sumber mata pencaharian.
    “Kalau jauh dari sini, istri dan anak saya susah kalau hujan atau ada apa-apa. Dekat sini lebih mudah kerja mulung plastik dan kardus,” kata Ale.
    Menurut pengamat perkotaan Yayat Supriyatna, warga kolong memilih lokasi strategis karena faktor ekonomi dan keamanan.
    “Mereka memilih tempat yang relatif aman dari razia Satpol PP, tidak mengganggu permukiman warga, dan dekat dengan mata pencaharian,” ujar Yayat saat dihubungi Kompas.com, Jumat.
    Keberadaan komunitas juga penting.
    Dukungan komunitas memungkinkan warga kolong berbagi ruang, menjaga keamanan barang-barang mereka, dan mengurangi risiko gangguan dari aparat maupun warga sekitar.
    Selain itu, lokasi yang dekat fasilitas umum, seperti WC publik atau taman, juga memudahkan mereka memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
    “Gerobak berfungsi ganda sebagai tempat tinggal sekaligus alat kerja. Mereka memilih tempat dekat fasilitas umum untuk kebutuhan sanitasi,” tutur Yayat.
    Menurut Yayat Supriyatna, strategi warga kolong mencerminkan adaptasi terhadap keterbatasan ekonomi dan ruang kota.
    “Mobilitas mereka terbatas, radius aktivitas sekitar 1–3 km, dan biasanya menempati lokasi yang dianggap paling aman mulai jam 8 pagi hingga malam,” ujar dia.
    Yayat menekankan, perilaku warga kolong tidak sekadar soal kemiskinan, tetapi juga tentang pemahaman terhadap ruang kota.
    “Kelompok ini termarginalkan, namun mereka paham memilih tempat tinggal yang efisien, dekat mata pencaharian, aman dari gangguan, dan memiliki kemudahan sanitasi,” kata dia.
    Lokasi yang dipilih bukan sembarangan.
    “Mereka memahami wilayah itu secara teritorial, mengatur hidup secara kolektif, dan menempati lokasi pada jam-jam paling aman. Ini strategi bertahan hidup kelompok termarjinalkan yang sangat pragmatis,” ujar Yayat.
    Fenomena warga kolong di Menteng dan sekitar lintasan rel menjadi contoh nyata kompleksitas urban Jakarta.
    Kota yang berkembang pesat dengan kawasan elite tetap menyisakan ruang bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, memaksa mereka mengisi celah-celah kota yang bersifat publik.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Buruh Demo Besar-besaran di Sekitar Istana-DPR Hari Ini, Berikut Tuntutannya

    Buruh Demo Besar-besaran di Sekitar Istana-DPR Hari Ini, Berikut Tuntutannya

    Jakarta

    Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Partai Buruh menggelar demonstrasi besar-besaran hari ini. Massa buruh menolak kenaikan upah minimum 2026 versi pemerintah yang disebut hanya naik rata-rata Rp 90 ribu per bulan.

    Presiden KSPI dan Partai Buruh Said Iqbal mengatakan demonstrasi ini akan digelar serentak di seluruh Indonesia. Untuk di Jakarta, kata Said, demo rencananya akan digelar di depan Gedung DPR dan di sekitar Istana.

    “Aksi ini merupakan gerakan nasional yang akan dilakukan secara serentak di kota-kota industri. Untuk wilayah Jakarta, aksi dipusatkan di Istana Negara atau di DPR RI pada tanggal 24 November 2025. Keputusan final apakah aksi dipusatkan di Istana atau DPR RI ditentukan sesuai dinamika lapangan,” kata Said Iqbal kepada wartawan, Senin (24/11/2025).

    Said mengatakan rencananya diperkirakan 15 ribu buruh akan ikut dalam aksi di Jakarta. Kemudian aksi juga akan digelar di Bandung tepatnya di Gedung Sate hingga kantor Gubernur Provinsi Banten.

    “Di Jakarta sendiri diperkirakan sebanyak lima belas ribu buruh akan ikut serta melakukan aksi nasional tersebut. Di Bandung, aksi akan berlangsung di Gedung Sate, Jawa Barat. Di Serang aksi dilakukan di Kantor Gubernur Provinsi Banten. Di Semarang massa buruh akan melakukan aksi di Kantor Gubernur Jawa Tengah,” ujar Said.

    Dalam aksi kali ini, buruh menolak kenaikan upah minimum 2026 versi pemerintah yang disebut hanya naik rata-rata Rp 90 ribu per bulan. Angka ini, kata Said, didapat dari nilai inflasi 2,65 persen, pertumbuhan ekonomi 6,12 persen dalam rentang waktu Oktober 2024 hingga September 2025.

    “Rata-rata upah minimum per bulan di Indonesia (rata-rata 38 provinsi) adalah tidak lebih dari Rp 3 juta per bulan. Maka rata-rata kenaikan upah minimum adalah di kisaran 90 ribu per bulan,” ujar Said.

    “Kedua, sebesar 7,77% yang berasal dari perhitungan 2,65 inflasi ditambah 1,0 indeks tertentu dikalikan 5,12 pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tetap menggunakan sekurang-kurangnya kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen,” lanjutnya.

    Iqbal menyampaikan aksi ini menjadi peringatan agar pemerintah tidak gegabah dalam menentukan formula pengupahan. Dia menyebut aksi ini untuk menuntut penghormatan terhadap kesejahteraan dan martabat pekerja.

    “Aksi ini menjadi bentuk peringatan keras kepada pemerintah agar tidak gegabah dalam menentukan formula pengupahan serta tidak tunduk kepada tekanan oligarki pengusaha. Buruh tidak sedang meminta sesuatu yang berlebihan, tetapi menuntut penghormatan terhadap kesejahteraan dan martabat pekerja,” ujarnya.

    (whn/imk)

  • 9
                    
                        Akhir Pilu Pencarian Alvaro: 8 Bulan Menghilang, Ditemukan dalam Kondisi Tinggal Kerangka
                        Megapolitan

    9 Akhir Pilu Pencarian Alvaro: 8 Bulan Menghilang, Ditemukan dalam Kondisi Tinggal Kerangka Megapolitan

    Akhir Pilu Pencarian Alvaro: 8 Bulan Menghilang, Ditemukan dalam Kondisi Tinggal Kerangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Alvaro Kiano Nugroho, bocah di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, yang hilang sejak delapan bulan lalu, akhirnya ditemukan.
    Namun, bocah berusia enam tahun itu ditemukan dalam keadaan sudah tak bernyawa.
    “Alvaro sudah ditemukan dalam keadaan meninggal dunia,” kata Kapolsek Pesanggrahan AKP Seala Syah Alam kepada wartawan, Minggu (23/11/2025).
    Seala mengatakan, pihaknya telah menangkap seorang yang diduga menjadi dalang di balik hilangnya Alvaro.
    “Tersangka sudah diamankan,” kata dia.
    Kapolres Jakarta Selatan Kombes Nicolas Ary Lilipaly mengungkapkan, penyidik menemukan kerangka manusia yang diduga Alvaro di sekitar kawasan Kali Cilalay, Tenjo, Bogor, Jawa Barat.
    “Baru diketemukan kerangka manusia yang diduga merupakan Alvaro,” kata Nicolas kepada wartawan, Minggu.
    Namun, Nicolas menegaskan bahwa pihaknya harus memastikan identitas kerangka tersebut melalui pemeriksaan DNA.
    “Tapi kami butuh kepastiannya dulu melalui pengecekan DNA dan pemeriksaan Labfor ya,” sambung dia.
    Setelah menerima kabar penemuan Alvaro, kakek dan nenek korban langsung menangis. Tugimin, kakek Alvaro, hanya bisa terdiam. Air matanya mengalir tanpa ia mampu mengucapkan sepatah kata.
    Sang nenek pun langsung jatuh lemas. Ia berteriak histeris saat polisi menyampaikan kabar penemuan Alvaro yang sudah meninggal di depan rumah mereka, Minggu sore.
    “Saya enggak bisa ngomong, air mata keluar. Ibu langsung jatuh ke lantai, dibantuin sama polisi dan warga untuk mereda nangisnya, karena langsung jerit-jeritan,” jelas Tugimin saat ditemui di kediamannya, Minggu.
    Tugimin dan istrinya sangat terpukul atas kabar kematian Alvaro. Sebab, bocah malang itu mereka rawat sejak kecil karena orangtuanya berpisah dan sang ibu bekerja di luar negeri.
    “Bagaimana kami tidak
    shock
    , (dia diurus dari kecil sama neneknya. Ke mana pun, Alvaro ikut dengan saya, enggak mau ketinggalan, undangan ke Solo, ke Demak, dia ikut,” ungkap dia.
    Rasa kaget dan kecewa Tugimin bertambah ketika polisi menginformasikan bahwa
    ayah tiri Alvaro
    , AI, diduga terlibat dalam kasus hilangnya dan tewasnya Alvaro.
    Tugimin tak menyangka ayah tiri Alvaro bisa melakukan hal tersebut.
    “Kami enggak sangka-sangka bapak tirinya sendiri yang melakukan hal sekeji ini. Alvaro belum punya dosa, kok dijadikan korban? itu yang sangat disesalkan,” ucap dia.
    Ironisnya, AI sempat ikut membantu Tugimin mencari Alvaro. Ia bahkan menemani Tugimin menelusuri wilayah Bogor berdasarkan informasi yang mereka terima.
    “Bapak tirinya itu juga ikut membantu mencari. Misalkan, ‘Pak, saya mau ke daerah Bogor, katanya ada informasi ke Bogor, suruh nelusurin Jalan Raya Bogor sampai terminal sampai Stasiun,’ nah itu nyari berdua sampai malam baru pulang,” tutur Tugimin ditemui di lokasi, Minggu (23/11/2025).
    Ia semakin terpukul setelah mengetahui bahwa bantuan AI selama ini ternyata hanya kedok.
    “Saya itu enggak sangka, ternyata kebaikan dia itu hanya ibaratnya ya buat kedok saja,” ucap dia.
    Penemuan kerangka Alvaro akhirnya terjadi berdasarkan pengakuan AI saat dimintai keterangan oleh penyidik. AI mengarahkan polisi ke lokasi di sekitar sungai tempat kerangka Alvaro berada.
    Sebagai informasi,
    Alvaro Kiano Nugroho
    terakhir terlihat di Masjid Jami Al Muflihun, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (6/3/2025).
    Pada hari kejadian, seorang pria yang mengaku sebagai ayah Alvaro disebut datang ke lokasi kejadian mencari bocah laki-laki itu.
    Informasi tentang kedatangan pria tersebut baru diketahui kakek Alvaro, Tugimin dari marbut Masjid Jami Al Muflihun, tiga hari setelah Alvaro dinyatakan hilang.
    “Itu ada orang datang, ditanya sama marbut, ‘Pak, cari siapa?’ ‘Cari anak saya. Alvaro katanya kalau shalat di masjid sini.’ ‘Itu ada anaknya di atas.’ Kata marbut begitu,” ungkap Tugimin.
    Setelah itu, marbut tidak memperhatikan lagi gerak-gerik pria tersebut. Marbut sibuk mempersiapkan pelaksanaan shalat Maghrib dan berbuka puasa.
    Usai berbuka puasa dan waktu shalat Maghrib, Alvaro tak kunjung pulang. Tugimin belum merasa curiga karena sang cucu memang kerap bermain sepak bola bersama teman-temannya pada malam hari.
    “Saya sadar untuk mencari itu jam 21.30 WIB. ‘Kok cucu saya belum pulang? Ke mana?’. Saya bilang kayak begitu,” ujar dia.
    Tugimin yang merupakan pensiunan petugas pemadam kebakaran Lebak Bulus segera menyambangi lokasi terakhir Alvaro terlihat.
    Ia juga mendatangi teman-teman yang biasa bermain dengan cucunya. Namun, upayanya tak membuahkan hasil.
    Adapun ayah kandung Alvaro saat ini sedang menjalani hukuman atas kasus narkoba di Lapas Cipinang. Sementara itu, ibunya bekerja di Malaysia.
    “Ibu sama bapaknya itu sudah pisah dan ibunya sudah punya suami lagi. Secara resmi menikah di KUA Kecamatan Pesanggrahan,” tegas Tugimin.
    Pihak keluarga telah mendatangi alamat terakhir keluarga ayah kandung Alvaro. Namun, mereka disebut telah berpindah rumah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.