Saat Pemkot Yogyakarta Targetkan Pengelolaan Sampah Kelar pada April 2025…
Tim Redaksi
YOGYAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah Kota (Pemkot)
Yogyakarta
menargetkan
pengelolaan sampah
di wilayahnya dapat diselesaikan pada
April 2025
.
Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Pengelolaan Persampahan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Yogyakarta, Ahmad Haryoko, pada Selasa (7/1/2025).
“April seluruhnya bisa terkelola,” ujar Ahmad.
Ia menjelaskan bahwa Kota Yogyakarta menghasilkan sampah harian sebanyak 245 ton.
Selama ini, pengelolaan sampah di kota yang dikenal dengan julukan Kota Gudeg ini mengandalkan empat lokasi Tempat
Pengelolaan Sampah
Terpadu (TPST) 3R, yaitu di Nitikan, Kranon, Karangmiri, dan lahan pinjaman di Sitimulyo Piyungan.
Selain itu,
Pemkot Yogyakarta
juga memanfaatkan
insenerator
untuk mengelola sampah.
Rinciannya, insinerator yang berada di Giwangan mampu mengolah 30 ton sampah per hari, sementara insinerator di Sitimulyo juga dapat mengolah 30 ton per hari dan memproduksi
refuse derived fuel
(RDF) sebanyak 25 ton per hari.
“TPST 3R Nitikan dapat mengolah 55 ton per hari, Kranon 25 ton per hari, dan Karangmiri 15 ton per hari,” jelasnya.
Pemkot Yogyakarta juga menjalin kerja sama dengan pihak swasta untuk mengolah 45 ton sampah per hari.
Meskipun demikian, masih terdapat 20 ton sampah per hari yang belum terkelola, yang saat ini menumpuk di depo-depo sampah di Kota Yogyakarta.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025, Pemkot telah mengalokasikan anggaran untuk pengadaan tiga insenerator tambahan.
Ketiga insenerator tersebut direncanakan akan ditempatkan di Sitimulyo Piyungan.
“Tiga alat itu sudah dalam proses pengadaan. Rencananya sudah bisa diuji cobakan pada Maret, sehingga April target sampah dapat tertangani,” pungkas Ahmad.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
provinsi: DI YOGYAKARTA
-
/data/photo/2024/04/30/6630dc8a23b94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Saat Pemkot Yogyakarta Targetkan Pengelolaan Sampah Kelar pada April 2025… Yogyakarta 7 Januari 2025
-

Apa Itu Malanutrisi dan Stunting yang Bisa Diatasi dengan Program Makan Bergizi Gratis?
Jakarta, Beritasatu.com – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu program unggulan yang diusung Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk mengatasi malanutrisi dan stunting di Indonesia.
Program ini resmi dimulai pada Senin (6/1/2025), dan bertujuan untuk pemenuhan gizi di seluruh Indonesia. Fokus utama program Makan Bergizi Gratis adalah untuk mengatasi masalah malanutrisi dan stunting yang masih menjadi isu besar di Tanah Air.
Program ini menyasar balita, anak sekolah, ibu hamil dan menyusui, serta dilaksanakan pada 190 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tersebar di 26 provinsi, termasuk Aceh, Bali, Lampung, hingga DI Yogyakarta.
Namun, apa itu malanutrisi dan stunting yang bisa diatasi dengan program Makan Bergizi Gratis? Berikut ini penjelasannya.
Apa Itu Malanutrisi?
Malanutrisi merujuk pada kondisi ketidakseimbangan asupan nutrisi, baik kekurangan maupun kelebihan. Malanutrisi terdiri dari berbagai bentuk, seperti kekurangan gizi (wasting, stunting, dan underweight) serta kelebihan berat badan atau obesitas.Gejala malanutrisi bisa berupa penurunan berat badan yang tidak direncanakan, kehilangan otot, dan kelelahan berlebihan. Selain itu, malanutrisi dapat menyebabkan gangguan pada berbagai sistem tubuh, termasuk memperlemah sistem kekebalan tubuh dan memperlambat proses penyembuhan luka. Diagnosis malanutrisi dan stunting biasanya dilakukan oleh dokter melalui pengamatan terhadap penampilan, perilaku, serta distribusi lemak tubuh pasien.
Apa Itu Stunting?
Sementara stunting adalah gangguan pada pertumbuhan anak yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi yang tepat, infeksi berulang, serta kurangnya stimulasi psikososial.Menurut data dari World Health Organization (WHO), seorang anak dikatakan mengalami stunting jika tinggi badannya lebih dari dua standar deviasi di bawah median standar pertumbuhan anak yang telah ditetapkan oleh organisasi tersebut. Terutama terjadi dalam 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak pembuahan hingga usia dua tahun. Stunting dapat berdampak negatif pada perkembangan kognitif dan kemampuan pendidikan anak, serta meningkatkan risiko gangguan kesehatan di masa dewasa.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Indonesia pada 2023, prevalensi stunting di Indonesia masih mencapai 21,5%, meskipun terjadi penurunan yang sangat kecil dibandingkan tahun sebelumnya.
Program Makan Bergizi Gratis menjadi salah satu solusi penting dalam mencegah dan mengurangi angka stunting serta malanutrisi di Indonesia. Program ini tidak hanya menyediakan makanan bergizi, tetapi juga memberikan edukasi tentang pentingnya gizi seimbang.
Sebagai bagian dari upaya pencegahan stunting, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga sudah mengimplementasikan berbagai program, seperti pemberian tablet tambah darah untuk ibu hamil, pemberian ASI eksklusif untuk bayi hingga usia 6 bulan, serta imunisasi dan suplementasi vitamin A. Semua langkah ini diharapkan dapat mengurangi prevalensi stunting dan malnutrisi yang masih menjadi masalah serius di Indonesia.
Dengan adanya program Makan Bergizi Gratis dan berbagai upaya pencegahan lainnya, diharapkan Indonesia dapat mencapai kemajuan signifikan dalam mengatasi malanutrisi dan stunting, serta menciptakan generasi yang sehat dan produktif.
-

Lonjakan Kasus PMK, Pakar UGM Desak Vaksinasi Massal dan Mitigasi Ketat
Yogyakarta, Beritasatu – Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) kembali meningkat di Indonesia. Penyakit ini menyerang hewan berkuku belah seperti sapi, babi, kerbau, dan domba. Hingga awal Januari 2025, total kasus PMK mencapai 8.483, yang mencakup 223 kematian dan 73 pemotongan paksa. Kasus-kasus tersebut tersebar di sembilan provinsi, termasuk Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada (UGM) Prof Aris Haryanto mengungkapkan, lonjakan kasus ini disebabkan oleh vaksinasi yang belum menyeluruh dan tidak dilakukan secara berkala.
“Kasus PMK kali ini merupakan gelombang kedua. Sebelumnya sudah ada vaksinasi, tetapi saat kasusnya mereda, jumlah vaksinasi menurun,” jelasnya.
PMK disebabkan oleh virus RNA dari genus Apthovirus dalam keluarga Picornaviridae, yang diyakini bertipe O di Indonesia. Virus ini mudah menyebar melalui kontak langsung, tidak langsung, dan udara.
“Virus ini dapat menyebar melalui udara, bahkan dalam jarak hingga 200 kilometer,” ungkap Prof Aris.
Gelombang kedua wabah PMK kali ini kembali muncul di Jawa Timur dan Aceh, dua daerah yang juga menjadi titik awal wabah sebelumnya. Prof Aris menekankan perlunya vaksinasi menyeluruh, meskipun produksi vaksin dalam negeri masih terbatas.
“Vaksinasi harus dilakukan dua kali, dengan jarak satu bulan antara vaksin pertama dan kedua. Setelah itu, vaksinasi perlu diulang setiap enam bulan sekali,” tegasnya.
Dalam upaya mitigasi, langkah pertama adalah mengatasi gejala awal seperti demam tinggi dengan pemberian analgesik dan antibiotik. Hewan yang terinfeksi harus dipisahkan untuk mencegah penularan. Apabila muncul lesi atau luka pada mulut dan kuku, pemberian antibiotik dan vitamin harus dilakukan secara berkala untuk mencegah infeksi sekunder akibat luka terbuka.
Peternak juga diimbau untuk memperketat biosekuriti di area kandang dan segera melaporkan kasus ke satgas atau dokter hewan terdekat.
“Tidak perlu panik, yang terpenting adalah segera melapor dan melakukan mitigasi. Pemerintah telah menutup beberapa pasar hewan di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan kami berharap masyarakat mematuhi kebijakan ini karena sifatnya sementara,” tambahnya.
Kerja sama lintas pihak menjadi kunci dalam mengatasi wabah ini. Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), dan pemerintah terus bekerja sama untuk menangani kasus dengan efektif.
“Kami juga terlibat langsung, termasuk dengan mengirimkan mahasiswa untuk membantu di lapangan,” tutup Prof Aris seusai menjelaskan lonjakan kasus PMK.
-

Wacana Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, Pakar UGM: Praktek Politik Transaksional Berpeluang Tinggi
Yogyakarta (beritajatim.com)– Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali menjadi topik hangat di kalangan politik dan masyarakat.
Usulan ini mencuat setelah diungkapkan oleh Ketua Umum Golkar dan mendapat dukungan dari Presiden RI, Prabowo. Alasan yang dikemukakan antara lain untuk menghemat biaya, mengurangi potensi konflik horizontal, dan meningkatkan efektivitas pemerintahan.
Wacana ini menuai kritik tajam. Dr. Yance Arizona, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menyebut langkah ini sebagai bentuk nyata dari kemunduran demokrasi di Indonesia. Menurut Yance, jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, partisipasi langsung masyarakat dalam menentukan pemimpin akan hilang, membuka peluang besar bagi praktik politik transaksional.
Dampak Negatif Pemilihan Melalui DPRD
Yance menyoroti beberapa dampak negatif jika wacana ini diimplementasikan. Pertama, hak politik masyarakat untuk memilih langsung pemimpin daerah akan terhapus.
“Selama 20 tahun terakhir, banyak pemimpin daerah terpilih karena didukung langsung oleh rakyat,” ujar Yance.
Kehilangan hak ini, menurutnya, akan merusak fondasi demokrasi yang telah dibangun sejak era reformasi.
Kedua, dominasi partai politik dalam proses pemilihan akan semakin kuat. Sistem politik yang sentralistik di Indonesia saat ini memungkinkan keputusan DPP partai mempengaruhi anggota partai di daerah. “Proses ini akan menguntungkan partai-partai besar, sementara partai menengah dan kecil akan sulit bersaing,” tambah Yance.
Efisiensi Biaya dan Politik Uang
Salah satu argumen pendukung wacana ini adalah penghematan dana pilkada dan upaya mengurangi politik uang. Namun, Yance menilai efisiensi bisa dilakukan tanpa mengorbankan proses demokrasi. “Penghematan bisa difokuskan pada pengurangan biaya perjalanan dinas dan rapat rutin, bukan dengan mengubah sistem pemilihan,” tegasnya.
Ia juga menekankan perlunya pengawasan ketat dan penegakan hukum terhadap pelaku politik uang, yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah. Dengan pengawasan yang baik, potensi politik uang dapat diminimalisir tanpa harus mengubah mekanisme pilkada.
Mengembalikan Suara Rakyat
Yance mengingatkan pentingnya masyarakat untuk bersuara menolak wacana ini. Ia menilai, perubahan sistem pilkada ke DPRD hanyalah upaya untuk menghilangkan suara rakyat dan mensentralisasikan kekuasaan di tangan segelintir elite politik. “Kita harus waspada, karena jika sistem ini diterapkan, pemerintah akan lebih mudah menentukan siapa yang menjadi kepala daerah,” tutup Yance.
Dengan berbagai implikasi yang mungkin terjadi, wacana pengembalian pemilihan kepala daerah ke DPRD harus dikaji secara mendalam dan melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari rakyat, bukan hanya keputusan dari elite politik. [aje]




/data/photo/2025/01/07/677cb3a6bf7ca.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
