provinsi: Aceh

  • Menko PMK Tegaskan Pembangunan Huntara Dipercepat

    Menko PMK Tegaskan Pembangunan Huntara Dipercepat

    Jakarta (beritajatim.com) – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno memastikan, penanganan bencana hidrometeorologi yang melanda wilayah Sumatra Barat, Aceh, dan Sumatra Utara dilakukan dengan mengerahkan seluruh kekuatan nasional, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, aparat keamanan, hingga relawan di lapangan.

    Dia juga menegaskan, negara hadir dan memastikan penanganan tanggap darurat terus berjalan demikian juga dengan penyediaan hunian sementara bagi masyarakat terdampak bersamaan dengan percepatan upaya pemulihan.

    “Bencana ini ditangani oleh seluruh kekuatan nasional. Cakupannya sangat luas, di tiga provinsi. Tanggap darurat tetap berjalan, dan pada saat yang sama huntara harus segera disiapkan. Bahkan kalau bisa langsung menuju hunian tetap tentu akan lebih bagus,” ujar Menko PMK.

    Hal tersebut disampaikan Pratikno saat hadir meninjau langsung sekaligus melakukan groundbreaking pembangunan hunian sementara (huntara) bagi warga terdampak bencana hidrometeorologi di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatra Barat.

    Dalam kesempatan tersebut, Menko PMK mengapresiasi kesiapan Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman yang telah menyiapkan lahan seluas sekitar 1,7 hektare untuk pembangunan huntara. Menurutnya, langkah tersebut menjadi contoh baik dalam percepatan menuju pemulihan pascabencana. Lokasi yang disiapkan dinilai layak karena berada dekat dengan kampung asal warga, memiliki akses jalan yang baik, serta didukung ketersediaan air dan listrik.

    “Biasanya masyarakat tidak ingin terlalu jauh dari tempat tinggal semula dan dekat dengan lokasi mata pencahariannya. Kita berkewajiban mencarikan tempat yang lebih aman dan layak. Di sini lokasinya sangat baik dan ini yang akan kita upayakan menjadi penyiapan huntara paling awal,” jelasnya.

    Dia menjelaskan, dari sisi pendanaan, pembangunan huntara didukung Dana Siap Pakai (DSP) Kebencanaan yang siap digunakan. Tantangan utama terletak pada kesiapan lahan, yang harus memenuhi berbagai pertimbangan keamanan dan aksesibilitas fasilitas pendukung.

    “Huntara ini menjadi tanggung jawab BNPB (Badan Nasiinal Penanggulangan Bencana, red) dalam masa tanggap darurat. Setelah itu, untuk hunian tetap akan ditangani oleh kementerian terkait. Yang penting sekarang, masyarakat segera pindah dari pengungsian ke tempat tinggal sementara yang aman dan layak,” tegas Pratino.

    Selain meninjau lokasi pembangunan huntara, Menko PMK juga memastikan perbaikan akses jalan dan jembatan di wilayah terdampak agar jalur logistik tetap terbuka dan distribusi bantuan berjalan lancar. Ia menegaskan bahwa negara tidak hanya hadir pada saat masa darurat, tetapi juga terus mendampingi masyarakat dalam proses pemulihan hingga kehidupan kembali normal.

    Di lapangan, Pratikno juga melihat langsung semangat gotong royong antara petugas dan warga di posko pengungsian. Ia menilai kebersamaan tersebut menjadi modal sosial penting dalam menghadapi bencana sekaligus mempercepat pemulihan wilayah terdampak.

    “Negara hadir bukan hanya saat darurat, tetapi juga dalam proses memulihkan kehidupan. Kita akan terus mendampingi masyarakat agar mereka bisa bangkit dan kembali menata hari esok dengan lebih kuat,” ujar Pratikno. (hen/but)

  • Hulu DAS Aceh Rusak, Menteri LH Soroti Aktivitas Ilegal

    Hulu DAS Aceh Rusak, Menteri LH Soroti Aktivitas Ilegal

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menemukan indikasi kuat kerusakan lingkungan di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) Aceh, termasuk degradasi lahan, perambahan hutan, perkebunan kelapa sawit ilegal, serta aktivitas penambangan tanpa izin. Temuan ini didapat saat Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq melakukan kunjungan kerja dan peninjauan langsung ke sejumlah wilayah terdampak bencana di Aceh.

    Dalam pernyataan di Jakarta, Senin (15/12/2025), Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan, pihaknya mengamati kondisi hulu DAS yang mengalami degradasi parah. Beberapa temuan di lapangan, antara lain hulu sungai yang terbuka, saluran sungai yang melebar secara tidak wajar, serta tanah longsor yang secara langsung mengancam kawasan permukiman warga, alih-alih berfungsi menopang ekosistem yang sehat.

    Menurut Hanif, kondisi tersebut menjadi indikasi bahwa banjir bandang di Aceh Timur bukan semata-mata disebabkan faktor alam, melainkan juga dipicu oleh tekanan berat terhadap daya dukung lingkungan akibat aktivitas ilegal yang berlangsung dalam jangka panjang.

    “Kami datang bukan hanya untuk mengamati, tetapi untuk memastikan bahwa negara benar-benar hadir bagi masyarakat yang terdampak. Keselamatan masyarakat adalah yang utama, dan kerusakan lingkungan tidak boleh dibiarkan berlanjut,” katanya, dikutip dari Antara.

    Ia menambahkan, selama survei udara yang mencakup wilayah pantai timur Aceh, termasuk Tusam, Lhokseumawe, Langsa, dan Aceh Tamiang, tim KLH menemukan indikasi kuat adanya perambahan hutan dan lahan untuk perkebunan kelapa sawit ilegal serta kegiatan pertambangan, bahkan di wilayah lereng bukit dengan kemiringan ekstrem melebihi 45 derajat.

    Praktik-praktik tersebut dinilai secara signifikan mengurangi fungsi hutan sebagai pengatur tata air alami, sehingga meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan longsor di wilayah hilir.

    Hanif menegaskan, pengelolaan lahan di kawasan dengan kemiringan ekstrem sangat berbahaya dan bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan lingkungan hidup. Aktivitas ilegal tersebut, lanjutnya, tidak hanya merusak hutan dan lahan, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat yang bermukim di wilayah hilir DAS.

    “Tidak ada toleransi untuk pelanggaran yang merusak lingkungan dan membahayakan masyarakat. Kami akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun yang terbukti bersalah sesuai dengan hukum yang berlaku,” ujarnya.

    Sebagai tindak lanjut atas temuan tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup akan segera melakukan evaluasi komprehensif terhadap dampak kerusakan hutan dan lahan di wilayah terdampak. Evaluasi ini mencakup penilaian kondisi hutan, daerah aliran sungai, serta perubahan penggunaan lahan yang terbukti berkontribusi terhadap peningkatan risiko bencana.

    KLH juga memastikan bahwa sejumlah perusahaan yang diduga kuat berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan akan ditindak tegas melalui penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah menegaskan komitmennya untuk memulihkan fungsi lingkungan sekaligus melindungi masyarakat dari ancaman bencana berulang.

  • KKP Perbaiki Tambak Udang-Nila Terdampak Bencana Sumatera Tahun Depan

    KKP Perbaiki Tambak Udang-Nila Terdampak Bencana Sumatera Tahun Depan

    Jakarta

    Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memastikan pembudidaya yang terdampak bencana di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat akan mendapatkan rehabilitasi mulai tahun depan. Direktur Jenderal Perikanan Budidaya KKP, Tb. Haeru Rahayu memastikan proses perbaikan ini tidak akan membebankan pembudidaya.

    Haeru mengatakan pihaknya masih mendata jumlah pembudidaya yang terdampak. Data ini dikumpulkan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, serta kerja sama dengan dinas setempat.

    “Contoh, dengan Kepala Dinas Aceh, saya sudah komunikasi. Kemudian dengan Kepala Dinas Sumbar, saya juga sudah komunikasi. Bahkan dia sudah bersurat juga kepada kami, memetakan, mengusulkan ini yang perlu didukung oleh pemerintah pusat,” kata Haeru di kantornya, Jakarta Pusat, Senin (15/12/2025).

    Haeru menerangkan saat ini total kerugian dan anggaran rehabilitasi masih dihitung. Pihaknya sudah memiliki standar untuk perbaikan, misalnya perbaikan tambak di Aceh membutuhkan dana sekitar Rp 50 juta per hektare (ha).

    “Di Aceh itu kalau memperbaiki tambak per hektarnya katanya sekitar Rp 50 juta. Di Padang, di Sumbar itu sekitar Rp 70 juta. Di Medan lebih mahal, sekitar Rp 100 juta. Kemudian tambaknya kalau nanti rehabilitasi, ya kita pasti perbaiki menjadi lebih baik lagi. Maka kita punya standar nilai-nilai untuk perbaikan,” tambah Haeru.

    Haeru membeberkan kerusakan yang dialami pembudidaya, mulai dari petakan tambak rusak, saluran, hingga jaringan listrik. Bahkan kolam budi daya juga tak luput tersapu banjir. Pembudidaya yang paling terdampak, mulai dari petambak udang, pembudidaya bandeng, pembudidaya nila, hingga pembudidaya kakap.

    Saat ini, pemerintah masih dalam masa tanggap darurat bencana dengan fokus memberikan bantuan yang dibutuhkan korban. Usai masa tanggap darurat, Haeru menyebut baru berfokus pada upaya perbaikan, termasuk tambak. Mengenai waktu pelaksanaan, ia berjanji akan bergerak cepat.

    “Tidak boleh lama. Pemerintah ini harus cepat ya. Tahun depan kita sudah harus mulai. Tahun depan? Tahun depan itu tinggal dua minggu lagi. Sekarang sudah tanggal 15 (Desember) kan? Kita harus cepat. Di angka kami, DIPA kami, tahun depan sudah ada,” jelas Haeru.

    Lihat juga Video: Budidaya Udang Vaname, Ladang Cuan Para Petambak

    (rea/ara)

  • Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Kerusakan hutan di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) dinilai menjadi faktor utama meningkatnya risiko banjir bandang di sejumlah provinsi di Sumatera, terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Deforestasi yang berlangsung masif selama beberapa dekade terakhir menyebabkan daya dukung lingkungan melemah, sehingga kawasan hilir semakin rentan saat menghadapi hujan ekstrem.

    Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ir Hatma Suryatmojo menjelaskan, hutan di kawasan hulu DAS memiliki fungsi yang sangat vital sebagai penyangga hidrologis alami.

    “Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai,” ujarnya, Senin (15/12/2025).

    Hatma memaparkan, berbagai penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan, tajuk hutan mampu menahan air hujan melalui proses intersepsi hingga 15%-35%. Sementara itu, kondisi tanah hutan yang masih utuh dan tidak terganggu memungkinkan infiltrasi air mencapai sekitar 55% dari total curah hujan.

    Dengan mekanisme tersebut, limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai hanya berkisar 10%-20%. Ditambah proses evapotranspirasi yang mencapai 25%-40%, hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir pada musim hujan, sekaligus mempertahankan aliran air saat musim kemarau.

    Namun, ketika hutan di wilayah hulu rusak atau gundul, seluruh fungsi tersebut ikut hilang. Lapisan tanah kehilangan porositas akibat rusaknya jaringan akar, sehingga air hujan tidak lagi terserap optimal dan lebih banyak menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras ke wilayah hilir.

    “Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya,” kata Hatma.

    Data menunjukkan kondisi hutan di tiga provinsi yang kerap terdampak banjir bandang berada dalam tekanan serius. Di Aceh, hingga 2020 sekitar 59% wilayah atau sekitar 3,37 juta hektare masih berupa hutan alam.

    Meski relatif luas, provinsi ini tercatat kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan sepanjang 1990-2020, yang meningkatkan kerentanan terhadap banjir bandang.

    Kondisi lebih mengkhawatirkan terjadi di Sumatera Utara. Tutupan hutan pada 2020 tinggal sekitar 29% atau 2,1 juta hektare, dengan kondisi terfragmentasi. Salah satu benteng terakhir, Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, terus terdegradasi akibat penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas, sehingga kehilangan fungsi ekologisnya sebagai pengendali banjir.

    Sementara itu, Sumatera Barat memiliki tutupan hutan sekitar 54% atau 2,3 juta hektare. Meski persentasenya lebih baik, laju deforestasi di provinsi ini termasuk yang tertinggi.

    Walhi Sumbar mencatat hilangnya sekitar 320.000 hektare hutan primer dan total 740.000 hektare tutupan pohon sepanjang 2001-2024. Bahkan, deforestasi seluas 32.000 hektare terjadi hanya dalam satu tahun, yakni 2024. Banyak hutan tersisa berada di lereng curam Bukit Barisan yang rawan longsor dan banjir bandang.

    Banjir bandang besar yang melanda Sumatera pada November 2025 disebut Hatma sebagai akumulasi “dosa ekologis” di wilayah hulu DAS. Cuaca ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi dampak kerusakannya diperparah oleh alih fungsi hutan, perambahan, serta lemahnya penataan ruang berbasis mitigasi bencana.

    Hatma menegaskan, upaya pengurangan risiko bencana tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan struktural seperti pembangunan tanggul atau normalisasi sungai. Perlindungan hutan hulu, konservasi DAS, rehabilitasi lahan kritis, serta penegakan tata ruang harus menjadi prioritas.

    “Sisa hutan di kawasan strategis, seperti Ekosistem Leuser di Aceh dan Batang Toru di Sumatera Utara harus dipertahankan sebagai harga mati,” ujarnya.

    Di tengah ancaman perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, penguatan sistem peringatan dini, kesiapsiagaan daerah, serta pelibatan aktif masyarakat dalam menjaga hutan dinilai krusial agar bencana serupa tidak terus berulang di masa mendatang.

  • Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Deforestasi Hulu DAS Picu Banjir Bandang di Sumatera

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Kerusakan hutan di wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) dinilai menjadi faktor utama meningkatnya risiko banjir bandang di sejumlah provinsi di Sumatera, terutama Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Deforestasi yang berlangsung masif selama beberapa dekade terakhir menyebabkan daya dukung lingkungan melemah, sehingga kawasan hilir semakin rentan saat menghadapi hujan ekstrem.

    Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Ir Hatma Suryatmojo menjelaskan, hutan di kawasan hulu DAS memiliki fungsi yang sangat vital sebagai penyangga hidrologis alami.

    “Vegetasi hutan yang rimbun ibarat spons raksasa yang menyerap air hujan ke dalam tanah dan menahannya agar tidak langsung terbuang ke sungai,” ujarnya, Senin (15/12/2025).

    Hatma memaparkan, berbagai penelitian di hutan tropis alami di Kalimantan dan Sumatera menunjukkan, tajuk hutan mampu menahan air hujan melalui proses intersepsi hingga 15%-35%. Sementara itu, kondisi tanah hutan yang masih utuh dan tidak terganggu memungkinkan infiltrasi air mencapai sekitar 55% dari total curah hujan.

    Dengan mekanisme tersebut, limpasan permukaan yang langsung mengalir ke sungai hanya berkisar 10%-20%. Ditambah proses evapotranspirasi yang mencapai 25%-40%, hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan siklus air, mencegah banjir pada musim hujan, sekaligus mempertahankan aliran air saat musim kemarau.

    Namun, ketika hutan di wilayah hulu rusak atau gundul, seluruh fungsi tersebut ikut hilang. Lapisan tanah kehilangan porositas akibat rusaknya jaringan akar, sehingga air hujan tidak lagi terserap optimal dan lebih banyak menjadi limpasan permukaan yang mengalir deras ke wilayah hilir.

    “Dengan kata lain, hutan hulu yang hilang berarti hilangnya sabuk pengaman alami bagi kawasan di bawahnya,” kata Hatma.

    Data menunjukkan kondisi hutan di tiga provinsi yang kerap terdampak banjir bandang berada dalam tekanan serius. Di Aceh, hingga 2020 sekitar 59% wilayah atau sekitar 3,37 juta hektare masih berupa hutan alam.

    Meski relatif luas, provinsi ini tercatat kehilangan lebih dari 700.000 hektare hutan sepanjang 1990-2020, yang meningkatkan kerentanan terhadap banjir bandang.

    Kondisi lebih mengkhawatirkan terjadi di Sumatera Utara. Tutupan hutan pada 2020 tinggal sekitar 29% atau 2,1 juta hektare, dengan kondisi terfragmentasi. Salah satu benteng terakhir, Ekosistem Batang Toru di Tapanuli, terus terdegradasi akibat penebangan liar, pembukaan kebun, hingga pertambangan emas, sehingga kehilangan fungsi ekologisnya sebagai pengendali banjir.

    Sementara itu, Sumatera Barat memiliki tutupan hutan sekitar 54% atau 2,3 juta hektare. Meski persentasenya lebih baik, laju deforestasi di provinsi ini termasuk yang tertinggi.

    Walhi Sumbar mencatat hilangnya sekitar 320.000 hektare hutan primer dan total 740.000 hektare tutupan pohon sepanjang 2001-2024. Bahkan, deforestasi seluas 32.000 hektare terjadi hanya dalam satu tahun, yakni 2024. Banyak hutan tersisa berada di lereng curam Bukit Barisan yang rawan longsor dan banjir bandang.

    Banjir bandang besar yang melanda Sumatera pada November 2025 disebut Hatma sebagai akumulasi “dosa ekologis” di wilayah hulu DAS. Cuaca ekstrem memang menjadi pemicu, tetapi dampak kerusakannya diperparah oleh alih fungsi hutan, perambahan, serta lemahnya penataan ruang berbasis mitigasi bencana.

    Hatma menegaskan, upaya pengurangan risiko bencana tidak cukup hanya mengandalkan pendekatan struktural seperti pembangunan tanggul atau normalisasi sungai. Perlindungan hutan hulu, konservasi DAS, rehabilitasi lahan kritis, serta penegakan tata ruang harus menjadi prioritas.

    “Sisa hutan di kawasan strategis, seperti Ekosistem Leuser di Aceh dan Batang Toru di Sumatera Utara harus dipertahankan sebagai harga mati,” ujarnya.

    Di tengah ancaman perubahan iklim dan meningkatnya frekuensi cuaca ekstrem, penguatan sistem peringatan dini, kesiapsiagaan daerah, serta pelibatan aktif masyarakat dalam menjaga hutan dinilai krusial agar bencana serupa tidak terus berulang di masa mendatang.

  • Marinir Turun Tangan Bersihkan RSUD Aceh Tamiang Pascabanjir

    Marinir Turun Tangan Bersihkan RSUD Aceh Tamiang Pascabanjir

    Jakarta, Beritasatu.com – TNI Angkatan Laut (TNI AL) melalui satuan Marinir bergerak cepat membersihkan dan memulihkan kondisi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Tamiang yang terdampak banjir. Upaya ini dilakukan agar layanan kesehatan dapat kembali beroperasi dalam waktu dekat.

    Salah satu langkah pemulihan yang difokuskan adalah membersihkan sejumlah fasilitas rumah sakit dari tumpukan lumpur sisa bencana. Pembersihan tersebut mencakup area vital rumah sakit yang terdampak cukup parah.

    Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut (Kadispenal), Laksamana Pertama TNI Tunggul, mengatakan kegiatan pembersihan telah dilakukan sejak Jumat (12/12/2025). “Kegiatan difokuskan pada pembersihan fasilitas umum, termasuk evakuasi material lumpur di ruang ICU dan ruang laboratorium klinik,” ujarnya di Jakarta, Senin (15/12/2025).

    Tunggul menjelaskan, personel Marinir membersihkan seluruh sisi dan ruang perawatan rumah sakit dengan menggunakan peralatan manual dan sederhana, mengingat kondisi pascabencana yang masih terbatas.

    Dalam siaran pers resmi TNI AL, Komandan Yonif 8 Marinir Letkol Marinir Laili Nugroho menyebutkan prajuritnya tidak hanya diterjunkan untuk membenahi rumah sakit, tetapi juga membantu pemulihan berbagai fasilitas umum lain yang rusak akibat banjir.

    Menurutnya, langkah tersebut merupakan bentuk tanggung jawab dan komitmen TNI Angkatan Laut dalam membantu masyarakat di wilayah rawan bencana.

    “Kami akan terus berada di lokasi hingga situasi kembali pulih. Fokus kami saat ini membantu masyarakat membersihkan fasilitas umum, membuka akses jalan, serta memastikan kebutuhan dasar warga terpenuhi,” kata Laili Nugroho.

  • TNI AU dan BNPB Bangun Posko Nasional Bencana di Sumatera

    TNI AU dan BNPB Bangun Posko Nasional Bencana di Sumatera

    Jakarta, Beritasatu.com – TNI Angkatan Udara (TNI AU) melalui Pusat Geospasial TNI AU (Pusgeosau) bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendirikan Posko Nasional Crisis Center guna mendukung penanganan bencana di sejumlah wilayah di Pulau Sumatera, khususnya Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

    Posko nasional tersebut didirikan di Ruang Serbaguna Pusgeosau, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Kehadiran posko ini diharapkan mampu memperkuat koordinasi antarlembaga dalam penanganan bencana, terutama pada fase tanggap darurat dan pascabencana.

    Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsekal Pertama TNI I Nyoman Suadnyana menjelaskan, pendirian posko ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas distribusi logistik serta penanganan utama di wilayah terdampak bencana.

    “Posko Nasional Crisis Center dirancang sebagai pusat kendali terpadu untuk memperkuat koordinasi lintas instansi serta mempercepat pengendalian logistik dan peralatan,” kata I Nyoman, dikutip dari Antara, Senin (15/12/2025).

    Dalam operasional posko tersebut, Pusgeosau TNI AU berperan strategis dalam menyediakan data dan informasi geospasial yang akurat, cepat, dan terkini. Data tersebut mencakup peta wilayah terdampak, kondisi geografis, hingga akses transportasi yang dapat digunakan untuk mempercepat penyaluran bantuan.

    Menurut I Nyoman, informasi geospasial ini menjadi dasar pertimbangan utama bagi TNI AU dan BNPB dalam menentukan prioritas pendistribusian logistik, peralatan, serta bantuan kemanusiaan ke daerah-daerah yang terdampak bencana.

    “Data yang disediakan Pusgeosau sangat penting untuk mendukung pengambilan keputusan di lapangan, khususnya dalam menentukan jalur distribusi dan kebutuhan mendesak di wilayah terdampak,” ujarnya.

    Dengan dukungan data yang terintegrasi dan koordinasi lintas instansi yang kuat, I Nyoman optimistis penanganan pascabencana yang dilakukan oleh TNI AU bersama BNPB akan berjalan lebih maksimal, tepat sasaran, dan efisien.

    Ia memastikan, Posko Nasional Crisis Center ini akan terus beroperasi hingga kondisi di wilayah terdampak bencana, khususnya di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara, dinyatakan kembali kondusif. Selama masa operasional, posko akan menjadi pusat koordinasi utama bagi berbagai instansi yang terlibat dalam penanganan bencana nasional.

    Keberadaan posko ini juga menjadi bentuk sinergi nyata antara unsur pertahanan dan lembaga penanggulangan bencana dalam menghadapi situasi darurat, sekaligus memperkuat kesiapsiagaan nasional terhadap potensi bencana alam di Indonesia.

  • 19 Hari Tanpa Bantuan, Lansia Gayo Lues Hidup di Tenda Darurat

    19 Hari Tanpa Bantuan, Lansia Gayo Lues Hidup di Tenda Darurat

    Gayo Lues, Beritasatu.com – Masih banyak warga korban banjir di Kabupaten Gayo Lues, Aceh yang belum mendapat bantuan sampai hari ke-19 pascabencana. Salah satunya Majudin, warga Desa Singa Mulo,  Kecamatan Putri Betung, Kabupaten Gayo Lues, yang hingga saat ini bersama istrinya masih terisolasi.

    Pasangan lansia ini bahkan harus mendirikan tenda pengungsian di pinggir jalan lantaran rumah yang mereka huni untuk menikmati hari tua kini sudah hanyut terseret arus air.

    Majudin yang sudah berusia 80 tahun terpaksa tinggal di tenda darurat demi mencari perlindungan dengan sang istri tercinta,.

    “Saya tinggal berdua dengan istri di tenda pengungsian ini. Rumah yang sudah hanyut dan memaksa kami harus membuat tenda perlindungan dengan panjang 1,5 meter dan lebar lebih kurang tiga meter,” ungkap Majudin

    Tanpa kehadiran sang anak, mereka berusaha saling menguatkan menghadapi cobaan bencana ini. Majudin berharap mendapat perhatian dari pemerintah, terutama soal rumah mereka. 

    “Saya berharap pemerintah membangun kembali rumah kami. Usia yang sudah tua rasanya tidak mungkin buat kami terus tidur di bawah tenda yang sempit ini,” tutur Majudin.

    Banjir bandang yang menerjang Kabupaten Gayo Lues, Aceh, berdampak kerugian infrastruktur yang diperkirakan mencapai Rp 1 triliun. Sejumlah wilayah dilaporkan masih terisolasi setelah fasilitas umum seperti jalan dan jembatan terputus total.

    Bupati Gayo Lues Suhaidi menjelaskan, berdasarkan data sementara, dampak kerusakan sangat masif. Tercatat 42 jembatan mengalami kerusakan, 16 sekolah rusak berat, dan tiga unit kantor pemerintah juga hancur.

    “Data sementara 42 jembatan mengalami kerusakan, tiga unit kantor pemerintah rusak berat, sekolah 16 rusak berat serta fasilitas lainnya,” ungkap Suhaidi, Senin (8/12/2025).

     

  • Kak Na Terobos Wilayah Terisolasi Antar Bantuan Banjir di Bireuen

    Kak Na Terobos Wilayah Terisolasi Antar Bantuan Banjir di Bireuen

    Bireuen, Beritasatu.com – Ketua Tim Penggerak (TP) PKK Aceh Marlina Muzakir bersama Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sosial Aceh Chaidir, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh T Adi Darma, serta istri ketua DPR Aceh mengantarkan bantuan bagi warga terdampak banjir di Gampong Kubu, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Minggu (14/12/2025).

    Menumpang perahu nelayan, Marlina Muzakir yang akrab disapa Kak Na bersama rombongan menyeberangi Krueng Peusangan. Gampong Kubu menjadi salah satu wilayah terisolasi setelah jembatan Pante Lheung, satu-satunya akses darat penghubung, putus diterjang material banjir.

    “Alhamdulillah, sore ini kita bisa mengantar bantuan untuk masyarakat terdampak banjir di Gampong Kubu. Putusnya jembatan Pante Lheung membuat gampong ini terisolasi. Akses ke sini hanya bisa dilakukan dengan menumpang perahu nelayan serta gondola tradisional yang dibuat secara swadaya oleh masyarakat,” ujar Kak Na.

    Pada kesempatan tersebut, Kak Na mengimbau masyarakat agar tetap bersabar menghadapi cobaan akibat bencana banjir. Ia menegaskan Pemerintah Aceh bersama seluruh pemangku kepentingan terus berupaya melakukan penanganan pascabanjir.

    “Tetap bersabar ya, bu. Pemerintah Aceh dan semua pihak terus berupaya melakukan penanganan pascabanjir. Masih panjang dan berat kerja-kerja kita. Namun insyaallah, dengan kerja bersama kita mampu menghadapi cobaan ini,” ucapnya.

    Sebelumnya, Kak Na juga mengantarkan bantuan ke Posko Gampong Kapa yang berada di Meunasah Kapa serta Posko Gampong Blang Panjoe yang didirikan di meunasah setempat. Akses menuju kedua gampong tersebut sudah dapat dilalui, namun di sisi kiri dan kanan jalan tampak timbunan pasir bercampur lumpur setinggi hingga satu meter, sisa pembersihan pascabanjir yang menghitam menyerupai benteng.

    Kondisi serupa juga terlihat di pekarangan dan di dalam rumah warga. Pasir bercampur lumpur mengendap hingga setinggi satu meter dan mulai mengeras, menimbun rumah-rumah warga. Seluruh peralatan rumah tangga terendam material banjir, sementara ketersediaan air bersih sangat terbatas.

    Selain kesulitan membersihkan rumah, warga juga kebingungan membuang endapan lumpur dan pasir karena hampir seluruh wilayah gampong terdampak. Kondisi ini semakin memperberat upaya pemulihan pascabanjir.

    Geuchiek Gampong Blang Panjoe, M Ruslan, berharap pemerintah dapat membantu alat berat untuk mempercepat proses pembersihan lingkungan.

    “Kami sangat berharap pemerintah membantu alat berat seperti beko dan buldoser untuk membersihkan jalan gampong serta pekarangan rumah warga. Endapan lumpur dan pasir yang cukup tinggi sangat sulit dibersihkan secara manual,” ujar M Ruslan.

    Selain membawa bantuan pangan dan sandang, Kak Na juga menyertakan petugas kesehatan beserta obat-obatan. Saat membagikan biskuit untuk menyemangati anak-anak dan para ibu, petugas kesehatan secara bergantian melayani keluhan warga di posko pengungsian.

     

  • BPS: Banjir Picu Lonjakan Harga Beras di Aceh-Sumatra

    BPS: Banjir Picu Lonjakan Harga Beras di Aceh-Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap bencana banjir memicu kenaikan harga beras semua kualitas, baik medium dan premium, di wilayah Aceh dan Sumatra pada pekan kedua Desember 2025.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan secara nasional terdapat delapan provinsi yang mengalami kenaikan indeks perubahan harga (IPH) beras semua kualitas.

    Pudji menuturkan, wilayah di Aceh dan Sumatra menjadi kontributor utama kenaikan harga karena terdampak bencana alam.

    “Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara merupakan wilayah yang memang sedang terkena bencana sehingga di sini tergambar efeknya sudah mulai terlihat dari perkembangan harga di minggu kedua Desember 2025,” kata Pudji dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi di YouTube Kemendagri, Senin (15/12/2025).

    Secara terperinci, harga beras di Aceh mencapai Rp14.712 per kilogram dengan IPH 3,10% pada pekan kedua Desember 2025. Mengekor, harga beras di Sumatra Barat yang mencapai Rp16.407 per kilogram dengan IPH 1,45%.

    Lalu, ada Papua Barat dengan harga beras mencapai Rp17.764 per kilogram dengan IPH 1,14%, Sumatra Utara Rp15.124 per kilogram dengan IPH 0,52%, Kepulauan Riau Rp14.231 per kilogram dengan IPH 0,35%, dan Nusa Tenggara Barat sebesar Rp13.972 per kilogram dengan IPH 0,29%.

    Berikutnya, harga beras semua kualitas di Papua Tengah mencapai Rp28.094 per kilogram dengan IPH 0,09% dan Bengkulu di level Rp14.348 per kilogram atau dengan IPH sebesar 0,01%.

    Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat terdapat 112 pasar rakyat rusak imbas banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.

    Berdasarkan hasil pendataan sementara menunjukkan sebaran kerusakan pasar cukup dominan di Aceh dan Sumatra Utara.

    “Sumatra Utara [ada] 44 pasar [yang terdampak], Aceh 65 [pasar yang terdampak], Sumatra Barat 3 [pasar yang terdampak],” kata Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso saat ditemui di Kantor Kemendag, Jakarta, Jumat (12/12/2025).

    Pemerintah, kata Budi, kini memprioritaskan upaya pemulihan fungsi pasar rakyat sebagai salah satu infrastruktur vital.

    Adapun, Kemendag akan berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) perihal pembangunan dan renovasi pasar. Nantinya, pendanaan untuk perbaikan pasar rakyat menggunakan anggaran PU.

    “Mau kami identifikasi itu nanti [dari tingkat kerusakan yang menjadi prioritas untuk dibangun. Kami akan nanti komunikasi dengan PU. Biasanya memang PU itu minta rekomendasi dari kami,” ujarnya.

    Namun, Budi menjelaskan proses identifikasi lapangan merupakan langkah krusial mengingat tingkat kerusakan setiap pasar berbeda-beda. Untuk itu, Kemendag belum bisa memastikan berapa angka kerugian para pedagang yang terdampak bencana.

    “Ini sekarang diidentifikasi, misalnya mau dibangun ya bisa saja yang prioritas yang rusak berat dulu. Ini sedang diidentifikasi karena kan juga semua belum selesai, masih proses,” pungkasnya.