provinsi: Aceh

  • PT Angkasa Pura Bandara Juanda Sidoarjo Siap Sambut Kepulangan Jemaah Haji

    PT Angkasa Pura Bandara Juanda Sidoarjo Siap Sambut Kepulangan Jemaah Haji

    Jakarta (beritajatim.com) — PT Angkasa Pura Indonesia (InJourney Airports) menyatakan kesiapan penuh dalam menyambut kepulangan sekitar 200.000 jemaah haji yang akan tiba di Indonesia melalui 524 penerbangan debarkasi.

    Kedatangan para jemaah akan berlangsung selama 30 hari, terhitung mulai 12 Juni hingga 11 Juli 2025 di berbagai bandara yang dikelola oleh InJourney Airports.

    Wakil Direktur Utama InJourney Airports, Achmad Syahir, menyampaikan bahwa pihaknya telah mempersiapkan segala aspek pelayanan di bandara demi mendukung kenyamanan jemaah haji saat kembali ke Tanah Air.

    “Sebanyak 13 bandara yang kami kelola siap menyambut momen istimewa ini. Kami berkomitmen memberikan pelayanan terbaik saat jemaah haji tiba di tanah air, demi menjaga kebahagiaan ketika bertemu kembali dengan keluarga,” ungkapnya.

    Achmad juga menambahkan bahwa koordinasi intensif telah dilakukan bersama berbagai pemangku kepentingan di bandara agar proses kedatangan berjalan tertib dan sesuai regulasi.

    “InJourney Airports dan stakeholders bandara telah berkoordinasi agar proses kedatangan di bandara dapat berjalan lancar dan baik serta memenuhi regulasi,” jelasnya.

    Adapun 13 bandara yang menjadi titik kedatangan jemaah haji antara lain:

    Soekarno-Hatta (Tangerang)

    Juanda (Surabaya)

    Sultan Hasanuddin (Makassar)

    Kualanamu (Deli Serdang)

    SAMS Sepinggan (Balikpapan)

    Hang Nadim (Batam)

    Zainuddin Abdul Majid (Lombok)

    Adi Soemarmo (Solo)

    Syamsuddin Noor (Banjarmasin)

    Kertajati (Majalengka)

    Sultan Iskandar Muda (Aceh)

    Minangkabau (Padang)

    Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang)

    Agus Haryadi, Direktur Operasi InJourney Airports, menyampaikan bahwa seluruh bandara telah memiliki rencana operasional yang matang untuk mendukung kelancaran kedatangan jemaah haji.

    “Alur kedatangan penerbangan debarkasi telah ditetapkan, disesuaikan dengan karakteristik masing-masing bandara. Slot time penerbangan juga telah disiapkan, termasuk alokasi parkir khusus untuk pesawat angkutan haji,” ujarnya.

    Ia menambahkan bahwa prosedur penjemputan jemaah haji dengan bus serta pengantaran ke asrama haji juga telah diatur secara rinci.

    Sebagai informasi, penjemputan jemaah oleh keluarga dilakukan di asrama haji, bukan di bandara kedatangan.

    Lebih lanjut, Agus menegaskan bahwa semua fasilitas, baik sisi udara (airside) seperti runway, taxiway, dan apron, maupun sisi darat (landside) seperti terminal penumpang, berada dalam kondisi optimal.

    “Personel dan fasilitas di bandara sudah disiapkan untuk menyambut kedatangan penerbangan angkutan haji yang seluruhnya menggunakan pesawat berbadan lebar atau widebody,” terang Agus.

    Bandara Soekarno-Hatta, sebagai bandara tersibuk di Indonesia, akan melayani 122 penerbangan debarkasi haji. Fasilitas pendukung seperti sistem penanganan bagasi terintegrasi, jalur kedatangan khusus, hingga koordinasi lintas instansi telah dipastikan siap. (ted)

  • Bobby Nasution Ajak Gubernur Aceh Bahas Ulang Polemik 4 Pulau di Kemendagri

    Bobby Nasution Ajak Gubernur Aceh Bahas Ulang Polemik 4 Pulau di Kemendagri

    Jakarta

    Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Bobby Nasution mengaku siap jika ingin membahas kembali soal 4 pulau yang ditetapkan Kemendagri masuk Sumut. Bobby pun mengajak Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem untuk membahas itu bersama di Kemendagri.

    “Ini saya sampaikan berulang ini, jangan kemana-mana bahasannya ya, saya dari awal kemarin ke Aceh bertemu dengan Gubernur Aceh, kita ingin sampaikan kalau untuk masalah milik siapa itu pulau, mohon maaf ya mau kami bahas dari pagi sampai pagi pun sebenarnya nggak ada solusinya,” kata Bobby di Kantor DPRD Sumut, dilansir detikSumut, Kamis (12/6/2025).

    “Maka saya sampaikan di situ kalau kita mau bahas, ayo sama-sama, kami terbuka kalau memang hal itu mau diulang kembali pembahasan pemilikannya kami terbuka. Kita mau ke Jakarta sama-sama untuk membahas ke Kemendagri ya ayo silakan,” tambahnya.

    Jika hasil pembahasan ulang 4 pulau itu tetap menjadi milik Sumut, Bobby mengajak Pemprov Aceh untuk mengelola bersama-sama. Namun, Bobby mengaku tidak memiliki hak untuk serta merta menyerahkan itu ke Aceh, harus tetap melalui Kemendagri.

    “Kalau pun nanti, atau sekarang pun dimiliki Sumut atau tetap dijadikan milik Sumut, saya ngajak Aceh untuk sama-sama kelola,” katanya.

    Untuk diketahui, Kemendagri menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil itu masuk ke wilayah Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Sementara, Pemerintah Aceh mengaku akan memperjuangkan perubahan status agar keempat pulau itu dikembalikan ke Tanah Rencong.

    Baca selengkapnya di sini.

    (azh/azh)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Kronologi Sengketa 4 Pulau Aceh yang Kini Masuk Wilayah Sumut – Page 3

    Kronologi Sengketa 4 Pulau Aceh yang Kini Masuk Wilayah Sumut – Page 3

    Mendagri juga menguatkan keputusan itu dengan menerbitkan Permendagri Nomor 58 Tahun 2021 tentang Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau sebagai revisi Permendagri Nomor 72 Tahun 2019 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.

    Setahun kemudian pada 2022, tim pusat Bersama Pemda Aceh dan Pemda Sumut rapat untuk membahas empat pulau tersebut dan masing-masing menyampaikan pandangannya. Sayang tidak ada kesepakatan saat itu.

    Kemudian, di tahun yang sama pada bulan Februari 2022 kembali terbit Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau Tahun 2021 yang memasukkan empat pulau sebagai cakupan wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah Prov. Sumut, sesuai Data Gazeter Indonesia.

    Setelah lima tahun ketetapan itu tak digubris, pada April 2022, Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Singkil menyampaikan somasi/keberatan terhadap Kepmendagri Nomor 050-145 Tahun 2022 terkait penetapan status 4 pulau sebagai bagian dari wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.

    Singkat cerita, pada 31 Mei sampai dengan 4 Juni 2022, Tim Pusat bersama Pemerintah Aceh, Pemda Sumut, Pemda Kabupaten Aceh Singkil dan Pemda Kabupaten Tapanuli Tengah melakukan survey di empat pulau itu.

    Hingga akhirnya, 16 Juli 2022 Gubernur Sumut menyampaikan keberadaan 4 Pulau sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumut.

    “Ini upaya-upaya yang dilakukan updating, jadi persoalan ini terus ya dari tahun 2007 sampai sekarang sehingga akhir di tahun 2020-2021 tim pusat bersidang dan memutuskan dan kemudian dituangkan ke dalam Kepmendagri di tahun 2022 menjadi wilayah Sumata Utara,” kata Syafruddin.

    Dia memastikan, Kepmendagri yang terbit dpada 2022 kemudian diulang dengan Kepmendagri yang dikeluarkan pada April 2025, isinya sama.

    “Jadi isinya sama dengan Kepmendagri dari yang semula,” jelas Syafruddin.

     

    Reporter: Rahmat Baihaqi (Merdeka.com)

  • 6
                    
                        Soal 4 Pulau Masuk Sumut, Erni Ariyanti Minta Patuhi Mendagri
                        Medan

    6 Soal 4 Pulau Masuk Sumut, Erni Ariyanti Minta Patuhi Mendagri Medan

    Soal 4 Pulau Masuk Sumut, Erni Ariyanti Minta Patuhi Mendagri
    Tim Redaksi
    MEDAN, KOMPAS.com
    – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara,
    Erni Ariyanti
    , meminta semua pihak mematuhi keputusan Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, terkait penetapan empat pulau yang kini menjadi bagian dari Sumatera Utara.
    Kementerian Dalam Negeri juga menyatakan, jika ada gugatan, dipersilakan untuk mengajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
    “Pak Mendagri sudah buka suara jika memang ada gugatan, ke PTUN mempersilahkan Provinsi Aceh,” ujar Erni Ariyanti di kantor
    DPRD Sumut
    , Kamis (12/6/2025).
    Erni menambahkan, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution telah berkunjung ke Aceh. Tindakan tersebut perlu diapresiasi sebagai upaya untuk meredakan ketegangan di masyarakat Aceh.
    Meskipun demikian, Erni menegaskan, Sumatera Utara harus mempertahankan keempat pulau tersebut agar tetap menjadi bagian dari provinsi ini.
    “Ya kita harus mempertahankan juga ya. Ya kita tunggulah hasil diskusi dari pemerintah,” tuturnya.
    Politisi Golkar ini juga menyampaikan, Bobby Nasution telah menawarkan pengelolaan bersama jika terdapat potensi di daerah tersebut.
    Pada kesempatan itu, Erni menekankan bahwa penetapan empat pulau tersebut didasarkan pada kajian yang mendalam dan bukan keputusan yang diambil secara sembarangan.
    “Ya tidak tiba-tiba, ini ada kajian ilmiahnya,” pungkas Erni.
    Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri telah menetapkan empat pulau yang sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Aceh kini masuk ke dalam administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
    Keputusan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025.
    Keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kronologi Sengketa 4 Pulau Aceh yang Kini Masuk Wilayah Sumut – Page 3

    Kronologi Sengketa 4 Pulau di Aceh: dari Verifikasi hingga Protes – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Sengketa empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara telah menjadi isu yang kompleks sejak tahun 2008. Keempat pulau yang disengketakan, yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, tidak terdaftar dalam verifikasi yang dilakukan oleh Tim Nasional Pembakuan Rupa Bumi. Namun, verifikasi di Sumatera Utara mencatat keempat pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah mereka.

    Pemerintah Aceh mengklaim bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah mereka berdasarkan bukti historis dan pelayanan publik yang telah dilakukan sejak tahun 1965. Namun, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berpegang pada hasil verifikasi yang menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

    Dalam perkembangan terbaru, Kemendagri berencana mempertemukan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut untuk membahas polemik ini. Direktur Jenderal Bina Administrasi Wilayah Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, menyatakan bahwa pertemuan ini bertujuan untuk mencari solusi atas sengketa yang telah berlangsung lama ini.

  • 2
                    
                        4 Pulau Dipindah ke Sumut, Muzakir Manaf: Sejak Dulu Itu Punya Aceh
                        Nasional

    2 4 Pulau Dipindah ke Sumut, Muzakir Manaf: Sejak Dulu Itu Punya Aceh Nasional

    4 Pulau Dipindah ke Sumut, Muzakir Manaf: Sejak Dulu Itu Punya Aceh
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gubernur Aceh
    Muzakir Manaf
    angkat bicara soal empat pulau di perairan Aceh yang dipindahkan ke Kawasan Sumatera Utara (Sumut).
    Muzakir Manaf menegaskan, empat pulau itu adalah
    kewenangan Aceh
    karena sudah sejak lama menjadi bagian Aceh.
    “Ya, empat pulau itu sebenarnya adalah kewenangan Aceh, jadi kami punya alasan kuat, punya bukti kuat, punya data kuat, sejak dahulu kala itu memang punya Aceh,” kata Manaf di JCC, Jakarta, Kamis (12/6/2025).
    Menurutnya, empat pulau itu adalah hak Aceh lantaran dari segi sejarah hingga iklim mengikuti kawasan Aceh.
    “Itu memang hak Aceh. Jadi saya rasa itu memang betul-betul Aceh, dia sudah punya segi sejarah, perbatasan iklim, jadi tidak perlu, itu saja, itu alasan yang kuat, bukti yang kuat seperti itu,” tuturnya.
    Diketahui, pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara.
    Adapun keempat pulau yang dimaksud adalah Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menjelaskan penetapan ini sudah melalui proses panjang serta melibatkan banyak instansi terkait.
    “Sudah difasilitasi rapat berkali-kali, zaman lebih jauh sebelum saya, rapat berkali-kali, melibatkan banyak pihak,” kata Tito saat ditemui di Kompleks Istana Negara, Selasa (10/6/2025).
    “Ada delapan instansi tingkat pusat yang terlibat, selain Pemprov Aceh, Sumut, dan kabupaten-kabupatennya. Ada juga Badan Informasi Geospasial, Pus Hidros TNI AL untuk laut, dan Topografi TNI AD untuk darat,” lanjutnya.
    Tito mengatakan, batas wilayah darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah disepakati oleh kedua belah pihak.
    Sementara itu, batas laut dua wilayah itu belum mencapai kesepakatan.
    Maka itu, lanjut Tito, penentuan perbatasan wilayah laut ini diserahkan ke pemerintah pusat. Namun, penentuan batas laut ini tidak pernah sepakat, sehingga membuat sengketa terkait empat pulau terus bergulir.
    “Nah, tidak terjadi kesepakatan, aturannya diserahkan kepada pemerintah nasional, pemerintah pusat di tingkat atas,” kata Tito.
    Menurut Tito, pemerintah pusat memutuskan bahwa empat pulau ini masuk ke wilayah administrasi Sumatera Utara berdasarkan tarikan batas wilayah darat.
    “Nah, dari rapat tingkat pusat itu, melihat letak geografisnya, itu ada di wilayah Sumatera Utara, berdasarkan batas darat yang sudah disepakati oleh empat pemda, Aceh maupun Sumatera Utara,” tuturnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dari Cek Menu hingga Serahkan Paket Makanan untuk Siswa, Cara Bupati Aceh Timur Pastikan MBG
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        12 Juni 2025

    Dari Cek Menu hingga Serahkan Paket Makanan untuk Siswa, Cara Bupati Aceh Timur Pastikan MBG Regional 12 Juni 2025

    Dari Cek Menu hingga Serahkan Paket Makanan untuk Siswa, Cara Bupati Aceh Timur Pastikan MBG
    Tim Redaksi
    ACEH TIMUR, KOMPAS.com

    Bupati Aceh Timur
    , Iskandar Usman Al-Farlaky, meninjau pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (
    MBG
    ) di Desa Kede Birem Bayeun, Kecamatan Birem Bayeun, Kamis (12/6/2025), untuk memastikan makanan yang diberikan kepada siswa sekolah dasar aman dan layak konsumsi.
    “Kita ingin memastikan bahwa makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar gizi yang dibutuhkan oleh anak-anak. Ini penting untuk mendukung tumbuh kembang mereka serta mendukung keberhasilan pendidikan,” ujar Bupati Al-Farlaky melalui sambungan telepon.
    Dalam kunjungannya, Al-Farlaky juga menyerahkan langsung paket makanan kepada murid SD Negeri 3 Birem Bayeun dan meninjau proses penyajian makanan oleh petugas Rumah Makan Bergizi.
    “Kita juga meninjau proses penyajian makanan. Mudah-mudahan makanan bergizi ini benar-benar bermanfaat bagi kesehatan anak-anak kita,” imbuh Bupati.
    Al-Farlaky berharap program nasional ini bisa menjangkau seluruh sekolah dasar di wilayah Aceh Timur dalam waktu dekat. Ia juga terus meminta penambahan kuota penerima manfaat dari Badan Gizi Nasional (BGN).
    “Saya terus menerus meminta agar BGN bisa menambah jumlah penerima di Aceh Timur,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kontroversi Kemendagri Nyatakan 4 Pulau Aceh Masuk ke Sumut

    Kontroversi Kemendagri Nyatakan 4 Pulau Aceh Masuk ke Sumut

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil meyakini 4 pulau yang dinyatakan sebagai wilayah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) adalah tetap milik Provinsi Aceh.

    Dia mengatakan persoalan dokumentasi terhadap kepemilikan 4 pulau di Aceh yang disengketakan itu belum sepenuhnya selesai, meskipun Kemendagri telah menyatakan 4 pulau itu kini milik Sumatera Utara.

    “Soal dokumentasi itupun masih diperdebatkan. Tapi saya yakin bahwa empat pulau itu adalah bagian dari Provinsi Aceh,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (12/6/2025).

    Sebab itu, legislator asal Dapil Aceh II ini mendorong pemerintah daerah Aceh untuk segera melakukan tindakan strategis untuk mengambil alih kembali 4 pulau tersebut.

    Meski secara administratif 4 pulau itu dinyatakan milik Sumatera Utara, namun dalam berbagai catatan agraria, data kepemilikan lahan hingga peta batas wilayah menunjukkan keempat pulau itu merupakan bagian dari Aceh. 

    “Adanya peluang bagi Aceh untuk mengambil kembali keempat pulau yang diklaim Sumatera Utara secara administratif melalui Keputusan Mendagri,” jelas dia.

    Lebih lanjut, Nasir menyoroti masalah sengketa 4 pulau Aceh dengan Sumut merupakan satu dari sekian masalah batas wilayah. Menurutnya, persoalan tapal batas masih menjadi persoalan mendasar di Indonesia yang tak kunjung terselesaikan.

    “Jangankan tapal batas laut, tapal batas darat saja masih banyak bermasalah,” sindirnya.

    Lebih jauh, legislator ini menilai seharusnya ada badan yang memiliki otoritas untuk mengukur batas wilayah atau mengundang ahli dan narasumber yang lihai di bidang tersebut untuk mencari solusi, agar masalah ini cepat selesai. 

    “Saya mengusulkan kepada DPR RI dan DPD RI untuk mendatangkan narasumber yang kredibel, sekaligus memiliki kompetensi saat membahas empat pulau bersama Gubernur Aceh,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, hubungan Provinsi Aceh dan Sumatra Utara tegang imbas keputusan Kemendsgri terkait sengketa 4 pulau. 

    Pemerintah pusat, dalam hal ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, memasukan empat pulau yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek ke Sumatera Utara.

    Wilayah ini juga diklaim oleh Kabupaten Singkil, Provinsi Aceh. Keputusan Mendagri Tito memicu kemarahan warga Aceh. Mereka, kalau melihat rekaman yang banyak beredar, berbondong-bondong menuju ke empat pulau tersebut. Para pejabat dan warga juga menghimbau kepada pemerintah pusat, supaya tidak mengusik wilayah Aceh, khususnya sengketa 4 wilayah. 

    Di sisi lain, upaya pembicaraan antara kedua pemerintah daerah juga tidak banyak menurunkan tensi ketegangan. Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem, bahkan hanya sebentar menemui Gubernur Sumut, Bobby Nasution. Dia meninggalkan Bobby karena akan menghadiri agenda lain.

  • Aceh-Sumut: Ketika Empat Pulau Memantik Bara Sengketa

    Aceh-Sumut: Ketika Empat Pulau Memantik Bara Sengketa

    Aceh-Sumut: Ketika Empat Pulau Memantik Bara Sengketa
    Dosen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Mahmud Yunus Batusangkar
    SENGKETA
    wilayah maritim antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara bukanlah sekadar persoalan administrasi biasa.
    Polemik ini mengungkapkan kompleksitas yang melekat dalam pengelolaan batas wilayah di Indonesia, serta bagaimana sejarah, budaya, dan politik saling bertautan dalam setiap inci Tanah Air.
    Konflik atas Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang menjadi contoh nyata ketegangan yang lebih dalam dari sekedar garis batas di atas peta.
    Keputusan Kementerian Dalam Negeri yang mengalihkan empat pulau ini ke wilayah administratif Sumatera Utara menuai kontroversi tajam, terutama di kalangan masyarakat Aceh yang melihatnya sebagai bentuk pengabaian atas klaim historis dan identitas budaya mereka.
    Di balik putusan administratif tersebut, terbentang narasi panjang yang mencerminkan dilema antara kepastian administratif dengan keadilan historis dan emosional.
    Bagi Aceh, empat pulau ini bukan sekadar wilayah geografis, tetapi simbol harga diri, identitas, dan warisan leluhur yang tidak bisa diukur semata dengan garis batas spasial atau analisis teknokratis semata.
    Kontroversi ini menghadirkan pertanyaan mendalam: sejauh mana keputusan administratif pemerintah pusat dapat menghargai aspek historis dan emosional yang begitu kuat melekat dalam sengketa kewilayahan?
    Sengketa ini berakar dari klaim historis Aceh yang mendasarkan kepemilikannya pada dokumen agraria tahun 1965 serta Peta Topografi TNI Angkatan Darat tahun 1978, yang jelas menunjukkan pulau-pulau tersebut sebagai wilayah Aceh.
    Dokumen-dokumen ini telah menjadi dasar bagi Aceh untuk membangun berbagai infrastruktur penting di pulau-pulau tersebut, seperti dermaga, musala, dan tugu batas.
    Infrastruktur ini bukan sekadar fasilitas fisik, tetapi juga simbol nyata penguasaan dan pengelolaan efektif Aceh atas wilayah tersebut selama bertahun-tahun.
    Langkah-langkah pembangunan ini mencerminkan komitmen kuat Aceh dalam mempertahankan integritas teritorialnya serta menunjukkan kehadiran administratif yang aktif dan konsisten di wilayah sengketa.
    Namun, meski berbagai upaya nyata dan bukti historis tersebut telah dikemukakan secara jelas, keputusan administratif pemerintah pusat tidak memberikan bobot yang memadai terhadap argumentasi Aceh.
    Sebaliknya, keputusan tersebut cenderung lebih memprioritaskan pendekatan geografis yang secara spasial menempatkan pulau-pulau ini lebih dekat dengan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
     
    Analisis geografis ini, meskipun valid dari sudut pandang administratif semata, tampaknya tidak sepenuhnya mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan budaya yang melekat erat dalam klaim kewilayahan Aceh.
    Keputusan pemerintah pusat yang lebih mengutamakan pendekatan geografis ini bukan hanya sekadar menimbulkan kontroversi administratif, tetapi juga berdampak serius terhadap dimensi sosial-budaya dan emosional masyarakat Aceh.
    Pengabaian aspek historis ini dapat mengakibatkan ketidakpuasan mendalam yang berpotensi menciptakan konflik berkepanjangan dan rasa ketidakadilan historis.
    Dalam konteks ini, penting bagi pemerintah pusat untuk tidak sekadar berpijak pada analisis teknokratis semata tetapi juga mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh implikasi jangka panjang dari keputusan yang diambil, khususnya dalam hal menjaga keharmonisan sosial dan stabilitas regional.
    Di balik sengketa administratif ini, muncul spekulasi kuat tentang adanya potensi sumber daya alam strategis, terutama minyak dan gas bumi (migas), yang diduga melimpah di sekitar wilayah empat pulau tersebut.
    Isu ini bukan hanya menambah kompleksitas narasi sengketa, tetapi juga menjadikan keputusan administratif ini memiliki dimensi ekonomi-politik yang penting.
    Jika spekulasi mengenai keberadaan migas benar, maka keputusan pemerintah pusat dapat diinterpretasikan tidak semata tentang urusan administratif, tetapi juga tentang perebutan kontrol atas aset strategis yang memiliki nilai ekonomi signifikan.
    Meskipun pihak Kementerian Dalam Negeri secara resmi menyatakan bahwa keputusan mereka murni berdasarkan pertimbangan geografis dan administratif, tetap saja publik Aceh menyimpan kecurigaan mendalam.
    Hal ini diperparah adanya informasi bahwa rencana investasi besar, yang diduga terkait dengan eksplorasi migas, mungkin telah menjadi salah satu pertimbangan tersembunyi dalam sengketa ini.
    Situasi ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik Aceh terhadap netralitas dan objektivitas proses pengambilan keputusan pemerintah pusat.
    Transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik merupakan aspek penting yang perlu dijaga, terutama dalam keputusan-keputusan yang berdampak luas seperti ini.
    Klaim pemerintah pusat mengenai ketidakpahaman mereka terhadap potensi ekonomi wilayah tersebut terlihat problematis.
    Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai apakah proses pengambilan keputusan benar-benar transparan dan jujur.
    Publik Aceh menuntut agar proses pengambilan keputusan tidak hanya jelas secara administratif, tetapi juga secara moral dan etis mempertimbangkan seluruh implikasi jangka panjangnya.
    Keputusan administratif ini tidak hanya berdampak pada hubungan antar-provinsi, tetapi juga memengaruhi tata kelola pemerintahan daerah secara keseluruhan.
    Konflik ini menunjukkan pentingnya mekanisme yang lebih baik dalam penyelesaian sengketa batas wilayah yang tidak hanya mengandalkan intervensi pemerintah pusat, tetapi juga melibatkan proses dialogis yang lebih inklusif dan partisipatif.
    Mekanisme dialog yang efektif antara Aceh dan Sumatera Utara menjadi sangat krusial agar konflik semacam ini tidak terus berulang.
    Di sisi lain, kasus ini menjadi preseden penting bagi sengketa wilayah lainnya di Indonesia. Penyelesaian yang tidak sensitif terhadap sejarah dan klaim emosional masyarakat lokal berpotensi memicu konflik yang lebih besar di masa depan.
    Oleh karena itu, pemerintah pusat perlu mempertimbangkan ulang pendekatan yang digunakan, lebih mengakomodasi klaim historis, dan mengedepankan dialog antar-daerah yang lebih intensif.
    Pada akhirnya, drama empat pulau ini menegaskan bahwa sengketa wilayah bukan sekadar persoalan administratif yang bisa diselesaikan dengan garis batas di atas peta.
    Pemerintah pusat harus lebih jeli melihat aspek-aspek historis, emosional, dan ekonomi yang tersembunyi di balik sengketa administratif.
    Hanya dengan pendekatan yang lebih empatik dan inklusif, keadilan yang sejati bisa tercapai, dan integritas serta keutuhan wilayah Indonesia tetap terjaga.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Keputusan Mendagri Tito Alihkan 4 Pulau Aceh ke Provinsi Sumut Langgar MoU Damai RI

    Keputusan Mendagri Tito Alihkan 4 Pulau Aceh ke Provinsi Sumut Langgar MoU Damai RI

    GELORA.CO –  Aksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) merampas 4 pulau Aceh dan wilayah perbatasan lainnya telah melanggar MoU Helsinki 2005.

    Dalam MoU disepakati batas Aceh sesuai perbatasan Aceh-Sumut pada tahun 1959.

    Demikian twet akun X Aceh, dikutip pada Rabu (11/6).

    Dalam Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki), batas wilayah Aceh ditegaskan secara eksplisit di butir 1.1.4 MoU Helsinki yang menyatakan,

    “Wilayah Aceh mencakup wilayah yang saat ini merupakan Provinsi Aceh. Batas-batasnya adalah seperti yang berlaku pada 1 Juli 1956.”

    Penjelasan dari butir tersebut,

    1. Wilayah Aceh diakui secara resmi mencakup seluruh Provinsi Aceh sebagaimana eksis pada saat penandatanganan MoU, yakni tahun 2005.

    2. Batas resmi yang dijadikan acuan adalah peta dan batas administratif Aceh pada 1 Juli 1956.

    3. Ini berarti:

    Tidak ada wilayah Aceh yang boleh dikurangi, atau dimasukkan ke provinsi lain tanpa persetujuan rakyat Aceh.

    Merujuk pada status Aceh pasca pemisahan dari Sumatera Utara (Aceh menjadi provinsi sendiri tahun 1956).

    Wilayah meliputi seluruh kabupaten/kota yang secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Aceh saat itu.

    Implikasi tapal batas dalam MoU Helsinki, tidak dibolehkan perubahan batas sepihak oleh pemerintah pusat, misalnya memasukkan wilayah Aceh ke provinsi tetangga.

    Batas Aceh yang bersinggungan dengan Sumatera Utara (Nias, Tapanuli Selatan, Dairi, dsb), harus tetap merujuk ke kondisi historis tahun 1956.

    Hal ini penting sebagai jaminan politik, bahwa Aceh tidak akan dikecilkan atau direduksi secara teritorial setelah kesepakatan damai.***