Produk: West Texas Intermediate

  • Harga BBM Terbaru di Tengah Wacana Iran Tutup Selat Hormuz

    Harga BBM Terbaru di Tengah Wacana Iran Tutup Selat Hormuz

    Bisnis.com, JAKARTA — Iran tengah mempertimbangkan untuk menutup Selat Hormuz. Penutupan jalur pengiriman minyak dunia itu pun diproyeksi bisa mengerek harga BBM di Indonesia.

    Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menjelaskan, Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran penting bagi pengiriman minyak. Menurutnya, 20% pengiriman minyak dan gas (migas) dunia melalui selat tersebut.

    Dia berpendapat, kalau selat tersebut resmi ditutup imbas memanasnya konflik di Timur Tengah, jalur distribusi jelas akan terganggu. Imbasnya, harga minyak dunia bakal naik.

    Indonesia, kata dia, sebagai net importir bisa ikut terdampak; harga BBM di dalam negeri bakal melonjak.

    “Sebagai net importer, dampaknya justru lebih besar atas kenaikan minyak ini ke BBM kita,” jelas Moshe kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Pernyataan Moshe bukan isapan jempol. Melansir Reuters, harga minyak mentah dunia melonjak ke level tertinggi sejak Januari 2025 pada perdagangan pagi ini.

    Kenaikan harga minyak itu tak lepas dari meningkatnya kekhawatiran pasokan setelah Amerika Serikat (AS) bergabung dengan Israel dalam serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran akhir pekan lalu.

    Tercatat, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman terdekat naik US$1,92 atau 2,49% menjadi US$78,93 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$1,89 atau 2,56% ke posisi US$75,73 per barel.

    Lantas berapa harga BBM di dalam negeri saat ini?

    Harga BBM di Indonesia umumnya berubah setiap bulan pada tanggal 1. Oleh karena itu, harga BBM di seluruh SPBU Pertamina, Shell, BP, dan Vivo saat ini masih mengacu pada harga per 1 Juni 2025.

    Dikutip dari laman resmi MyPertamina, Senin (23/6/2025), untuk Pertamax (RON 92) turun menjadi Rp12.100 per liter atau turun dari sebelumnya Rp12.400 per liter. 

    Adapun, harga Pertamax Turbo (RON 98) kini dipatok Rp13.050 per liter atau turun dari sebelumnya Rp13.300 per liter. Harga Pertamax Green (RON 95) kini ditetapkan senilai Rp12.800 dari sebelumnya Rp13.150 per liter pada Mei lalu. 

    Lalu, harga Dexlite (CN 51) juga turun dari Rp13.600 menjadi Rp12.740 per liter. Sedangkan, harga Pertamina Dex (CN 53) turun dari Rp13.900 menjadi Rp13.200 per liter.

    Di samping itu, harga BBM di SPBU Shell juga mengalami penurunan. Tercatat, Shell Super setara Pertamax turun dari Rp12.730 per liter pada bulan lalu menjadi Rp12.370 per liter. 

    Harga Shell V-Power turun dari Rp13.170 per liter menjadi Rp12.480 per liter. Shell V-Power Diesel turun dari Rp13.810 per liter menjadi Rp13.250 per liter dan Shell V-Power Nitro+ turun dari Rp13.360 per liter menjadi Rp13.070 per liter.

    Tak hanya Pertamina dan Shell, harga BBM di SPBU BP juga turun. Perinciannya, harga BP Ultimate kini dipatok Rp12.840 per liter. Ini turun dibanding bulan sebelumnya yang senilai Rp13.170 per liter. 

    Sementara itu, harga BP 92 turun dari Rp12.600 menjadi Rp12.370 per liter dan BP Ultimate Diesel turun dari Rp13.810 menjadi Rp13.250 per liter.

    Tak ketinggalan, SPBU Vivo juga menurunkan harga BBM besutannya bulan ini. Vivo menurunkan harga Revvo 90 menjadi Rp12.260 per liter dari sebelumnya Rp12.650 per liter bulan lalu. 

    Sedangkan, harga Revvo 92 dipatok Rp12.340 per liter. Harga ini turun dibanding harga bulan lalu yang dipatok Rp12.730 per liter. Harga Revvo 95 dipatok Rp13.810 per liter pada 1 Juni 2025. Harga ini turun dibanding Mei yang sebesar Rp13.170 per liter.

    Berikut daftar harga BBM terbaru per 23 Juni 2025: 

    1. Pertamina 

    – Pertalite (RON 90): Rp10.000 per liter 

    – Solar Subsidi: Rp6.800 per liter 

    – Pertamax (RON 92): Rp12.100 per liter 

    – Pertamax Green (RON 95): Rp12.800 per liter 

    – Pertamax Turbo (RON 98): Rp13.050 per liter 

    – Dexlite (CN 51): Rp12.740 per liter 

    – Pertamina Dex (CN 53): Rp13.200 per liter 

    2. Shell 

    – Shell Super: Rp12.370 per liter 

    – Shell V-Power: Rp12.840 per liter 

    – Shell V-Power Diesel: Rp13.250 per liter 

    – Shell V-Power Nitro+: Rp13.070 per liter 

    3. BP 

    – BP Ultimate: 12.840 per liter 

    – BP 92: Rp12.370 per liter 

    – BP Ultimate Diesel: Rp13.250 per liter 

    4. SPBU Vivo 

    – Revvo 90: Rp12.260 per liter 

    – Revvo 92: Rp12.340 per liter 

    – Revvo 95: Rp12.810 per liter 

    – Diesel Primus Plus: Rp13.210 per liter

  • APBN RI Bisa Tekor Banyak Jika Minyak Naik di Atas US per Barel

    APBN RI Bisa Tekor Banyak Jika Minyak Naik di Atas US$82 per Barel

    Jakarta, CNBC Indonesia – Memanasnya medan peperangan di Timur Tengah yang diperparah dengan keputusan Amerika Serikat (AS) untuk ikut menyerang Iran. Keputusan ini memicu gejolak di pasar global dan berisiko mendongkrak harga komoditas termasuk minyak.

    Harga minyak diperkirakan akan naik sebesar US$3 hingga US$5 per barel, setelah serangan udara AS yang menargetkan fasilitas nuklir Iran. Kenaikan harga komoditas, terutama minyak ini dapat memberikan tekanan kepada Indonesia.

    Adapun, saat ini, Brent ditutup pada harga US$ 77,01 per barel pada hari Jumat, dan West Texas Intermediate (WTI) milik AS pada US$ 73,84.

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede mengemukakan kenaikan harga minyak ini menambah tekanan defisit neraca perdagangan Indonesia karena meningkatnya biaya impor energi. Kombinasi harga minyak yang tinggi dan pelemahan rupiah menambah beban fiskal berupa peningkatan subsidi energi yang signifikan.

    “Berdasarkan sensitivitas fiskal, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 di atas asumsi APBN (USD 82 per barel) menyebabkan tambahan beban neto sekitar Rp7 triliun, sehingga defisit anggaran berpotensi melebar lebih dekat ke batas 3% PDB. Kondisi ini memperberat tekanan terhadap rupiah melalui peningkatan risiko fiskal dan prospek pelebaran defisit transaksi berjalan (CAD),” kata Josua dalam catatannya kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/6/2025).

    Menurut analisis terbaru, kata Josua, peningkatan harga minyak global akibat konflik ini telah mencapai lebih dari 7%, dengan Brent mencapai sekitar US$ 74 per barel, dan berpotensi melonjak hingga di atas US$ 100 per barel jika konflik semakin meluas, terutama apabila jalur pasokan melalui Selat Hormuz terganggu.

    Adapun sejak konflik Israel dan Iran dimulai pada 13 Juni, dengan Israel menyerang fasilitas nuklir Iran dan rudal Iran menghantam gedung-gedung di Tel Aviv-harga Brent telah naik 11%, sedangkan WTI meningkat sekitar 10%.

    Sejauh ini kondisi pasokan yang stabil dan ketersediaan kapasitas produksi cadangan di antara anggota OPEC telah membatasi kenaikan harga minyak. Menurut analis di UBS Giovanni Staunovo risiko biasanya akan memudar jika tidak terjadi gangguan pasokan.

    “Arah pergerakan harga minyak selanjutnya akan bergantung pada apakah terjadi gangguan pasokan, yang kemungkinan besar akan menyebabkan harga naik, atau jika konflik mereda, yang akan menyebabkan premi risiko berkurang,” ujarnya.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Gejolak Perang Iran-Israel, Pemerintah Didesak Amankan Pasokan Energi Minyak dan Gas

    Gejolak Perang Iran-Israel, Pemerintah Didesak Amankan Pasokan Energi Minyak dan Gas

    PIKIRAN RAKYAT – Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah proaktif guna mengamankan pasokan minyak bumi dan gas alam. Desakan tersebut muncul sebagai antisipasi terhadap potensi dampak eskalasi konflik antara Iran dan Israel.

    “Pemerintah harus segera memperkuat pasokan minyak dan gas kita dengan merevisi kontrak-kontrak yang ada bersama mitra dagang,” ujar Wijayanto, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Antara, Jumat, 20 Juni 2025.

    Meskipun harga minyak global saat ini terpantau cukup stabil, Wijayanto tetap mewanti-wanti akan tingginya risiko ketidakpastian global.

    Sebagai informasi, pada perdagangan Jumat, 20 Juni 2025 pukul 14.53 WIB, harga minyak mentah Brent berada di kisaran 72,16 dolar AS per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) tercatat 73,92 dolar AS per barel.

    Ia menjelaskan, bahwa harga minyak bumi relatif stabil meski perang besar di Timur Tengah berpotensi mengganggu harga minyak dan gas.

    Diketahui juga bahwa Iran menyumbang 1,5 persen produksi minyak dan 6,5 persen gas alam di dunia. Ditambah lagi, Selat Hormuz melayani 20 persen ekspor minyak dan 30 persen ekspor-impor gas alam di skala global.

    Wijayanto memprediksi konflik tidak akan meluas secara signifikan, mengingat tiga kekuatan besar dunia (Amerika Serikat, Rusia, dan China) telah menyatakan tidak akan terlibat langsung.

    Meski begitu, ada kemungkinan potensi dampak terhadap perekonomian nasional tidak boleh diabaikan. hal itu karena bisa menyebabkan gangguan pada rantai pasok minyak dan gas global yang dikhawatirkan dapat menekan kinerja ekspor Indonesia, khususnya di sektor komoditas.

    Hal ini pada gilirannya dapat memperburuk neraca transaksi berjalan dan menekan nilai tukar rupiah.

    Ia pun menuturkan, apabila konflik meluas dan mengganggu suplai minyak bumi serta gas alam global, pertumbuhan ekonomi dunia akan terhambat.

    “Ini akan mengurangi volume dan harga komoditas ekspor Indonesia, menurunkan neraca transaksi berjalan, dan memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Wijayanto juga menekankan pentingnya mengoptimalkan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) guna memperkuat cadangan devisa.

    Cadangan devisa yang kuat akan menjadi amunisi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.

    “Proyek-proyek besar yang memakan banyak anggaran perlu dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan kapasitas fiskal kita. Jangan sampai beban fiskal kita semakin bertambah untuk hal-hal yang, meskipun penting, tidak bersifat mendesak,” tuturnya.***

  • Konflik Iran-Israel, Ekonom: RI perlu amankan pasokan minyak dan gas

    Konflik Iran-Israel, Ekonom: RI perlu amankan pasokan minyak dan gas

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan pemerintah Indonesia perlu segera mengamankan pasokan minyak bumi dan gas alam guna mengantisipasi potensi dampak dari eskalasi konflik antara Iran dan Israel.

    “Pemerintah perlu mengamankan pasokan minyak bumi dan gas bagi Indonesia dengan memperbaiki kontrak dengan mitra dagang kita,” kata Wijayanto kepada ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Meski saat ini harga minyak global masih relatif stabil, ia mengingatkan bahwa risiko ketidakpastian tetap tinggi. Sebagaimana diketahui, pada perdagangan Jumat (20/6) pukul 14.53 WIB, harga minyak mentah Brent tercatat berada di level 72,16 dolar AS per barel, sementara minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di posisi 73,92 dolar AS per barel.

    “Harga minyak bumi relatif stabil kendatipun di Timur Tengah terjadi perang dahsyat yang berpotensi mengganggu harga minyak dan gas, mengingat Iran memproduksi 1,5 persen dan 6,5 persen minyak bumi dan gas alam dunia, dan Selat Hormuz melayani 20 persen dan 30 persen ekspor impor minyak dan gas alam dunia,” jelasnya.

    Wijayanto memperkirakan konflik tidak akan mengalami eskalasi lebih lanjut, mengingat tiga kekuatan besar dunia, Amerika Serikat, Rusia, dan China, telah menyatakan tidak akan terlibat langsung dalam konflik tersebut.

    Namun, ia tetap mengingatkan bahwa potensi dampak terhadap perekonomian nasional tidak bisa diabaikan. Gangguan pada rantai pasok minyak dan gas global dikhawatirkan menekan kinerja ekspor Indonesia, khususnya pada sektor komoditas, sehingga dapat memperburuk neraca transaksi berjalan dan menekan nilai tukar rupiah.

    “Jika perang mengalami eskalasi dan menghambat suplai minyak bumi dan gas alam dunia, ini akan mengganggu pertumbuhan ekonomi dunia yang pada gilirannya akan mengurangi volume dan harga komoditas ekspor Indonesia, menurunkan neraca transaksi berjalan, dan menekan nilai tukar rupiah,” ungkap Wijayanto.

    Maka dari itu, ia juga menekankan pentingnya optimalisasi kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk memperkuat cadangan devisa sebagai amunisi Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas rupiah.

    “Proyek besar boros anggaran perlu dikalibrasi ulang, disesuaikan dengan kapasitas fiskal, jangan sampai fiskal kita semakin terbebani untuk hal-hal yang walaupun penting tetapi tidak urgent,” tutupnya.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Adi Lazuardi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Dilema Kenaikan Harga BBM Pertalite di Tengah Konflik Timur Tengah

    Dilema Kenaikan Harga BBM Pertalite di Tengah Konflik Timur Tengah

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mewanti-wanti harga BBM subsidi seperti Pertalite berpotensi naik imbas harga minyak dunia yang mendidih. Melonjaknya harga minyak dunia itu tidak lepas dari memanasnya konflik di Timur Tengah seperti Iran-Israel.

    Kondisi ini pun layaknya makan buah simalakama; peribahasa yang menggambarkan situasi sulit, di mana setiap pilihan yang diambil akan membawa dampak negatif. Dalam konteks harga minyak, kenaikan harga BBM subsidi juga berimbas pada inflasi dan menekan daya beli.

    Mengutip laporan Reuters pada Rabu (18/6/2025), harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman Agustus naik US$3,22 atau 4,4% menjadi US$76,45 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menguat US$3,07 atau 4,28% ke level US$74,84 per barel.

    Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi menuturkan, sebagai net-importer, kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. 

    Menurutnya, jika eskalasi konflik Israel-Iran meluas, tidak bisa dihindari harga minyak dunia akan melambung, bahkan diperkirakan bisa mencapai di atas US$ 100 per barel. 

    Bahkan, JP Morgan memperkirakan harga minyak dunia bisa melonjak hingga US$130 per barel jika eskalasi perang meluas hingga Iran menutup Selat Hormuz, yang menjadi lalu lintas pengangkutan minyak dunia. 

    “Dalam kondisi tersebut, pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri. Kalau harga BBM Subsidi tidak dinaikan, beban APBN akan membengkak,” kata Fahmy dalam keterangannya.

    Di samping itu, kenaikan harga minyak dunia akan semakin menguras devisa untuk membiayai impor BBM. Ujung-ujungnya, kata dia, makin memperlemah kurs rupiah terhadap dolar AS yang sempat menembus Rp17.000 per dolar AS. 

    Fahmy mengamini bahwa jika harga BBM subsidi dinaikan, sudah pasti akan memicu inflasi. Pasalnya, kenaikan harga BBM subsidi akan menyebabkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok hingga berimbas pada penurunan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

    Oleh karena itu, dia mengingatkan pemerintah harus memberikan kepastian kepada masyarakat. Pemerintah jangan menganggap enteng ancaman ekonomi imbas perang Iran-Israel.

    Menurut Fahmy, pemerintah sebaiknya bersikap realistis dengan mengantisipasi penetapan harga BBM Subsidi berdasarkan indikator terukur. 

    “Kalau harga minyak dunia masih di bawah US$100 per barel, harga BBM subsidi tidak perlu dinaikan. Namun, kalau harga minyak dunia mencapai di atas US$100 per barel, pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM subsidi, agar beban APBN untuk subsidi tidak memberatkan,” jelas Fahmy.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi belanja subsidi energi dan non-energi mencapai US$66,1 triliun per 31 Mei 2025. Angka ini turun 15,1% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

    Penurunan subsidi energi salah satunya disebabkan acuan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) melemah hingga Mei 2025 ini.

    Kemenkeu mencatat patokan harga minyak mentah internasional Brent menurun sebesar 15% secara tahunan (yoy) dan 0,5% sepanjang Januari-Mei 2025 (ytd). Pelemahan ini terjadi sebelum saling serang Iran-Israel, pekan lalu.

    Meski realisasi anggaran menurun, volume belanja subsidi energi naik secara tahunan. Tercatat subsidi BBM naik 4,3% menjadi 5.807 ribu KL, LPG 3 kg naik 3,5% menjadi sebesar 2.782 juta kg, dan listrik subsidi naik 4,2% menjadi sebanyak 42,1 juta pelanggan.

    Mitigasi Impor Minyak Pertamina

    Sementara itu, PT Pertamina (Persero) mengungkapkan memanasnya konflik antara Iran dan Israel belum memberikan efek apapun terhadap harga maupun pasokan impor minyak ke Indonesia. Kendati demikian, perusahaan migas pelat merah itu bakal tetap melakukan mitigasi jika konflik kian memanas. 

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, pasokan dan keberlangsungan impor minyak masih aman. Perseroan pun terus melakukan pengawasan terhadap situasi yang berlangsung. 

    “Sampai saat ini, belum ada informasi terkait adanya gangguan pasokan crude [minyak mentah] untuk Pertamina,” kata Fadjar.

    Fadjar menekankan bahwa Pertamina tetap memiliki beberapa strategi di tengah konflik Timur Tengah. Salah satunya, mengalihkan rute jalan yang lebih aman untuk kapal jika konflik kian memanas. 

    Dalam hal ini, dia menyebut, subholding Pertamina, PT Pertamina International Shipping dan PT Pertamina Patra Niaga, yang akan menganalisis dampak lebih lanjut dari konflik Timur Tengah tersebut. 

    “Tentu kapal-kapal kita akan kita cek jalur pelayarannya. Jika jalur reguler berpotensi mengalami gangguan, biasanya akan kita re-route ke jalur yang lebih aman,” ucap Fadjar.

    Selain itu, Fadjar menyebut, saat ini impor minyak mentah juga terbilang lebih fleksibel sehingga tidak terlibat dengan kontrak panjang.

    Pengembangan EBT

    Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun bakal mendorong percepatan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) di tengah konflik Timur Tengah yang memanas.

    Juru bicara (jubir) Kementerian ESDM Dwi Anggia menuturkan, pemerintah sangat menyadari bahwa eskalasi geopolitik di kawasan Timur Tengah, berpotensi mempengaruhi stabilitas pasokan dan harga energi tidak hanya Indonesia tapi juga secara global. 

    “Untuk itu Indonesia tentu perlu menyiapkan langkah antisipatif yang matang,” kata Dwi.

    Dia menuturkan saat ini dampak dari konflik sudah terasa. Harga minyak global naik.

    Menurut Dwi, kenaikan harga tersebut akan memengaruhi harga ICP. Namun, belum melebihi Asumsi Makro ICP dalam APBN 2025 yang ditetapkan yakni sebesar US$82 per barel. 

    Pihaknya pun berjanji terus memantau perkembangan. Di satu sisi, situasi saat ini pun mendorong pemerintah untuk mempercepat pengembangan energi terbarukan. 

    Pengembangan EBT, termasuk biofuel pun kembali menghangat, karena Indonesia memiliki sumber daya yang mumpuni. 

    “Peristiwa geopolitik ini juga menjadi momentum untuk mempercepat pengembangan energi baru terbarukan. Konflik di luar negeri adalah faktor eksternal yang tidak bisa kita kendalikan,” jelas Dwi.

    Terpisah, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mendorong produksi migas untuk memperkuat ketahanan energi nasional. Menurutnya, ini krusial untuk mengantisipasi memanasnya konflik Iran-Israel. 

    Dia mengatakan, pemerintah akan menggenjot produksi migas nasional agar Indonesia tak lagi bergantung pada pasokan energi global, termasuk untuk kebutuhan minyak domestik.   

    “Jadi ya kan kita ada ketahanan energi. Jadi ya kita mengusahakan ada peningkatan produksi migas dalam negeri, terutama untuk crude [minyak mentah],” katanya.

    Dia menerangkan, saat ini tingkat produksi minyak nasional mulai meningkat dari rata-rata produksi tahun lalu sebanyak 560.000-570.000 barel per hari, kini di atas 600.000 barel per hari.

    “Ini dilihat dari bulan ini sudah di atas 610.000 barel,” tegasnya. 

  • Harga Minyak Dunia Memanas, Aspebindo: Swasembada Energi Tak Boleh Ditunda

    Harga Minyak Dunia Memanas, Aspebindo: Swasembada Energi Tak Boleh Ditunda

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo) menilai memanasnya konflik Iran-Israel yang mengerek harga minyak dunia dapat menjadi momentum untuk percepatan swasembada energi.

    Wakil Ketua Umum Aspebindo Fathul Nugroho menjelaskan, saat ini Indonesia masih mengimpor sekitar 813.000 barel minyak mentah dan produk BBM per hari.

    Sementara itu, konflik Timur Tengah saat ini membuat harga minyak mentah global naik. Tercatat, harga minyak berjangka Brent untuk kontrak pengiriman Agustus 2025 menguat 2,8% menjadi US$76,29 per barel pada Senin (16/6/20525), setelah menguat 7% pada akhir pekan.

    Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli 2025 menguat 2,7% ke US$74,95 per barel. Adapun, harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) untuk Mei dipatok sebesar US$79,78 per barel.

    Fathul mengatakan, kenaikan harga minyak global tentu akan langsung berdampak pada neraca perdagangan migas dan membebani APBN. Hal ini terutama karena asumsi harga ICP dalam APBN 2025 hanya sebesar US$82 per barel.

    Menurutnya, setiap kenaikan US$1 pada ICP dapat menambah beban subsidi dan kompensasi hingga Rp1,5 triliun per tahun. Dia menyebut, ketergantungan pada impor minyak membuat Indonesia sangat rentan terhadap guncangan eksternal.

    “Justru karena sejarah telah menunjukkan bahwa konflik di Timur Tengah kerap memicu krisis energi global, maka agenda swasembada energi tidak boleh ditunda lagi,” tutur Fathul dalam keterangannya.

    Oleh karena itu, dia menilai bahwa penting bagi Indonesia meningkatkan kapasitas penyimpanan dan cadangan strategis BBM nasional. Fathul menyebut, saat ini Indonesia hanya memiliki cadangan operasional untuk sekitar 22 hari konsumsi, belum mencapai standar internasional.

    Fathul mengatakan, cadangan ini seharusnya ditingkatkan menjadi minimal 30 hari. Dengan begitu, pemerintah memiliki fleksibilitas untuk menyerap stok ketika harga minyak sedang rendah dan mengantisipasi lonjakan harga seperti saat ini.

    “Swasembada energi bukan lagi pilihan, ini sudah jadi kebutuhan strategis bangsa. Kita tidak boleh terus berada dalam posisi reaktif terhadap gejolak harga internasional,” katanya.

    Dia pun mengingatkan bahwa perang di Timur Tengah saat ini bukan hanya soal geopolitik atau militer, tetapi menyangkut stabilitas energi dan ekonomi dunia.

    “Harga BBM yang tinggi, tekanan APBN, risiko inflasi, semua itu bermuara dari satu sumber, ketergantungan kita pada minyak impor. Kalau kita tidak segera mewujudkan swasembada energi dari sekarang, krisis seperti ini akan terus berulang dan semakin menyulitkan bangsa,” tutur Fathul.

  • Begini Mitigasi Impor Minyak Pertamina saat Konflik Iran-Israel Memanas

    Begini Mitigasi Impor Minyak Pertamina saat Konflik Iran-Israel Memanas

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) mengungkapkan memanasnya konflik antara Iran dan Israel belum memberikan efek apapun terhadap harga maupun pasokan impor minyak ke Indonesia. 

    Kendati demikian, perusahaan migas pelat merah itu bakal tetap melakukan mitigasi jika konflik kian memanas. Eskalasi konflik Iran-Israel memunculkan risiko bagi ketahanan energi nasional. Pasalnya, hingga kini Indonesia masih menjadi net importir minyak mentah untuk memenuhi kebutuhan nasional.

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, pasokan dan keberlangsungan impor minyak masih aman. Perseroan pun terus melakukan pengawasan terhadap situasi yang berlangsung.

    “Sampai saat ini, belum ada informasi terkait adanya gangguan pasokan crude [minyak mentah] untuk Pertamina,” kata Fadjar kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).

    Fadjar menekankan bahwa Pertamina tetap memiliki beberapa strategi di tengah konflik Timur Tengah. Salah satunya, mengalihkan rute jalan yang lebih aman untuk kapal jika konflik kian memanas.

    Dalam hal ini, dia menyebut, subholding Pertamina, PT Pertamina International Shipping dan PT Pertamina Patra Niaga, yang akan menganalisis dampak lebih lanjut dari konflik Timur Tengah tersebut.

    “Tentu kapal-kapal kita akan kita cek jalur pelayarannya. Jika jalur reguler berpotensi mengalami gangguan, biasanya akan kita re-route ke jalur yang lebih aman,” ucap Fadjar.

    Selain itu, Fadjar menyebut, saat ini impor minyak mentah juga terbilang lebih fleksibel sehingga tidak terlibat dengan kontrak panjang. 

    Belakangan, pasokan minyak mentah dari Timur Tengah menghadapi tantangan berat seiring dengan eskalasi konflik antara Israel dan Iran. 

    Melansir Bloomberg, Senin (16/6/2025), harga minyak berjangka Brent untuk kontrak pengiriman Agustus 2025 menguat 2,8% menjadi US$76,29 per barel pada pukul 05.30 WIB, setelah menguat 7% pada akhir pekan.

    Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juli 2025 menguat 2,7% ke US$74,95 per barel.

    Tim Analis RBC Capital Markets LLC. yang termasuk Helima Croft mengatakan, kondisi Israel dan Iran yang sama-sama menargetkan infrastruktur energi satu sama lain pada serangan hari kedua menjadi perhatian utama pelaku pasar. 

    Beberapa skenario yang memungkinkan, Israel bisa saja menyerang hub di Kharg Island milik Teheran untuk membatasi aliran minyak mentah. Sementara itu, proksi Iran bisa menyerang fasilitas di Irak.

    “Gedung Putih kemungkinan sudah mencari cara untuk membujuk PM Israel Netanyahu untuk tidak menyerang Kharg Island, mengingat hal itu bisa menghapus 90% ekspor minyak Iran,” Tim Analis RBC Capital Markets LLC. dalam catatan, dikutip dari Bloomberg.

    Tim Analis RBC melanjutkan, apabila perubahan rezim menjadi agenda utama serangan Israel kali ini, sepertinya para pemimpin di Iran tidak akan terlalu mementingkan soal pasokan minyak mentah. Adapun, krisis ini dikhawatirkan bisa berujung mengganggu aliran minyak di Selat Hormuz. 

    “Kami pikir penutupan Selat Hormuz sudah menjadi skenario [yang diperbincangkan] pelaku pasar belakangan ini,” tulis Tim Analis RBC.

  • Imbas Konflik Iran-Israel Memanas: Wall Street Anjlok, Emas & Minyak Mentah Meroket

    Imbas Konflik Iran-Israel Memanas: Wall Street Anjlok, Emas & Minyak Mentah Meroket

    Bisnis.com, JAKARTA – Bursa saham Amerika Serikat terguncang pada Jumat (13/6/2025) setelah Iran dikabarkan meluncurkan serangan balasan terhadap fasilitas nuklir Israel, memperkuat kekhawatiran bahwa konflik di Timur Tengah kian tak terkendali.

    Melansir Bloomberg, Sabtu (14/6/2025), indeks acuan S&P 500 merosot lebih dari 1%, menghapus seluruh penguatan yang dibukukan pekan ini. Saham sektor maskapai dan pariwisata anjlok, sebaliknya, saham perusahaan energi dan pertahanan menguat.

    Di sisi lain, Minyak mentah West Texas Intermediate berakhir menguat 7,55% ke US$73,18 per barel, sedangkan minyak mentah patokan Brent menguat 1,28% ke US$75,18 per barel. melejit lebih dari 7%.

    Sementara itu, harga emas menguat mendekati level tertinggi sepanjang masa. Emas di pasar spot berakhir menguat 1,37% ke US$3.432,34 per troy ounce, sedangkan harga emas berjangka Comex di AS menguat 1,48% ke US$3.452,8 per troy ounce.

    Imbal hasil obligasi pemerintah AS turun karena kekhawatiran akan lonjakan inflasi akibat harga minyak yang melonjak. Adapun indeks dolar AS menguat tipix 0,31% ke 98,138.

    Iran menembakkan ratusan rudal sebagai respons atas serangan udara Israel yang menyasar fasilitas militer dan nuklir di Teheran. Ini menjadi langkah paling ofensif yang diambil Iran sejak serangan Israel sebelumnya menewaskan sejumlah jenderal senior dan merusak infrastruktur militer vital.

    Chief Investment Officer Navellier & Associates Louis Navellier mengatakan harga minyak mentah akan paling terdampak dari melonjaknya ketegangan di Timur Tengah ini.

    “Jika kondisi ini terus berlanjut, dampaknya pada angka inflasi bisa sangat signifikan,” ungkapnya seperti dikutip Bloomberg.

    Serangan Iran terjadi saat pasar berada dalam suasana optimistis, menyusul data inflasi AS yang lebih rendah dari perkiraan serta kemajuan dalam pembicaraan dagang antara AS dan China. Namun, lonjakan harga minyak kini menghidupkan kembali kekhawatiran akan tekanan inflasi dari sisi suplai, yang berpotensi mempersulit arah kebijakan suku bunga The Fed.

    Presiden Donald Trump mendesak Iran agar kembali ke meja perundingan nuklir guna menghindari serangan lanjutan. Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengisyaratkan bahwa Israel kemungkinan akan melakukan serangan besar dalam beberapa hari ke depan sebagai bagian dari upaya menghentikan program nuklir Iran.

    Analis Plante Moran Financial Advisors Jim Baird mengatakan lonjakan harga minyak mungkin bersifat sementara jika konflik tidak meluas lebih jauh dan tetap terbatas antara Israel dan Iran.

    Namun jika konflik melebar, risiko lonjakan harga minyak yang lebih permanen dan dampaknya terhadap ekonomi global yang sedang melambat bisa semakin besar.

    “Minyak menjadi variabel liar. Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian global bisa menjadi hambatan baru bagi ekonomi,” jelasnya.

    Sebelum ketegangan meningkat, pasar sudah berspekulasi akan pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Meski ekspektasi tersebut sedikit melemah, pasar masih memperkirakan dua kali pemangkasan sebesar 25 basis poin sebelum akhir tahun.

    The Fed sendiri dijadwalkan menggelar pertemuan kebijakan pekan depan, di mana mereka diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuannya. Namun, fokus pasar akan tertuju pada proyeksi ekonomi kuartalan dan peta titik suku bunga terbaru.

    Analis pasar di Barclays Plc menyarankan investor bersiap menghadapi kejutan hawkish dari The Fed, dengan kemungkinan revisi naik pada proyeksi inflasi 2025 dan penurunan estimasi pemangkasan suku bunga.

    Indeks volatilitas VIX yang menjadi indikator kekhawatiran investor menembus level 20, ambang yang menandai pergeseran dari ketenangan ke kegelisahan pasar.

    Sebelum eskalasi geopolitik terbaru ini, reksa dana  saham AS mencatat arus keluar terbesar dalam hampir tiga bulan. Berdasarkan data EPFR Global yang dikutip Bank of America, sekitar US$9,8 miliar ditarik dari pasar saham AS dalam sepekan terakhir hingga Rabu — tertinggi dalam 11 minggu.

    Bahkan reksadana saham Eropa, yang selama ini digemari investor, mencatat arus keluar untuk pertama kalinya tahun ini.

  • Serangan Balasan Iran Dorong Harga Minyak Mentah Naik 7 Persen

    Serangan Balasan Iran Dorong Harga Minyak Mentah Naik 7 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Harga minyak melonjak 7 persen karena Israel dan Iran saling serang lewat serangan udara. Investor khawatir pertempuran itu dapat mengganggu ekspor minyak dari Timur Tengah.

    Harga minyak mentah Brent berjangka ditutup pada US$ 74,23 per barel, naik US$ 4,87 atau 7,02 persen, setelah sebelumnya melonjak lebih dari 13 persen ke level tertinggi intraday US$ 78,50, level terkuat sejak 27 Januari. Sementara minyak mentah Brent menguat 12,5 persen lebih tinggi dari seminggu yang lalu.

    Minyak mentah West Texas Intermediate AS ditutup pada US$ 72,98 per barel, naik US$ 4,94 atau 7,62 persen. Selama sesi tersebut, WTI melonjak lebih dari 14 persen ke level tertinggi sejak 21 Januari di US$ 77,62. WTI naik 13 persen ke levelnya seminggu yang lalu.

    Melansir Reuters, Sabtu (14/6/2025), kedua minyak tersebut mengalami pergerakan intraday terbesar sejak 2022, ketika invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan lonjakan harga energi.

    Israel mengatakan akan menargetkan fasilitas nuklir Iran, pabrik rudal balistik, dan camp militer. Iran pun membalas dengan serangan rudal ke beberapa wilayah Israel. Rudal Iran menghantam gedung-gedung di Tel Aviv, Israel.

    Perusahaan Penyulingan dan Distribusi Minyak Nasional Iran mengatakan, fasilitas penyulingan dan penyimpanan minyak tidak rusak dan terus beroperasi. Iran, anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC), saat ini memproduksi sekitar 3,3 juta barel per hari (bph), dan mengekspor lebih dari 2 juta bph minyak dan bahan bakar. 

    Investor khawatir  tentang gangguan di Selat Hormuz, jalur pelayaran penting. Arab Saudi, Kuwait, Irak, dan Iran memang melalui jalur tersebut untuk ekspor.

    Sekira seperlima dari total konsumsi minyak dunia melewati selat tersebut, atau sekitar 18 hingga 19 juta barel per hari (bpd) minyak, kondensat, dan bahan bakar.

  • Pertamina Cari Rute Aman, Antisipasi Dampak Konflik Panas Israel-Iran

    Pertamina Cari Rute Aman, Antisipasi Dampak Konflik Panas Israel-Iran

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Pertamina (Persero) akan memitigasi dampak dari konflik Israel dan Iran yang tengah memanas dengan melakukan pengalihan rute jalan yang lebih aman. 

    VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan hingga saat ini dampak langsung yang dirasakan terhadap harga maupun pasokan minyak belum terpengaruh. 

    “Itu kita mitigasi kan Timur Tengah memang selalu fluktuatif di sana dan sudah terjadi beberapa kali jadi kita mitigasi dengan biasanya kalau kapal kita re-route melalui rute-rute yang aman,” kata Fadjar kepada wartawan, Jumat (13/6/2025). 

    Dalam hal ini, dia menyebut Pertamina International Shipping dan PT Pertamina Patra Niaga yang akan menganalisis dampak lebih lanjut dari konflik Timur Tengah tersebut. 

    “Biasanya kalau kemaren kemaren yang beberapa konflik, biasanya caranya reroute, cari jalur pelayanan distribusi yang aman, kemudian mencari sumber-sumber negara lain yang bisa kita impor,” jelasnya. 

    Selain mitigasi dengan mengambil rute perjalanan impor minyak yang lebih aman, menurut dia, saat ini impor minyak mentah juga terbilang lebih fleksibel sehingga tidak terlibat dengan kontrak panjang. 

    “Jadi kita tidak terlibat kontrak panjang, kita bisa modifikasi kalau ada gangguan di satu titik, bisa shift misalnya dari Afrika,” ujarnya. 

    Diberitakan Bisnis, harga minyak mentah melonjak lebih dari 12% pada Jumat (13/6/2025), setelah serangan Israel ke Iran yang meningkatkan ketegangan di Timur Tengah dan memicu kekhawatiran gangguan pasokan energi global. 

    Melansir Reuters, harga minyak berjangka Brent melonjak 11,66% atau US$8,09 ke level US$77,45 per barel pada pukul 10.03 WIB, tertinggi sejak Februari 2025. Sementara itu, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik US$8,47 atau 12,45% menjadi US$76,51 per barel.

    Reli harga minyak dipicu oleh serangan Israel pada Jumat dini hari waktu setempat terhadap Iran. Media Iran juga melaporkan adanya ledakan di ibu kota Teheran. 

    Ketegangan meningkat seiring upaya Amerika Serikat untuk mencapai kesepakatan agar Iran menghentikan produksi material nuklir yang berpotensi digunakan untuk senjata atom.