Produk: West Texas Intermediate

  • Harga BBM Terbaru di SPBU Pertamina, Shell hingga Vivo: Ada yang Naik? – Page 3

    Harga BBM Terbaru di SPBU Pertamina, Shell hingga Vivo: Ada yang Naik? – Page 3

    Sebelumnya, harga minyak mentah naik pada perdagangan hari Jumat tetapi mencatat penurunan mingguan tertajam dalam tiga tahun. Kinerja mingguan harga minyak anjlok karena tidak adanya gangguan pasokan yang signifikan dari konflik Iran-Israel menyebabkan premi risiko menguap.

    Mengutip CNBC, Sabtu (28/6/2025), harga minyak mentah Brent yang menjadi patokan harga minyak dunia naik 4 sen menjadi USD 67,77 per barel. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 28 sen atau 0,43% menjadi USD 65,52 per barel.

    Selama perang 12 hari yang dimulai setelah Israel menargetkan fasilitas nuklir Iran pada tanggal 13 Juni, harga Brent naik sebentar menjadi di atas USD 80 per barel tetapi akhirnya merosot ke USD 67 per barel setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan gencatan senjata Iran-Israel.

    Brent mengakhiri minggu ini dengan penurunan 12%, minggu terburuk sejak Agustus 2022. Sedangkan untuk harga minyak mentah AS turun sekitar 11%, minggu terburuk sejak Maret 2023.

    “Pasar hampir sepenuhnya mengabaikan premi risiko geopolitik dari hampir seminggu yang lalu saat kita kembali ke pasar yang didorong oleh fundamental,” kata analis Rystad Janiv Shah.

    Ia mengatakan pasar juga mengawasi pertemuan kelompok produsen minyak OPEC+ pada 6 Juli, di mana kemungkinan besar akan ada pengumuman kenaikan produksi sebesar 411.000 barel per hari. Pelaku pasar juga tengah memantau indikator permintaan bahan bakar minyak (BBM) di musim panas.

  • Israel-Iran ‘Damai’, Harga Minyak Dunia Turun

    Israel-Iran ‘Damai’, Harga Minyak Dunia Turun

    Jakarta

    Harga minyak dunia diproyeksikan akan turun pada pekan ini menyusul gencatan senjata antara Iran dan Israel. Proyeksi ini juga didukung dengan meredanya kekhawatiran atas risiko pasokan di Timur Tengah.

    Sebagaimana dilansir dari Reuters, Jumat (27/6/2025), harga minyak mentah sendiri pada hari ini masih mencatatkan tren kenaikan dengan peningkatan permintaan bahan bakar di Amerika Serikat (AS) karena summer driving season.

    Minyak mentah Brent berjangka naik 34 sen, atau 0,5%, menjadi US$ 68,07 per barel pada pukul 01.11 GMT. Minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 33 sen, atau 0,51%, menjadi US$ 65,57 per barel.

    Minyak berjangka mencapai titik terendah dalam lebih dari seminggu pada hari Selasa, setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan gencatan senjata telah disepakati antara Iran dan Israel.

    Harga minyak naik tipis pada hari Kamis, karena data pemerintah AS menunjukkan persediaan minyak mentah dan bahan bakar minggu lalu. Hal ini juga didukung dengan aktivitas penyulingan dan permintaan meningkat.

    “Pasar mulai mencerna fakta bahwa persediaan minyak mentah tiba-tiba sangat ketat,” kata Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group.

    Turut mendukung harga minyak, indeks dolar merosot ke level terendah dalam tiga tahun. Hal ini menyusul laporan bahwa Presiden Donald Trump berencana untuk mengganti kepala Federal Reserve lebih awal, hingga memicu taruhan baru pada pemotongan suku bunga AS.

    Kondisi nilai dolar yang melemah membuat minyak lebih murah bagi pemegang mata uang lain. Kondisi ini pun akhirnya meningkatkan permintaan dan mendukung kenaikan harganya.

    Sesaat sebelum minyak stabil pada hari Kamis, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan, hasil perang Israel dengan Iran menghadirkan peluang perdamaian yang tidak boleh disia-siakan oleh negaranya. Hal ini meredakan kekhawatiran akan risiko pasokan yang berkelanjutan.

    (shc/rrd)

  • ALFI Waswas Biaya Logistik Naik Picu Konsumsi Domestik Anjlok

    ALFI Waswas Biaya Logistik Naik Picu Konsumsi Domestik Anjlok

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) mewanti-wanti risiko eskalasi konflik geopolitik antara Iran dan Israel yang mendorong kenaikan ongkos logistik internasional. Hal ini dapat berujung menekan daya beli konsumen dalam negeri. 

    Ketua Umum DPP ALFI Yukki Nugrahawan Hanafi mengatakan kondisi ini akan sangat memengaruhi kegiatan ekspor dan impor para pelaku usaha nasional karena produksi dan distribusi ke pasar makin naik. 

    “Sebab, biaya bahan baku akibat peningkatan biaya logistik dan kenaikan harga minyak akan dibebankan pada masyarakat sebagai konsumen,” kata Yukki kepada Bisnis, dikutip Jumat (27/6/2025). 

    Pihaknya melalui Institut Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI Institute) menilai bahwa konflik Israel-Iran bersifat price-sensitive dalam memengaruhi kenaikan harga acuan komoditas global, khususnya minyak dan gas.

    Meskipun kondisi konflik saat ini mulai mereda lantaran gencatan senjata yang tengah berlangsung, tetapi antisipasi tetap harus dijalankan. Terlebih berkaitan dengan rute pengiriman komoditas yang melewati Selat Hormuz dan wilayah terdekatnya. 

    “Saat ini, para pelaku usaha logistik rantai pasok telah melakukan kalkulasi risiko melewati wilayah perairan yang berdekatan dengan Selat Hormuz,” tuturnya. 

    Menurut Yukki, dengan mitigasi risiko menghindari jalur tersebut, akses dan ketersediaan logistik yang melewati perairan tersebut dapat berkurang sehingga mengganggu rantai pasok global. 

    Selain akses perairan wilayah Selat Hormuz maupun yang berdekatan yang mulai dihindari oleh para pelaku usaha logistik internasional, pelaku usaha rantai pasok global juga khawatir akan dampak lanjutan blokade Laut Merah. 

    Pasalnya, retaliasi juga dapat dilakukan oleh kelompok Houthi yang memiliki kepentingan kedekatan dengan Iran. 

    Dalam hal ini, ALFI Institute melihat perubahan jalur logistik dan kenaikan harga komoditas dapat memberikan efek ganda terhadap kenaikan ongkos logistik.

    “Blokade Selat Hormuz akan mendisrupsi pasokan minyak dan gas dunia, dimana diestimasikan 20%-30% pasokan dunia melalui wilayah tersebut,” tuturnya. 

    Apabila Selat Hormuz diblokade, permintaan dunia harus terdiversifikasi antara melalui rute baru atau mengambil pasokan migas baru dari produsen lain dunia.

    Sebagai informasi, sebelumnya sejak konflik Israel dan Iran berlangsung pada pertengahan Juni lalu, harga minyak global naik hampir 12% ke titik tertinggi dari US$69 per barel menjadi US$78 per barel, namun saat ini sudah kembali ke titik awal. 

    Berdasarkan data Reuters pada Kamis (26/6/2025) harga minyak Brent untuk kontrak pengiriman terdekat naik 54 sen atau 0,8% menjadi US$67,68 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat 55 sen atau 0,9% ke level US$64,92 per barel.

    Namun, Yukki menilai kenaikan 12% dalam waktu yang cukup singkat pada komoditas minyak dikhawatirkan akan terus meningkat jika konflik berlangsung lebih lama. 

    “Kenaikan harga minyak, jika melebihi harga asumsi APBN, maka akan memberikan tekanan terhadap kemampuan APBN merespons situasi eksternal ini,” tuturnya. 

    Selain tekanan pada APBN, ALFI Institute melihat jika konflik terus berkepanjangan dan tidak dapat diselesaikan, maka konsumsi domestik nasional dapat terpukul dan mulai terlihat dampaknya pada kuartal III/2025.

  • Pemerintah Waspadai Kenaikan Harga Minyak Imbas Perang Iran-Israel
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        25 Juni 2025

    Pemerintah Waspadai Kenaikan Harga Minyak Imbas Perang Iran-Israel Megapolitan 25 Juni 2025

    Pemerintah Waspadai Kenaikan Harga Minyak Imbas Perang Iran-Israel
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mewaspadai kenaikan
    harga minyak dunia
    imbas
    perang Iran-Israel
    .
    “Ya, pertama tentu bagi pemerintah dampak yang terkait dengan
    harga minyak
    menjadi perhatian. Tetapi kelihatannya harga minyak masih di antara 72 (per barel) itu. Relatif kita belum bisa memberikan komentar. Kita lihat saja,” ujar Airlangga usai menghadiri pernikahan anak Pramono Anung di rumah dinas gubernur Jakarta, Rabu (25/6/2025).
    Kenaikan harga minyak dunia itu bisa terjadi jika pemerintah Iran menutup Selat Hormus.
    “Kemudian kalau Selat Hormus (ditutup) tentu 30 persen daripada minyak melalui itu dan yang akan berdampak itu di Asia Tenggara karena salah satu market terbesar mereka adalah ke China,” kata Airlangga.
    Sebelumnya, 
    Harga minyak
    mentah dunia anjlok 6 persen pada akhir perdagangan Selasa (24/6/2025) waktu setempat atau Rabu (25/6/2025) pagi WIB, di tengah mencuatnya kabar gencatan senjata antara Iran dan Israel. Pasar berekspektasi gencatan senjata Iran dan Israel akan meredakan risiko gangguan pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah.
    Mengutip Reuters, harga minyak mentah Brent anjlok 6,1 persen atau 4,34 dollar AS ke level 67,14 dollar AS per barrel. Sementara minyak mentah Intermediate West Texas Intermediate (WTI) AS anjlok 6 persen atau 4,14 dollar AS ke level 64,37 dollar AS per barrel.
    “Premi risiko geopolitik yang terbentuk sejak serangan pertama Israel terhadap Iran hampir dua minggu lalu, telah sepenuhnya lenyap,” kata Tamas Varga, Analis Senior PVM Oil Associates.
    Diketahui, konflik Israel-Iran kembali memanas dan menemui babak baru ketika AS turut menyerang Iran.
    Perang Serangan udara itu dilancarkan AS pada Sabtu (21/6/2025) ke tiga fasilitas nuklir Iran, yakni Isfahan, Natanz, dan Fordow.
    Sebagai balasan, Iran menjatuhkan 19 rudal ke pangkalan militer AS di Qatar. Tercatat dari jumlah tersebut, sebanyak 18 di antaranya berhasil dicegat. Sedangkan satu rudal jatuh di area pangkalan tanpa menimbulkan korban jiwa.
    Adapun semula, konflik ini dipicu oleh serangan Israel pada Jumat (13/6/2025), yang menyasar perumahan hingga fasilitas nuklir Iran.
    Iran kemudian melakukan serangan balasan pada Sabtu (14/6/2025), yang merusak fasilitas ekonomi Israel. KBRI setempat menetapkan siaga I sejak konflik berlangsung. KBRI Muscat dan KBRI Amman telah menetapkan Siaga 1 masing-masing untuk wilayah Yaman Utara dan wilayah Israel dan Palestina.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sri Mulyani Bahas Konflik Timur Tengah saat Bertemu Menkeu Arab Saudi dan Qatar

    Sri Mulyani Bahas Konflik Timur Tengah saat Bertemu Menkeu Arab Saudi dan Qatar

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bertemu dengan Menteri Keuangan Arab Saudi Muhammad Al Jadaan dan Menteri Keuangan Qatar Ali Alkuwari. Mereka membahas terkait konflik yang tengah terjadi di Timur Tengah.

    Pembicaraan tersebut berlangsung di sela Pertemuan Tahunan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) di Beijing, China, Selasa (24/6/2025).

    “Kami membicarakan situasi perang yang sedang terjadi di Timur Tengah dan dampak pada negatif pada aspek kemanusiaan dan ketidakpastian yang diakibatkan yang akan sangat negatif pada ekonomi seluruh dunia,” ujarnya dalam unggahan Instagram @smindrawati, Rabu (25/6/2025). 

    Meski demikian, Sri Mulyani tidak membagikan lebih perinci terkait pembicaraan yang dilakukan dengan dua menteri Timur Tengah tersebut. 

    Dirinya bersama Menkeu Al Jadaan dan Menkeu Ali berharap kondisi di Timur Tengah segera mereda dan mencapai kesepakatan perdamaian untuk kepentingan seluruh umat manusia.

    Adapun, Sri Mulyani tengah berada di China sejak kemarin dalam rangka menghadiri pertemuan tahunan AIIB, sebuah lembaga keuangan multilateral dibidang pendanaan infrastruktur yang didirikan atas prakarsa Pemerintah RRT yang beranggotakan 110 negara. Indonesia termasuk negara pendiri dan anggota.

    AIIB tercatat memiliki total aset seniali US$57,1 miliar dengan jumlah loan investment mencapai US$16,6 miliar.

    Sementara itu, pecahnya perang Israel dan Iran sejak pekan lalu, serta melibatkan AS, memberikan dampak secara langsung terhadap harga minyak global dan nilai tukar.

    Kabar terkini, Trump telah mengumumkan gencatan senjata per Selasa (24/6/2025) pukul 07.00 waktu setempat. Namun, Israel dan Iran memanfaatkan waktu sebelum Selasa pagi dengan saling kirim rudal.

    Harga minyak global merosot hingga 6% setelah pasar memperkirakan gencatan senjata antara Iran dan Israel akan meredakan risiko gangguan pasokan minyak dari kawasan Timur Tengah. Namun, gencatan senjata tersebut dinilai rapuh setelah Presiden AS Donald Trump menuduh kedua belah pihak telah melanggarnya hanya beberapa jam setelah diumumkan.

    Berdasarkan data Reuters pada Rabu (25/6/2025), harga minyak mentah jenis Brent untuk kontrak Agustus turun US$4,34 atau 6,1% menjadi US$67,14 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) anjlok US$4,14 atau 6,0% ke level US$64,37 per barel. 

    Kedua harga acuan tersebut mencatat penutupan terendah masing-masing sejak 10 Juni 2025 untuk Brent dan 5 Juni 2025 untuk WTI, atau sebelum Israel melancarkan serangan kejutan terhadap fasilitas militer dan nuklir Iran pada 13 Juni 2025 lalu.

  • Ini Update Selat Hormuz saat Trump Umumkan Gencatan Senjata Iran

    Ini Update Selat Hormuz saat Trump Umumkan Gencatan Senjata Iran

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketegangan militer antara Amerika Serikat (AS) dan Iran telah memicu kekacauan lalu lintas laut di Selat Hormuz, salah satu jalur pengiriman minyak terpenting di dunia. Sebelumnya saat tensi naik akhir pekan lalu, parlemen Iran telah setuju menutup jalur perairan tersebut meski keputusan akhir masih berada di Dewan Keamanan Iran.

    Laporan Reuters yang dikutip Selasa (24/6/2025) menyebut setidaknya dua kapal tanker super telah berputar balik atau berhenti mendadak di kawasan tersebut. Data pelacakan kapal menunjukkan bahwa Coswisdom Lake, kapal pengangkut minyak mentah raksasa (VLCC), sempat mencapai Selat Hormuz pada Minggu sebelum berbalik arah ke selatan. 

    Keesokan harinya, Senin, kapal itu kembali mengubah haluan menuju pelabuhan Zirku di Uni Emirat Arab UEA). Sementara itu, tanker South Loyalty memilih tetap berada di luar selat, meski dijadwalkan memuat minyak dari terminal Basra di Irak.

    “Kami melihat penurunan 32% kapal tanker kosong yang masuk ke Teluk dalam sepekan terakhir, dan keberangkatan kapal bermuatan turun 27% dibanding awal Mei,” kata Sentosa Shipbrokers, yang berbasis di Singapura.

    Langkah hati-hati juga terlihat dari Formosa Petrochemical Corp asal Taiwan. Juru bicaranya, KY Lin, menyatakan, kapal-kapal kini hanya akan memasuki Selat Hormuz saat benar-benar mendekati waktu pemuatan untuk meminimalkan risiko.

    Tak hanya itu, perusahaan pelayaran besar asal Jepang seperti Nippon Yusen dan Mitsui O.S.K. Lines turut mengonfirmasi bahwa mereka tetap melintasi selat, namun dengan instruksi khusus untuk mempersingkat waktu di wilayah tersebut.

    Ketegangan ini bermula setelah AS memutuskan ikut serta dalam serangan Israel ke Iran. Langkah tersebut memicu kekhawatiran global bahwa Iran dapat menutup Selat Hormuz, jalur yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak dan gas dunia.

    Akibatnya, harga minyak sempat melonjak tajam. Minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) menyentuh level tertinggi dalam lima bulan pada perdagangan Senin, dengan volatilitas tinggi akibat spekulasi gangguan pasokan.

    Tarif pengiriman tanker super juga ikut terdongkrak. Data kemarin, tarif melampaui US$60.000 (Rp985 juta) per hari, lebih dari dua kali lipat dalam seminggu terakhir.

    Ancaman penutupan ini bukan yang pertama. Namun hingga kini, hal tersebut belum pernah benar-benar terjadi.

    (tfa/tfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Waswas Industri Manufaktur RI Kala Konflik Iran Vs Israel Memanas

    Waswas Industri Manufaktur RI Kala Konflik Iran Vs Israel Memanas

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku industri manufaktur Tanah Air turut mewaspadai memanasnya konflik di Timur Tengah. Eskalasi tensi geopolitik ini dikhawatirkan dapat berdampak pada gangguan rantai pasok dan meningkatnya biaya impor bahan baku.

    Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) mulai waswas dengan tren kenaikan harga minyak dunia imbas meningkatnya ketegangan konflik Iran dan Israel, serta keterlibatan Amerika Serikat (AS). Potensi lonjakan harga minyak bakal membuat harga bahan baku, seperti nafta turut melambung.

    Apalagi, pemerintah Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz, jalur vital perdagangan minyak dunia.

    “Kalau itu [harga minyak] ke angka US$80–US$100 dengan cepat, masuk ke US$80 saja itu artinya nanti semua harga petrokimia akan berubah,” ujar Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Goldman Sachs memperkirakan harga minyak mentah jenis Brent dapat melonjak sementara hingga US$110 per barel apabila arus minyak melalui Selat Hormuz—jalur vital pengiriman sekitar 20% minyak dunia—terpangkas setengahnya selama 1 bulan.

    Sejak konflik Iran-Israel yang dimulai pada 13 Juni 2025, harga minyak jenis Brent telah naik sekitar 13%, sedangkan minyak West Texas Intermediate (WTI) naik sekitar 10%. Adapun, pada perdagangan Senin (23/6/2025), harga minyak Brent berada di level US$71,48 per barel dan WTI di level US$68,51 per barel.

    Menurut Fajar, jika terjadi penutupan Selat Hormuz, potensi lonjakan harga minyak hingga US$100 per barel menjadi ancaman nyata. Hal ini juga memengaruhi harga nafta di pasar.

    Kenaikan harga minyak dapat berdampak ke harga nafta yang diproyeksi naik US$50 per ton dan polimer US$10-20 per ton. Nafta, sebagai bahan baku utama industri, sangat bergantung pada impor dari Timur Tengah.

    “Kalau nafta itu mungkin 80% lah dari sana. Meski polimer hanya 30% bergantung pada pasokan luar, gangguan suplai tetap bisa memicu kelangkaan,” ujarnya.

    Kenaikan harga tersebut dapat berdampak ke ongkos produksi barang turunan dari petrokimia, seperti plastik, kemasan, hingga tekstil.

    Dalam hal ini, pengusaha membidik pasar tradisional untuk menjaga serapan bahan baku. Menurut Fajar, pasar tradisional kemasan plastik memiliki potensi serapan 41%

    Di sisi lain, Inaplas tetap mewaspadai ancaman serbuan produk impor murah dari China yang melibas pasar domestik. Hal ini telah membuat sejumlah pabrikan gulung tikar.

    “Ini industri PET [polyethylene terephthalate] sudah ada yang tutup satu. Ini sudah mulai mengkhawatirkan juga,” tuturnya.

    Pelaku industri juga meminta pemerintah untuk lebih tegas mengatur lalu lintas impor. Apalagi, utilitas sejumlah industri nasional saat ini yang terus menurun.

    Kekhawatiran juga dirasakan oleh Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI). Ketua Umum HIMKI Abdul Sobur mengatakan, eskalasi konflik Iran-Israel berpotensi mengganggu jalur pelayaran internasional di Timur Tengah, Asia Tengah, hingga sebagian Asia Timur. 

    “Ini berdampak pada rantai pasok global, termasuk pengadaan bahan baku dan distribusi produk furnitur dan kerajinan Indonesia ke luar negeri,” kata Sobur.

    Apalagi, Sobur menuturkan bahwa bahan baku penting untuk industri furnitur masih berasal dari luar negeri, seperti lem khusus, bahan finishing, atau logam komponen. 

    Dengan adanya ketegangan geopolitik ini dipastikan mengganggu pengiriman barang karena perubahan jalur pelayaran dan kenaikan biaya asuransi logistik. 

    “Untuk itu, pelaku industri sudah mulai mencari alternatif bahan lokal dan regional [Asean] guna mengurangi ketergantungan dan menekan biaya produksi,” ujarnya. 

    Di sisi lain, dia menyoroti kenaikan biaya logistik dan risiko gangguan pasok. Menurut dia, biaya pengapalan global saat ini sudah menunjukkan kecenderungan naik dan apabila konflik berlarut, maka akan ada lonjakan lebih lanjut. 

    Dalam hal ini, dia memperkirakan akan terjadi peningkatan biaya logistik dan pengadaan bahan baku hingga 15%–20% jika konflik ini meluas dan berdampak pada distribusi kontainer global.

    Tak hanya itu, konflik panas Iran dan Israel ini juga dapat memicu fluktuasi biaya produksi karena harga energi. Terlebih, harga minyak mentah dunia sangat sensitif terhadap konflik Timur Tengah. 

    “Jika harga energi naik, maka akan ada efek domino terhadap harga resin, plastik, logistik, dan bahan pendukung lain, yang akan mendorong naiknya biaya produksi secara menyeluruh dalam industri mebel dan kerajinan nasional,” jelasnya. 

    Untuk itu, pengusaha anggota HIMKI sedang mempersiapkan dua langkah utama, pertama yaitu diversifikasi pasar ekspor, termasuk mengincar negara-negara non-tradisional di Afrika, Asia Selatan, dan Eropa Timur.

    Kedua, re-orientasi pasar domestik, karena bila ekspor melambat akibat ketegangan atau tarif tinggi, pasar dalam negeri akan menjadi buffer penting untuk menjaga keberlangsungan produksi.

    Diversifikasi Impor Bahan Baku

    Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira mengatakan, konflik geopolitik Timur Tengah bukan sekadar ancaman, tetapi peringatan keras untuk mempercepat transformasi industri nasional agar lebih tangguh dan mandiri. 

    “Ya, konflik geopolitik di Timur Tengah—khususnya ancaman atas Selat Hormuz dan Laut Merah—telah mengganggu stabilitas rantai pasok global, termasuk ke Indonesia. Hipmi melihat ini sebagai sinyal kuat untuk mempercepat resiliency supply chain nasional,” kata Anggawira kepada Bisnis, Senin (23/6/2025). 

    Bahan baku komoditas maupun energi dinilai cukup bergantung pada jalur pelayaran Timur Tengah yang membuat industri nasional sangat rentan terhadap eskalasi geopolitik.

    Menurut Anggawira, impor bahan baku berpotensi terganggu, baik dari sisi keterlambatan hingga harga yang naik tajam. Adapun, industri pengguna gas, logam, dan petrokimia menjadi yang paling terdampak. 

    “Sudah terlihat adanya peningkatan biaya asuransi pelayaran dan ketidakpastian waktu pengiriman,” jelasnya. 

    Bahkan, dia juga mencatat bahwa UMKM industri makanan dan tekstil mulai mengalami lonjakan harga bahan baku. Hal ini menekan margin dan meningkatkan risiko inflasi biaya produksi.

    “Kami mendorong diversifikasi sumber bahan baku serta pembinaan industri hulu nasional untuk mengurangi ketergantungan terhadap barang setengah jadi dari luar negeri. Saat ini adalah momentum tepat untuk memperkuat ekosistem substitusi impor berbasis produksi lokal,” jelasnya. 

    Di sisi lain, kenaikan harga minyak dunia yang dipicu situasi geopolitik saat ini juga berdampak domino terhadap harga BBM industri, logistik, dan tarif energi. Pelaku industri pengguna energi intensif seperti pupuk, baja, dan keramik mulai tertekan. 

    “Hipmi mendorong pemerintah untuk menjaga kestabilan harga energi domestik, termasuk memastikan implementasi harga gas industri yang kompetitif [HGBT] dan mempercepat pengembangan energi domestik berbasis LNG dan gas pipa,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, pengusaha saat ini melakukan strategi adaptif seperti meningkatkan buffer stock bahan baku, merancang ulang kontrak pembelian secara fleksibel, menyusun strategi lindung nilai (hedging) atas nilai tukar, menyesuaikan siklus produksi, dan mempercepat ekspansi pasar domestik dan Asean.

    Namun, pihaknya juga meminta pemerintah untuk turun tangan mempercepat substitusi impor dan penguatan industri hulu nasional, khususnya bahan baku industri, menjaga stabilisasi harga energi dan logistik melalui instrumen fiskal dan BUMN strategis. 

    Kemudian, reformasi logistik pelabuhan dan kepabeanan untuk mempercepat arus bahan baku, penguatan diplomasi ekonomi untuk membuka jalur pasok dan pasar baru, dan mendorong konsolidasi industri energi dan mineral nasional, agar kita lebih siap menghadapi risiko geopolitik global. 

  • Trump Panik Harga Minyak Melonjak Pasca AS Serang Iran, Selat Hormuz Jadi Titik Kritis

    Trump Panik Harga Minyak Melonjak Pasca AS Serang Iran, Selat Hormuz Jadi Titik Kritis

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mendesak produsen energi untuk menurunkan harga minyak mentah setelah serangan militer AS terhadap Iran.

    Melansir Bloomberg pada Selasa (24/6/2025), desakan tersebut dikeluarkan di tengah kekhawatiran bahwa konflik Timur Tengah yang memburuk dan potensi gangguan pasokan akan memperpanjang reli harga di pasar minyak global.

    “Semuanya, jaga harga minyak tetap rendah. Saya memantau! Jangan mainkan Senjata musuh, Jangan lakukan itu!” tulis Trump melalui media sosial pada Senin waktu setempat.

    Dalam unggahan lanjutan, Trump juga memerintahkan Departemen Energi untuk segera meningkatkan produksi. “Bor, saatnya bor!!! dan saya maksudkan sekarang juga!!!” ujarnya.

    Menanggapi perintah tersebut, Menteri Energi AS Chris Wright melalui platform X, mengatakan bahwa upaya tersebut telah dimulai.

    Unggahan Trump di media sosial menunjukkan bahwa tekanan dari potensi lonjakan harga minyak — dan dampaknya terhadap ekonomi domestik — mulai membebani pemerintahannya. 

    Sebelumnya, Trump sempat memuji penurunan harga minyak, meski hal itu sempat memicu ketidakpuasan dari para eksekutif energi yang mendanai kampanye pilpres 2024-nya.

    Namun, Trump memiliki opsi terbatas untuk menahan lonjakan harga di dalam negeri. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan cadangan strategis minyak AS, tetapi saat ini stok tersebut telah susut menjadi sekitar 400 juta barel — hanya setengah dari kapasitas maksimumnya.

    Sejumlah analis juga memperingatkan bahwa sekalipun cadangan tersebut dilepas ke pasar, dampaknya tidak akan cukup untuk menggantikan potensi kehilangan jutaan barel minyak per hari jika Iran benar-benar menebar ranjau laut di Selat Hormuz untuk mengganggu jalur pelayaran.

    Tutup Selat Hormuz

    Sementara itu, Iran memperingatkan keputusan Trump untuk ikut serta dalam serangan militer Israel dengan menyerang tiga fasilitas nuklir utama di negaranya akan memicu aksi balasan. Militer Iran menyatakan akan memberikan respons yang proporsional terhadap serangan AS.

    Salah satu langkah balasan yang paling dikhawatirkan adalah penutupan Selat Hormuz — jalur strategis di muara Teluk Persia yang dilintasi sekitar seperempat perdagangan minyak laut dunia.

    Meski fokus utama tertuju pada Selat Hormuz, potensi serangan balasan Iran juga dikhawatirkan dapat menyasar infrastruktur lain yang penting bagi pengolahan dan pengiriman minyak di kawasan. 

    Colby Connelly, peneliti senior di Middle East Institute mengatakan, sekitar 70%–75% minyak mentah, kondensat, dan produk hasil olahan dari Teluk mengalir melalui sembilan fasilitas utama yang berisiko menjadi titik hambatan.

    Penasihat ekonomi utama Gedung Putih, Kevin Hasset menyebut bahwa pasar minyak masih terlihat stabil.

    “Untuk saat ini belum ada tanda-tanda gangguan serius,” katanya.

    Namun, kenaikan harga minyak — termasuk bensin dan bahan bakar jet — berisiko menekan daya beli konsumen AS yang sebelumnya sudah terbebani inflasi. Kondisi ini juga bisa berdampak secara politik terhadap Trump dan Partai Republik menjelang pemilu.

    Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak mentah bisa melampaui US$130 per barel, menurut perkiraan Bloomberg Economics. 

    Sekretaris Pers Gedung Putih Karoline Leavitt menyatakan bahwa pemerintah AS sedang memantau secara aktif dan cermat situasi di Selat Hormuz serta memperingatkan bahwa rezim Iran akan bodoh jika benar-benar mengambil langkah tersebut.

    Harga minyak global saat ini tercatat sekitar 10% lebih tinggi dibandingkan posisi sebelum Israel menyerang Iran awal bulan ini. Namun, pada perdagangan Senin, pasar mulai memangkas kenaikan tersebut seiring meredanya kekhawatiran akan gangguan pasokan dalam waktu dekat. 

    Harga minyak jenis Brent sempat melonjak ke level US$81,40 per barel, sebelum turun kembali ke bawah US$77. Menurut Connelly, lonjakan harga saat ini lebih mencerminkan reaksi pasar terhadap potensi gangguan pasokan ketimbang kehilangan pasokan riil. 

    “Namun, dampaknya mulai terasa di sejumlah wilayah, dan prospek makroekonomi global akan tertekan jika situasi ini berlangsung lebih lama — bahkan tanpa gangguan pasokan yang nyata,” ujar Connelly.

    Meski Trump telah mendorong peningkatan pengeboran domestik, langkah tersebut tidak serta-merta mampu mendorong produksi baru. Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku industri energi AS cenderung enggan melakukan ekspansi besar-besaran karena harga minyak West Texas Intermediate (WTI) sempat berada di bawah biaya produksi di beberapa lokasi.

    Secara umum, perusahaan minyak lebih cenderung mengambil keputusan investasi berdasarkan proyeksi harga jangka panjang ketimbang lonjakan harga sesaat akibat ketegangan geopolitik.

    Bahkan sebelum serangan AS terhadap Iran terjadi, pejabat pemerintahan Trump sudah membahas kemungkinan gangguan pasokan minyak yang bisa memicu lonjakan harga, termasuk opsi-opsi mitigasinya.

  • Pengamat Ramal Harga Minyak Bisa Tembus US5 per Barel Jika Selat Hormuz Ditutup

    Pengamat Ramal Harga Minyak Bisa Tembus US$145 per Barel Jika Selat Hormuz Ditutup

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat memproyeksikan harga minyak dunia bisa melambung ke level US$145 per barel jika Iran menutup Selat Hormuz. Hal ini tak lepas dari terganggunya jalur pengiriman minyak dunia.

    Selat Hormuz merupakan jalur pelayaran penting bagi pengiriman minyak. Menurutnya, 20% pengiriman minyak dan gas (migas) dunia melalui selat tersebut.

    Pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai jika selat tersebut resmi ditutup imbas memanasnya konflik di Timur Tengah, bakal terjadi disrupsi pasokan global. Apalagi, Iran memiliki kontribusi sekitar 5% terhadap pasokan minyak global.

    Yayan berpendapat, disrupsi pasokan minyak imbas ditutupnya Selat Hormuz bakal lebih dalam dibanding efek dari perang Rusia-Ukraina pada 2022.

    “Kemungkian disrupsinya sekitar 3% hingga 4%, kemungkinan harga minyak jika Selat Hormuz ditutup harga bisa di kisaran US$100 hingga US$145 per barel,” ucap Yayan kepada Bisnis, Senin (23/6/2025).

    Adapun, dilansir dari Reuters, harga minyak dunia sudah mulai bergejolak. Bahkan, melonjak ke level tertinggi sejak Januari 2025 pada perdagangan pagi ini, Senin (23/6/2025).

    Tercatat, harga minyak jenis Brent untuk kontrak pengiriman terdekat naik US$1,92 atau 2,49% menjadi US$78,93 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$1,89 atau 2,56% ke posisi US$75,73 per barel.

    Kendati demikian, proyeksi kenaikan harga minyak tersebut bakal bergantung pada berapa lama Selat Hormuz ditutup. Menurutnya, semakin lama selat itu ditutup, semakin parah jika efeknya.

    Dia menilai efek buruk penutupan Selat Hormuz, bahkan bakal menimpa Iran sendiri.

    “Selat Hormuz vital tak hanya untuk perdagangan internasional, tapi bagi Iran sendiri untuk melakukan aktivitas perdagangan internasional. Kalau tutup dalam jangka panjang itu enggak baik bagi ekonomi Iran,” jelas Yayan.

    Yayan berpendapat hal tersebut pun bakal berdampak bagi Indonesia, yakni harga BBM bisa naik. Oleh karena itu, dia mengingatkan agar pemerintah dan para pemangku kepentingan mulai mencari pasokan minyak mentah tak hanya dari Timur Tengah.

    “Strateginya kita kan sudah ada hubungan dagang dengan AS, saya kira harus kita akselerasi impor BBM dari AS atau negara lainnya,” ucap Yayan.

    Sementara itu, Founder & Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menilai harga minyak bisa melonjak jika eskalasi di Timur Tengah kian meluas. Artinya, jika konflik meluas dan tak hanya melibatkan Israel, Iran, dan AS, maka harga minyak bisa melambung.

    Namun, jika konflik itu masih terbatas, harga minyak perlahan akan kembali turun.

    “Kalau terbatas, perlahan harga akan kembali turun ke fundamentalnya di kisaran US$60-US$70 per barel. Kalau perang meluas, ya tidak ada yang tahu berapa batas atasnya,” kata Pri Agung.

    Selat Hormuz merupakan salah satu jalur laut yang paling penting bagi lalu lintas pasokan minyak dunia. Di satu sisi, pemerintahan Iran sedang dalam pembahasan untuk menutup selat tersebut.

    Penutupan ini telah dibahas oleh Parlemen Republik Islam Iran pada Minggu (22/6/2025), di mana mereka telah menyetujui usulan penutupan Selat Hormuz bagi seluruh kegiatan pelayaran.

    Selat Hormuz, yang terletak di antara Oman dan Iran, menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab. Selat ini memiliki panjang hampir 161 kilometer (km) dan lebar 34 km pada titik tersempitnya, dengan jalur pelayaran di setiap arah hanya selebar 3 km.

    Selat Hormuz cukup dalam dan lebar untuk dilalui kapal tanker minyak mentah terbesar di dunia dan merupakan salah satu jalur minyak paling penting di dunia.

    Volume minyak yang mengalir melalui selat ini sangat besar. Jika selat ditutup, hanya sedikit jalur alternatif perdagangan minyak yang tersedia.

    Berdasarkan data U.S. Energy Information Administration (EIA), pada 2024, aliran minyak melalui Selat Hormuz rata-rata mencapai 20 juta barel per hari (bph), atau setara dengan sekitar 20% dari konsumsi minyak bumi global.

  • AS Panik, Desak China Bujuk Iran Tak Tutup Selat Hormuz

    AS Panik, Desak China Bujuk Iran Tak Tutup Selat Hormuz

    GELORA.CO -Amerika Serikat (AS) meminta bantuan China untuk mencegah penutupan Selat Hormuz oleh Iran.

    Hal tersebut dikatakan Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, setelah Press TV milik pemerintah Iran melaporkan parlemen negaranya telah menyetujui rencana untuk menutup selat yang sangat strategis tersebut. 

    Selat Hormuz merupakan salah satu rute pelayaran terpenting di dunia. Sekitar 20 persen pasokan minyak dan gas dunia diketahui melintas di perairan itu.

    “Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka (Iran) mengenai hal itu, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka,” kata Rubio dalam wawancara dengan Fox News, dikutip Senin 23 Juni 2025.

    Permintaan ini dilontarkan AS karena China memiliki hubungan dekat dengan Teheran. Negara ini juga diketahui membeli lebih banyak minyak dari Iran daripada negara lain, dengan jumlah 1,8 juta barel per hari bulan lalu.

    Gangguan terhadap pasokan minyak dinilai akan berdampak besar bagi perekonomian Negeri Tirai Bambu.

    “Jika mereka (menutup Selat), itu akan menjadi bunuh diri ekonomi bagi mereka (China). Dan kita masih memiliki pilihan untuk mengatasinya, tetapi negara-negara lain juga harus mempertimbangkannya. Itu juga akan merugikan ekonomi negara lain jauh lebih parah daripada ekonomi kita,” tandasnya.

    Harga minyak dunia sendiri tercatat telah melonjak sejak AS terlibat dalam perang yang kian memanas antara Israel dan Iran.

    Mengutip dari Investing.com, harga minyak mentah berjangka Brent hari ini tercatat melonjak 2,44 persen menjadi 78,89 Dolar AS per barel.

    Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal AS ikut naik 2,53 persen menjadi 75,71 Dolar AS per barel.