Produk: vitamin

  • Tips Cegah Batuk Flu Anak Saat Musim Pancaroba Tanpa Obat

    Tips Cegah Batuk Flu Anak Saat Musim Pancaroba Tanpa Obat

    Jakarta

    Musim pancaroba, di mana ketika cuaca berubah-ubah kerap menjadi momen yang rawan bagi anak terkena batuk dan flu. Kondisi ini bisa membuat orang tua khawatir, apalagi jika anak mudah terserang penyakit.

    Untuk mencegah anak terkena batuk dan flu, ada sejumlah pencegahan yang dapat dilakukan, tanpa harus minum obat. Dengan pola hidup sehat dan menjaga kebersihan, risiko batuk dan flu bisa diminimalisir.

    Tips Cegah Batuk Flu Anak Saat Musim Pancaroba Tanpa Obat

    Untuk mencegah batuk dan flu saat musim pancaroba, tingkatkan sistem kekebalan tubuh anak dengan memberi nutrisi seimbang hingga melakukan aktivitas olahraga. Penting juga untuk menjaga kebersihan untuk meminimalisir penularan penyakit.

    1. Berikan Nutrisi Seimbang

    Dikutip dari laman Families Fighting Flu, sistem kekebalan tubuh yang kuat bisa membantu anak melawan penyakit secara lebih efektif. Salah satu cara untuk menguatkan sistem kekebalan tubuh adalah dengan memberikan nutrisi yang tepat.

    Berikan makan seimbang yang kaya buah, sayur, protein rendah lemak, dan biji-bijian utuh. Vitamin C, yang terdapat dalam buah seperti jeruk, stroberi, dan paprika dan Vitamin D, yang ada di telur, susu, dan sereal bisa mendukung fungsi kekebalan tubuh.

    2. Pastikan Anak Mendapatkan Tidur yang Cukup

    Anak-anak membutuhkan jam tidur yang disesuaikan dengan usianya. Dikutip dari laman Connection Academy, umumnya, anak dengan usia pra sekolah disarankan untuk tidur 10-13 jam, anak sekolah dasar 9-12 jam, dan sekolah menengah pertama dan di atas 8-10 jam.

    3. Jaga Kebersihan

    Anak-anak sering menyentuh wajah mereka. Sehingga, virus mudah masuk ke tubuh melalui mata, hidung, atau mulut. Ajarkan anak untuk mencuci tangan, seperti saat sebelum makan, setelah batuk atau bersin, setelah menggunakan toilet, dan setelah berada di tempat umum.

    Jika sabun dan air tidak tersedia, gunakan pembersih tangan berbahan dasar alkohol dengan kadar minimal 60 persen. Tapi, ingatkan anak-anak untuk mencuci tangan dengan benar sesegera mungkin.

    4. Kurangi Stres

    Dikutip dari laman IOWA Health Care, meningkatkan hormon stres bisa menyebabkan penurunan kekebalan tubuh. Berikan anak-anak banyak waktu untuk beristirahat dan bermain kreatif untuk membantu menurunkan tingkat stres dan mencegah mereka jatuh sakit.

    5. Hindari Berbagi Barang yang Mengandung Kuman

    Berbagi barang yang sering digunakan bersama bisa menjadi tempat berkembang biaknya kuman. Ajari anak untuk tidak berbagi sedotan, gelas, atau menggunakan barang apapun yang bersentuhan dengan mulut atau wajah mereka.

    6. Lakukan Aktivitas Fisik

    Olahraga sedang secara teratur juga bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh anak. Ada penelitian yang menunjukkan bahwa berolahraga intensitas sedang bisa mengurangi frekuensi pilek. Dikutip dari laman WebMd, aktivitas tersebut mencakup hal-hal seperti berjalan kaki 20-30 menit setiap hari atau bersepeda beberapa kali dalam seminggu.

    7. Batasi Kontak dengan Orang Sakit

    Dikutip dari laman Hopkins Medicine, jika memungkinkan, batasi kontak anak dengan orang yang terinfeksi. Selain itu, minta anak untuk memakai masker saat berkontak dengan banyak orang.

    Apakah Anak Perlu Diberikan Vaksin Influenza?

    Dikutip dari laman Healthy Children, setiap anak usia 6 bulan ke atas memerlukan vaksin influenza setiap tahun. Menurut Prof dr Cissy B. Kartasasmita, PhD., MSc.m Sp.A (K), dalam laman Kementerian Kesehatan, sekitar 20-30 persen influenza terjadi pada anak-anak, sementara pada orang dewasa hanya 5-10 persen. Sehingga, vaksin influenza direkomendasikan berbagai badan kesehatan dunia, seperti World Health Organization (WHO), American Academy of Pediatrics (AAP), Centers for Disease Control and Prevention (CDC), dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).

    Vaksinasi influenza bisa menurunkan laju infeksi, perawatan rumah sakit, dan kematian anak-anak. Menurut dr Cissy, dengan melakukan vaksinasi, berarti anak sudah terlindungi dari virus. Tak hanya orang tua, keluarga, atau teman si anak juga akan terlindungi.

    (elk/tgm)

  • Batas Waktu Aman Minuman Botol Setelah Dibuka Menurut BPOM, Jangan Sampai Salah

    Batas Waktu Aman Minuman Botol Setelah Dibuka Menurut BPOM, Jangan Sampai Salah

    Jakarta

    Siapa yang pernah mengonsumsi minuman kemasan botol, lalu menyimpan sisanya dalam kulkas? Kebiasaan ini cukup umum dilakukan masyarakat ketika minuman belum habis dan rasanya masih enak.

    Sayangnya, tidak banyak orang tahu menyimpan minuman botol terlalu lama setelah dibuka bisa memengaruhi kualitasnya. Lantas, berapa lama batas waktu aman yang dianjurkan?

    Berapa Batas Waktunya?

    Pakar teknologi pangan sekaligus Ketua Umum Pergizi Pangan Prof Dr Ir Hardinsyah, MS menjelaskan ketahanan minuman botol tergantung dari jenis minuman yang disimpan, serta penanganan minuman selama produksi. Menurutnya, minuman-minuman botol yang sudah dibuka sebaiknya tidak dikonsumsi lebih dari 2 hari setelah dibuka.

    “Tapi kalau dia misalnya minum teh dalam botol merknya apapun terserah, di kulkas paling maksimum 2 hari,” kata Prof Hardinsyah ketika dihubungi detikcom.

    “Kalau susu harus dalam 24 jam, itu dihabiskan jangan disimpan lagi, kalau sudah dibuka gampang tercemar bakteri,” sambungnya.

    Risiko Kontaminasi

    Minuman botol yang sudah dibuka lebih rentan terkontaminasi. Risiko kontaminasi semakin besar, ketika minuman botol diminum langsung melalui mulut. Menurut Prof Hardinsyah, bakteri yang ada di mulut bisa berpindah ke dalam minuman.

    “Iya (kalau sudah dibuka rentan kontaminasi), apalagi langsung menempel ke bibir kan, di bibir kita kan banyak bakteri. Kecuali mungkin pakai sedotan, terus sedotannya dibuang ya terus sisanya taruh di kulkas ya mungkin (lebih rendah risiko kontaminasinya),” jelasnya.

    “Tapi kalau susu tetap sebaiknya hari itu juga, kalau air putih, teh, masih bisa bertahan 2 hari lah,” tambah Prof Hardinsyah.

    Jenis Minuman yang Rentan Kontaminasi

    Prof Hardinsyah menuturkan jus dan susu, menjadi dua jenis minuman yang paling rentan mengalami kontaminasi. Selain itu, minuman-minuman yang mengandung santan juga rentan kontaminasi dan lebih cepat menurun kualitasnya setelah kemasan dibuka.

    Ketika kualitas menurun, maka ini akan memengaruhi rasa dan bahkan menurunkan nutrisinya, meski dalam jumlah yang cenderung kecil.

    “Selain perubahan cita rasa, bisa berpengaruh pada kandungan vitamin, seperti vitamin B. Ini terjadi kalau minuman tadi diletakkan di suhu ruangan tanpa pendingin,” tandasnya.

    Aturan BPOM Soal Batas Aman Minuman Botol

    Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI tidak menjelaskan secara spesifik aturan batas aman minuman botol setelah dibuka.

    Meski demikian, BPOM melalui Pedoman Label Pangan Olahan mewajibkan produsen untuk mencantumkan keterangan cara penyimpanan dan batas waktu keamanan produk setelah dibuka. Ini lebih dikhususkan pada produk pangan yang tidak habis dalam sekali konsumsi.

    Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui masa simpan produk pangan, termasuk minuman, setelah kemasan dibuka.

    “Susu pasteurisasi, petunjuk penyimpanan, selalu simpan dalam suhu 0,4 derajat celsius. Setelah dibuka, sebaiknya dikonsumsi dalam waktu 4 hari,” tulis BPOM mencontohkan label yang dipasang pada kemasan.

    Perlu diingat, memerhatikan label kedaluwarsa sama pentingnya. Makanan atau minuman kedaluwarsa yang dikonsumsi dapat memicu berbagai masalah kesehatan, salah satunya keracunan makanan yang memicu gangguan pencernaan.

    (avk/tgm)

  • Ini Tanda Minyak Goreng Bekas Sudah Melebihi Batas Aman Menurut Dokter

    Ini Tanda Minyak Goreng Bekas Sudah Melebihi Batas Aman Menurut Dokter

    Jakarta

    Tak sedikit orang menganggap minyak hasil penggorengan yang masih sisa sayang untuk dibuang. Akhirnya, minyak goreng digunakan berulang kali sampai warnanya menghitam atau bahkan habis diserap makanan yang digoreng.

    Penting untuk mengetahui tanda minyak goreng sudah melebihi batas aman. Begini penjelasan lengkap dari dokter gizi.

    Tanda Minyak Bekas Melebihi Batas Aman

    Dokter spesialis spesialis gizi klinik dr Raissa E Djuanda, M.Gizi, SpGK menjelaskan ada beberapa tanda fisik pada minyak yang sudah melewati batas aman. Tanda yang paling nampak seperti warnanya yang berubah gelap dan menghasilkan bau tengik.

    “Selain itu, tandanya menghasilkan asap berlebihan saat dipanaskan, lalu tekstur minyak menjadi lebih kental, lalu berbusa saat dipanaskan,” kata dr Raissa ketika dihubungi detikcom.

    “Selain itu, juga terdapat endapan atau sisa makanan hangus dan makanan juga menjadi cepat gosong,” sambungnya.

    Dampak Minyak Bekas pada Kesehatan

    dr Raissa menjelaskan penggunaan minyak bekas secara berulang dapat memengaruhi kesehatan. Kebiasaan ini dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit, khususnya pada sistem kardiovaskular.

    Menurutnya, ini disebabkan oleh kandungan lemak trans yang terbentuk ketika minyak dipakai berulang kali.

    “Minyak jika dipakai berulang kali akan berubah jadi minyak trans. Lemak trans adalah jenis lemak jahat yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, stroke, dan masalah kesehatan lainnya,” jelasnya.

    Selain itu, berikut beberapa dampak yang bisa ditimbulkan dari penggunaan minyak goreng secara berulang:

    1. Meningkatkan Kadar Asam Lemak

    Peneliti dari Prodi Teknologi Laboratorium Medis Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Vella Rohmayani, menuturkan penggunaan minyak goreng sebaiknya hanya digunakan dua kali. Vella menuturkan penggunaan minyak secara berulang dapat meningkatkan kadar asam lemak dan berdampak pada kesehatan.

    “Berdasarkan hasil penelitian, kadar asam lemak yang terkandung dalam minyak goreng yang sudah dipakai lebih dari dua kali melebihi ambang batas normal yaitu sebesar 0,30 persen,” katanya dikutip dari laman resmi UM Surabaya.

    Ia menambahkan, penggunaan minyak goreng secara berulang juga memengaruhi nilai gizi makanan dan memicu oksidasi. Reaksi oksidasi yang terjadi pada minyak goreng membuat makanan berbau tengik, berwarna tak menarik, tidak enak, serta merusak beberapa vitamin dan asam lemak esensial yang terkandung dalam minyak.

    “Selain itu, reaksi oksidasi juga memicu terbentuknya radikal bebas yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan sel dan jaringan tubuh ketika kita mengonsumsi makanan yang diolah menggunakan minyak goreng bekas,” sambungnya.

    3. Meningkatkan Kolesterol

    Minyak yang dipakai berulang kali dapat meningkatkan kadar kolesterol dalam makanan. Ini belum ditambah kandungan asam lemak trans pada minyak yang biasanya ditandai dengan warna yang menghitam.

    “Semakin warnanya pekat dan menghitam, maka semakin tinggi kandungan asam lemak transnya. Lebih baik gunakan hanya satu kali, jangan berulang-ulang, apalagi sampai warnanya menghitam,” tandas Vella.

    Sebagai tambahan, tidak disarankan juga mencampurkan minyak goreng bekas dan baru. Dikutip dari Scientific India, minyak goreng bekas mengalami oksidasi dan polimerisasi dari pemanasan berulang. Proses tersebut menghasilkan senyawa-senyawa aldehida, peroksida, dan radikal bebas yang bebahaya.

    Dalam sebuah studi pada tahun 2019, peneliti di Iran menemukan 66 persen restoran cepat saji mencampurkan minyak baru ke dalam minyak lama di penggorengan. Mereka menemukan sebagian besar minyak yang digunakan sudah sangat terdegradasi dengan nilai p-anisidin (p-AV) sebagai indikator oksidasi, sangat tinggi. Ini menunjukkan kerusakan minyak tetap akan mendominasi, meski sudah ditambah minyak baru.

    “Semua sampel minyak bekas yang diuji menunjukkan tingkat kerusakan yang sangat tinggi berdasarkan nilai p-anisidin (p-AV) dan TPC (Total Polar Compounds). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara parameter ketengikan minyak (rancidity), penambahan minyak baru (replenishment), penyaringan, dan frekuensi penyaringan,” tulis peneliti.

    (avk/tgm)

  • Belajar Cara Aman Mendaki dari Sherpa di Himalaya

    Belajar Cara Aman Mendaki dari Sherpa di Himalaya

    Jakarta

    Para Sherpa, sejak lama digambarkan sebagai “manusia super” yang berperan sebagai pemandu dan porter di Gunung Everest. Mereka menghadapi banyak bahaya di gunung dan kini mulai berbagi kisah dari sudut pandang mereka. Adakah cara meminimalisir risiko pekerjaan mereka?

    Radio di Posko Utama Gunung Everest sempat berbunyi, lalu hening.

    Dorchi Sherpa, pemimpin posko saat itu, menempelkan alat itu ke telinganya, berusaha mendengar siaran lain.

    Di luar tendanya, siluet besar pegunungan Himalaya terlihat di langit fajar.

    Tenda-tenda ekspedisi tersebar di punggung bukit berbatu di bawahnya, ramai dengan aktivitas pada tanggal 22 Mei, hari tersibuk musim pendakian semi 2024.

    “Saat mendengar transmisi terakhir itu, hati saya mencelos,” kata Dorchi pada saya kemudian, wajahnya serius mengingat kejadian itu. “Cuaca cerah, tapi jelas ada sesuatu yang salah di atas sana.”

    Pesan yang terputus-putus itu adalah panggilan darurat terakhir dari Nawang Sherpa, pemandu berusia 44 tahun. Ia sedang memimpin Cheruiyot Kirui, seorang pendaki asal Kenya, menuju puncak gunung tertinggi di dunia itu.

    Para pemandu dan porter terkenal di Himalaya ini, seringkali salah digambarkan sebagai “manusia super”, seolah-olah mereka tidak terpengaruh oleh ketinggian, usaha keras, dan kekurangan oksigen.

    Namun, prestasi legendaris mereka di Everest datang dengan pengorbanan besar, seperti yang diungkap dalam banyaknya penelitian, serta wawancara dengan para pendaki, dokter, dan pejabat setempat.

    Jadi, apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal 22 Mei 2024dan apa yang diungkapkannya tentang perjuangan yang lebih besar terkait kesehatan dan kesejahteraan Sherpa?

    ‘Klien kelihatan tidak sehat’

    Seperti kebanyakan tragedi di Everest, kejadian ini bermula dari ambisi, dan bagi si pemandu, kebutuhan ekonomi.

    Nawang Sherpa, yang bekerja untuk perusahaan trekking asal Nepal, memulai pendakian terakhirnya menuju puncak Everest bersama Kirui.

    Istilah “Sherpa”, yang kini sering digunakan sebagai sebutan pekerjaan untuk pemandu di Himalaya, sebenarnya merujuk pada kelompok etnis dari dataran tinggi timur Nepal.

    Nawang Sherpa, dan orang-orang lain dengan nama keluarga Sherpa yang disebutkan dalam artikel ini, termasuk dalam kelompok etnis tersebut, selain juga bekerja sebagai pemandu.

    Sejak kegiatan pendakian gunung dimulai di wilayah itu, orang-orang Sherpa telah membawa beban terberat di Gunung Everest, mulanya untuk penjelajah kolonial, dan kemudian, untuk para turis.

    Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang selalu membawa beban terberat dalam setiap pendakian.

    Kirui berusaha bergabung dengan kelompok pendaki yang mencapai puncak tanpa bantuan oksigen tambahan.

    Sejak 1953, ketika Everest pertama kali didaki, hanya sekitar 2% dari semua pendakian yang sukses hingga ke puncak, menurut catatan dari Himalayan Database.

    Dalam unggahan media sosialnya sebelum ekspedisi, Kirui menunjukkan kegembiraannya mencoba pendakian “murni” ini, setelah sebelumnya berhasil mendaki gunung lain tanpa bantuan oksigen.

    Tantangan mendaki tanpa peralatan pendukung, jelas merupakan batas petualangan baru bagi pendaki gunung berpengalaman itu.

    Pada saat-saat kritis di ketinggian gunung, ketika tabung oksigen dibutuhkan, masih belum jelas apakah penolakannya adalah pilihan yang disengaja sesuai dengan ambisi yang ia inginkan, atau apakah penilaiannya sudah terganggu karena dampak ketinggian.

    Dorchi Sherpa, manajer posko utama, menerima transmisi radio dari Nawang saat mereka mencapai ketinggian 8.800 meter.

    Pada ketinggian itu, yang oleh para pendaki disebut zona kematian, tubuh manusia mulai mati. Dengan tekanan atmosfer sepertiga dari permukaan laut, napas mulai sulit dan hanya memberikan sedikit oksigen untuk mempertahankan fungsi dasar tubuh.

    “Kliennya sepertinya tidak sehat,” suara Nawang Sherpa berderak sampai ke Posko Utama pada pukul 08:07, gangguan angin membuat kata-katanya terputus-putus saat ia melapor kepada Dorchi.

    “Oksigen,” jawab Dorchi Sherpa segera. “Pasangkan dia oksigen dan mulailah turun.”

    Menurut Dorchi Sherpa, Nawang memohon kepada Kirui selama beberapa menit untuk menerima tabung oksigen tambahan dari ranselnya.

    Kirui menolak, kata Dorchi. “Tidak pakai oksigen,” ia mengulang dengan gelisah. “Tidak pakai oksigen.”

    Pada pukul 09:23, ketika suara Nawang Sherpa kembali melalui radio, ketakutan telah menggantikan kekhawatiran. “Tidak bisa menggerakkannya,” lapornya. “Dia jadi… marah. Saya tidak bisa menyeretnya turun sendirian.”

    Selama dua jam berikutnya, Kirui menolak oksigen tambahan meski Nawang Sherpa mendesaknya berulang kali untuk menggunakannya, menurut Dorchi Sherpa.

    Meskipun menunjukkan tanda-tanda jelas penyakit ketinggian, termasuk merasa linglung dan bicara cadel, pendaki Kenya itu tetap bertekad untuk melanjutkan pendakiannya tanpa oksigen tambahan.

    Getty ImagesPara pendaki jalan beriringian menuju puncak Everest.

    Jalan buntu ini berujung fatal. Kedua pria itu meninggal di Everest. Jasad mereka masih di sana: jasad pendaki Kenya itu tetap berada di lokasi terakhir ia terlihat, sementara jasad Nawang belum ditemukan.

    Tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi pada saat-saat terakhir yang krusial itu dan kemungkinan besar, kita tidak akan pernah tahu.

    Tentu saja, semua orang memulai perjalanan dengan niat terbaik. Kekasih Kirui, Nakhulo Khaimia, menggambarkan perjalanan itu sebagai impian lama baginya, yang telah ia persiapkan dengan cermat.

    “Dia mencurahkan waktu, energi, dan seluruh hidupnya untuk itu,” katanya. “Kehidupannya berputar pada persiapan untuk Everest.”

    James Muhia, yang tidak ikut dalam ekspedisi Everest tetapi pernah mendaki gunung lain bersama Kirui tanpa oksigen, mengatakan ia percaya temannya membawa tabung oksigen untuk digunakan dalam keadaan darurat.

    “Apakah dia menggunakan tabung darurat itu atau tidak, kita tidak tahu,” katanya.

    Sementara itu, Nawang adalah pemandu gunung berpengalaman yang belum pernah mencapai puncak Everest sebelumnya, tetapi telah mencapai puncak-puncak tinggi lainnya di Himalaya, menurut keluarganya.

    Namun, mereka yang bekerja di gunung, memperingatkan sejumlah faktor, termasuk kondisi kerja para Sherpa, dapat membuat situasi mematikan semacam ini menjadi sangat rumit, dan sulit diselesaikan dengan aman.

    Sorotan kepada Sherpa

    Menurut Sanu Sherpa, seorang pemandu veteran yang memegang rekor sebagai satu-satunya orang yang telah mencapai puncak ke-14 gunung dengan ketinggian 8.000 mdpl sebanyak dua kali, kematian Nawang bukanlah tragedi yang tiba-tiba terjadi, melainkan pola yang dapat diprediksi dalam pendakian gunung.

    Saya berbicara dengan Sanu Sherpa di apartemennya di Kathmandu, saat ia sedang bersiap untuk pendakian ke-45. Meskipun telah dua kali mendaki ke-14 gunung tertinggi di dunia, ia tidak berbicara tentang kepuasan pribadi melainkan tentang kewajiban profesional.

    “Saya tidak berpikir Nawang ceroboh atau bodoh,” katanya. “Dia melakukan persis seperti apa yang telah kami pelajari dalam pelatihan untuk bertanggung jawab hingga akhir. Tragedi ini bukan hanya karena dia meninggal, tetapi karena kematian adalah pilihan yang paling tepat secara profesional yang bisa dia buat.”

    Getty ImagesIlustrasi: Sherpa yang membawa barang-barang pendaki.

    Di Everest dan puncak-puncak Himalaya lainnya, tragedi yang melibatkan Sherpa seperti ini terjadi setiap tahun dengan sedikit perhatian publik, kata Sanu Sherpa. Ini menciptakan daftar panjang pengorbanan yang dilakukan demi ambisi orang asing.

    Dituntut untuk profesional sebagai pemandu dapat menempatkan mereka dalam bahaya besar, terutama jika digabungkan dengan risiko inheren melakukan pekerjaan berat di lingkungan ekstrem, demikian hasil beberapa penelitian.

    Pemandu Sherpa seringkali terjebak antara nilai-nilai tradisional pelayanan dan pengabdian, tekanan ekonomi dari industri di mana pemandu dipekerjakan berdasarkan reputasi pribadi mereka, dan kenyataan hidup atau mati saat bekerja di ketinggian ekstrem.

    Dalam situasi ini, kepuasan klien seringkali lebih diutamakan daripada keselamatan pribadi.

    Tragedi ini menyoroti risiko yang diambil oleh Sherpa seperti Nawang ketika mereka setuju untuk menemani seorang klien.

    Bekerja sebagai pemandu atau porter di Everest menawarkan peluang ekonomi langka di salah satu wilayah termiskin di dunia.

    Namun, pekerjaan ini menuntut harga yang tak tertandingi dalam profesi jasa apa pun, di mana para pekerja secara rutin mengorbankan kesejahteraan mereka demi klien.

    Ketika tragedi melanda, para Sherpa seringkali menghilang dari cerita.

    Menurut Himalayan Database, sebanyak 132 Sherpa tewas di lereng Everest, 28 di antaranya terjadi dalam 10 tahun terakhir.

    Mereka terjatuh ke jurang, hancur tertimpa serac yang runtuh (bongkahan es besar), atau menghilang begitu saja di luasnya gunung saat melayani klien mereka.

    Sementara para pendaki asing mungkin melihat bahaya ini sebagai risiko yang dapat diterima demi pencapaian pribadi mereka, bagi para pemandu dan porter di Everest, data tersebut menyajikan kenyataan tempat kerja yang suram: 1,2% dari pekerja ini meninggal saat bertugas.

    Ini adalah bahaya pekerjaan yang luar biasa menurut standar ukuran apa pun.

    Pada masa lalu, risiko yang dihadapi para Sherpa seringkali diremehkan. Sebaliknya, orang asing cenderung menonjolkan kekuatan dan ketahanan mereka.

    Ini adalah gambaran yang mulai secara terbuka ditentang oleh para Sherpa sendiri.

    Dawa Sherpa, perempuan Nepal pertama yang mendaki 14 puncak gunung tertinggi Himalaya itu, menyoroti kesalahpahaman berbahaya tentang Sherpa yang memiliki kemampuan manusia super.

    Ia telah menyaksikan dampak fisik yang terjadi: para pemandu menopang klien yang kesulitan selama berjam-jam, menyiapkan makanan di ketinggian, dan membatasi oksigen mereka agar klien bisa terus mendaki.

    “Mereka bukan manusia super. Sherpa sering memaksakan diri melampaui batas aman demi memprioritaskan tujuan puncak orang lain,” kata Dawa Sherpa.

    “Saya melihat mereka kembali dengan radang dingin atau kekurangan oksigen karena mereka mengorbankan keselamatan mereka demi pencapaian orang lain.”

    Ia mencatat bahwa pendaki kaya terkadang mempekerjakan beberapa Sherpa per ekspedisi.

    Ketika kelelahan saat turun, mereka berharap untuk dibantu secara fisik ke bawah. Dinamika ini, ia menekankan, membuat gunung menjadi lebih berbahaya bagi mereka yang memikul beban terberat.

    Kekuatan yang tidak setara

    Saat berbicara tentang bahaya yang mereka hadapi, para Sherpa yang diwawancarai oleh BBC terus kembali ke masalah mendasar dari ketidakseimbangan kekuatan yang sangat tidak setara: ketidakmampuan pemandu untuk menolak permintaan berbahaya klien, bahkan ketika kesehatan mereka terancam, karena takut kehilangan pekerjaan dan penghasilan.

    “Sherpa tidak mendaki untuk ketenaran dan kemuliaan, atau untuk suatu pencapaian.

    Mereka mendaki karena terkadang itu satu-satunya sumber penghidupan. Kenyataan mendasar itulah yang membentuk setiap keputusan yang dibuat di gunung,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal (NMA).

    Asosiasi ini menyediakan program pelatihan bagi pemandu dan porter untuk meningkatkan standar keselamatan dan kualifikasi profesional.

    “Kendala sistemik ini membantu menjelaskan mengapa pemandu seperti Nawang membuat pilihan yang mereka lakukan,” kata Nuru Sherpa.

    “Konsekuensi profesional dari meninggalkan klien, yang berpotensi kehilangan pekerjaan di masa depan dalam industri berbasis reputasi, kemungkinan besar sama beratnya dengan masalah keselamatan langsung pada saat-saat pengambilan keputusan ketika seseorang kehilangan oksigen.”

    Dia menambahkan, “Ketika seluruh keluarga Anda bergantung pada pekerjaan Anda sebagai pemandu gunung, pergi begitu saja menjadi hampir tidak mungkin.”

    Sementara itu, prestasi luar biasa para Sherpa sendiri cenderung menarik sedikit perhatian. Pada Mei 2025, Sherpa Nepal, Kami Rita memecahkan rekornya sendiri untuk jumlah pendakian Gunung Everest terbanyak, ketika ia mendaki puncak tertinggi di dunia untuk ke-31 kalinya.

    Sanu Sherpa mengatakan bahwa pencapaiannya sebagian besar tetap tidak diakui bahkan di Nepal sendiri, sementara prestasi yang jauh lebih kecil oleh pendaki gunung asing seringkali menerima perayaan dan imbalan finansial yang lebih besar.

    Getty ImagesPencapaian Sherpa tidak banyak mendapat pengakuan, dibandingkan pendaki asing dengan sedikit pencapaian tetapi mendapat imbalan finansial yang besar.

    Membawa sampanye ke Everest

    Hubungan tidak setara antara pendaki Barat dan Sherpa lahir dalam bayang-bayang kolonialisme.

    Ketika ekspedisi Inggris pertama kali mendekati Gunung Everest pada tahun 1920-an, mereka merekrut pria lokal sebagai “kuli”istilah yang dipinjam dari masa kolonialuntuk membawa perlengkapan mereka yang sangat banyak, termasuk semuanya mulai dari peralatan makan perak hingga kotak sampanye.

    Sherpa-Sherpa awal ini hanya menerima sedikit pengakuan. Nama mereka jarang muncul dalam catatan ekspedisi, kecuali jika terjadi bencana.

    Dalam kronik salah satu ekspedisi awal ini, petualang Inggris George Mallory menyebut mereka terutama ketika tujuh porter tewas dalam longsoran saljukematian pertama yang tercatat di Everest.

    Pada pertengahan abad ke-20, seiring dengan pudarnya kesan imperial dalam pendakian gunung, dinamika mulai bergeser.

    Pendakian Tenzing Norgay pada 1953 bersama Edmund Hillary terpaksa mengakui keterampilan Sherpa, setelah pers internasional awalnya meremehkan pencapaiannya, menggambarkannya sebagai pendamping yang mengagumkan dan teman yang ceria bagi Hillary yang heroik.

    Era komersial dimulai pada 1980-an, mengubah Everest menjadi pasar dan Sherpa menjadi penyedia layanan penting.

    Ketika klien kaya dengan keterampilan teknis terbatas mulai mengejar puncak, tanggung jawab Sherpa meluas secara dramatis.

    Tidak lagi hanya pembawa beban, mereka menjadi pemandu, teknisi keselamatan, dan terkadang penyelamat, peran yang menuntut keterampilan lebih besar tetapi datang dengan otoritas tambahan yang terbatas.

    Pemimpin ekspedisi Barat mempertahankan kekuatan pengambilan keputusan sementara Sherpa menanggung peningkatan risiko fisik.

    Bencana menjadi titik balik. Pada 2014, 16 pekerja Nepal tewas dalam satu longsoran salju saat mempersiapkan rute untuk klien komersial, Sherpa di seluruh Everest melakukan penghentian kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Tindakan kolektif mereka memaksa perhitungan dalam ketidakadilan pada industri wisata alam itu dan menghasilkan perbaikan sederhana dalam cakupan asuransi dan kompensasi.

    Para ahli memperingatkan, akar masalahnya adalah ketidakseimbangan kekuatan antara pemandu dan klien, dalam lingkungan ekstrem di mana pemikiran seseorang menjadi kabur akibat ketinggian, dan setiap keputusan yang salah bisa berakibat fatal.

    Hasilnya, mereka memberi tahu BBC, industri wisata alam ekstrem itu telah menormalisasi kondisi yang mengancam jiwa sebagai bagian dari deskripsi pekerjaan bagi para pemandu, yang harus secara rutin menempatkan diri mereka dalam bahaya besar untuk memenuhi aspirasi pelanggan mereka.

    Kabut Otak

    Di Dingboche, pada ketinggian 4.410 meter di jalur menuju Everest Base Camp, petugas medis ekspedisi Abhyu Ghimire bergerak di antara ruang-ruang pemeriksaan di Mountain Medical Institute.

    Di luar jendelanya, puncak-puncak Ama Dablam yang bergerigi menjulang di antara langit biru cerulean. Ini adalah musim ekspedisi, dan hari-harinya membentang dari fajar hingga jauh setelah senja.

    Setelah berhasil mencapai puncak Everest sendiri dan bekerja sebagai petugas medis selama hampir satu dekade, dia telah menyaksikan secara langsung bagaimana ketinggian memengaruhi pikiran dan tubuh.

    Efek ini dapat semakin memperumit dinamika klien-pemandu, keputusan yang dibuat dan membahayakan nyawa.

    “Otak menjadi sangat ‘berkabut’ di ketinggian,” jelasnya dalam panggilan video di antara konsultasi pasien. “Otak seharusnya berfungsi pada saturasi oksigen 99% di atas permukaan laut. Di sana, bahkan saturasi oksigen 50-60% sering terdeteksi.”

    Kemunduran kognitif ini, tidak terlihat tetapi berpotensi mematikan, mengubah kepribadian dan pengambilan keputusan dengan cara yang menentang penjelasan rasional.

    “Otak berfungsi jauh di bawah kapasitas dan pengambilan keputusan menjadi sangat terganggu,” kata Ghimire. “Ini bahkan dapat menyebabkan halusinasi.”

    Transformasi ini bisa mendalam dan membingungkan: “[Bahkan] sahabat Anda di ketinggian itu dapat memicu reaksi yang sangat intens di sana, sehingga jika seseorang hanya meminta Anda untuk mengoper botol air, Anda mungkin melemparkannya ke wajah mereka. Seseorang yang familiar menjadi orang asing,” jelasnya.

    Menurut Ghimire, pendaki Kenya Kirui akan mengalami kerusakan kognitif progresif saat dia mendaki lebih tinggi tanpa oksigen tambahan.

    Pada saat Nawang Sherpa menghubungi base camp untuk melaporkan kliennya tampak tidak sehat, pusat pemikiran rasional Kirui mungkin sudah tidak berfungsi, kata Ghimire.

    Penolakan Kirui terhadap oksigen tambahan sejalan dengan efek paradoks hipoksia (kekurangan oksigen) yang dikenal: semakin otak kekurangan oksigen, semakin tidak mampu ia mengenali gangguannya.

    Penilaian Nawang Sherpa sendiri akan semakin terganggu oleh ketinggian meskipun ia menggunakan oksigen tambahan, kata Ghimire, karena oksigen dalam tabung tersebut tidak cukup untuk memberikan kondisi oksigen setara dataran biasa kepada pendaki, melainkan, hanya memberikan oksigen sebanyak yang akan mereka miliki pada ketinggian sekitar 6.000 7.000m.

    Pasokan oksigen yang terbatas ini, bersama dengan kelelahan, potensi dehidrasi, dan dingin ekstrem yang dihadapi pemandu, dapat mengurangi kejernihan mentalnya sendiri, kata Ghimire.

    Selain itu, Nawang Sherpa akan menghadapi apa yang Ghimire gambarkan sebagai masalah umum: “Sering kali, klien yang menghadapi hipoksia menjadi sulit dan menolak untuk mendengarkan apa yang dikatakan pemandu mereka.”

    Bahaya tersembunyi di ketinggian yang lebih rendah

    Tantangan fisik yang dihadapi para pekerja gunung di Nepal jauh melampaui momen-momen krisis di atas Base Camp.

    Dampak fisik sehari-hari dimulai jauh lebih rendah dari puncak gunung, menumpuk selama bertahun-tahun pelayanan mereka.

    “Pada ketinggian di atas 4.000m, tinggal untuk waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit gunung kronis,” Ghimire menjelaskan.

    Kondisi ini, yang secara medis dikenal sebagai penyakit Monge (atau Penyakit Gunung Kronis), bermanifestasi sebagai trias gejala berbahaya: “polisitemia, di mana darah menjadi sangat kental, hipertensi pulmonal, di mana paru-paru menjadi tertekan, dan hipoksia kronis, yaitu oksigen yang terus-menerus rendah dalam darah,” katanya.

    Getty ImagesSalah satu pendaki di Himalaya.

    Ada juga risiko berbeda untuk pemandu Sherpa dan non-Sherpa. Etnis Sherpa memiliki adaptasi genetik terhadap ketinggian selama beberapa generasi, sementara pekerja yang semakin banyak direkrut dari kelompok Nepal lainnya tidak memiliki keunggulan biologis ini, kata Ghimire.

    Perbedaan ini penting secara medis, karena mereka yang tidak memiliki adaptasi ketinggian menghadapi risiko yang jauh lebih tinggi saat melakukan pekerjaan yang sama di lingkungan yang kekurangan oksigen.

    Dinamika populasi di wilayah Khumbu memperparah risiko ini. “Banyak orang dari dataran rendah datang ke sini mencari pekerjaan,” kata Ghimire. “Mereka bermigrasi ke dataran tinggi tetapi tidak memiliki dua gen yang telah diteliti yang akan membuat mereka lebih tangguh terhadap kondisi ini.

    Mereka terpaksa menghabiskan waktu lama di dataran tinggi, yang menyebabkan masalah jantung, masalah darah, kekurangan vitamin D, dan berbagai masalah kesehatan lainnya.”

    Menurut Nima Ongchuk Sherpa, seorang dokter dari Khunde, tiga porter dari daerah yang lebih rendah telah kehilangan nyawa akibat komplikasi terkait ketinggian tahun ini, bahkan semuanya di bawah base camp.

    Dukungan lebih banyak untuk sherpa

    Di markas Departemen Pariwisata di pusat Kathmandu, Rakesh Gurung, mantan direktur bagian pendakian gunung, berbicara dengan kekhawatiran yang terukur.

    Duduk di balik meja kayu tua di kantor pemerintahan sederhana, tempat izin pendakian diproses dan peraturan ekspedisi dirancang, ia merenungkan tantangan industri.

    “Ada kegagalan sistematis dalam memberikan keselamatan yang layak bagi Sherpa,” ia mengakui. “Meskipun kami memiliki peraturan dasar, membuat dan menegakkan kode etik yang komprehensif terbukti sangat sulit.

    Industri ini terfragmentasi, dengan lusinan operator bersaing dalam harga daripada standar keselamatan.”

    Dia mengatakan departemen pariwisata kekurangan sumber daya dan keahlian khusus untuk secara efektif memantau apa yang terjadi di ketinggian ekstrem.

    Selain itu, lanskap politik Nepal yang terus berubah mempersulit penyusunan rencana yang efektif, katanya.

    “Kami telah memiliki beberapa pemerintahan yang berbeda dalam dekade terakhir saja, pengembangan kebijakan yang konsisten hampir tidak mungkin. Setiap pemerintahan baru membawa prioritas yang berbeda dalam manajemen pariwisata.”

    Ketidakseimbangan kekuatan ini melampaui hubungan pemandu-klien individual hingga kerangka peraturan itu sendiri, serta ekonomi tenaga kerja di ketinggian. Seorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 (antara Rp80 juta – Rp190 juta) dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399 (Rp22 juta).

    Namun, penghasilan ini menopang keluarga dan datang dengan risiko fisik yang luar biasa. Ketika tragedi menimpa, jaring pengaman finansial tetap tidak memadai, kata para pemandu.

    “Yang hilang adalah perhitungan berkelanjutan dengan ketidakadilan struktural yang membuat Nepal terikat pada ekonomi berbahaya ini, dan ketiadaan alternatif nyata,” kata Nima Nuru Sherpa, presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal.

    “Ketika suatu komunitas memiliki pilihan terbatas, gunung menjadi bukan hanya latar belakang kita tetapi sebuah keharusan, terlepas dari dampak fisik.”

    Pemerintah baru-baru ini meningkatkan asuransi jiwa wajib untuk Sherpa menjadi sekitar $14.400 (Pound 10.825), tetapi para pemandu mengatakan ini jauh dari cukup untuk memberikan kompensasi kepada keluarga yang bergantung atas hilangnya pendapatan dan perawatan seumur hidup.

    Keluarga Nawang Sherpa menerima pembayaran asuransi standar ini setelah kematiannya, dengan majikannya mengumpulkan sumber daya tambahan untuk memberikan beberapa dukungan tambahan.

    Getty ImagesSeorang pemandu Sherpa veteran mungkin mendapatkan antara $5.000 dan $12.000 dalam satu musim pendakian di negara dengan pendapatan per kapita tahunan sekitar $1.399.

    Bahkan peraturan keselamatan dasar pun sulit ditegakkan di tempat kerja tertinggi di dunia.

    Menurut Departemen Pariwisata, peraturan pendakian gunung di Nepal secara eksplisit melarang pendakian solo di atas 8.000 meter demi alasan keselamatan. Namun, setiap musim selalu ada pendaki terkenal yang mencoba upaya semacam itu, dengan sedikit konsekuensi.

    Sandesh Maskey, seorang petugas ekspedisi di Departemen Pariwisata, mengatakan bahwa pendaki dilarang mendaki Everest sendirian.

    “Kami belum memberikan izin kepada [pendaki solo] untuk melakukan ini sendirian. Itu tidak etis dan mereka akan melanggar hukum jika melakukannya.”

    “Kami berharap pendaki bersikap etis, tetapi orang-orang yang memiliki kekuasaan dan uang melanggar aturan karena mereka tahu bahwa begitu mereka berada di gunung, kami tidak memiliki cara praktis untuk memantau atau menghentikan mereka,” katanya.

    “Begitu pendaki bergerak di atas Base Camp, mekanisme pengawasan tradisional menjadi tidak praktis.”

    Musim semi ini, sebagai tanggapan atas meningkatnya masalah keselamatan, Departemen Pariwisata menerapkan peraturan baru untuk musim pendakian 2025.

    Baca juga:

    Semua ekspedisi ke puncak di atas 8.000 meter sekarang harus menjaga rasio satu pemandu untuk setiap dua pendaki.

    Departemen juga telah membuat perangkat teknologi reflektor wajib untuk semua ekspedisi guna membantu menemukan pendaki yang hilang.

    Namun Sanu Sherpa, pemandu berpengalaman di Kathmandu yang sedang mempersiapkan ekspedisi berikutnya, ragu bahwa ini akan mengubah banyak halmengingat betapa sulitnya menegakkan aturan-aturan ini di Everest.

    Saat dia bersiap untuk memulai ekspedisi Everest lagi keesokan harinya, dia mengakui bahwa dia selalu ingin berhenti dari pekerjaannya.

    “Sangat menakutkan dengan empat anak dan hidup mereka sepenuhnya bergantung pada saya. Mereka bertanya mengapa saya mendaki gunung sama sekali.”

    Kisah ini diperbarui pada 02/06/2025 untuk memperjelas bahwa Cheruiyot Kirui belum pernah mendaki Gunung Everest tanpa oksigen sebelumnya.

    Versi Bahasa Inggris dari Artikel ini berjudul ‘It’s terrifying’: The Everest climbs putting Sherpas in danger dapat Anda baca di laman BBC Future.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tips Menyimpan ASI di dalam Freezer agar Nutrisinya Tidak Hilang menurut IDAI

    Tips Menyimpan ASI di dalam Freezer agar Nutrisinya Tidak Hilang menurut IDAI

    Jakarta

    Tips Menyimpan ASI di dalam Freezer agar Nutrisinya Tidak Hilang menurut IDAI

    Bagi ibu menyusui yang aktif bekerja atau memiliki aktivitas padat, menyimpan Air Susu Ibu (ASI) di freezer menjadi solusi yang praktis. Tapi, penyimpanan yang kurang tepat bisa membuat nutrisi di ASI hilang.

    Padahal, ASI merupakan sumber nutrisi utama bagi bayi. Penting untuk memahami cara menyimpan ASI agar kandungan gizinya tetap optimal.

    Tips Menyimpan ASI di dalam Freezer agar Nutrisinya Tidak Hilang

    Dikutip dari laman Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), saat disimpan di freezer, sebaiknya ASI disimpan dalam batasan waktu yang dianjurkan. Untuk penyimpanan di freezer dengan pintu di atas (-20°C), lama penyimpanannya adalah 6-12 bulan, sedangkan freezer dengan lemari es 2 pintu (-18°C) selama 3-6 bulan. Sementara, untuk penyimpanan di freezer dengan lemari es pintu 1 (-15°C), waktunya adalah 2 minggu

    ASI yang disimpan lebih lama aman digunakan tetap aman, tapi kandungan lemaknya mulai terdegradasi, sehingga kualitasnya menurun. Adapun beberapa tips dalam membekukan ASI yaitu:

    1. Kencangkan tutup botol penyimpanan ASI
    2. Sisakan ruang sekitar 2,5 cm dari tutup botol, karena volume ASI akan meningkat pada saat beku
    3. Jangan simpan ASI pada bagian pintu lemari es atau freezer.
    4. Simpan ASI pada bagian belakang, di mana suhu berada dalam kondisi paling stabil

    Sementara itu, menurut Ketua/Founder Komunitas Pejuang ASI Indonesia, dr Ameetha Drupadi, CIMI, agar nutrisi ASI tidak hilang, simpan ASI di botol kaca atau plastik BPA-free, kantong khusus penyimpanan asi, serta tutup rapat dan hindari bekas makanan.

    “Labeli setiap wadah. Tulis tanggal dan jam pemerahan. Tambahkan nama bayi,” kata dr Ameetha kepada detikcom, Jumat, (11/7/2025).

    Kandungan ASI

    ASI memiliki kandungan bervariasi yang dipengaruhi oleh diet utama ibu selama kehamilan hingga tingkat nutrisi ibu. ASI yang dikeluarkan pada 7 hari pertama setelah bayi lahir disebut dengan kolostrum.

    Kolostrum sangat baik diberikan ke bayi yang baru lahir. Zat ini mengandung banyak antibodi, sel darah putih, serta vitamin A yang diperlukan bayi untuk memberi perlindungan terhadap infeksi dan alergi.

    Tips Memerah dan Mencairkan ASI

    Untuk memerah dan mencairkan ASI, ketahui beberapa tips dari IDAI berikut ini.

    Pompa payudara sesuai jam bayi minum ASIUntuk meningkatkan jumlah ASI yang diperah, kompres payudara dengan air hangat dan pijat dengan lembut sebelum memerahJika jumlah ASI yang keluar sedikit, jangan putus asa. Biasanya, memompa secara rutin akan meningkatkan produksi ASI dalam 2 mingguSimpan ASI sebanyak yang diminum bayi. Sebab, ASI dalam volume kecil akan lebih cepat dicairkan dan jarang tersisa atau terbuang jika volume minum bayi tiap sesi hanya sedikit.Jika memompa ASI saat bekerja di kantor, simpan ASI dalam cooler bag yang sudah diisi es batu atau ice pack atau ice gel.Cek tanggal pada label wadah ASI. Gunakan ASI yang paling dulu disimpanASI tidak harus dihangatkan. Beberapa ibu memberikan ASI dalam keadaan dinginUntuk ASI beku, pindahkan wadah ke lemari es selama 1 malam atau ke dalam bak berisi air dingin. Naikkan suhu air perlahan-lahan hingga mencapai suhu pemberian ASIJangan menaruh wadah ASI di dalam microwave. Microwave tidak dapat memanaskan ASI secara merata dan justru dapat merusak komponen ASI dan membentuk bagian panas yang melukai bayi. Botol juga dapat pecah bila dimasukkan ke dalam microwave dalam waktu lama.Goyangkan botol ASI dan teteskan ke pergelangan tangan terlebih dahulu. – …Hal ini dilakukan untuk mengecek apakah suhu sudah hangatdan aman untuk diberikan ke bayi.Berikan ASI yang dihangatkan ke bayi dalam waktu 24 jam. Jangan membekukan ulang ASI yang sudah dihangatkan.

    (elk/tgm)

  • Waspada! Ini Efek Konsumsi Bayam dan Kangkung Terlalu Sering

    Waspada! Ini Efek Konsumsi Bayam dan Kangkung Terlalu Sering

    Jakarta

    Bayam (spinach) dan kangkung (water spinach) merupakan jenis sayuran hijau yang bisa ditemukan di berbagai negara, termasuk Indonesia.

    Kedua sayuran ini sering diolah menjadi sayur bening atau tumis, serta memiliki beragam kandungan yang bermanfaat untuk kesehatan tubuh.

    Nutrisi dan Manfaat Bayam

    Dikutip dari laman Nutrition Value, angka kecukupan gizi harian umumnya didasarkan pada pola makan sebanyak 2.000 kalori per hari. Dalam setiap 100 gram bayam, terdapat berbagai nutrisi penting yang memberikan kontribusi terhadap kebutuhan harian tubuh, di antaranya:

    23 kalori0,4 gram lemak total atau 1 persen dari dari daily value (DV) atau nilai kebutuhan harian79 mg natrium atau 3 persen 3,6 gram karbohidrat atau 1 persen2,2 gram serat pangan atau 8 persen dari kebutuhan harian0,4 gram gula alami2,9 gram protein atau 6 persen dari kebutuhan harian99 miligram (mg) kalsium atau 8 persen dari kebutuhan harian2,7 mg zat besi atau 15 persen dari kebutuhan harian558 mg kalium atau 12 persen dari kebutuhan harian

    Dikutip dari Healthline, bayam memiliki manfaat berupa meningkatkan kesehatan mata, mengurangi stres oksidatif, membantu mencegah kanker, hingga mengurangi kadar tekanan darah.

    Nutrisi dan Manfaat Kangkung

    Adapun dalam setiap 100 gram kangkung, terkandung:

    30 kalori0,7 gram lemak total atau 1 persen dari daily value (DV) atau kebutuhan harian4,7 gram karbohidrat atau 2 persen dari kebutuhan harian3,2 gram protein nabati, setara dengan 6 persen dari kebutuhan harian70 mg kalsium atau 5 persen dari kebutuhan harian4,4 mg zat besi atau 24 persen dari kebutuhan harian185 mg kalium atau 4 persen dari kebutuhan harian

    Menurut National Nutrition Council Filipina, kangkung baik untuk menurunkan tekanan darah, memberikan kekebalan terhadap kanker, meningkatkan penglihatan, meningkatkan kekebalan tubuh, dan mengobati penyakit kulit. Kangkung merupakan sumber yang kaya akan berbagai vitamin, mineral, dan antioksidan.

    Kangkung juga mengandung kalium dan zat besi. Karena tumbuh dan berkembang di lingkungan semi-akuatik, kangkung juga menyediakan banyak elektrolit. Manfaat kesehatan penting lainnya dari kangkung adalah mencegah sembelit karena kandungan seratnya yang tinggi dan membantu melancarkan buang air besar.

    Meskipun bayam dan kangkung menawarkan banyak manfaat kesehatan, penting untuk mengonsumsinya dalam jumlah sedang untuk menghindari efek samping. Beberapa di antaranya bahkan bisa memperburuk kondisi kesehatan, terutama bagi individu dengan penyakit tertentu.

    Efek Konsumsi Bayam Berlebihan

    Dikutip dari Medicine Net dan Livestrong, efek samping terlalu banyak mengonsumsi bayam sebagai berikut.

    1. Meningkatkan Risiko Batu Ginjal

    Karena bayam mengandung asam oksalat dalam jumlah tinggi dibandingkan sayuran hijau lainnya, konsumsi bayam secara berlebihan dapat berperan dalam pembentukan batu ginjal kalsium-oksalat, yaitu jenis batu ginjal yang paling umum.

    Dalam kasus yang jarang terjadi, mengonsumsi makanan tinggi oksalat, seperti bayam dalam jumlah ekstrem dapat menyebabkan hiperoksaluria, yaitu kondisi saat tubuh mengeluarkan oksalat secara berlebihan melalui urine.

    Menurut Cedar-Sinai Medical Center, ketika kristal oksalat bertemu dengan kalsium di ginjal, keduanya bisa membentuk batu ginjal.

    Penelitian yang dilakukan oleh USDA Crop Improvement and Protection Research pada tahun 2016 juga mengeksplorasi kemungkinan untuk mengembangkan varietas bayam dengan kandungan oksalat yang lebih rendah guna mengurangi efek samping senyawa oksalat terhadap kesehatan.

    “Hal ini dapat menyebabkan pembentukan batu ginjal pada orang-orang tertentu,” kata Dr Joseph Roberts, asisten profesor nutrisi di Arizona State University di Phoenix, dikutip dari American Heart Association (AHA), Kamis (11/7/2025).

    “Orang yang rentan terhadap batu ginjal terkadang diberi diet rendah oksalat. Merebus bayam dapat mengurangi jumlah oksalat yang Anda konsumsi,” kata Roberts.

    2. Memicu Masalah Pencernaan

    Mengonsumsi bayam dalam jumlah berlebihan dapat menyebabkan penumpukan gas, perut kembung, dan kram, karena tubuh membutuhkan waktu lebih lama untuk mencerna serat dalam jumlah besar. Kandungan serat yang tinggi dalam bayam memang baik untuk kesehatan pencernaan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan, justru bisa menimbulkan gangguan pencernaan seperti diare, sakit perut, hingga demam ringan pada sebagian orang.

    Selain itu, konsumsi bayam yang terlalu banyak justru bisa menghambat penyerapan zat besi oleh tubuh. Hal ini disebabkan oleh interaksi antara serat tinggi dan senyawa seperti asam oksalat, yang dapat mengikat zat besi dan membuatnya sulit diserap secara optimal.

    3. Mengganggu Kinerja Obat

    Pasien yang mengonsumsi obat antikoagulan (pengencer darah) seperti warfarin disarankan untuk membatasi konsumsi bayam, karena sayuran ini mengandung vitamin K dalam jumlah sangat tinggi. Vitamin K berperan dalam proses pembekuan darah, sehingga asupannya yang berlebihan dapat mengganggu efektivitas obat antikoagulan dan memengaruhi stabilitas kadar pembekuan darah.

    “Vitamin K, yang berperan penting dalam pembekuan darah, dapat mengganggu kerja pengencer darah warfarin. Hal ini tidak terlalu menjadi masalah dengan pengencer darah yang lebih baru. Tetapi pengguna warfarin harus konsisten dalam mengonsumsi vitamin K, yang akan membantu menstabilkan kadar warfarin,”kata Roberts.

    4. Meningkatkan Risiko Penyakit Asam Urat

    Makanan nabati seperti bayam mengandung purin alami yang akan diubah tubuh menjadi asam urat. Pada sebagian orang yang rentan terhadap masalah terkait purin, atau mereka yang mengalami hiperurisemia (kadar asam urat tinggi dalam darah), konsumsi purin dalam jumlah berlebihan, termasuk dari bayam, dapat menimbulkan masalah kesehatan.

    Jika tubuh tidak mampu membuang kelebihan asam urat melalui ginjal, kadar asam urat dapat meningkat. Hal ini dapat menyebabkan penumpukan kristal asam urat di persendian, yang memicu penyakit asam urat (gout) seperti nyeri hebat dan pembengkakan.

    Pharmacy Times juga memperingatkan, makanan dengan kandungan purin tinggi, seperti bayam, sebaiknya tidak dikonsumsi dalam jumlah sangat besar, terutama oleh individu yang memiliki risiko tinggi terkena penyakit asam urat.

    “Bayam juga mengandung purin, yang diubah menjadi asam urat di dalam tubuh. Pada pengidap asam urat, asam urat dapat memicu serangan,” kata Roberts.

    Efek Konsumsi Kangkung Berlebihan

    Dikutip dari Vietnam Vn, kangkung merupakan salah satu jenis makanan yang sebaiknya dihindari oleh pengidap penyakit asam urat. Mengonsumsi kangkung dapat memicu peningkatan produksi asam urat dalam tubuh, sehingga memperburuk gejala seperti nyeri sendi dan rasa tidak nyaman.

    Selain itu, kangkung juga mengandung kalsium oksalat dalam jumlah yang cukup tinggi. Senyawa ini berisiko membentuk batu ginjal, terutama pada individu yang memiliki riwayat gangguan ginjal.

    Oleh karena itu, bagi yang menderita batu ginjal atau memiliki masalah fungsi ginjal, disarankan untuk membatasi asupan kangkung dalam pola makan sehari-hari.

    (suc/tgm)

  • Ilmuwan: Suatu Hari Nanti Manusia Bisa Hidup sampai 1.000 Tahun – Page 3

    Ilmuwan: Suatu Hari Nanti Manusia Bisa Hidup sampai 1.000 Tahun – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Pada 1925, harapan hidup rata-rata orang Amerika hanya 58 tahun. Namun para ilmuwan saat itu optimistis umur manusia bisa mencapai satu milenium.

    Seabad lalu, dunia ilmu pengetahuan tengah diliputi optimisme tinggi. Penemuan-penemuan revolusioner di bidang medis membuat banyak orang yakin bahwa kematian bisa dikalahkan.

    Bahkan, beberapa ilmuwan pada 1925 memprediksi bahwa suatu hari nanti manusia bisa hidup hingga 1.000 tahun. Mengutip Popular Science, Jumat (11/7/2025), pernyataan yang terdengar ambisius itu muncul di tengah kemajuan pesat dunia medis.

    Misalnya saja, penemuan insulin oleh Dr. Frederick Grant Banting pada 1921, yang menyelamatkan nyawa jutaan pasien diabetes. Sebelumnya, penyakit ini membunuh lebih dari 80 persen anak-anak sebelum usia remaja.

    Penemuan insulin menjadi simbol dari era optimisme ilmiah kala itu. Ilmuwan mulai memahami anatomi manusia, cara kerja penyakit, serta proses penuaan dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya.

    Dari Vitamin hingga Anestesi: Ilmu Kedokteran Mengubah Dunia

    Di masa itu, penemuan bakteri pada akhir abad ke-19 telah memicu lahirnya vaksin-vaksin penting. Vitamin pun mulai dikenali dan dikaitkan dengan penyakit seperti rakhitis (vitamin D), skorbut (vitamin C), dan beri-beri (vitamin B).

    Sementara itu, kemajuan dalam anestesi mengubah praktik bedah menjadi lebih aman dan efektif. Di tengah euforia tersebut, seorang penulis sains dari Popular Science bernama John E. Lodge menulis sebuah prediksi mengejutkan.

    Ia meyakini bahwa manusia kelak bisa hidup ratusan tahun, seperti tokoh Methuselah dalam kitab suci. Menurutnya, sains suatu hari akan menemukan cara untuk memperbaiki enzim yang rusak, mengganti organ tubuh, bahkan menghidupkan kembali “percikan vital” kehidupan.

    Kini, 100 tahun setelah prediksi itu dibuat, usia manusia memang belum mencapai 1.000 tahun. Namun semangat untuk memperpanjang usia dan meningkatkan kualitas hidup tetap menyala.

     

  • Mengapa Perempuan Asia Selatan Menua Lebih Cepat Dibandingkan AS?

    Mengapa Perempuan Asia Selatan Menua Lebih Cepat Dibandingkan AS?

    New Delhi

    Sumrin Kalia, seorang perempuan Pakistan yang tinggal di luar negeri, menikah pada usia 18 tahun dan sudah memiliki empat anak saat usianya baru 25. Ia secara mendadak mengalami menopause di usia 37 tahun, lebih awal daripada umumnya.

    “Saya mulai mengalami pendarahan berlebihan. Saya pergi ke dokter, yang mengatakan saya mungkin sedang dalam masa perimenopause,” kata Kalia, yang kini berusia pertengahan 40-an, kepada DW.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa rata-rata usia menopause secara global berkisar antara 45 hingga 55 tahun.

    “Tidak ada yang menjelaskan apa pun kepada saya. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Saya mulai mengalami pendarahan yang berat dan lebih sering dari biasanya,” ujar Kalia.

    Kalia menggunakan alat kontrasepsi IUD (intrauterine device), yang kemudian setelah ia lepas, menstruasinya berhenti total tanpa penjelasan medis yang jelas.

    Pengalaman Kalia juga dialami oleh sejumlah perempuan Asia Selatan lainnya yang berbicara kepada DW. Mereka menceritakan bagaimana gejala perimenopause muncul lebih awal dibandingkan perempuan di negara lain.

    Studi: Menopause pada perempuan Asia Selatan muncul lebih cepat

    Sebuah studi di Amerika Serikat (AS) menemukan bahwa perempuan keturunan Asia Selatan di AS mengalami menopause pada usia rata-rata 48-49 tahun. Padahal, rata-rata usia menopause di AS adalah 52 tahun.

    Sementara itu, rata-rata jumlah anak per perempuan di Pakistan menurun tajam dari 3,61 pada tahun 2023 menjadi 3,19 pada 2024. Ini mencerminkan perubahan pola kesuburan. Sebagai perbandingan, rata-rata di India turun lebih moderat dari 2,14 menjadi 2,12.

    Belum dapat dipastikan apakah kedua data ini saling berkaitan. Namun, ada indikasi bahwa berbagai faktor mungkin berkontribusi terhadap percepatan proses penuaan pada perempuan Asia Selatan.

    Faktor genetik, biologi, dan kekurangan vitamin D

    Dr. Palwasha Khan, pakar kesehatan hormonal sekaligus dokter di Pakistan, menjelaskan bahwa waktu menopause sebagian besar dipengaruhi oleh faktor genetik.

    “Tidak ada aturan pasti, tetapi studi menunjukkan bahwa perempuan cenderung mulai dan mengakhiri masa menstruasi pada usia yang mirip dengan ibu mereka,” ujarnya kepada DW. “Semakin awal seseorang mulai menstruasi, semakin besar kemungkinan menopause terjadi lebih awal.”

    Dr. Khan juga menyoroti faktor lain, seperti penurunan kadar vitamin D yang cepat di kalangan perempuan Asia Selatan, yang dapat memperparah masalah kesehatan kronis terkait penuaan.

    Selain itu, banyak perempuan mengalami kegagalan ovarium di akhir usia 30-an atau awal 40-an, sering kali diperparah oleh “masalah medis yang tidak terdiagnosis” dan kurangnya akses ke layanan kesehatan berkualitas sejak usia muda.

    Tekanan sosial: Kesuburan di atas kesehatan

    Di Asia Selatan, khususnya di Pakistan, norma sosial mendorong perempuan untuk segera memiliki anak setelah menikah sering kali mengorbankan kesehatan jangka panjang mereka.

    “Kesehatan perempuan sebagai isu tersendiri sering kali diabaikan,” ujar Dr. Khan. Kesadaran soal kesehatan hormonal sangat minim, dan pengobatan seperti terapi penggantian hormon (HRT) masih sangat jarang. “Dari 10 ribu perempuan, mungkin hanya dua yang pernah menjalani HRT.”

    Fokus berlebihan pada kesuburan kerap mengesampingkan percakapan tentang menopause dan kesejahteraan perempuan.

    Sisi lain: Dampak emosional dari menopause

    Sabina Qazi, seorang perempuan Pakistan berusia pertengahan 40-an yang tinggal di Karachi, menceritakan tantangan emosional dan kognitif yang ia alami akibat menopause. Menopause yang dialaminya terjadi akibat histerektomi radikal, sebuah prosedur medis di mana rahim, tuba falopi, dan kedua ovarium diangkat karena risiko kanker.

    “Suami dan anak-anak saya berbicara kepada saya, tetapi kata-kata mereka terasa seperti hilang di tengah jalan… Saya merasa terus-menerus harus membuktikan bahwa saya tidak bodoh,” katanya kepada DW, menggambarkan kesulitan kognitif yang ia alami setelah menjalani histerektomi radikal.

    Qazi mengatakan bahwa hal yang paling mengecewakannya dari proses medis tersebut adalah minimnya perhatian terhadap dampak jangka panjangnya. Meskipun operasinya bersifat preventif, beban emosional dari keputusan tersebut tidak pernah benar-benar diakui.

    Operasi itu diperlakukan seolah-olah sudah pasti terjadi: Ia akan mengalami menopause juga dalam beberapa tahun, jadi kenapa tidak sekarang saja?

    Ia akhirnya menjalani terapi HRT untuk mengelola gejala menopause. Namun, kabut otak (brain fog) menurutnya muncul sebagai tantangan baru.

    Tumpang tindih antara menopause akibat pembedahan dan risiko kesehatan yang lebih luas juga terlihat dalam kasus kegagalan ovarium di usia 30-an dan 40-an di kalangan perempuan Asia Selatan. Sebagaimana diamati oleh Dr. Khan, kasus ini sering kali bersamaan dengan sejumlah kondisi kesehatan kronis yang saling berkaitan.

    Dampak emosional dari operasi tersebut masih membekas lama setelah Qazi pulih secara fisik. Ia nyaris tidak mendapat dukungan dari komunitasnya, dan teman-teman terdekat justru meremehkan pengalamannya, dengan menyiratkan bahwa ia tak perlu khawatir karena sudah memiliki tiga anak.

    Implikasi budayanya, kata Qazi, adalah bahwa organ reproduksinya dianggap telah “menunaikan tugasnya”, sehingga kehilangan rahim dan indung telurnya tidak dianggap penting. Padahal baginya, hal itu sangat berarti.

    ‘Perempuan Asia Selatan sudah terlalu burned out’

    Dr. Khan mengatakan sejumlah faktor tampaknya saling berkaitan dan mempercepat proses penuaan pada perempuan Asia Selatan: Penyakit kronis, stres, masalah kesehatan mental, serta tekanan sosial. Setiap faktor seakan memperkuat yang lain.

    “Perempuan Asia Selatan sudah terlalu burned out,” kata Khan. “Beban dari masyarakat. Beban dari ibu mertua. Perempuan kita memikul terlalu banyak tekanan, dan ini membuat mereka menua lebih cepat.”

    Banyak perempuan menghadapi ekspektasi sosial yang tak henti-hentinya dan minim dukungan, yang memperburuk tantangan kesehatan fisik dan mental.

    Seorang perempuan keturunan Asia Selatan yang tinggal di Arab Saudi berkata, “Saya merasa marah terus-menerus.”

    Artikel ini pertama kali dirilis dalam bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Alfi MIlano Anadri
    Editor: Prihardani Purba

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Dampak Lewatkan Sarapan di Pagi Hari, Termasuk Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung

    Dampak Lewatkan Sarapan di Pagi Hari, Termasuk Tingkatkan Risiko Penyakit Jantung

    Jakarta

    Melewatkan sarapan di pagi hari adalah kebiasaan yang sering dilakukan oleh banyak orang. Hal ini disebabkan oleh sejumlah alasan, mulai dari tak merasa lapar atau ingin menurunkan berat badan.

    Padahal, sarapan penting untuk mengakhiri puasa semalaman dan menstabilkan kadar gula darah. Jika dilewatkan, tubuh bisa kekurangan energi, sulit fokus, dan cenderung makan berlebihan di siang hari. Bahkan melewatkan sarapan secara terus-menerus tanpa perencanaan pola makan yang baik sepanjang hari justru dapat menghambat pencapaian tujuan kesehatan.

    “Melewatkan sarapan bukan hanya soal rasa lapar; itu adalah kesempatan yang hilang untuk memberi nutrisi pada tubuh dan pikiran secara optimal,” jelas Claire Rifkin, MS, RDN, ahli gizi asal New York City yang juga pendiri praktik kesehatan yang berfokus pada kesehatan reproduksi perempuan.

    1. Dampak Melewatkan Sarapan

    Melewatkan sarapan dapat menimbulkan berbagai efek, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dikutip dari Eating Well, berikut ini beberapa dampak yang bisa dirasakan.

    Lemas

    Menurut Marcie Vaske, MS, LN, CNS, saat seseorang bangun di pagi hari, kadar glukosa dalam darah berada pada tingkat yang lebih rendah. Jika kondisi ini dibiarkan terlalu lama tanpa asupan makanan, dapat menyebabkan kelelahan fisik, termasuk munculnya gejala seperti kebingungan atau brain fog. Sarapan secara teratur menjadi penting karena otak sangat bergantung pada glukosa untuk dapat berfungsi secara optimal.

    Senada, buku Recent Developments in Applied Microbiology and Biochemistry (2021), menjelaskan, glukosa adalah sumber energi utama bagi otak, dan glukosa sebagian besar berasal dari karbohidrat. Oleh karena itu, asupan karbohidrat yang cukup melalui sarapan membantu menjaga kestabilan kadar gula darah, yang pada gilirannya berperan dalam meningkatkan energi, fokus mental, serta kinerja kognitif secara keseluruhan.

    Mengganggu Keseimbangan Hormon

    Terlalu lama menahan lapar dapat menurunkan kadar gula darah dan mengganggu keseimbangan hormon tubuh. Menurut Endocrine Society, salah satu hormon yang terpengaruh adalah kortisol, yakni hormon stres yang berperan penting dalam mengatur suasana hati, respons terhadap tekanan, serta kemampuan dalam menghadapi berbagai situasi harian.

    Dokter keluarga di Amerika Serikat (AS), Laura Purdy, MD, MBA,menjelaskan kadar kortisol biasanya berada pada tingkat tertinggi saat seseorang bangun di pagi hari, kemudian perlahan menurun sepanjang hari.

    “Makan sarapan pagi dapat membantu mengelola kadar ini dan stres, memberi Anda dorongan mental untuk menjalani hari,” katanya.

    Perubahan Mood atau Cemas

    Ketika keseimbangan hormon terganggu, wajar jika tubuh terasa tidak nyaman atau lebih rentan mengalami perubahan suasana hati. Sebelum menyimpulkan penyebabnya terlalu jauh, ada baiknya meninjau kembali pola makan dalam beberapa waktu terakhir-terutama kebiasaan melewatkan sarapan.

    Sebuah studi tahun 2020 yang dimuat dalam jurnal Diabetes, Metabolic Syndrome and Obesity dan melibatkan 21.972 mahasiswa menemukan, kebiasaan melewatkan sarapan, baik secara rutin maupun tidak, berkaitan dengan penurunan tingkat kebahagiaan, serta peningkatan risiko depresi dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

    “Jika kadar kortisol terus-menerus tinggi, kadarnya dikaitkan dengan kecemasan dan depresi. Berita baiknya? Sarapan adalah kesempatan awal untuk menyehatkan otak dan kesehatan mental Anda. ” ucap Rifkin.

    “Kekurangan nutrisi yang mendukung otak, seperti asam lemak omega-3 dan vitamin B, terkait dengan gangguan suasana hati, dan makanan sarapan dapat menyediakannya. Sarapan yang bergizi lebih dari sekadar bahan bakar fisik; sarapan merupakan komponen penting dalam menjaga kesehatan mental dan emosional,” lanjutnya.

    Meningkatkan Risiko Penyakit Jantung

    Melewatkan waktu makan, khususnya sarapan, dapat membawa dampak serius dalam jangka panjang, termasuk meningkatkan risiko penyakit jantung. Sejumlah penelitian telah menunjukkan hubungan antara kebiasaan tidak sarapan dengan kesehatan kardiovaskular yang buruk.

    Sebuah meta-analisis tahun 2019 yang diterbitkan dalam American Journal of Cardiology menemukan, melewatkan sarapan dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung. Hal ini diduga berkaitan dengan gangguan metabolik yang muncul, seperti fluktuasi kadar gula darah, kecenderungan makan berlebihan di kemudian hari, serta keterkaitan dengan gaya hidup tidak sehat yang berkontribusi terhadap risiko penyakit jantung.

    Tinjauan lain pada tahun 2020 yang dimuat dalam jurnal Obesity juga mencatat bahwa individu yang tidak sarapan cenderung memiliki kadar kolesterol LDL (low-density lipoprotein) yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang rutin sarapan. LDL sendiri merupakan jenis kolesterol yang dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke jika kadarnya berlebihan.

    Studi tambahan dari American Heart Association juga menyoroti berbagai penelitian terkait efek melewatkan sarapan terhadap kesehatan jantung dan penyakit kronis lainnya. Meskipun belum ada konsensus tunggal akibat kompleksitas faktor penyebab penyakit jantung, data menunjukkan, mereka yang rutin sarapan dan menjaga waktu makan cenderung memiliki profil kesehatan jantung yang lebih baik dibandingkan yang tidak.

    Menurut Maggie Berghoff, praktisi pengobatan fungsional dan pendiri DetoxDaily di AS, yang terpenting bukan hanya soal waktu makan, tetapi juga pola pikir serta kualitas nutrisi yang dikonsumsi.

    “Yang terpenting adalah pola pikir dan perhatian terhadap jenis makanan yang Anda konsumsi, mendapatkan nutrisi berkualitas dalam pola makan Anda, dan secara konsisten menerapkan kebiasaan gaya hidup sehat,” katanya.

    Memperlambat Metabolisme Tubuh

    Sebagian orang sengaja melewatkan sarapan dengan harapan dapat menurunkan berat badan. Namun, kebiasaan ini justru dapat menghambat proses penurunan berat badan dengan memengaruhi fungsi metabolisme tubuh.

    Menurut ahli diet nutrisi fungsional dari Georgia, Stephanie Darby, RD, ketika tubuh tidak mendapatkan asupan energi di pagi hari, ia akan mulai mencari cadangan energi dari jaringan lemak dan otot. Proses ini memerlukan energi tambahan, sehingga tubuh secara alami akan memperlambat proses metabolisme untuk menghemat energi dan mempertahankan fungsi vital.

    Akibatnya, metabolisme melambat untuk memungkinkan konservasi energi ini terjadi, menurunkan tingkat energi dan menyimpan cadangan apa pun dalam jaringan lemak untuk kebutuhan selanjutnya,” kata Darby.

    Darby menjelaskan, hal ini merupakan bagian dari mekanisme bertahan hidup alami tubuh ketika tidak mengetahui kapan asupan makanan berikutnya akan datang. Oleh karena itu, mengonsumsi sarapan justru merupakan pilihan yang lebih sehat dan berkelanjutan untuk mendukung penurunan berat badan serta menjaga kesehatan metabolisme.

    2. Manfaat Sarapan

    Dikutip dari Better Health, banyak penelitian telah menunjukkan sarapan memberikan berbagai manfaat kesehatan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek, sarapan dapat meningkatkan energi dan kemampuan konsentrasi. Sementara dalam jangka panjang, kebiasaan sarapan dikaitkan dengan pengelolaan berat badan yang lebih baik serta penurunan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung.

    Sarapan juga berperan penting dalam mencukupi kebutuhan gizi harian. Orang yang rutin sarapan cenderung lebih mampu memenuhi asupan vitamin dan mineral harian yang direkomendasikan dibandingkan mereka yang tidak sarapan.

    Vitamin, mineral, dan nutrisi penting lainnya hanya bisa diperoleh melalui makanan. Meskipun tubuh dapat menyimpan energi dari makanan sebelumnya, asupan nutrisi mikronutrien seperti vitamin dan mineral tetap perlu ditambah secara berkala agar fungsi tubuh tetap optimal. Oleh karena itu, sarapan menjadi momen penting untuk mendukung kesehatan dan menjaga vitalitas sepanjang hari.

    3. Waktu Terbaik untuk Sarapan

    Dari perspektif metabolisme, sarapan sebelum pukul 08.30 pagi dianggap ideal. Pada waktu ini, tubuh berada dalam kondisi paling sensitif terhadap insulin, yang dapat memproses karbohidrat lebih efisien. Hal ini dapat membantu menstabilkan kadar gula darah dan menjaga energi tetap optimal sepanjang hari.

    Dikutip dari Today, temuan ini sejalan dengan hasil penelitian 2023 yang diterbitkan di Jurnal Nature Communications, menunjukkan sarapan setelah pukul 09.00 pagi dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit jantung. Artinya, waktu sarapan yang lebih awal kemungkinan juga memberikan manfaat bagi kesehatan jantung.

    Selain itu, beberapa studi menunjukkan bahwa makan lebih awal dapat membantu mengatur nafsu makan dan mengurangi asupan kalori secara keseluruhan. Konsumsi kalori di pagi hari diketahui berkaitan dengan penurunan berat badan yang lebih efektif, mengontrol kadar trigliserida, pengendalian glukosa yang lebih baik, serta penurunan rasa lapar di sepanjang hari.

    4. Rekomendasi Makanan

    Sarapan yang baik biasanya tinggi serat, protein, lemak sehat , dan mikronutrien. Dikutip dari Healthline, berikut daftar makanannya.

    Telur

    Telur merupakan sumber protein yang penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan massa otot. Selain itu, mengonsumsi telur dapat membantu memberikan rasa kenyang lebih lama, sehingga berpotensi mendukung pola makan yang lebih terkontrol.

    Oatmeal

    Oatmeal berasal dari oat yang digiling pipih (rolled oats) atau dipotong kasar (steel-cut oats). Makanan ini mengandung serat larut yang disebut beta-glucan, yang dapat membantu menurunkan kadar kolesterol dan glukosa dalam darah, serta memiliki sifat antioksidan dan prebiotik.

    Lemak Sehat

    Dikutip dari Hopkins Medicine, lemak berperan penting dalam menambah rasa dan daya tarik pada makanan, termasuk menu sarapan. Ahli gizi klinis Regina Shvets dari Sibley Memorial Hospital menyarankan untuk menambahkan sumber lemak sehat pada waktu sarapan guna meningkatkan energi, menjaga kesehatan jantung, serta membantu mengontrol kadar gula darah. Beberapa pilihan lemak sehat yang direkomendasikan antara lain:

    AlpukatKacang-kacangan seperti kenari, almond, dan pecanBiji-bijian seperti biji labu dan biji bunga matahariSelai kacang atau mentega yang terbuat dari kacang dan biji sehatIkan salmon asap

    (suc/tgm)

  • Derita Bayi-bayi di Gaza Tak Kunjung Usai, Kini Terancam kena Meningitis

    Derita Bayi-bayi di Gaza Tak Kunjung Usai, Kini Terancam kena Meningitis

    Jakarta

    Di bangsal rumah sakit Nasser di Gaza selatan, seorang wanita sedang menghibur cucunya yang berusia 16 bulan yang menangis, salah satu dari mereka yang terkena dampak dari apa yang menurut para pekerja bantuan adalah lonjakan kasus meningitis di antara anak-anak di wilayah Palestina.

    “Suhu tubuh Sham tiba-tiba naik dan dia menjadi kaku,” kata sang nenek, Umm Yasmin kepada Reuters. “Kami tidak dapat menemukan mobil untuk membawanya … Dia hampir meninggal.”

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan badan amal medis Médecins Sans Frontières memperingatkan bahwa kondisi di Gaza telah meningkatkan risiko penyebaran meningitis, meskipun mereka tidak memiliki data perbandingan yang jelas untuk mengukur tingkat keparahan wabah.

    Biasanya, ada peningkatan musiman dalam kasus meningitis virus di Gaza antara Juni dan Agustus, tetapi WHO sedang menyelidiki peran faktor-faktor tambahan seperti sanitasi yang buruk, akses terbatas ke layanan kesehatan, dan terganggunya vaksinasi rutin.

    Rumah sakit-rumah sakit yang masih beroperasi kewalahan, dengan tempat tidur penuh dan kekurangan antibiotik penting yang parah.

    “Tidak ada ruang di rumah sakit,” kata Dr Mohammed Abu Mughaisib, wakil koordinator medis MSF di Gaza. “Tidak ada ruang untuk mengisolasi.”

    Menurut WHO, meningitis bakteri yang dapat menular melalui udara dan mengancam jiwa dapat menyebar di tenda-tenda yang penuh sesak. Meningitis virus, meskipun tidak terlalu serius, sering menyebar melalui jalur fekal-oral, yang berarti dapat dengan mudah menyebar di tempat penampungan dengan sanitasi yang buruk.

    Di rumah sakit Nasser di Khan Younis, Dr Ahmad al-Farra, kepala Departemen Pediatri dan Maternitas, melaporkan hampir 40 kasus meningitis virus dan bakteri yang baru dirawat dalam seminggu terakhir.

    Di Kota Gaza di utara, Departemen Pediatri di Rumah Sakit Anak Rantisi telah mencatat ratusan kasus dalam beberapa minggu terakhir, menurut laporan yang diterbitkan oleh Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.

    Abu Mughaisib mengatakan kurangnya tes laboratorium dan kultur darah yang dapat membantu mengidentifikasi bakteri penyebab infeksi menghambat diagnosis.

    Para dokter memperingatkan bahwa kekurangan vitamin dan melemahnya kekebalan tubuh akibat terbatasnya akses terhadap sayuran segar dan protein, meningkatkan kerentanan anak-anak.

    (kna/kna)